Chapter 05 – Pengorbanan
Semenjak zaman dahulu kala,
karunia diberikan pada pria yang terkutuk.
Terkutuk karena karunia tidak bisa dikembalikan.
"Aku
berhasil! Lihat nih, Nina!"
Melihatku yang kesenangan akan sesuatu, Nina pun
menatapku dengan aneh.
"....
Apa yang kau lakukan?"
"Dilihat
saja kau pasti tau, ‘kan?"
Mataku masih terbelalak karena terkejut, kutunjuk
kakiku menggunakan salah satu kaki depanku.
Ada jarak beberapa senitemeter antara kakiku dan
tanah.
"Saat
ini aku tengah terbang!"
"Tapi
semenjak aku bertemu denganmu, bukannya kau ini sudah bisa terbang?"
"Asal
kau tahu saja, ya.... yang saat ini aku lakukan adalah melayang"
"Memang
apa bedanya?"
Terus terang saja, aku bingung bagaimana cara
menjawabnya. Tidak ada ungkapan untuk membuat perbedaan yang mudah dalam bahasa
Elf.
"Maksudku.....
coba lihat, aku masih ada di tempat yang sama meski tanpa mengepakkan sayapku, ‘kan?
Aku ini bukan terbang seperti burung, melainkan hanya mengapung di udara
seperti daun di kolam."
"Memang
apa bagusnya itu?"
Pertanyaannya yang simpel membuatku kehilangan
kata-kata.
Andai harus kupilih antara bagus dan mengagumkan,
yang kulakukan saat ini sangatlah mengagumkan.
"Ini
sihir, Nina. Ini juga sihir."
Aku tidak tahu betul berapa beratnya tubuh naga,
tapi setidaknya ada satu hal yang pasti.
Daya angkat yang ditimbulkan sayapku pastinya
tidaklah cukup untuk menyokong tubuhku yang begitu besar.
Aku ini masih terbilang muda sebagai naga, namun setidaknya
tubuhku ini dua kali lebih tinggi dari Nina. Kalau dihitung sampai ujung ekorku
mungkin sekitar 3 meter.
Jadinya aku ini sangat jauh lebih besar ketimbang
burung, apalagi ibuku yang sepuluh kali lebih besar dariku. Secara logika, mana
mungkin makhluk seperti kami bisa terbang.
Karena aku bisa melakukan sesuatu yang tidak
mungkin, maka pasti ada kaitannya dengan sihir.
Dan harapanku pun tepat sasaran.
"Bukannya
tadi kau senang karena bisa tidak menggunakan
sihir?"
"Itu
buat api. Lihat, aku sama sekali tidak mengeluarkan napas api lagi?"
Aku pun dengan hati-hati menghembuskan napas ke arah
Nina.
".....
Ya.... k-kelihatannya kau memang berhenti bernapas api....."
"Ma-Maaf!"
Napasku membuat Nina gemetaran dan rambutnya pun
jadi berantakan, aku pun langsung meminta maaf.
"Terus kau akan mengajarkan
yang namanya sihir itu?"
"Ya."
"Caranya?"
Diberi pertanyaan yang sama dia tanyakan semalam,
tiba-tiba aku menyadari.....
—Aku sama sekali belum memecahkan permasalahan itu.
Semua yang sudah kulakukan ini hanya agar bisa
menggunakan sihir saja.
"Aku
tidak tahu, aku menyerah."
Aku tersenyum masam, dan Nina pun menatapku dengan
tajam.
"Ada
apa?"
"Dasar
aneh."
Nina mendadak mengalihkan pandangannya begitu dia
menyadari bahwa aku menatap baliknya.
"Kau bilang menyerah, tapi kau
sama sekali tidak terlihat bingung."
"Eh, tidak, aku benar-benar
bingung, kok....."
"Bohooong."
Nina menatapku kembali dan menunjuk mulutku dengan
tersenyum polos.
"Dari semalam kau sudah
menyeringai!"
Saat kusentuh mulutku karena dia mengatakannya,
ternyata wajahku benar-benar tersenyum.
Ya... rasanya memang begitu.
"Aku
senang merasa bingung."
Di kehidupanku sebelumnya tidak ada sihir, jadi mana
mungkin aku tidak kebingunan begini.
Bingung berarti ada masalah.
Ada masalah berarti ada kesempatan untuk melakukan
berbagai percobaan.
Dan itu sangatlah mengagumkan!
"Dasar
aneh."
Pemikiranku ini tidak kuutarakan pada Nina, tapi
sebagian besar dia mampu menebaknya hanya dengan melihat seberapa senangnya
diriku dan mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya.
Eskpresi Nina mendadak jadi serius saat dia
berbalik.
"....
Ada sesuatu yang datang."
Aku penasaran apa persepsinya Nina juga termasuk
sihir? Persepsinya cukup tajam sampai bisa menemukan seekor kelinci yang
bersembunyi di dalam semak-semak.
Walaupun persepsi naga sangatlah tajam ketimbang
manusia, aku hanya bisa menyadarinya sampai mereka hampir datang.
"Kalian....."
Orang-orang yang datang adalah manusia yang pernah
kucoba ajak berbicara beberapa hari lalu.
Kedua pria tersebut adalah orang yang melontarkan
tombak padaku dan seorang gadis yang kutemui saat mendarat tepat di depannya.
Aku bukan tipe orang yang bisa mengingat dengan baik wajah orang-orang, tapi
ingatan naga sungguhlah hebat.
Aku bahkan bisa mengingat wajah-wajah mereka meski
hanya baru sekilas melihatnya.
Dari rupanya, usia para pria tersebut antara 30 dan
40-an. Tubuh mereka kekar, tapi tidak terlalu tinggi. Hanya sedikit lebih
tinggi dari Nina, jadi mungkin sekitar 160 cm lebih?
Mereka tentunya terlihat sebagai seorang prajurit
dengan tombak dan pakaian bulunya, tapi kelihatannya mereka tak berniat
menyerang. Untuk berjaga-jaga, aku menempatkan Nina di belakangku. Aku menatap
mereka untuk melihat apa yang akan mereka perbuat.
Kedua pria tersebut pun mendadak berlutut, membiarkan
si gadis berdiri.
[Menyerahkan.]
Singkat, namun kata tersebut jelas mempunyai artian
tertentu.
Lalu, keduanya pun berdiri dan meninggalkan si gadis
saat mereka berlari menjauh.
"Uhh....."
Ditinggalkan, si gadis pun menengadah padaku sembari
gemetaran.
Gadis tersebut bahkan lebih muda dari Nina. Usianya
sekitar 10 tahunan.
Rambutnya hitam, berkulit kuning, dan fitur wajah
yang sederhana, dia terlihat seperti orang Jepang yang kuketahui.
Walaupun di era ini belum ada pakaian yang rinci,
rambutnya dihiasi dengan bunga dan kalung yang dikenakannya terbuat dari batu
pirus. Tentunya, dia dihiasi karena suatu alasan.
"Bukannya....
ini....."
"Pengorbanan."
Nina mengucapkan dengan keras kata yang kupikirkan.
"Aku
penasaran apa kita bisa mengembalikannya......."
"Meski
aku tidak marah sekalipun....."
Saat itu aku senang bisa melihat manusia untuk kali
pertamanya, tapi kalau dipikir-pikir..... aku turun dari langit dengan api dan raungan
keras dari mulutku.
Tak ada yang bisa kuperbuat kalau mereka berpikir
aku ini marah.
"Jangan
khawatir, aku tidak akan memakanmu."
Aku berbicara pelan-pelan agar bisa menenangkan
gadis yang gemetaran tersebut.
"Namamu.....?"
Oh, dia pasti tidak mempunyainya, ‘kan? Bagaimanapun
juga, mereka masih belum mengembangkan bahasa untuk saling berkomunikasi.
"Benar.
Ai. Mulai hari ini, namamu adalah Ai."
Nama yang pendek dan mudah diucapkan seharusnya bisa
memudahkan anak kecil untuk belajar.
"A-i....."
Ai yang bingung pun berkedip saat aku memanggil
namanya beberapa kali sebelum meniruku dengan canggung.
"Senang
bertemu denganmu, Ai. Kalau kau mau—"
Dengan kemampuanku dan Nina, seharusnya tidak ada
masalah dengan kehidupan sehari-hari kami kalaupun harus mengurus orang lain.
Tapi yang lebih terpenting, pertemuan kami ini
mungkin bisa menjadi hal yang bagus.
"Maukah
kau menjadi murid manusia pertamaku?"
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 05 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia