Chapter 3 – Lonceng Tengah Malam
《Maaf menelepon malam-malam begini,》ada
telepon dari Eina saat malam Sabtu, malam sebelum ulang tahunku, 《Ada
yang mau kubicarakan soal besok.》
"Boleh."
《Pertama-tama, barang yang perlu kamu bawa…》
"Lah, bukannya ponsel saja
cukup?"
《Sekop juga sama pentingnya.》
"Kenapa?"
《Fufufu, ini rahasia. Untuk ketemuannya, sore saja, ya?》
"Boleh, berangkatnya sesudah
makan saja."
《Makan sambil teleponan akan terasa kurang sopan,》kami berdua tertawa, 《Tempatnya… di
Stasiun C saja, ya? Tidak terlalu jauh darimu, ‘kan? 》
"Iya, tapi sekopnya buat
apaan?"
《Sudah kubilang, itu rahasia.》
"Malah jadi tambah
penasaran."
《Kamu juga akan paham bes… Ah, selamat ulang tahun!》
"Eh?" Saat kutengok, jarum
jamnya sudah melewati tengah malam, "Terima kasih."
Baru kali ini aku bicara dengan
seseorang saat ulang tahunku tiba. Biasanya, aku berbaring terlelap di kamarku
sewaktu tanggal berganti.
Dadaku
terasa hangat.
Dengan begitu, aku pun berumur tujuh
belas tahun.
*
Besoknya, ponsel yang kugenggam
berdengung sewaktu berdiri di depan Stasiun C.
"Halo," ucapku pada mikrofon
headset.
《Halo, Shuu-san.》
Jantungku mulai berdegup kencang
sewaktu mendengar suaranya dari earphone.
Aku sudah terbiasa dengan suaranya, tapi mendengarnya langsung lewat telingaku
nampak seolah saling berdempetan.
"… Hei," kutenangkan
diriku supaya suaraku enggak kedengaran gugup dan menyapanya.
Kami pun berangkat dan pergi ke toko
buku terlebih dahulu, lalu memilih tempat yang terkenal, di lantai atas
pasaraya.
"Eina, kau suka baca dongeng,
‘kan?"
《Ya, aku sangat menyukainya!》
"Apa ada yang kau
sarankan?"
《Apa ya, buku yang kusuka yang masih akan dijual dalam
lima tahun…》dia membacakan nama buku gambar dongeng yang terkenal,
《Tapi
kamu sudah membacanya, ‘kan?》
"Mungkin aku sudah membacanya
sewaktu masih kecil. Tapi, mumpung sudah di sini, aku akan membelinya."
《Kalau begitu, apa kamu sendiri punya saran?》
"Mungkin The Door into Summer?" saranku.
《Ah, aku belum pernah membacanya! Baru kali ini aku
mendengarnya,》enggak disangka, 《Di perpustakaan
ada tidak, ya…》
"Pasti ada, soalnya itu cerita
yang terkenal."
Aku heran, kenapa dia enggak
membelinya saja.
《Ah, memang lebih baik untuk membelinya, tapi, eng...
aku tak punya banyak uang yang bisa kugunakan semena-mena…》
"Ah, enggak apa, ‘kan?"
Kondisi tiap orang beda-beda,
sehingga aku enggak bisa tanya lebih jauh.
Kami pun lanjut pergi dan melihat
pakaian.
《Kita pergi ke Proca, yuk!》
Proca adalah deretan butik-butik
fesyen yang sudah menyebar ke seluruh negeri.
Tapi…
"Eh, Proca…?"
Aku memiringkan kepalaku, menanyakan
apa ada Proca di sekitar sini dan segera tersadar, bahwa itu ada di masanya
Eina, bukan di masaku.
"Ahh, agak sulit bilangnya,
tapi di sini enggak ada Proca."
《Eh, tidak ada? Mereka sudah ditutup?!》
"Ya."
《Tidak mungkin… padahal aku mengimpikan pergi ke Proca
untuk membeli sesuatu bersama teman-temanku… 》
"Maaf."
Enggak ada yang bisa kuperbuat
selain merasa iba karena menghancurkan harapannya.
《Tidak apa kok, aku bisa ke kota lain untuk pergi ke
Proca. Tapi… sungguh disayangkan… padahal aku ingin pergi ke Proca bersamamu
dan melihat-lihat pakaian, minum teh di kafe-nya, dan melakukan banyak hal…》
"Ya, sayang sekali… sekarang
mending kita minum teh saja."
Aku agak khawatir kalau kafe
tersebut juga bakalan enggak ada.
Kami pun pergi ke deretan kafe yang
cocok. Kami pergi ke tempat yang sama, tapi namanya sudah berubah. Aku pun
membeli kopi dan duduk di alun-alun terdekat.
"Dalam lima tahun sudah banyak
yang berubah, ya?"
《Semuanya serba berubah, rasanya jadi agak sedih.》
"Ada beberapa hal juga yang
belum berubah, kok."
《Seperti apa?》
"Eng, nama Stasiun C?"
《Perubahan itu mah tidak terlalu berarti.》
"Benar juga."
《Oh, iya. Bicara soal hal yang tidak berubah… Shuu-san, kenapa coba sepatu kaca Cinderella
ketinggalan?》Aku enggak tahu betul apa yang ditanyakannya, jadi aku
enggak sempat menjawabnya, lantas Eina pun menjelaskan, 《Itu karena
mantranya akan patah saat berbunyinya lonceng tengah malam, ‘kan? Cinderella
selalu mengenakan pakaian yang jelek, jadi bukankah sepatu kacanya juga akan
kembali menjadi sepatu biasa?》
Itu memang benar.
"Aku enggak pernah
memikirkannya."
《Aku selalu penasaran soal itu. Firasatku bilang, bahwa
itu bukanlah suatu kebetulan.》
"Mungkin perasaannya si
pangeran menyimpan sihir? Itulah buah pikiran pertamaku yang amat sederhana,
"Dari sudut pandangnya si pangeran, hilangnya Cinderella akan menjadi
suatu tragedi, iya, ‘kan? Satu-satunya orang yang dipikirkannya telah
menghilang, sehingga perasan ingin bertemu lagi dengannya mungkin telah
menjangkau sepatu kaca itu?"
Namun, seusai kumengatakannya, aku
mulai berpikir kalau itu mungkin saja benar-benar terjadi. Maksudku, kalau
pangerannya adalah aku… maka Eina lah yang akan jadi Cinderella-nya.
Kuyakin rasanya menyakitkan. Andai
aku enggak bisa mengirim pesan dan berbicara dengan Eina, aku enggak yakin
bakalan bisa pulih.
《Tak disangka kamu bisa romantis juga, ya?》
"Kecewa?"
《Tidak, malahan sangat bagus. Eng, perasaan pangeran,
ya? Cinderella akan senang bertemu dengan seseorang yang sangat mencintainya.》
Kami keluyuran di sekitaran kota
untuk beberapa saat. Jalan-jalan dan ngobrol sama Eina memang menyenangkan,
tapi akhirnya aku pun kepikiran apa yang akan terjadi kalau kami beneran ketemu…
Kami ketemuan di depan stasiun,
kubilang ‘Hai,’ dan dijawab ‘Hai juga’ olehnya. Lalu kami pun pergi bersama, berkeliling
kota sebentar, dan pergi ke kafe. Eina suka makanan-makanan manis, jadi dia
mungkin memesan parfait atau semacamnya. Mungkin bagusnya pergi ke karaoke
setelah itu. Lagu apa yang akan dinyanyikannya, ya?
Aku ingin pergi ke toko buku dan
membicarakan soal buku-buku yang populer bersamanya. Bukan lewat telepon,
melainkan dengan gadis di hadapanku.
Semua
itu terlalu jauh bagi kita, sih.
《Shuu-san?
Ada apa, kok diam terus.》
Suara Eina menyadarkanku kembali.
Kami datang ke tempat yang tinggi dan melihat pemandangan dari atas sana.
"Ah, maaf, barusan aku
melamun."
《Duh, jangan melamun sendiri, aku jadi merasa kesepian,》dia
berlagak marah, tapi sama sekali enggak menakutkan, 《Nanti tidak akan
kukasih hadiah.》
"… Hadiah?"
《Pengin tahu?》
"Ya… tunggu, gimana
caranya?"
《Fufufu, gali agak dalam di bahwa pohon itu.》
Kuturuti perintahnya dan menggunakan
sekop untuk menggali.
Sekop itu pun membentur sesuatu
dengan suara tung.
Kupindahkan tanahnya ke samping dan
menemukan sesuatu yang tampak seperti kaleng manisan. Kuambil dan kubuka,
lantas kumelihat gantungan ponsel dengan sesosok boneka kecil di dalamnya.
Boneka itu adalah tokoh iblis yang
kuperankan.
"Ini kaubuat sendiri?"
《Iya. Aku ini orangnya kikuk, jadi maaf kalau tak
begitu bagus, tapi…》
Dia seperti bicara sambil nunduk.
Bonekanya agak cacat dan jahitannya kasar. Tapi aku tahu ini adalah hadiah yang
tulus.
"Enggak, aku sangat senang,
kok. Terima kasih, aku akan menjaganya."
《Ehehe.》
Ada
jarak lima tahun di antara kami. Tapi biarpun begitu, kami masih hidup di planet
yang sama.
2
"Shuu-kun, gantungannya lucu, ya?"
Sudah sekitar seminggu berlalu. Di
hari Jumat ini aku sedang duduk sambil membaca dengan lamban, menunggu para pendaftar
baru yang enggak akan kunjung datang. Di hadapanku, ada Ruka-senpai yang lagi belajar.
Sudah sekitar satu jam kami berada
di sini. Tiba-tiba, dia melihat ponselku yang ada di atas meja, dan
menanyakannya.
"Itu hadiah, dari Eina."
"Maksudmu si penulis itu? Aku
mengangguk, "Kamu sering ketemu dengannya?"
Dia meletakkan pensilnya dan
mencondongkan diri ke depan, benar-benar dalam mode gosip. Kuletakkan bukuku
dan menatapnya.
"Sebenarnya, kami belum pernah
betemu."
"Lah, terus bagaimana bisa kamu
mengenalnya? Lewat media sosial?"
"Ya, semacam itulah," akuku.
"Aduh, anak zaman sekarang
memang pada hebat, ya. Si Tante ini sampe terkejut banget."
"Apanya yang ‘si tante ini’,
kamu cuman setahun lebih tua dariku!"
"Ahaha. Cuman bercanda, kok…
pernah kepikiran pengin bertemu dengannya? Soalnya kau terlihat akrab
dengannya, jadi bukannya akan lebih menyenangkan kalau bisa bicara langsung?
"Karena suatu alasan, kami…
enggak bisa bertemu."
"Jadi intinya, kamu pengin bertemu."
"Eh?"
Dia memperdayaiku, bagaimana bisa
dia mengetahuinya?
"Kalau tidak, kamu tidak akan
bilang enggak bisa bertemu,
‘kan?" Dia tersenyum lembut.
"… Ya, kalau bisa, aku memang
ingin bertemu dengannya."
Sebenarnya, kami sudah mencobanya,
namun enggak bisa.
Sebelum sempat bertanya, dia
memiringkan kepalanya dengan suara penuh pertimbangan.
"Shuu-kun, kau menyukainya, ‘kan?"
Dia bicara begitu saja, seolah hanya
melanjutkan percakapannya.
Tapi pas aku mendengar perkataannya,
hatiku terasa membeku.
Apa
aku…. suka ama Eina…?
Begitu aku memikirkannya, aku sadar
akan segala sesuatu mengenai dirinya, dan pikiranku pun langsung kosong.
Sepatah kata pun enggak bisa kuucapkan. Ruka-senpai menatapku dengan geli, lalu menghela napas kecil.
"Begitu ya, jadi aku kalah ama
orang yang belum pernah kautemui."
"… Kalah?" Aku berusaha
mengatakan sesuatu, namun aku enggak bisa memahami makna dibalik perkataannya
itu.
"Tidak usah merisaukannya, aku
hanya berbicara sendiri. Hei, kalau kau menyukainya, kau harus menemuinya dan
ungkapkan perasaanmu. Kalau tidak, kau pasti akan menyesalinya."
"Ada banyak alasan mengapa kami
enggak bisa bertemu."
"Tapi kau menyukainya,
‘kan?"
"… Ya," akuku.
Kurasa akan menyenangkan bila dia
ada di sisiku sewaktu aku tengah mempersiapkan festival budaya. Sewaktu kami
mengobrol di hari ulang tahunku, aku sungguh ingin dia berada di sampingku, dan
sewaktu aku menerima hadiahku, aku sungguh ingin dia memberikannya padaku
secara langsung. Pasti aku berpikir begitu karena aku memang menyukainya.
"Kamu pengin memastikan siapa
dia sebenarnya, ‘kan?"
"… Ya," ucapku lagi, usai
terhenti lama kali ini.
"Kalau begitu, Senpai-mu yang
baik ini aka membantumu. Jadi, apa alasannya?"
"Jangan ketawa, ya? Aku… akan
mengatakan sesuatu yang kedengarannya sulit dipercaya," Aku menyerah dan
akan memberitahukan semuanya. Mungkin aku sudah kehilangan penilaian normalku,
tapi dorongan hati adalah suatu bagian penting dari kehidupan,
"Sebenarnya, Eina bukan berasal dari masa sekarang, dia berasal dari lima
tahun silam. Aku enggak tahu bagaimana caranya, tapi ponselku terhubung ke masa
tersebut dan aku bisa berbicara dengannya."
Tampangnya sedikit terkejut usai
mendengar perkataanku, mulutnya sedikit menganga dan pikirannya nampak
terhenti.
"Maaf, bisa kaukatakan sekali
lagi?"
"Akan kukatakan berulang-ulang,
Eina hidup di masa lalu. Aku hidup di masa kini, jadi kami enggak bisa
bertemu."
"Aku hanya ingin memastikannya
saja, tapi itu bukan hanya sekedar alasan yang kau berikan padaku, iya,
‘kan?"
"Tuh ‘kan, kamu enggak
percaya."
"Oi, jangan merajuk begitu. Memangnya
siapa orang yang akan langsung percaya! Ah! Bukan berarti aku tak memercayaimu,
biar kupikir sebentar," ujarnya, dan melipatkan tangannya. "… Yah,
kurasa itu memang sesuai. Kau menyembunyikan kebenaran soal Eina karena
kaupikir takkan ada yang memercayaimu sekali pun kau mengatakannya?"
"Itu benar."
"Oke. Aku memercayaimu. Lagian
kamu ini bukan orang yang suka mengada-ngada," ujarnya dan tersenyum
padaku, dan rasanya seperti beban di punggungku telah diangkat, "Terus,
kenapa kau tidak bisa bertemu dengannya sekarang? Meskipun itu artinya membuat
dia menunggu selama lima tahun."
"Itu karena Eina enggak mau
bertemu denganku di lima tahun dari masanya, dia enggak ingin tahu masa
depannya."
"Eng, aku jadi pengin tahu apa
yang terjadi padaku di masa depan."
"Eina orangnya pesimis, jadi
dia pikir masa depannya mungkin lebih buruk dan takut mengetahuinya. Dia pikir
aku enggak bakalan menyembunyikannya bilamana ada suatu hal yang buruk
menimpanya, jadi dia minta untuk enggak bertemu."
"Jadi, begitu."
Angguknya.
"Jadi, aku benar-benar
menghargainya, tapi…."
"Tapi kau pengin bertemu
dengannya, ‘kan?"
"Benar."
"Kalau begitu, tujuan kita
adalah untuk mengetahui siapa Eina tanpa sepengetahuannya, dan pergi
menemuinya," lalu dia merosotkan diri, "Tapi bagaimana caranya?'
"Aku juga enggak tahu."
"Kita butuh bantuan."
Aku hanya tahu seorang yang punya
pengetahuan mengenai hal-hal itu. Andalan Klub Surat Kabar, Sakai. Dia ahli
dalam mengumpulkan informasi, jadi dia pasti bisa menemukannya.
3
"Menemukan seseorang? Serahkan
saja padaku," angguk Sakai begitu kami menjelaskan padanya di ruang
klub-nya, "Tapi ada syaratnya, aku mau mencetak hasil interviu dengan
Eina-chan."
"Eh, aku enggak bisa
menyetujuinya tanpa seizin orangnya."
"Itu mustahil, ‘kan? soalnya
kami lagi mencari dia tanpa sepengetahuannya," Ruka-senpai membantuku.
Sebelum melanjutkan, Sakai sempat
terhenti sejenak untuk berpikir.
"Kalau begitu, kau harus janji
padaku untuk membujuknya. Tentu saja, aku tak mau kau terlalu memakasanya, dia
tidak usah memberikan gambar, cukup interviu saja, kok. Bagaimanapun juga, dia
sangat terkenal, debut pekerjaannya menimbulkan desas-desus di sekolah dan
sandiwaranya membuat festival budaya jadi sukses! Kalau kami bisa menginterviunya
secara khusus, kami akan dikenal di seluruh dunia!"
Saking semangatnya mulut Sakai sampe
hampir berbusa dan aku merasa enggak berdaya. Interviu mah tergantung Eina
sendiri, jadi…
"Shuu-kun, setujui saja untuk saat ini," Ruka-senpai tersenyum kaku padaku, "Kau ini orangnya terlalu
serius, jadi kau mungkin merisaukannya."
"Oke, aku akan mencoba
membujuknya."
"Nah, mumpung sudah sepakat,
mari kita mulai," Sakai menaruh tablet di atas meja, "Eina bisa pake
internet, ‘kan?"
"Iya, kayaknya."
"Kalo begitu, coba kita cari di
Twitter."
Aku terkejut karena enggak kepikiran
sama sekali. Aku kebelet pengin bertemu dengannya, tapi aku sendiri enggak
pernah memikirkan banyak hal.
Sakai memasukkan kata ‘Eina’ pada
kolom pencarian dan sekitar sepuluh akun pun muncul di layar.
"Huh, ada banyak juga," gumam
Ruka-senpai dengan heran.
"Sekitar setengahnya kira-kira
adalah orang asing, jadi mungkin salah satu dari kedua itu," selagi
berbicara, Sakai membuka tab baru
untuk melihat lini masa keduanya, "Gimana? Ada yang kaukenali? Atau apa
pun yang cocok dengan yang dikatakannya?"
"Ah!" Aku menunjuk pada
yang satunya, "Bisa jadi yang ini. Soalnya dia menulis tentang minggu
kemarin."
Eina@eina002
Aku
akan pergi bersama S-san besok.
Eina@eina002
Aku
sudah menyiapkan hadiah untuknya.
Eina@eina002
Akusangatgugup!
"S-san itu kau?"
"Bisa jadi…."
Kugulirkan lagi sedikit ke bawah.
Eina@eina002
Aku
tidak bisa… menulis naskahnya… berakhir su dah.
Eina@eina002
S-san memujiku karena naskahnya! Aku
senang sekali!
Eina@eina002
Aku
melihat dramanya! S-san keren sekali!
"Eina-chan manis ‘kali."
"Aku sedikit cemburu."
Ujar Sakai dan Ruka-senpai yang ada di sampingku, dan aku
juga tahu mukaku sudah memerah.
"Yang jelas, kemungkinan besar
ini akun miliknya. Selanjutnya gimana?"
Tanyaku sembari berlagak tenang.
"Kita teliti tweet-nya dan cari informasi
pribadinya," Sakai menggulirkan layarnya ke samping dengan jarinya, "Oh,
dia juga menggunakan blog biasa, coba kita lihat."
Dia membukanya pada window terpisah dan beberapa entri yang
lebih detail ketimbang tweet di
tampilkan di layar.
"Bergembiralah, Yagi. Eina-chan benar-benar awam internet."
"Kenapa juga aku harus
gembira?" Aku makin gelisah.
"Ini kabar baik untuk bisa
menemukannya. Misalnya, coba lihat gambar ini…" dia memperluas gambar
pohon sakura, itu adalah gambar yang indah, pohon yang mekar penuh dengan bunga
merah muda, "Masih ada data GPS pada gambarnya. Dan judulnya ‘Jepretan
dari dekat rumah’. Kita jadi bisa tahu bahwa dia tinggal dekat pohon sakura
itu. Alamatnya di…" Dia menarik lokasinya di peta, letaknya satu stasiun
dari Stasiun C, dan sepertinya agak di pedalaman.
"Jadi ‘gini caranya penguntit
mencari seseorang…" Ruka-senpai
menjauh darinya.
"Hei, Ruka-senpai! Aku tidak menyalahgunakan ini! Iya, ‘kan, Yagi?"
"Maaf, aku juga sependapat
dengannya."
"Kejamnya! Kalau begitu, kau juga
sama."
"Shuu-kun mah beda! Mereka sedang jatuh cinta!"
"Kuh… apa-apaan diskriminasi
ini?! Sakai menggertakkan giginya. "Ini takkan menghentikanku… ini semua demi
interviu dengan Eina-chan…!"
Dia benar-benar berusaha keras, dan
kuputuskan juga untuk berusaha sekeras mungkin supaya Eina bersedia di
interviu.
"Ada banyak foto, ayo kita
telaahi tweet-tweet-nya… Oh, pekan
olahraga SD? Hanya ada satu sekolah yang ada pekan olahraganya, jadi… oh! Dia
mengunggah gambar dari jendela!!" untuk sementara Sakai tak mengindahkan
kami, terlena sendiri pada internet, lalu…
"Mungkin di sinilah tempat
tinggalnya," tunjuknya pada suatu rumah pada aplikasi street view. Butuh sekitar setengah jam untuk sampai ke sana, kita
mungkin bisa memeriksanya. "Rasanya itu kayak rumah Keluarga Yokota. Lima
tahun yang lalu, mereka punya anak SMP dan SD. Kalo sekarang mah aku tidak
tahu, sih. Eina-chan tidak punya
postingan-postingan apa pun semenjak Oktober lima tahun yang lalu, jadi aku
tidak bisa mempersempitnya lagi. Mungkin dia punya rutinitas yang lebih baik
setelah itu."
"Ini… rumahnya Eina…" Aku
gemetar saat melihat foto itu, "Terima kasih. Enggak disangka kau akan
menemukannya secepat ini."
"Aku pengin jadi seorang
jurnalis, jadi hal segini mah cuman masalah sepele," ujarnya dengan
bangga.
"Hati-hati aja supaya jangan
sampe terbunuh kalau kauikut campur terlalu dalam pada beberapa kasus korupsi
politisi…"
"Aku akan senang bisa terlibat
dalam sesuatu yang sangat besar!"
Ruka-senpai sepertinya benar-benar khawatir, tapi Sakai menepis
kekhawatirannya dengan keberhasilan.
"Jadi, selanjutnya
ngapain?" tanyaku.
"Kita pergi dan periksa. Lagian
kita tak melakukan sesuatu yang salah."
Pungkas Sakai dengan percaya diri.
Enggak,
tadi kita sudah berbuat salah, pikirku dengan cemas.
4
Besoknya, kami bertiga pun pergi ke
kediaman Yokota.
Aku membeli beberapa manisan di
depan Stasiun C.
"Kau ini beli apaan, sih?"
tanya Sakai.
"Eina suka yang manis-manis,
jadinya aku beli dorayaki." jawabku.
"Kau ini benar-benar
mencintainya," ujar Ruka-senpai,
dan pipiku memerah.
Kami turun dari kereta di stasiun
berikutnya dan berjalan selama lima menit menyusuri daerah pinggiran kota yang
sunyi sebelum tiba di kediaman Yokota.
Kuberdiri di hadapan interkom dan
mengambil napas dalam-dalam.
Ruka-senpai dan Sakai melangkah mundur dan menungguku, enggak mendesakku
untuk menekan tombol.
Pelan-pelan, kujulurkan jariku pada
tombol itu.
Rupanya
seperti apa, ya?
Bentuk
alisnya kayak gimana?
Apa
warna matanya?
Kulitnya
pucat atau kecokelatan?
Dia
tinggi atau pendek?
Seberapa
panjang rambutnya?
Apa
warna rambutnya?
Dia
selalu tersenyum, senyumannya kayak gimana?
Kutekan tombolnya.
Suara yang terdengar nyaman pun
terdengar.
《Ya?》
Terdengar jawaban dari seorang
wanita dewasa.
"Apa di sini ada yang bernama
Eina-san."
《Eina…?》
Wanita itu nampak bingung.
Apa enggak ada gunanya usai
mengusutnya? Dia mungkin enggak memberitahu keluarganya nama yang dia gunakan.
Atau
apa kita mengunjungi tempat yang salah?
Bisa
jadi dia sudah pindah karena lima tahun sudah berlalu.
《Apa dia menulis cerita?》
"Ya, benar!"
Aku mencondongkan diri ke depan.
Akan tetapi, pengeras suara tersebut
senyap. 《Maaf, tapi dia tidak ada di sini.》
"Tidak ada? Apa dia
pindah?"
《Eng, tunggu sebentar.》
Pengeras suara tersebut berdengung
saat dimatikan, dan setelah beberap saat, seorang wanita keluar. Dia terlihat
berumur dua puluhan. Tatapannya tajam, dan dia nampak seperti wanita yang agak
dingin.
Dia sedikit membungkuk.
"Aku sepupunya Eina. Senang
bisa bertemu dengan teman-temannya."
"Senang bertemu denganmu
juga."
Kusapa balik, bertanya-tanya pada
diri sendiri apa ini sepupu yang sudah menindasnya itu.
"Mari kita bicara di
dalam."
Dia mengajak kami masuk, dan kami
bertiga pun memasuki rumahnya, dia mengantarkan kami ke ruang tamu dan kami pun
duduk di sofa.
"Terus terang saja, sebenarnya
Eina sudah meninggal."
Apa yang dia…?
Kucoba untuk bertanya padanya, tapi
yang keluar hanyalah suara pertanyaan yang tersendat.
Tenggorokanku tersumbat karena
terkejut, sehingga aku enggak bisa bicara.
"Eina mendaki bukit yang ada di
belakang rumah kami sewaktu terjadi badai lima tahun lalu dan tak kunjung
kembali. Dia masih hilang. Karena sudah lima tahun berlalu, mungkin sudah tidak
ada harapan lagi, sehingga kami pun menyerah," ucap sepupunya dengan
tampang serius.
Aku hanya terperanjat, menatap
wajahnya.
"Kalau dipikir-pikir lagi,
kurasa aku sudah berbuat hal yang mestinya tak kulakukan. Aku selalu
memperlakukannya dengan buruk… tapi dia hanya selalu mengurung diri di
kamarnya, dan hanya menggunakan barang-barang orang lain. Lalu ada juga perselisihan
dengan mama dan papa, dan kekhawatirannya…"
Dia mulai menangis selagi bicara.
Ruka-senpai berkata sesuatu padanya, dan Sakai memberikan tanggapan
juga.
Kumenyaksikan semua ini dengan
bingung, suara mereka kedengaran jauh.
Hanya satu ucapan yang terulang di
kepalaku.
Eina sudah meninggal.
Meninggal…
Meninggal!
《Tapi
aku takut. Takut mengetahui masa depanku. Maksudku… Bagaimana kalau aku mati
setelah lima tahun?》
Kuteringat kata-kata Eina.
"Itu pasti salah…"
kata-kata tersebut langsung keluar dari mulutku. "Itu pasti salah…!!"
Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 3 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
1 komentar:
wooo, makin seru. next
Reply