Chapter 1 – Eina
Ponselku yang berada di atas meja berdengung. Kujatuhkan tatapanku untuk
melihatnya, dan terpampang ‘Kau mempunyai satu pesan baru’ pada layar. Itu
adalah text chat dari aplikasi di
jejaring sosial. Kuketuk layarnya, dan membuka pesannya.
Eina : 4
September. Cuacanya cerah. Aku menumpahkan jus dan menodai karpetnya. Gawat nih,
aku harus menyembunyikannya....
Rupanya, pesan tersebut dikirim oleh
‘Eina’. Aku enggak tahu sama nama itu. Kau bisa memasang namamu sesuai yang kau
inginkan, tapi aku enggak punya kenalan yang akan menggunakan nama sebagus itu.
"Pesan spam, ya?" Gumamku
dengan pelan. Rasanya agak aneh, nih.
Biasanya pesan spam itu bakalan seperti ‘Anda memenangkan sepuluh miliar yen!
Anda dapat menerimanya di sini→’ dan berjuntaian uang ada di hadapan Anda. Atau
akun dengan nama perempuan akan mengirimkan sesuatu dengan kata-kata ‘Aku
bersenang-senang di karaoke kemarin’, menggodamu buat membalas sebelum dengan
cermat dibujuk untuk mendaftar ke situs kencan, dan membayar biaya pendaftaran
yang enggak masuk akal.
Tapi apa-apaan dengan yang ‘4
September. Cuacanya cerah’ ini? Bukannya ini mah sesuatu yang kau masukkan ke
dalam buku harian?
Vzzzt.
Pesan kedua pun tiba selagi aku memerhatikannya.
Eina : Menutupinya
berhasil! Tetehku tidak menyadarinya, horre!
Lagi, itu kayak catatan buku harian.
Apa yang diinginkannya dariku?
Eina : Aku
menemukan cara untuk menghilangkan noda di internet! Akan kucoba besok, ah♪ waktunya buat tidur, zzz.
Aku juga memutuskan untuk segera
tidur, bagaimanapun juga besok sekolah.
*
Besoknya, aku seperti biasa berada
di ruang Klub Literatur sehabis sekolah. Pintunya dibuka lebar supaya
memudahkan yang mau mendaftar atau pendatang masuk. Enggak terlihat ada yang
minat, sih.
Enggak ada yang bisa kuperbuat soal
itu.
Lalu tiba-tiba, aku teringat soal
pesan spam kemarin. Kulihat ponselku, dan ada banyak pesan dari akun yang sama.
Tiga pesan sekaligus, dan semuanya itu saat sore.
Eina : Ujian
Kanji Bahasa Jepang. Pelajaran yang mudah♪.
Eina : Kami berlari di Pelajaran Olahraga. Aku
tidak mengerti mengapa mereka harus tetap memeringkatkannya. Memangnya tidak
bisa ya, membiarkan orang-orang yang sudah menyelesaikannya merasa senang bahwa
itu sudah beres?
Eina : Aku
melihat beberapa gadis yang bertengkar di pintu masuk. Aku bukan bagian dari
kelompok mana pun, jadi aku hanya pergi begitu saja. Aku tidak ingin terlibat.
Aku agak memahami status si pengirim
ini. Pertama, ia ini seorang gadis. Avatar-nya adalah sepatu kaca yang seperti
di Cinderella, dan nama Eina juga
kelihatan feminim. Usianya mungkin sekitaran anak SMP atau SMA.
Ia mahir dalam pelajaran Bahasa
Jepang, dan kurang mahir dalam Pelajaran Olahraga. Ia juga enggak masuk
kelompok mana pun, jadi mungkin bukan tipe orang yang suka berkelompok.
Di benakku, aku samar-samar mulai
menggambarkan gadis yang disebut Eina itu.
Di saat yang sama, aku pun
merenungkan apa yang enggak kuketahui. Seperti berapa tingginya? Seberapa
panjang rambutnya? Apa ia mempunyai lipatan kelopak mata ganda atau malah tidak
punya lipatan?
Aku ingin melihat ekspresinya kalau
kubalas, tapi bagian diriku yang berpikiran tenang membuatku urung untuk
membalasnya.
Dari awal aku enggak tahu apa ia itu
beneran seorang gadis. Bisa saja om-om yang berpura-pura. Kau pernah dengar hal
semacam itu, om-om yang berpura-pura jadi wanita yang mau menerima lelaki.
Kalau kubalas, nanti bakalan jadi ‘gimana.....
"Klub Literatur, aku
masuk."
Kumendongak saat mendengarnya.
Seseorang yang enggak kuharapkan tengah berjalan masuk, seorang gadis dari
angkatanku.
Kulitnya putih, hidung halus, dan
rambut panjang yang mengkilap. Sosoknya juga mengagumkan. Penampilannya lumayan
bagus hingga ia bisa membayangi kata ‘cantik’ itu sendiri.
Namanya adalah Minekawa Yukino,
Ketua OSIS sekolah kami.
"Ketua? Tumben, apa
jangan-jangan ada yang mau daftar?"
Rasanya suaraku agak heboh, tapi
sama sekali bukan karena ketua cantik. Klub Literatur saat ini sedang mencari
anggota baru. Sekarang sudah bulan September, jadi sudah bukan musimnya, tapi
klub kami belum mempunyai satu pendaftar pun semenjak April, jadinya kami masih
mencari anggota baru.
Hanya aku sajalah kelas dua saat
ini, sehingga masa depan kami terancam. Sebentar lagi aku harus fokus untuk
menghadapi ujian universitas, jadi aku juga harus meninggalkan klub.
Tentunya, bilamana kami enggak
mendapatkan anggota baru yang bergabung di tahun ini, aku sudah memutuskan akan
menarik lebih banyak orang tahun depan, tapi aku masih akan bersyukur kalau
bisa lebih cepat mendapatkan anggota yang banyak.
"Tentu saja bukan, mana ada kelas
dua yang baru mau bergabung di sepanjang tahun ini."
Namun, ketua mengerutkan alisnya
hingga merengut dan menyangkalku dengan ketus.
Di saat dia membuka mulutnya, dia menunjukkan
intimidasi ketua-iblisnya. Cara bicaranya yang terus terang membuatmu merasa
sedang berbicara dengan senior atau guru.
"Meski kelas dua juga aku enggak
keberatan, kok? Sekarang ini, aku akan menerima siapa pun." Aku mencoba
untuk tetap teguh, dengan senyuman lara di wajahku. Dia bukannya kasar atau apa,
hanya berkata apa adanya saja. Setengah tahun yang kami habiskan sebagai teman sekelas
membuatku tahu banyak hal. "Kau juga suka buku, ‘kan? Kalau begitu,
kegiatan kami bakalan coc—"
"Aku tak punya waktu untuk
oborolan yang tak ada gunanya, jadi aku akan langsung ke intinya saja,"
Sela ketua yang menyela perkataanku dengan dingin. Lalu, mengatakan sesuatu
yang mengejutkan dan tak bisa dipahami, "Kemas segera barang-barangmu dan
angkat kaki dari sini."
"Hah?"
"Hasil rapat OSIS baru-baru ini
memutuskan untuk mengambil kembali ruangan ini dari Klub Literatur."
"Seenaknya sekali!"
"Ada banyak hal yang akan ada
gunanya di ruangan klub. Ketimbang memberikan ruangan pada klub sepertimu yang
nyatanya tak berbuat apa pun, kami memutuskan bahwa akan lebih baik untuk
memberikan ruangan pada klub yang mempunyai banyak anggota dan benar-benar akan
melakukan berbagai hal. Penasehatmu juga sudah menyetujuinya."
"Oi, tunggu sebentar, kami juga
melakukan banyak hal, kok. Sekarang aja aku sedang mencari anggota baru."
"Kau hanya duduk di sana
saja."
"Yah, hari ini enggak ada yang
berkunjung."
Aku mencoba membuatnya agar terlihat
seperti memang kebetulan enggak ada yang berkunjung hari ini. Sejujurnya, sudah
enggak ada yang datang semenjak liburan musim panas terakhir. Tapi saat ini, kurasa
aku hanya bisa menggertak. Mengingat kemalangan kami yang sedang mencari
anggota baru, maka itu semua bakalan berakhir kalau kami juga kehilangan
ruangan klub.
"Hmm. Meski kau kelihatan kehilangan
buku untuk menyambut anggota baru?"
"Ah, itu...."
Itu ‘ngena banget. Tiap tahunnya, Klub Literatur mempublikasikan sebuah
antologi yang mereka sebut ‘Edisi Menyambut Anggota Baru’ tapi kami belum
membuatnya tahun ini. Enggak ada naskah apa pun.
Alasannya sederhana.
Aku enggak bisa menulisnya.
Dengan enggak adanya kelas tiga dan kelas satu yang bergabung, hanya
menyisakan aku seorang yang melakukan kegiatan. Dan karena aku enggak bisa
menulis naskah, jadi mana mungkin aku bisa mempublikasikan buku itu.
"Kau juga belum mempublikasikan
apa pun sebelum liburan, apa kau masih bisa menyebut itu melakukan kegiatan
klub?" Aku enggak bisa menimpalinya. Ketua sudah menyimpulkannya, dia
datang karena memahami semua keadaannya. Kami sudah enggak punya alasan apa pun
lagi. "Sekarang cepat kemasi barang-barangmu. Kalau kau meninggalkan
barang-barang yang tak kau inginkan, OSIS akan membuangnya."
Dia membeberkan pernyataannya tanpa
mengernyitkan alisnya sekali pun. Aku berdiri dalam dilema.
Tapi aku juga punya alasan
tersendiri.
Ruang
klub ini sangat berarti bagiku. Aku datang ke mari tiap hari semenjak April
saat kelas satu.
Selain itu, para alumni dan seniorku
mempunyai kenangan-kenangan yang mengisi tempat ini juga.....
Aku enggak boleh membiarkan kami sampai
diusir.
"Melakukannya secara tiba-tiba
itu keterlaluan," Aku mencoba melawan semampuku, "Ada barang-barang
yang ditinggalkan anak-anak kelas dua dan tiga, jadi kami enggak tahu apa yang
harus dibuang, beri aku sedikit waktu lagi."
"Yah, kurasa ada benarnya juga."
Angguknya.
Aku mengangkat tinju kemenangan
dalam hati.
Beginilah strategiku. Akan ada
festival budaya di awal Oktober. Itu adalah tradisi untuk mempublikasikan edisi
buat festival budaya, tapi itu membuatku bisa mendapatkan catatan. Aku
berencana untuk mendapatkannya dari kelas tiga yang sudah meninggalkan klub supaya
memberikan catatan untuk masa-masa terakhir kehidupan pelajar mereka. Kalau aku
bisa mempublikasikan buku, mereka enggak bakalan bisa lagi mengatakan klub yang
enggak melakukan apa pun.
"Kalau begitu, bisa kau
melakukannya dalam dua minggu? Kalau kita membersihkan ruangannya dengan
sungguh-sungguh sebelum festival budaya dimulai, maka takkan ada masalah."
"Eh....."
Aku enggak bisa
berkata apa pun. Itu adalah waktu terburuk buatku. Apa dia sengaja
melakukannya.....?
Namun, dia memintaku dengan ekspresi
sungguh-sungguh, bukan dengan senyuman jahat. Dia memang ketat, tapi bukan tipe
yang membuat orang lain menderita.
"Bukannya dua minggu mah kecepetan?"
"Lah? Kurasa kau akan mulai
menghubungi mereka hari ini, kau bisa menyelesaikannya tepat waktu dengan
mudah. Kau hanya tinggal memposkan barang-barangnya."
"Ah, tapi, um....."
"Ah, jangan khawatirkan soal
biaya pengirimannya, kami akan menanggung setengah dari biayanya. Karena
ruangannya diambil secara sepihak darimu, setidaknya kami bisa mengakomodasinya
sebanyak itu."
"Pokoknya begitulah, jadi
tolong lakukan."
Sesudah memberitahuku segala sesuatu
yang penting, ketua berbalik, dan dengan langkah teguhnya yang ringan dia
meninggalkan ruangan dengan senang, sedangkan aku hanya bisa ambruk di meja.
....... 2
Aku sudah mencoba menulis novel
sendiri. Itulah alasan awalku bergabung dengan klub, aku sudah menghabiskan banyak
waktu untuk membaca dan menikmati novel, aku ingin menulisnya sendiri.
Akan tetapi, tiap kali aku
memutuskan untuk menulis sesuatu dan duduk di hadapan laman kosong atau layar
komputer, aku enggak bisa menulis satu huruf pun.
Lalu kumulai membaca lusinan buku
seperti Cara Menulis Novel! Tapi itu enggak
membantu. Aku mencoba melakukan apa yang disarankan buku, tapi enggak ada yang
membantu.
Mungkin ada orang-orang yang
menanyakan apa yang dilakukan orang sepertiku ini di klub, karena aku bahkan enggak
bisa menulis. Beberapa teman sekelasku sebenarnya ada yang menanyakan itu.
Secara kasarnya
mah, pekerjaanku ini mengerjakan banyak hal ketimbang sekedar menulis saja.
Contohnya, aku membaca naskah-naskah yang sudah diajukan dan menunjukkan
persoalan-perosalan mengenai bahasa dan plot-nya, dan tergantung keadaan juga,
aku pun mempertimbangkan cara untuk meningkatkan banyak hal bersama si penulis,
dan membantu mencari bahan-bahan.
Jadi singkatnya mah, pekerjaanku ini
untuk membuat tempat yang bisa membuat para kreator makin mahir.
Kedengarannya memang lebih keren,
tapi tanpa adanya pengajuan, enggak ada yang bisa kulakukan.
Tanpa bisa menulis sepatah kata pun
dan enggak adanya yang mendaftar, hari pun akhirnya berakhir seperti biasanya. Aku
sudah membuka buku catatan dan berusaha mencari ide, tapi itu pun enggak
membantu.
Ponsel di sakuku bergetar selagi aku
berada di tengah-tengah kekecewaanku saat sedang berjalan pulang.
Eina : Aku punya
senjata untuk melawan noda. Aku akan menang sekarang!
"Kelihatannya dia lagi
bersenang-senang," Aku menghela napas. Tapi kemudian aku melihat pesan
berikutnya, dan mengatupkan hatiku.
Eina : Semuanya
sudah berakhir. Aku ingin mati.
Aku terkejut karena tipisnya antara
kegembiraan dan kurangnya gairah yang muncul hingga sekarang.
Mati?
Mengapa?
Pesan-pesan itu pun terhenti di
sana. Sesampainya di rumah, aku makan malam, lalu pergi ke kamarku, dan masih
belum ada lagi pesan.
Harusnya enggak aneh buat seorang
gadis yang di masa remaja sepertinya mengirim pesan dalam kurun waktu tersebut.
Mungkinkah dia menyerah karena aku enggak
membalas?
Atau apa dia beneran mati?
Atau mungkin..... dia lagi
bersiap-siap.....
Shuu : Jangan
mati.
Aku
enggak bermaksud melakukannya.
Aku membalas dan sadar kalau ini
sendiri adalah cara yang digunakan oleh seorang penipu. Mereka akan mengirim
beberapa pesan menggembirakan, lalu tiba-tiba beralih ke sesuatu yang berat....
Indikasi tersebut akan membuat
penasaran apa yang telah terjadi dan dengan wajar membalasnya....
Tapi sekarang sudah sangat
terlambat.
Aku
akan menerima nasibku.
Kucoba mengirim pesan lainnya.
Shuu : Kau enggak boleh mati. Apa terjadi sesuatu? Aku akan memberimu saran.
Sudah kubalas sekali, dan kini aku
mulai terlibat makin jauh. Kurasa, bisa dibilang ini meneladani pepatah ‘untuk
satu sen, untuk satu pond’ mungkin?
Selain itu, aku juga penasaran spam
macam apa ini, jadi ini bakalan berhasil.
Eina : Eh, ini
siapa?
Dia langsung membalasnya. Sekarang
buat penipuannya.
Eina :
Seharusnya tidak ada komentar di aplikasi buku harian ini.
Tapi aku benar-benar kurang paham
dengan apa yang dimaksudnya.
Shu : Buku
harian? Ini mah aplikasi chat, ‘kan?
Eina : Aku
memakainya sebagai aplikasi buku harian, sih.... jadi, bukan ya? Umm, apa
selama ini kau menerima pesan-pesan itu?
Shuu : Y-yah.
Eina :
Ma-Maafkan aku karena mengganggumu!
Aku langsung bisa melihat seorang
gadis yang meminta maaf menundukkan kepalanya dengan panik. Dia kelihatannya
aktor yang bagus.
Shuu : Eh, enggak
apa-apa, kok. Jadi, kenapa kau ingin mati?
Kuputuskan untuk meneruskannya,
berbicara dengan seorang gadis yang ingin bunuh diri, setidaknya seperti itulah
pengaturannya. Lalu aku pun menunggu balasan, pasti alasannya akan serupa
seperti anak gadis yang ditolak.
Lalu.....
Eina : Aku tak
bisa menemukan alasan untuk tetap hidup.
Alasan.... untuk hidup.....?
Ini pesan spam yang amat filosofis.
Eina : Hidup teh
menyakitkan, tak ada alasan yang meyakinkan buat hidup, jadi kurasa mending
mati saja.
Shuu : Tapi ada
banyak hal juga yang menyenangkan, bukan?
Eina : Tak ada sama sekali. Kurasa, membaca memang
sedikit menyenangkan tapi.... masih ada banyak lagi rasa sakit.
Shuu : Tapi
kalau kau mati, orang-orang akan merasa sedih, seperti teman dan
keluargamu.....
Eina : Mereka,
takkan sedih sama sekali.
Napasku tersendat ditenggorokanku.
Aku bisa merasakan kesepian dari kata-katanya.
Mungkin aku sudah menyinggungnya,
aku enggak kenal sama gadis yang menyebut dirinya Eina ini, atau situasinya,
jadi aku enggak boleh bicara sembarangan.
Aku berpikir begitu dan tersenyum erat.
Kurasa aku sudah mendapat kesan bahwa dia ini memang seorang gadis.
Dengar
Shuu, ini cuman salah satu akal-akalan mereka aja. Bagian diriku yang
berpikiran tenang mendesakku. Tapi bagaimana kalau satu dari sejuta peluang itu
benar, dan memang ada seorang gadis yang mempertimbangkan untuk bunuh diri?
Haruskah aku berbuat sesuatu?
Enggak
masalah kalau aku kena tipu juga.
Kalau itu enggak benar, yah enggak
apa. Kalau ini lelucon pun, juga enggak apa. Tertawakan saja aku sesukamu.
Pokoknya, aku memutuskan untuk terus
menganggap Eina adalah seorang gadis biasa yang berisiko melakukan bunuh diri.
Shuu : Kalau kau
mati dan berubah pikiran, kau enggak akan bisa kembali, apa kau yakin?
Tapi apa yang terpikirkan itu
menyedihkan dan aku sedikit merosotkan tubuhku. Aku ragu kata-kata yang dangkal
itu akan menghentikan seseorang yang sedang berpikir untuk bunuh diri.
Eina : Kalau
mati pun aku takkan berubah pikiran. Aku hanya akan jadi mayat.
Tepat seperti yang kupikirkan,
balasan Eina mendukung perkataannya.
Sendirian, aku menyilangkan tanganku
dan berpikir.
Bagaimana caranya kau menghentikan
seseorang dari bunuh diri? Dia enggak punya alasan untuk hidup, enggak ada yang
akan meratapinya, dan enggak ada yang akan menyesalinya setelah....
Dia menikmati membaca, tapi ada
terlalu banyak rasa sakit dalam hidup—
Seandainya dia bisa menemukan alasan
untuk hidup, itu sudah cukup, tapi menemukan satu alasan dalam waktu yang
singkat akan—
"Tunggu sebentar....."
Dia suka membaca?
Itu
ide yang bagus.
Kalau dia enggak punya alasan untuk
hidup, aku akan membuatnya.
Shuu : Aku ganti
topiknya, apa kau pernah merasa ingin menulis buku?
Eina : Bukankah
pergantian topiknya agak kejauhan?
Shuu : Itu
penting. Klub Literatur-ku enggak punya banyak penulis, sehingga kami enggak
bisa mempublikasikan apa pun. Aku sedang mencari seseorang yang mau menulis
buat kami. Kau tertarik? Kau suka membaca, bukan?
Eina : Uh, tertarik
sih, tapi aku belum pernah menulis cerita.
Bagus, dia ‘ngikut. Kukirim pesan
untuk mendesaknya.
Shuu : Sejauh
ini kau sudah menulis dengan begitu baik, aku yakin kau akan baik-baik saja.
Kalau kau mencoba dan engggak berhasil juga enggak apa, kok.
Eina : Tapi
beneran boleh, nih? Aku bukan anggota atau apa pun, dan aku bahkan bukan murid
sekolahmu.
Shuu : Secara
teknis mungkin masalah, tapi akan kulakukan sesuatu soal itu. Kupikir
menggunakan nama pena enggak akan jadi masalah. Aku akan memikirkan beberapa
alasan seperti salah satu anggota menulisnya dengan tanpa nama atau semacamnya.
Selain itu, bagiku ini hidup dan mati juga. Kalau aku enggak bisa
mempublikaskan sesuatu dalam waktu dua minggu, OSIS akan mengambil ruang klub
kami.
Eina : Itu gawat
sekali! Baiklah! Aku akan mencobanya!
Dia kelihatan benar-benar
menyukainya. Apa soal kehilangan ruangan klub memang ampuh? Dia ternyata baik.
Yang jelas, dia sepertinya lupa soal bunuh diri.
Dan seandainya aku bisa mendapatkan
naskahnya dan mempublikasikan sebuah buku, maka kemungkinan aku bisa
mempertahankan ruang klub.
Benar-benar membunuh dua burung
dengan satu batu.
Eina : Umm, apa
ada syarat-syaratnya?
Shuu : Enggak
juga. Tulis saja apa yang kau suka. Atau bakalan jadi mudah kalau ada
syarat-syaratnya?
Eina : Ya, itu
akan memudahkan! Bagaimanapun juga, ini pertama kalinya buatku!
Shuu : Kalau
begitu, mengenai gadis SMA yang jadi protagonisnya. Isinya enggak akan
dipersoalkan.
Eina : Aku
mengerti!
...... 3
Keesokan harinya, terdapat pesan tunggu dari Eina dengan melampirkan berkas
teks.
Kurasa itu adalah plot atau latar pada umumnya, dan saat membukanya aku
pun terkejut.
Itu adalah naskah.
Aku enggak bisa menahan diri untuk bergumam dengan kaget.
"Beneran, nih?"
Ada sekitar lima ribu kata, sempurna
untuk sebuah cerita pendek.
Shuu : Terima
kasih buat naskahnya! Naskahnya bagus, apa kau menulis itu semua semalam?
Selagi masih mengenakan piyama, aku
mengirimi Eina pesan. Seketika itu juga, balasannya pun tiba.
Eina : Aku begadang
semalaman.
Shuu : Ini
pertama kalinya kau menulis, ‘kan? Itu luar biasa.
Eina : Ehehe.
Shuu : Akan
kubaca secepatnya dan kuberitahukan pendapatku. Aku akan periksa kesalahan
pengetikan dan kelalaiannya, serta memeriksa plot dan berbagai hal lainnya
juga.
Erina : Silahkan
lakukan!
Selagi berangkat ke sekolah, aku
bertanya-tanya, siapa sih dia sebenarnya?
Ampe bisa menulis sebanyak itu dalam
semalam.....
Kupikir dia itu anak SMP atau SMA,
tapi apa mungkin dia itu Mahasiswi?
Atau bahkan, mungkin saja seorang
karyawan? Mungkin aku harus menanyakannya saja.....
Selagi menunggu di ruangan klub
seperti biasanya, aku mulai membaca naskah Eina di ponselku.
Itu adalah novel anak muda.
Ringkasannya kurang lebih begini :
Seorang gadis SMA bertemu dengan hantu seorang gadis di atap sekolahannya.
Hantu itu meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, dan meminta untuk meminjam
tubuh si protagonis sehari karena ada seseorang yang ingin ditemuinya, dan
ingin memberitahukan perasaan dia terhadapnya. Orang itu adalah anak lelaki
yang disukai si protagonis....
Si protogonis mengalami sesuatu seperti merasakan keluar dari tubuh,
mengikuti hantu itu dan anak lelaki yang kencan sembari melayang di udara.
Melihat kebahagiaan mereka, dia pun dengan ikhlas membiarkan dirinya lenyap dan
memenuhi cinta mereka.
Itu adalah kisah yang cukup
menyedihkan, tapi ditulis dengan begitu baik hingga membuat hatiku tersentuh.
Bahkan, ini lebih baik dari yang
kuharapkan.
"Ini agak sulit dipahami, jadi
aku harus membantu merevisinya... Aku juga ingin tahu lebih banyak soal
motivasinya, juga ada sedikit yang enggak bisa kau tuturkan mengenai apa yang
ia pikirkan...."
Aku mencatat pendapat-pendapatku
selagi bergumam pada diri sendiri.
Aku mungkin berkata begitu untuk
menghargainya, tapi kurasa itu adalah tulisan yang mengagumkan. Kalau kau tanya
mengapa aku mencatat cara untuk memperbaikinya jika itu sudah mengagumkan,
karena aku yakin itu akan jadi lebih mengagumkan.
Semua penulis pun bilang, bahwa
sulit untuk bisa menulis naskah komplet sekaligus. Contohnya, sekalipun seorang
penulis merasa apa yang sudah ditulisnya itu masuk akal, enggak semua orang
bisa membacanya dengan jelas dan mungkin ada kesalahan yang enggak terduga
dalam ungkapan. Adanya orang lain yang memeriksa sangatlah efektif untuk
meningkatkan pekerjaan.
Tapi di saat yang sama, diperlukan
seseorang yang handal. Saat menyerahkan naskahnya, para penulis akan
menyerahkan yang terbaik, dan rasanya kurang mengenakkan ketika ada poin-poin
yang ditunjukkan pada mereka untuk diperbaiki. Terlebih lagi, aku ini hanyalah
sekedar penggemar novel yang merupakan bagian dari Klub Literatur sekolah,
bukan seorang editor profesional. Aku sendiri mungkin membuat kesalahan.
Bisakah aku menyampaikan pendapatku
tanpa menyakiti si penulis, dan memintanya untuk memeriksanya dengan teliti....
Hingga kini, aku sudah berbicara
secara langsung dengan para penulis di ruang klub, tapi.... Dengan Eina, kami
enggak bisa bertemu.
Aku masih curiga dia itu penipu, aku
bahkan enggak tahu usianya atau apakah dia itu sebenarnya memang seorang
perempuan. Bahkan, mungkin saja dia itu orang yang berbahaya. Selain itu, aku
juga enggak tahu tempat tinggalnya. Kalau dia tinggal di Hokkaido atau Okinawa,
maka kami enggak akan bisa bertemu dengan mudah karena aku tinggal di Chiba.
"....."
Dengan berpikiran begitu, kulihat
naskah pada layar ponselku lagi.
Aku yang termenung, berpikir bahwa
kami enggak bisa bertemu, tapi dalam lubuk hatiku, aku ingin menemuinya.
Aku hanya ingin bertemu dan
berbicara dengan orang yang sudah menulis sesuatu yang mengagumkan.
"Nah, itu enggak bakalan
terjadi."
Gumamku pada diriku, memupus
harapanku untuk bertemu dengannya. Saat kupikirkan itu dengan tenang, enggak
mungkin aku bisa bertemu dengannya. Tapi kalau enggak bisa bertemu, bagaimana
aku akan memberikan kesanku...
Aku
akan menempatkan banyak koreksi dalam berkasnya semampuku.
Kukeluarkan salah satu laptop milik
klub, dan menghubungkan ponselku untuk memindakan berkas-nya.
"Hmm, yang ini?"
Enggak tahu kenapa, tapi aku
langsung merasa enggak nyaman dan segera menyadari tanda-waktunya aneh.
Tanda-waktu pada berkas yang dikirm
Eina adalah xx/09/2013.
Sekarang ini sudah tahun 2018, jadi tepat
lima tahun yang lalu.
Apa dia bohong soal begadang
semalaman dan mengirimkan yang sudah dia tulis sebelumnya?
Jadi, dia emang beneran mencoba
menipuku?
Tapi mau diapakan pencapaiannya itu?
Selain itu, hasil akhirnya juga kelewat bagus....
Aku mulai mencatatkan komentar-komentar pada berkasnya.
*
Sehabis pulang dan makan, aku
mengirim pesan ke Eina.
Shuu : Aku sudah
baca, naskahnya bagus.
Balasan pun datang dalam hitungan
detik.
Eina : Beneran?
Shuu : Bener. Meski ceritanya kurang mengenakkan,
aku merasa begitu sedah sehabis membacanya. Kupikir itu novel yang bagus.
Eina : Kau
terlalu memujiku.
Rupanya dia pemalu.
Shuu : Sudah
kutunjukkan beberapa kesalahan pengetikan dan masalah-masalahnya, tapi....
Eina : Ah,
benar.
Shuu : Aku
menambahkan komentar-komentar pada berkas-nya, maukah kau memeriksanya?
Aku melampirkan berkas dan
mengirimkannya ke Eina.
Eina : Sudah
terkirim.
Shuu : Bisa kau
buka?
Eina : Sudah
kubuka. Ahhhhhhhh.
Shuu : Ada apa?
Eina : Maafkan
aku! Aku sungguh minta maaf!
Eina terus meminta maaf.
Sial. Mungkin aku kebanyakan
mengkoreksi. Aku sudah mencobanya seteliti mungkin, tapi kurasa koreksi pada
pekerjaan pertamamu mempunyai dampak yang nyata.
Shuu : Enggak
usah minta maaf. Hal seperti ini wajar, kok.
Eina : Tapi,
tapi.... aku sudah menghabiskan waktumu, dan....
Percuma, itu enggak muncul lewat
teks. Kalau ‘gini, itu enggak bakalan terselesaikan.
"Apa yang harus kulakukan?....
Hmm?"
Aku menyadari sesuatu pada layarku.
Aplikasi ini mempunyai panggilan suara gratis. Kuketuk tombolnya, sebagian
besar karena refleks.
Kuletakkan ponselku ke telinga dan
mendengarkan nada panggilan.
Lalu—itu terhubung.
《Halo?》
Sopran dari ponselku membuatku
terkagum. Suaranya indah.
Suaranya sedikit lebih tinggi dari
yang kubayangkan saat kami mengobrol, dan terdengar jelas.
《Halo, ini
Shuu. Um.... Salam kenal.》
《Salam kenal
juga.》
Dia terasa cukup dekat hingga aku
bisa mendengar napasnya.
"....."
《.....》
"Jadi."
《Umm.》
Berbicara di saat yang sama, kami pun berhenti bicara.
《..... Silahkan duluan.》
"Maaf. Ini soal
naskahnya."
《Y-ya.....》
Meski lewat ponsel, aku tahu dia
sangat gugup. Mungkin dikiranya aku ini marah?
Karenanya, aku bicara seramah
mungkin.
"Naskahnya benar-benar
bagus."
《Eh? Tapi
ada banyak koreksinya....》
"Justru karena adanya koreksi
membuat naskahnya bagus. Aku yakin naskahnya pasti bisa lebih baik. Maaf,
mungkin kesannya agak kasar, tapi aku enggak ingin bicara buruk soal naskahnya."
《Akulah orang
yang seharusnya minta maaf. Naskah semacam itu.... semuanya berantakan.》
"Ini baru pertama kalinya
buatmu. Kalau kau enggak ingin merevisinya, kau bisa memeriksa kesalahan
pengetikan dan mencetaknya apa adanya. Aku enggak menemukan sesuatu yang
mencolok, kok."
《Tidak! Kau
sudah berupaya keras untuk meyuntingnya, aku akan berusaha keras untuk
merevisinya!》
Suaranya jauh lebih semangat dari
sebelumnya, dan aku tenang. Bicara sebenarnya sangat penting.
《Umm, boleh
aku mengajukan beberapa pertanyaan?》
"Tentu saja!"
《Apa yang
dimaksud dalam komentar pertamamu..... saat kau bilang ingin lebih banyak
gambaran dari keadaan psikologis si protagonis?》
"Ah, yang itu. Kurasa mungkin
bakalan lebih baik lagi kalau kau mengatakan lebih banyak soal alasan mengapa
dia membiarkan hantu itu meminjam tubuhnya. Dengan begitu, akan lebih banyak empati,
‘kan?"
《Begitu, ya!
Lalu, di halaman selanjutnya—》
Dan begitulah percakapan itu berlalu
dengan lancar, hingga kami selesai.
"Apa itu enggak apa? Kau enggak
punya pertanyaan?"
《Tidak apa!》
"Aku sendiri mungkin membuat
kesalahan, jadi tolong tunjukkan."
《Kurasa
tidak ada, deh!》
Lalu kami pun membahas naskahnya
beberapa kali selama akhir pekan, dan novelnya Eina pun rampung.
..... 4
"Shuu-kun, ada apa dengan naskah ini?" Tanya Ruka-senpai sehabis selesai membaca naskah
yang dicetak itu.
Hari itu adalah hari Senin, dan kami
berada di ruang klub.
Dia adalah anak kelas tiga di Klub
Literatur. Dia adalah seorang wanita dengan rambut penuh gelombang, dan senyum
ramah yang mempesona. Dia tenang dan berbicara dengan santai, sehingga bersamanya
terasa agak tenteram.
"Aku mendapatkannya dari
seorang kenalan." Jawabku pada Ruka-senpai
yang menyimpan tatapan penuh tanya.
"Kenalan? Siapaaa?"
"Itu mah rahasia. Namanya enggak
ingin dikenal."
"Mgh."
Ruka-senpai benar-benar ingin tahu soal si penulis, namun aku enggak
bisa bilang ‘Aku mendapatkannya dari seseorang yang kutemui di aplikasi.’ Aku enggak ingin membuatnya khawatir, bahwa
aku mungkin ditipu.
"Ini agak mendadak, tapi
bisakah kamu buatkan sampul ilustrasi dan desainnya?"
Ruka-senpai juga enggak menulis. Malahan, dia menggambar ilustrasi, dan
mendesain sampul. Tentu saja dia menyukai buku, tapi bukan tipe yang ingin
menulisnya sendiri, dia ingin mendesain buku-buku sebenarnya. Bisa dibilang,
menempatkan orang tepat dalam bidangnya.
Ada dua anggota kelas tiga lainnya
yang sebagian besarnya menulis. Kebetulan, mereka termasuk orang-orang yang
sudah berhenti untuk fokus pada ujian mereka.
"Boleh, hari Jumat aja,
ya?"
Angguk Ruka-senpai yang tersenyum padaku.
"Ya. Terimakasih banyak sudah
mau melakukannya selagi kamu sibuk belajar."
"Enggak apa, kok. Selain ingin
membantumu, aku juga akan sedih kalau kita kehilangan ruangannya."
Kebaikannya membuatku tersentuh.
Sampulnya sudah dipilah. Aku akan mendapatkannya
hari Jumat, lalu mencetaknya hari Sabtu, dan mempublikasikannya hari Senin.
Biarpun aku harus meminta OSIS untuk
meminjamkan ruang pencetakan. Rasanya agak menyusahkan hati karena di sana ada
Ketua Minekawa juga, dan aku benar-benar enggak ingin melihatnya.
Tapi aku mesti pergi, jadi aku
pamitan pada Ruka-senpai dan pergi ke
ruangan mereka.
"Permisi."
Kuketuk pintu, dan masuk ke dalam. Semua anggotanya sedang bekerja di
mejanya. Kelihatannya mereka semua sibuk, jadi enggak ada yang datang buat mengurusiku.
Aku juga enggak lagi buru-buru, jadi
kutunggu saja dengan nyantai di pintu.
"Baik. Aku akan pergi dan
bicara pada Klub Bisbol dan...."
Ketua lagi bekerja di meja bagian
dalam. Aku enggak bisa menahan diri untuk menatap ke tempat tersebut.
Kelihatannya dia lagi mengurusi klub
olahraga.
Senyuman lembut terpampang di
wajahnya dan agak tampak seperti salah satu lukisan orang-orang suci barat.
Dia benar-benar fotogenik.
"Klub Literatur?"
Dia menyadariku dan melihat ke
arahku, mengerutkan kedua alisnya bebarengan.
Dia
selalu terlihat kesal saat melihatku.
Kupasang senyum tegang di wajahku.
"Ada perlu apa? Saat ini kami rada
sibuk."
Ucapnya sambil berdiri dan berjalan
ke arahku.
"Aku ingin meminjam ruang pencetakan
hari sabtu, apa kosong?"
"Ya, kosong."
Dia berputar dengan tumitnya, dan
mengambil buku catatan dari rak-rak.
"Tuliskan kelas dan namamu di
sini, dan kapan kau akan menggunakannya."
Kutuliskan seperti yang
dikatakannya.
"Apa yang kau cetak, sih?"
"Buku murid baru."
"Kau menulis sesuatu?"
"Tidak, kok."
Berhubung aku lagi berbicara
dengannya, kuputuskan untuk bertanya soal ruang klub.
"Gini, ketua, kalau kami
benar-benar melakukan sesuatu, kami enggak bakalan diusir dari ruangan kami,
‘kan?"
"Aku tak bisa memutuskannya
secara sepihak, tapi kalau kau terus mempublikasikan buku, aku bisa membahasnya
kembali saat rapat."
"Aku janji, kami bakalan terus mempublikasikan."
"Baiklah. Aku akan membahasnya
saat rapat besok. Tapi ada satu syarat lagi."
"Syarat?"
"Beri juga aku bukunya satu."
"Kami memberikannya secara
gratis, sih?"
Kami selalu menempatkannya pada
kotak-kotak di setiap lantai dengan papan pemberitahuan ‘Silahkan ambil satu’
pada kotak.
"Bawakan aku satu."
"Kenapa?"
"Tidak ada ruginya buat usaha
sebanyak itu, bukan? Bagaimanapun juga, aku sudah bilang akan merusak sesuatu
yang sudah diputuskan."
Kurasa itu malah menambah beban kami,
tapi kalau bisa memenuhi syarat itu, kami bisa mempertahankan ruang klub kami,
aku bisa langsung menjawabnya.
Saat kami selesai, dia pun kembali ke mejanya tanpa mengucapkan ‘salam
perpisahan’ dan karenanya, aku bahkan enggak sempat berterima kasih padanya.
Dia selalu begitu terus terang. Aku
tahu dia adalah orang yang realistis, tapi setidaknya dia tersenyum pada
orang-orang yang lagi di hadapinya, tapi dia masih terlihat sangat jengkel
padaku.
"Kurasa dia benar-benar
membenciku...."
Gumamku sambil berjalan melewati
koridor. Aku enggak bisa menahan diri
untuk memikirkan kembali pertemuanku dengannya.
Saat itu adalah hari pertama
sekolah. Kuakui kalau aku ini adalah seorang kutu buku dan penasaran dengan
buku-buku di sekolah yang kumasuki, jadi kupergi ke perpustakaan saat hari
berakhir. Aku suka membaca di ruangan-ruangan dan di perpustakaan, keduanya
mempunyai kesan yang bagus saat dipenuhi dengan buku-buku. Bau debu dari
buku-buku lama membuatmu seperti tengah diselimuti buku-buku, sehingga
mempunyai pesona yang berbeda dari toko buku.
Aku melihat ke sepanjang rak-rak
buku mulai dari sudut.
"Oh!"
Aku menemukan salah satu buku Sci-Fi
kesukaanku, dan secara enggak sadar mengulurkan tanganku pada buku tersebut.
Itu adalah buku Sci-Fi yang
berurusan dengan waktu, yang disebut The
Door Into Summer.
Tanganku terhenti, karena adanya
tangan lain yang juga menggapai buku tersebut.
"Silahkan."
Kutarik kembali tanganku.
"Apa kau yakin?"
"Ya, aku sudah membacanya....
lumnya."
Aku melihat tangan orang itu dan
kehilangan kata-kata.
Dia sangat cantik hingga aku harus
menenggak.
Itu
adalah Ketua Iblis, Minekawa Yukino.
"Kau Yagi Shuu-kun dari kelas A, ‘kan?"
"Ya," Aku berhasil berucap
saat dipanggil olehnya.
Kenapa
dia tahu namaku? Aku baru saja masuk sekolah.....
"Aku Minekawa Yukino dari Kelas
B. Salam kenal."
"Y-ya, salam kenal juga."
"Apa kau.... suka buku?"
"Ya, kau juga?"
"Ya."
"Jadi, apa kau masuk Klub
Literatur?"
"Aku sedikit bingung. Ada
begitu banyak yang ingin kulakukan...."
"Begitu, ya. Aku bergabung
dengan Klub Literatur, jadi mari kita teruskan kalau kau bergabung."
"..... Akan kuingat."
Aku masih belum melupakan senyuman
lembut dan ramahnya itu. Pada akhirnya, dia enggak bergabung dengan Klub
Literatur dan aku sering kehilangan kesempatan untuk berbicara dengannya. Bisa
dibilang, hari itu adalah hubungan pertama dan terakhir kami.
Lalu, saat di mana kami bertemu lagi
adalah saat kelas dua di kelas yang sama, dia nampak memperlakukanku dengan
kasar. Kami hampir enggak pernah bicara, jadi aku enggak tahu kenapa dia
tiba-tiba membenciku. Hidup teh bener-bener penuh misteri.
..... 5
Aku mencetak seratus buklet.
Biarpun buklet-buket tersebut
dibagikan secara gratis, enggak semua murid-murid menyukai buku, jadi itu
jumlah yang wajar. Tapi saat mengerjakannya sendiri, jumlahnya cukup banyak.
Hari itu adalah hari Sabtu, dan aku
bisa mendengar para anggota klub olahraga dari luar.
Seberesnya di ruang pencetakan, aku
membawa cetakan tersebut ke ruang klub dan mulai menjilidnya.
Pekerjaannya itu sendiri mudah.
Lipat setiap lembaran B4 menjadi dua, menumpukkannya, lalu menstaplernya.
Dikarenakan aku kurang tidur, jadi hanya membawa bahan-bahannya saja sudah
melelahkan.
Ruka-senpai sudah mengirimkan ilustrasinya saat Jumat pagi, dan aku pun
sudah menata cetak semuanya dari sehabis sekolah hingga pagi ini. Teks-nya
sendiri sudah rampung, tapi itu memerlukan waktu hingga pagi.
Aku sudah tidur sejenak sebelum
pergi ke ruang pencetakan, jadi sekrang sudah tengah hari.
Aku menyantap makan siang yang
sebelumnya kubeli di toko, lalu mulai bekerja dengan sungguh-sungguh.
Kumelipat kertas tanpa kata selagi
mendengarkan musik yang dimainkan dari ponselku.
Printer-printer terbaru akan membaca
data dan menjilid hasilnya ke dalam buku-buku itu sendiri, tapi sekolahku
enggak punya barang semalah itu. Karenanya, kami harus melakukannya dengan
tangan... tapi hanya aku sajalah anggota yang aktif.
"Aku harus
mengerjakannya."
Ucapku dengan sombong untuk memotivasi
diri sendiri, sungguh gambaran pahlawan yang mengenaskan.
Agak terasa seperti semangat larut malam.
Lalu :
Vrr vrr.
Ponselku pun berdengung.
Eina : Halo, apa
kabar?
Shuu : Baik.
Eina : Hari ini
kamu lagi ngapain?
Shuu : Menjilid
buku-buku.
Eina : Hari ini
kamu ada kegiatan klub?
Shuu : Iya,
sendirian.
Eina : Tidak ada
yang bantu?! Kejamnya!
Shuu :
Murid-murid kelas tiga sudah berhenti, jadi cuman aku seorang yang aktif.
Eina : Begitu,
ya.... jadi kau menjilidnya sendirian? Berapa banyak?
Shuu : Seratus.
Eina : Waah,
banyak sekali. Maaf, ya... aku tidak bisa bantu.
Shuu : Enggak
apa, kok. Ada orang yang bisa diajak bicara saja sudah memudahkan.
Eina : Ya sudah,
kalau memang tidak mengganggu, akan kutelepon.
Seketika, panggilan pun langsung
datang sehabis aku membacanya, dan kujawab dengan speaker telepon.
《Halo, Shuu-san?》
"Halo."
《Berjuanglah.
Aku akan menyorakimu.》
"Makasih."
《.....》
"....."
《Sebenarnya,
aku tak tahu harus membicarakan apa.》
"Karena kita saling enggak tahu
apa-apa, jadi mari kita saling mengenalkan diri. Eina suka buku yang seperti
apa?"
《Hmm.... Selain
kisah romantis, aku juga suka yang berbau-bau fantasi, seperti dongeng. Kamu
sendiri?》
"Aku hampir suka semuanya,
terutama Sci-Fi."
《Makanan apa
yang kamu suka?》
Kali ini, Eina lah yang mengajukan
pertanyaan.
"Ramen, katsudon,
makanan-makanan yang seperti itu."
《Itu mah kesukaan
banyak laki-laki.》
"Eina sendiri?"
《Aku suka
yang manis-manis! Kue, crim, choux, dorayaki, anmitsu....》
Kurasa makanan-makanan manis barusan
itu memang gadis banget.
《Pertanyaan
berikutnya! Apa kau punya pacar?》
"Enggak, tuh."
《Kalau orang
yang kamu suka?》
Tiba-tiba, wajah ketua muncul di
benakku, dan aku pun langsung tersenyum masam.
Dia memang cantik, tapi dia itu di
luar jangkauanku. Aku cuman bisa mengaguminya dari jauh. Kalau mungkin, aku
bener-bener kagak ingin berbicara dengannya.
Rasanya
sulit buat melihat tingkahnya yang seakan membenciku saat kami saling berbicara
berhadapan.
"Kurasa, aku punya."
《Eh, eh.
Orang yang kayak ‘gimana.》
"Orang yang kayak ‘gimana? ....
Hmm, aku kurang tahu. Aku hampir enggak tahu apa-apa mengenainya."
《Ah, jadi bertepuk
sebelah tangan......》
"Kayaknya begitu. Kamu sendiri?
Apa kamu punya pacar?"
《Kamu pikir
aku akan benar-benar punya?》
Kayaknya
enggak, lalu kutanya.
"Kalau orang yang kau suka?"
《Umm. Ada
seseorang yang kukagumi tapi,》
Dia kelihatan ingin menghindari
pertanyaan itu,
《bagiku itu
bertepuk sebelah tangan juga, mungkin.》
Mendengar dia yang agak kesepian
membuat hatiku sakit. Cinta bertepuk sebelah tangan teh.... memang berat.
"Kalau butuh saran, mungkin aku
bisa bantu?"
《Terima
kasih. Buat saat ini aku baik-baik saja, kok. Tapi saat itu terjadi, mohon
bantuannya.》
Enggak terasa, waktu pun berlalu
dengan cepat saat aku meneruskan obrolan yang enggak jelas itu dengan Eina, dan
buku-bukunya juga sudah dijilid sepenuhnya saat aku enggak sadar matahari sudah
terbenam.
.....6
Hari itu adalah hari Senin,
buku-bukunya pun sudah di tempatkan di sebelah papan pemberitahuan dengan aman.
Aku langsung menuju ke ruang OSIS begitu mereka sudah mulai bekerja.
Ketua duduk sendirian, tengah
bekerja.
“Ketua, aku membawanya sesuai
janjiku."
"Terima kasih, kami juga takkan
mengambil ruang klubmu seperti yang sudah kujanjikan."
"Yes! Aku berhutang
padamu."
"Sebagai gantinya, lakukanlah
kegiatanmu dengan benar meskipun terlihat membosankan, oke?"
"Baik."
Aku pun meninggalkan ruangan OSIS
dengan keberhasilan.
*
Karena terlambat, buklet murid baru
pun meyebabkan kepopuleran yang tentram di sekolah. Klub Literatur kami punya
tradisi mempublikasikan sesuatu menggunakan nama asli kami, tapi ‘Eina’
jelas-jelas merupakan nama samaran. Terlebih, enggak ada banyak orang yang
menulis cerita seperti Eina.
Semua orang ingin tahu siapa orang
yang sudah menulisnya, dan nampaknya banyak orang yang membaca ketimbang
biasanya. Contohnya, Sakai Keisuke sang andalan Klub Surat Kabar yang
mengampiriku selagi aku makan siang pas hari Rabu.
Sakai dan aku sudah melakukan banyak
hal bersama karena kami sudah sekelas semenjak kelas satu, tapi sebelumnya dia
belum menunjukkan batang hidungnya di ruang klub.
"Eina itu siapa? Anggota baru? Nama samaran kakak
kelas? Atau malah kamu sendiri?"
Sakai enggak kerepotan membenarkan kacamatanya yang
bergeser, dan menghujaniku dengan pertanyaan.
"Aku enggak bisa bilang."
Malahan, aku enggak bisa bilang
meskipun aku ingin, karena aku hampir enggak tahu apa-apa mengenainya.
"Ayolah, kita ini teman, ‘kan?
Bos mengancamku untuk kemari dan menanyakan siapa orangnya!"
Sakai berlutut memohon padaku.
Terlihat agak menyedihkan, tapi kalau aku enggak bisa bilang, ya enggak bisa.
"Maaf, enggak bisa."
"Dasar kejam."
"Aku punya situasi tersendiri,
begitu pula dengan Eina."
"Ahhhh, aku bakalan
dipecaaaaaaat!"
Sulit buat nenangin Sakai yang
nangis, tapi aku senang buklet-nya populer.
Aku ingin memberitahu Eina sekarang
juga, jadi kuusir Sakai dan mengiriminya pesan.
Shuu : Semua
orang menyukai ceritamu!
Balasan pun tiba sesampainya aku di
rumah.
Eina : Yang
bener?!
Biasanya aku enggak mendapatkan
pesan dari Eina selagi dia sekolah, jadi mungkin dia mengirimnya saat dia sudah
pulang ke rumah. Mungkin di sekolanya ponsel dilarang.
Shuu : Beneran!
Klub Surat Kabar datang buat meliputnya. Mereka ingin tahu siapa yang
menulisnya! Aku mengelaknya, sih.
Eina : Itu
berjalan lancar?!
Aku bisa merasakan kegembiraaanya
dari layar.
Lalu, aku teringat sesuatu yang
penting.
Shuu : Oh iya,
aku lupa. Harus kuapakan sama buku yang sudah jadinya ini? Mau aku poskan saja?
Eina :
Diposkan.... mungkin agak bermasalah.
Shuu : Kayaknya
kau enggak ingin memberithukan alamatmu.
Tentulah dia enggak mau. Sejauh yang
diketahuinya, aku ini cuman orang yang enggak dikenal.
Eina : Bukan
begitu, aku sendiri memang tidak keberatan.... tapi keluargaku mungkin tak suka
dikirimi sesuatu oleh seseorang yang tak dikenalnya....
Shuu : Begitu,
ya.
Eina U-umm...
kalau bisa.... maukah... kau memberikannya padaku secara pribadi?
Hatiku terasa melompat begitu melihat
pesan itu. Aku akan ketemuan sama Eina—
Eina : Ah!
Maafkan aku! Aku belum sempat tanya tempat tinggalmu.
Eina mengirim pesan lainnya selagi
aku enggak tahu harus balas apa.
Eina : Aku
tinggal di Chiba, jadi kalau di sekitaran Kanto harusnya bisa.
"Ehh?!"
Aku enggak bisa menahan diri untuk
berteriak karena terkejut. Eina juga tinggal di Chiba?!
Apa kebetulan semacam itu beneran
ada?
Untuk suatu alasan, jantungku
berdegup kencang.
Eina : Shuu-san, kamu tinggal di mana?
Shuu : Aku juga
tinggal di Chiba, di Kota C.
Karena dari tadi hanya Eina yang
terus mengirimi pesan, jadi dengan terburu-buru kubalas saja dengan tempat
tinggalku.
Eina : Ya sudah,
kita ketemuan di station C aja, ya?
Shuu : Boleh,
tuh.
Eina : Baiklah,
terima kasih. Sampai ketemu hari Sabtu!
...... 7
Mungkin karena hari Sabtu, stasiun
itu pun ramai. Tempatnya bersih dan teratur karena sudah direparasi dua tahun
yang lalu, dan pas buat mengamati orang-orang.
Aku sampai di pembatas tiket sepuluh menit sebelum waktu yang
dijanjikan.
Shuu : Aku
sampai sedikit lebih awal, nih. Aku ada di depan tiang, pake mantel hitam dan
celana jengki, aku masih remaja.
Eina : Aku juga.
Eh, tiang....? Umm, di mana?
Shuu : Di depan
pembatas tiket. Tepat di sebelah kananmu di jalan keluar.
Eina : Yang bener....
coba angkat tanganmu?
Kuangkat tanganku seperti yang
dimintanya.
Shuu : Sudah,
nih.
Eina : Lah, kamu
di mana?
Shuu : Kau pake
apa?
Eina : Kemeja
rajut terang, sepasang kulot, dan sandal. Rambutku lurus dan masih remaja.
Kulihat ke sekeliling. Ada banyak
gadis remaja, tapi enggak ada yang lagi mencari-cari.
Shuu : Ini aneh.
Bukan stasiun pribadi, ‘kan?
Eina : Bukan~
Shuu : Iya juga,
sih. Ya sudah, pergi aja ke mesin tiket, aku juga akan ke sana.
Eina : Baik, aku
sudah di sini.
Dia enggak ada di sana.
Eina : Susah
untuk menemukan orang saat sedang direnovasi.
Aku merengut.
Shuu :
Direnovasi? Bukannya itu sudah beres?
Eina : Eh? Mereka
bilang akan memerlukan waktu tiga tahun lagi, bukan?
Shuu : .....
Eina : .....
Dia mungkin main-main denganku, atau
berada di tempat lain dengan nama yang sama.
Hanya ada satu Stasiun C di Chiba,
sih.
Lalu kuteringat tanda-waktu pada
filenya, xx/09/2013. Sekarang sudah tahun 2018, jadi tepat lima tahun yang
lalu.
Renovasi mah sudah beres dua tahun
yang lalu, jadi waktunya pas dengan yang dibilang Eina yang bakalan memerlukan
waktu ‘tiga tahun lagi’.
Shuu : Coba
kirimkan gambar bagian depan stasiun.
Eina : Baik.
Ponselku berdenting saat pesannya
sampai. Bagin depan stasiun dilingkupi pembatas bangunan, jadi tepat disaat
tengah-tengah renovasi.
Aku
ditipu.
Kau bisa dengan mudah memalsukan hal
semacam ini. Contohnya, kalau mengambil pesan awal padaku seperti ‘seorang
gadis yang tinggal di tahun 2013’, dari sana bakalan mudah untuk mengikutinya.
Tapi untuk suatu alasan, aku enggak
bisa meragukan Eina. Apa dia beneran seseorang yang bakalan berbohong begitu?
Jadi—
Shuu : Eina,
tahun berapa sekarang?
Eina : Eh?
Kenapa?
Dia membalas dengan pertanyaan yang wajar.
Shuu : Akan
kujelaskan nanti, beritahu saja aku?
Eina : Tahun
2013.....
Aku berulang kali membaca ‘2013’. Enggak
ada kesalahan.
Bisa
saja itu bohong.
Tapi aku ingin mempercayainya,
jadi.... aku berbicara dengan jujur.
Shuu : Jangan
terkejut, buatku sekarang ini tahun 2018.
Enggak ada balasan untuk beberapa
saat.
Eina : Itu....
aku tak bisa mempercayainya.
Shuu : Sama, aku
juga.
....8
Aku pergi ke taman terdekat dan
menelepon Eina selagi duduk di bangku. Rasanya makin menjengkelkan bicara lewat
teks.
《Halo, ini
Eina.》
"Ini Shuu. Apa buatmu beneran
tahun 2013? Kau enggak menipuku, ‘kan?
Tanyaku dengan terus-terang.
《Memang apa
untungnya menipumu?》
Dia terdengar kesal. Aku bisa
membayangkan seorang anak SMA yang cemberut padaku.
"Bisa saja kau ini teman sekelas
yang harus mengerjaiku karena semacam hukuman."
《Kau terlalu
banya berpikir. Selain itu, aku sudah berteriak ‘penipu’ dan yang lainnya akan
muncul sekarang, ‘kan?Aku tak perlu melanjutkan, ‘kan?》
Memang benar.
《Kupikir kamu
juga mungkin menipuku, tapi aku tak bisa memikirkan alasan kamu melakukannya,
jadi kurasa aku harus menerimanya sebagai kebenaran.》
"Memangnya mungkin ‘gitu buat
bicara dengan seseorang dari lima tahun yang lalu?"
《Mau itu
mungkin atau tidak, setidaknya kita tak bisa bertemu dan berbicara.》
Kukeluarkan buku itu dari tasku dan
menatapnya.
Aku enggak bakalan bisa
memberikannya pada Eina.
Ini memang memalaukan... aku bisa
membuatnya menjadi PDF dan mengirimkannya? Mungkin enggak seperti punya yang
asli, tapi masih lebih baik daripada enggak sama sekali.
Saat pemikiran-pemikiran itu terlintas
di benakku, aku menyadari sesuatu.
“Tidak, kita bisa bertemu."
《Eh, tapi
kita tinggal di waktu yang berbeda?》
"Aku bisa bertemu dengan dirimu
di lima tahun mendatang. Maaf, tentunya kau harus menunggunya."
Memang enggak sampai seratus atau
dua ratus tahun, tapi hanya lima tahun. Dalam lima tahun, tentu saja anak SMA
sepertiku akan menjadi orang dewasa, jadi itu waktu yang lama, tapi enggak sebegitu
lamanya hingga kami harus menyerah untuk bertemu. Atau enggak harus begitu
juga, tapi untuk suatu alasan, Eina terdiam.
"Eina?"
Setelah beberapa saat, Eina pun
kembali bicara dengan tenang.
《..... Kalau
kubilang untuk berhenti, akankah kau membenciku?》
"Eh, tentu saja enggak...."
《Maaf, aku
jadi egois.》
Dia nampak merosotkan tubuhnya di
telepon.
Aku panik karena perubahan sikapnya
dari yang bisanya riang.
"Kau enggak berbuat salah
apa-apa, kok. Maafkan aku karena sudah membicarakan soal itu."
《Tidak,
akulah yang salah. Aku benar-benar ingin bertemu denganmu.》
Jantungku berdegup kencang saat dia
berkata begitu.
《Tapi aku
takut. Takut untuk mengetahui masa depanku. Maksudku.....》
Suara Eina memelan, dand dia
berbisik.
《Bagaimana
kalau di lima tahun mendatang aku sudah meninggal?》
Rasanya seperti ditikam dengan
kata-kata tenangnya.
Eina.... sekarat?
"Apa kau.... sakit?"
《Eh? Tidak,
aku tidak sakit, kok. Ini cuman seumpamanya saja. Kalau aku mati, ya tak apa.
Mungkin itu sudah nasib burukku. Ada banyak hal yang lebih buruk ketimbang
kematian.》
Dia
bilang hanya seumpamanya saja.
Dia enggak salah, kehidupan
seseorang memang bisa berubah drastis tiap harinya. Tapi kebanyakan orang hidup
dengan perasaan yang enggak jelas apa mereka masih akan berada di sini esoknya,
lusanya... dan bahkan lima atau sepuluh tahun mendatang.
Orang bisa hidup dengan normal karena mereka enggak meragukan hal itu. Tapi
Eina bilang dia mungkin akan mati.
Mengapa?
Apa yang membuatnya sampai berkata
begitu....?
《Pasti kalau
sesuatu yang buruk sudah terjadi padaku di masa depan, kamu akan
menyembunyikannya. Tapi aku mungkin bisa tahu dari suaramu, jadi aku takut. Maafkan
aku.》
Namun aku enggak menanyakan
bagaimana situasinya, atau mengapa dia begitu pesimis.
Dia
beneran berpikir soal bunuh diri saat kita pertama kali bicara.
Mungkin itu enggak ada hubungannya.
Tapi aku enggak bisa bertanya, masih
ada jarak yang terlalu jauh di antara kami. Aku enggak tahu apa aku bisa mengajukan
semacam pertanyaan yang mengusut seseorang yang belum pernah kulihat
sebelumnya.
"Ya sudah, ayo kita terus
mengobrol aja, Eina."
《Ya! Ayo!》
Mungkin karena aku bicara seceria
yang kubisa, suara Eina kembali bersemangat
Aku menghela napas.
.....9
Sebuah pesan pun tiba dari Eina
selagi aku tengah rebahan di kamarku semalamnya.
Eina : Boleh aku
meneleponmu sekarang?
Shuu : Boleh.
Panggilan pun tiba.
"Halo."
《Halo, Shuu-san?》
Enggak hanya mengatakannya dengan begitu saja, itu nampak seperti
dirinya.
"Enggak usah khawatir. Besok libur, kok. Jadi, ada apa?"
《Kupikir
kita harus punya beberapa aturan karena aku berasal dari lima tahun yang lalu.》
"Aturan?"
Aku merengut.
《Ya, supaya
tak mempengaruhi masa lalu. Demi yang terbaik, kupikir kita jangan terlalu
banyak mengubah masala lalu. Itu sering muncul di Sci-Fi, ‘kan?》
"Ya, itu benar. Jadi kau enggak
mau berbicara denganku sesering ini?"
《Begitulah
maksudku. Pengaruh kecil seharusnya baik-baik saja, tapi perubahan besar bisa
membuat alam semesta meledek atua semacamnya.》
Aku pernah dengar hal semacam itu
sebelumnya.
《Pertama-tama,
sebisa mungkin jangan beritahu aku soal masa depan.》
Yah, itu cukup mendasar.
Hmm?
Tunggu sebentar.
"Kalau aku memberitahumu perusahaan-perusahaan
mana saja yang berjalan dengan baik, bukannya kau bisa menjadi kaya? Lalu kita
bisa membagi hasilnya nanti...."
《Shuu-san! Itu perkataan terburuk yang bisa
kau katakan!》
"Cuman bercanda."
《Mgh!》
Aku tertawa, tapi sepertinya dia
cemberut saat percakapan di ponsel lain berakhir.
"Maafkan aku."
《Ini bukan
persoalan yang patut ditertawakan. Kita harus berhati-hati dengan hal-hal yang
bisa menghasilkan uang. Bahkan, aku ingin kamu tak memberitahuku produk apa
yang populer dalam lima tahun.》
"Baik."
《Juga....
kita seharusnya tak boleh terlalu banyak bicara mengenaiku.》
"Kenapa?"
《Kalau kamu tahu
banyak hal mengenaiku, ada kemungkinan kamu bisa mengubah masa depanku, ‘kan》
"Benar juga. Aku enggak akan
terlalu banyak bertanya, deh."
《Setelah
dipikir-pikir, kebanyakan aku hanya memberitahumu untuk berhati-hati, maafkan
aku.》
"Mau bagaimana lagi, karena aku
orang yang ada di masa depan."
《Harusnya
aku bisa memberitahumu soal masa lalu, jadi kalau ada yang ingin kau ketahui,
beritahu saja aku.》
"Seperti apa?"
《Umm,
seperti apa Chiba lima tahun yang lalu?》
"Aku ragu itu bakalan berubah
banyak dalam lima tahun."
《Ya, itu
benar.》
Dia terdengar agak putus asa.
"Enggak usah khawatir. Akulah
orang yang ada di masa depan, jadi kau enggak bisa mengubahnya."
《Kamu memang
baik, terima ka—》
Beeeep.
Tiba-tiba, panggilan terputus.
"Eina?"
Kutelepon balik, tapi enggak
terhubung.
Usai sepuluh menit, ada panggilan
datang darinya.
《Maafkan
aku, Shuu-san》
"Enggak apa, kok. Apa yang
terjadi?"
《Sepertinya
ponselu agak rusak....》
Dia mengatakannya dengan canggung,
kalau memang enggak ada masalah dengan tranmisi-nya, maka seharusnya memang
ponselnya, tapi Eina seperti enggak ingin menjelaskannya, jadi kubungkam saja
mulutku.
《Udah dulu,
ya.》
"Ya, selamat malam."
Tiba-tiba panggilan terputus lagi.
Apa yang terjadi?
Saat aku memikirkannya, aku
menyadari sesuatu.
Aku enggak ingin tahu soal masa
lalu.
Masa lalu mah enggak penting.
Aku mah ingin tahu lebih banyak soal
Eina.
Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 1 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
2 komentar
LN ini masih baru dijepang ya min..
ReplyIya, dan ini novel cuman 1 volume (one-shot)
Reply