Tuesday, August 14, 2018

Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 1 Bahasa Indonesia



Chapter 1 – Eina

Ponselku yang berada di atas meja berdengung. Kujatuhkan tatapanku untuk melihatnya, dan terpampang ‘Kau mempunyai satu pesan baru’ pada layar. Itu adalah text chat dari aplikasi di jejaring sosial. Kuketuk layarnya, dan membuka pesannya.

Eina : 4 September. Cuacanya cerah. Aku menumpahkan jus dan menodai karpetnya. Gawat nih, aku harus menyembunyikannya....

            Rupanya, pesan tersebut dikirim oleh ‘Eina’. Aku enggak tahu sama nama itu. Kau bisa memasang namamu sesuai yang kau inginkan, tapi aku enggak punya kenalan yang akan menggunakan nama sebagus itu.
            "Pesan spam, ya?" Gumamku dengan pelan. Rasanya agak aneh,  nih. Biasanya pesan spam itu bakalan seperti ‘Anda memenangkan sepuluh miliar yen! Anda dapat menerimanya di sini→’ dan berjuntaian uang ada di hadapan Anda. Atau akun dengan nama perempuan akan mengirimkan sesuatu dengan kata-kata ‘Aku bersenang-senang di karaoke kemarin’, menggodamu buat membalas sebelum dengan cermat dibujuk untuk mendaftar ke situs kencan, dan membayar biaya pendaftaran yang enggak masuk akal.
            Tapi apa-apaan dengan yang ‘4 September. Cuacanya cerah’ ini? Bukannya ini mah sesuatu yang kau masukkan ke dalam buku harian?
Vzzzt.
            Pesan kedua pun tiba selagi aku memerhatikannya.

Eina : Menutupinya berhasil! Tetehku tidak menyadarinya, horre!

            Lagi, itu kayak catatan buku harian. Apa yang diinginkannya dariku?

Eina : Aku menemukan cara untuk menghilangkan noda di internet! Akan kucoba besok, ah waktunya buat tidur, zzz.

            Aku juga memutuskan untuk segera tidur, bagaimanapun juga besok sekolah.

*

            Besoknya, aku seperti biasa berada di ruang Klub Literatur sehabis sekolah. Pintunya dibuka lebar supaya memudahkan yang mau mendaftar atau pendatang masuk. Enggak terlihat ada yang minat, sih.
            Enggak ada yang bisa kuperbuat soal itu.
            Lalu tiba-tiba, aku teringat soal pesan spam kemarin. Kulihat ponselku, dan ada banyak pesan dari akun yang sama. Tiga pesan sekaligus, dan semuanya itu saat sore.

Eina : Ujian Kanji Bahasa Jepang. Pelajaran yang mudah.
Eina  : Kami berlari di Pelajaran Olahraga. Aku tidak mengerti mengapa mereka harus tetap memeringkatkannya. Memangnya tidak bisa ya, membiarkan orang-orang yang sudah menyelesaikannya merasa senang bahwa itu sudah beres?
Eina : Aku melihat beberapa gadis yang bertengkar di pintu masuk. Aku bukan bagian dari kelompok mana pun, jadi aku hanya pergi begitu saja. Aku tidak ingin terlibat.

            Aku agak memahami status si pengirim ini. Pertama, ia ini seorang gadis. Avatar-nya adalah sepatu kaca yang seperti di Cinderella, dan nama Eina juga kelihatan feminim. Usianya mungkin sekitaran anak SMP atau SMA.
            Ia mahir dalam pelajaran Bahasa Jepang, dan kurang mahir dalam Pelajaran Olahraga. Ia juga enggak masuk kelompok mana pun, jadi mungkin bukan tipe orang yang suka berkelompok.
            Di benakku, aku samar-samar mulai menggambarkan gadis yang disebut Eina itu.
            Di saat yang sama, aku pun merenungkan apa yang enggak kuketahui. Seperti berapa tingginya? Seberapa panjang rambutnya? Apa ia mempunyai lipatan kelopak mata ganda atau malah tidak punya lipatan?
            Aku ingin melihat ekspresinya kalau kubalas, tapi bagian diriku yang berpikiran tenang membuatku urung untuk membalasnya.
            Dari awal aku enggak tahu apa ia itu beneran seorang gadis. Bisa saja om-om yang berpura-pura. Kau pernah dengar hal semacam itu, om-om yang berpura-pura jadi wanita yang mau menerima lelaki.
            Kalau kubalas, nanti bakalan jadi ‘gimana.....
            "Klub Literatur, aku masuk."
            Kumendongak saat mendengarnya. Seseorang yang enggak kuharapkan tengah berjalan masuk, seorang gadis dari angkatanku.
            Kulitnya putih, hidung halus, dan rambut panjang yang mengkilap. Sosoknya juga mengagumkan. Penampilannya lumayan bagus hingga ia bisa membayangi kata ‘cantik’ itu sendiri.
            Namanya adalah Minekawa Yukino, Ketua OSIS sekolah kami.
            "Ketua? Tumben, apa jangan-jangan ada yang mau daftar?"
            Rasanya suaraku agak heboh, tapi sama sekali bukan karena ketua cantik. Klub Literatur saat ini sedang mencari anggota baru. Sekarang sudah bulan September, jadi sudah bukan musimnya, tapi klub kami belum mempunyai satu pendaftar pun semenjak April, jadinya kami masih mencari anggota baru.
            Hanya aku sajalah kelas dua saat ini, sehingga masa depan kami terancam. Sebentar lagi aku harus fokus untuk menghadapi ujian universitas, jadi aku juga harus meninggalkan klub.
            Tentunya, bilamana kami enggak mendapatkan anggota baru yang bergabung di tahun ini, aku sudah memutuskan akan menarik lebih banyak orang tahun depan, tapi aku masih akan bersyukur kalau bisa lebih cepat mendapatkan anggota yang banyak.
            "Tentu saja bukan, mana ada kelas dua yang baru mau bergabung di sepanjang tahun ini."
            Namun, ketua mengerutkan alisnya hingga merengut dan menyangkalku dengan ketus.
            Di saat dia membuka mulutnya, dia menunjukkan intimidasi ketua-iblisnya. Cara bicaranya yang terus terang membuatmu merasa sedang berbicara dengan senior atau guru.
            "Meski kelas dua juga aku enggak keberatan, kok? Sekarang ini, aku akan menerima siapa pun." Aku mencoba untuk tetap teguh, dengan senyuman lara di wajahku. Dia bukannya kasar atau apa, hanya berkata apa adanya saja. Setengah tahun yang kami habiskan sebagai teman sekelas membuatku tahu banyak hal. "Kau juga suka buku, ‘kan? Kalau begitu, kegiatan kami bakalan coc—"
            "Aku tak punya waktu untuk oborolan yang tak ada gunanya, jadi aku akan langsung ke intinya saja," Sela ketua yang menyela perkataanku dengan dingin. Lalu, mengatakan sesuatu yang mengejutkan dan tak bisa dipahami, "Kemas segera barang-barangmu dan angkat kaki dari sini."
            "Hah?"
            "Hasil rapat OSIS baru-baru ini memutuskan untuk mengambil kembali ruangan ini dari Klub Literatur."
            "Seenaknya sekali!"
            "Ada banyak hal yang akan ada gunanya di ruangan klub. Ketimbang memberikan ruangan pada klub sepertimu yang nyatanya tak berbuat apa pun, kami memutuskan bahwa akan lebih baik untuk memberikan ruangan pada klub yang mempunyai banyak anggota dan benar-benar akan melakukan berbagai hal. Penasehatmu juga sudah menyetujuinya."
            "Oi, tunggu sebentar, kami juga melakukan banyak hal, kok. Sekarang aja aku sedang mencari anggota baru."
            "Kau hanya duduk di sana saja."
            "Yah, hari ini enggak ada yang berkunjung."
            Aku mencoba membuatnya agar terlihat seperti memang kebetulan enggak ada yang berkunjung hari ini. Sejujurnya, sudah enggak ada yang datang semenjak liburan musim panas terakhir. Tapi saat ini, kurasa aku hanya bisa menggertak. Mengingat kemalangan kami yang sedang mencari anggota baru, maka itu semua bakalan berakhir kalau kami juga kehilangan ruangan klub.
            "Hmm. Meski kau kelihatan kehilangan buku untuk menyambut anggota baru?"
            "Ah, itu...."






Itu ‘ngena banget. Tiap tahunnya, Klub Literatur mempublikasikan sebuah antologi yang mereka sebut ‘Edisi Menyambut Anggota Baru’ tapi kami belum membuatnya tahun ini. Enggak ada naskah apa pun.
Alasannya sederhana.
Aku enggak bisa menulisnya.
Dengan enggak adanya kelas tiga dan kelas satu yang bergabung, hanya menyisakan aku seorang yang melakukan kegiatan. Dan karena aku enggak bisa menulis naskah, jadi mana mungkin aku bisa mempublikasikan buku itu.
            "Kau juga belum mempublikasikan apa pun sebelum liburan, apa kau masih bisa menyebut itu melakukan kegiatan klub?" Aku enggak bisa menimpalinya. Ketua sudah menyimpulkannya, dia datang karena memahami semua keadaannya. Kami sudah enggak punya alasan apa pun lagi. "Sekarang cepat kemasi barang-barangmu. Kalau kau meninggalkan barang-barang yang tak kau inginkan, OSIS akan membuangnya."
            Dia membeberkan pernyataannya tanpa mengernyitkan alisnya sekali pun. Aku berdiri dalam dilema.
            Tapi aku juga punya alasan tersendiri.
            Ruang klub ini sangat berarti bagiku. Aku datang ke mari tiap hari semenjak April saat kelas satu.
            Selain itu, para alumni dan seniorku mempunyai kenangan-kenangan yang mengisi tempat ini juga.....
            Aku enggak boleh membiarkan kami sampai diusir.
            "Melakukannya secara tiba-tiba itu keterlaluan," Aku mencoba melawan semampuku, "Ada barang-barang yang ditinggalkan anak-anak kelas dua dan tiga, jadi kami enggak tahu apa yang harus dibuang, beri aku sedikit waktu lagi."
            "Yah, kurasa ada benarnya juga."
            Angguknya.
            Aku mengangkat tinju kemenangan dalam hati.
            Beginilah strategiku. Akan ada festival budaya di awal Oktober. Itu adalah tradisi untuk mempublikasikan edisi buat festival budaya, tapi itu membuatku bisa mendapatkan catatan. Aku berencana untuk mendapatkannya dari kelas tiga yang sudah meninggalkan klub supaya memberikan catatan untuk masa-masa terakhir kehidupan pelajar mereka. Kalau aku bisa mempublikasikan buku, mereka enggak bakalan bisa lagi mengatakan klub yang enggak melakukan apa pun.
            "Kalau begitu, bisa kau melakukannya dalam dua minggu? Kalau kita membersihkan ruangannya dengan sungguh-sungguh sebelum festival budaya dimulai, maka takkan ada masalah."
            "Eh....."
Aku enggak bisa berkata apa pun. Itu adalah waktu terburuk buatku. Apa dia sengaja melakukannya.....?
           Namun, dia memintaku dengan ekspresi sungguh-sungguh, bukan dengan senyuman jahat. Dia memang ketat, tapi bukan tipe yang membuat orang lain menderita.
            "Bukannya dua minggu mah kecepetan?"
            "Lah? Kurasa kau akan mulai menghubungi mereka hari ini, kau bisa menyelesaikannya tepat waktu dengan mudah. Kau hanya tinggal memposkan barang-barangnya."
            "Ah, tapi, um....."
            "Ah, jangan khawatirkan soal biaya pengirimannya, kami akan menanggung setengah dari biayanya. Karena ruangannya diambil secara sepihak darimu, setidaknya kami bisa mengakomodasinya sebanyak itu."
            "Pokoknya begitulah, jadi tolong lakukan."
            Sesudah memberitahuku segala sesuatu yang penting, ketua berbalik, dan dengan langkah teguhnya yang ringan dia meninggalkan ruangan dengan senang, sedangkan aku hanya bisa ambruk di meja.
           
....... 2

            Aku sudah mencoba menulis novel sendiri. Itulah alasan awalku bergabung dengan klub, aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan menikmati novel, aku ingin menulisnya sendiri.
            Akan tetapi, tiap kali aku memutuskan untuk menulis sesuatu dan duduk di hadapan laman kosong atau layar komputer, aku enggak bisa menulis satu huruf pun.
            Lalu kumulai membaca lusinan buku seperti Cara Menulis Novel! Tapi itu enggak membantu. Aku mencoba melakukan apa yang disarankan buku, tapi enggak ada yang membantu.
            Mungkin ada orang-orang yang menanyakan apa yang dilakukan orang sepertiku ini di klub, karena aku bahkan enggak bisa menulis. Beberapa teman sekelasku sebenarnya ada yang menanyakan itu.
Secara kasarnya mah, pekerjaanku ini mengerjakan banyak hal ketimbang sekedar menulis saja. Contohnya, aku membaca naskah-naskah yang sudah diajukan dan menunjukkan persoalan-perosalan mengenai bahasa dan plot-nya, dan tergantung keadaan juga, aku pun mempertimbangkan cara untuk meningkatkan banyak hal bersama si penulis, dan membantu mencari bahan-bahan.
            Jadi singkatnya mah, pekerjaanku ini untuk membuat tempat yang bisa membuat para kreator makin mahir.
            Kedengarannya memang lebih keren, tapi tanpa adanya pengajuan, enggak ada yang bisa kulakukan.
            Tanpa bisa menulis sepatah kata pun dan enggak adanya yang mendaftar, hari pun akhirnya berakhir seperti biasanya. Aku sudah membuka buku catatan dan berusaha mencari ide, tapi itu pun enggak membantu.
            Ponsel di sakuku bergetar selagi aku berada di tengah-tengah kekecewaanku saat sedang berjalan pulang.

Eina : Aku punya senjata untuk melawan noda. Aku akan menang sekarang!

           "Kelihatannya dia lagi bersenang-senang," Aku menghela napas. Tapi kemudian aku melihat pesan berikutnya, dan mengatupkan hatiku.

Eina : Semuanya sudah berakhir. Aku ingin mati.

            Aku terkejut karena tipisnya antara kegembiraan dan kurangnya gairah yang muncul hingga sekarang.
            Mati?
            Mengapa?
            Pesan-pesan itu pun terhenti di sana. Sesampainya di rumah, aku makan malam, lalu pergi ke kamarku, dan masih belum ada lagi pesan.
            Harusnya enggak aneh buat seorang gadis yang di masa remaja sepertinya mengirim pesan dalam kurun waktu tersebut.
            Mungkinkah dia menyerah karena aku enggak membalas?
            Atau apa dia beneran mati?
            Atau mungkin..... dia lagi bersiap-siap.....

Shuu : Jangan mati.

            Aku enggak bermaksud melakukannya.
            Aku membalas dan sadar kalau ini sendiri adalah cara yang digunakan oleh seorang penipu. Mereka akan mengirim beberapa pesan menggembirakan, lalu tiba-tiba beralih ke sesuatu yang berat....
            Indikasi tersebut akan membuat penasaran apa yang telah terjadi dan dengan wajar membalasnya....
            Tapi sekarang sudah sangat terlambat.
            Aku akan menerima nasibku.
            Kucoba mengirim pesan lainnya.

Shuu : Kau enggak boleh mati. Apa terjadi sesuatu? Aku akan memberimu saran.

            Sudah kubalas sekali, dan kini aku mulai terlibat makin jauh. Kurasa, bisa dibilang ini meneladani pepatah ‘untuk satu sen, untuk satu pond’ mungkin?
            Selain itu, aku juga penasaran spam macam apa ini, jadi ini bakalan berhasil.

Eina : Eh, ini siapa?

            Dia langsung membalasnya. Sekarang buat penipuannya.

Eina : Seharusnya tidak ada komentar di aplikasi buku harian ini.

            Tapi aku benar-benar kurang paham dengan apa yang dimaksudnya.

Shu : Buku harian? Ini mah aplikasi chat, ‘kan?
Eina : Aku memakainya sebagai aplikasi buku harian, sih.... jadi, bukan ya? Umm, apa selama ini kau menerima pesan-pesan itu?
Shuu : Y-yah.
Eina : Ma-Maafkan aku karena mengganggumu!

            Aku langsung bisa melihat seorang gadis yang meminta maaf menundukkan kepalanya dengan panik. Dia kelihatannya aktor yang bagus.

Shuu : Eh, enggak apa-apa, kok. Jadi, kenapa kau ingin mati?

            Kuputuskan untuk meneruskannya, berbicara dengan seorang gadis yang ingin bunuh diri, setidaknya seperti itulah pengaturannya. Lalu aku pun menunggu balasan, pasti alasannya akan serupa seperti anak gadis yang ditolak.
            Lalu.....

Eina : Aku tak bisa menemukan alasan untuk tetap hidup.
           
            Alasan.... untuk hidup.....?
            Ini pesan spam yang amat filosofis.

Eina : Hidup teh menyakitkan, tak ada alasan yang meyakinkan buat hidup, jadi kurasa mending mati saja.

Shuu : Tapi ada banyak hal juga yang menyenangkan, bukan?

Eina : Tak ada sama sekali. Kurasa, membaca memang sedikit menyenangkan tapi.... masih ada banyak lagi rasa sakit.

Shuu : Tapi kalau kau mati, orang-orang akan merasa sedih, seperti teman dan keluargamu.....

Eina : Mereka, takkan sedih sama sekali.

            Napasku tersendat ditenggorokanku.
            Aku bisa merasakan kesepian dari kata-katanya.
            Mungkin aku sudah menyinggungnya, aku enggak kenal sama gadis yang menyebut dirinya Eina ini, atau situasinya, jadi aku enggak boleh bicara sembarangan.
            Aku berpikir begitu dan tersenyum erat. Kurasa aku sudah mendapat kesan bahwa dia ini memang seorang gadis.
            Dengar Shuu, ini cuman salah satu akal-akalan mereka aja. Bagian diriku yang berpikiran tenang mendesakku. Tapi bagaimana kalau satu dari sejuta peluang itu benar, dan memang ada seorang gadis yang mempertimbangkan untuk bunuh diri? Haruskah aku berbuat sesuatu?
            Enggak masalah kalau aku kena tipu juga.
            Kalau itu enggak benar, yah enggak apa. Kalau ini lelucon pun, juga enggak apa. Tertawakan saja aku sesukamu.
            Pokoknya, aku memutuskan untuk terus menganggap Eina adalah seorang gadis biasa yang berisiko melakukan bunuh diri.

Shuu : Kalau kau mati dan berubah pikiran, kau enggak akan bisa kembali, apa kau yakin?

            Tapi apa yang terpikirkan itu menyedihkan dan aku sedikit merosotkan tubuhku. Aku ragu kata-kata yang dangkal itu akan menghentikan seseorang yang sedang berpikir untuk bunuh diri.

Eina : Kalau mati pun aku takkan berubah pikiran. Aku hanya akan jadi mayat.

            Tepat seperti yang kupikirkan, balasan Eina mendukung perkataannya.
            Sendirian, aku menyilangkan tanganku dan berpikir.
            Bagaimana caranya kau menghentikan seseorang dari bunuh diri? Dia enggak punya alasan untuk hidup, enggak ada yang akan meratapinya, dan enggak ada yang akan menyesalinya setelah....
            Dia menikmati membaca, tapi ada terlalu banyak rasa sakit dalam hidup—
            Seandainya dia bisa menemukan alasan untuk hidup, itu sudah cukup, tapi menemukan satu alasan dalam waktu yang singkat akan—
            "Tunggu sebentar....."
            Dia suka membaca?
            Itu ide yang bagus.
            Kalau dia enggak punya alasan untuk hidup, aku akan membuatnya.

Shuu : Aku ganti topiknya, apa kau pernah merasa ingin menulis buku?

Eina : Bukankah pergantian topiknya agak kejauhan?

Shuu : Itu penting. Klub Literatur-ku enggak punya banyak penulis, sehingga kami enggak bisa mempublikasikan apa pun. Aku sedang mencari seseorang yang mau menulis buat kami. Kau tertarik? Kau suka membaca, bukan?

Eina : Uh, tertarik sih, tapi aku belum pernah menulis cerita.

            Bagus, dia ‘ngikut. Kukirim pesan untuk mendesaknya.

Shuu : Sejauh ini kau sudah menulis dengan begitu baik, aku yakin kau akan baik-baik saja. Kalau kau mencoba dan engggak berhasil juga enggak apa, kok.

Eina : Tapi beneran boleh, nih? Aku bukan anggota atau apa pun, dan aku bahkan bukan murid sekolahmu.

Shuu : Secara teknis mungkin masalah, tapi akan kulakukan sesuatu soal itu. Kupikir menggunakan nama pena enggak akan jadi masalah. Aku akan memikirkan beberapa alasan seperti salah satu anggota menulisnya dengan tanpa nama atau semacamnya. Selain itu, bagiku ini hidup dan mati juga. Kalau aku enggak bisa mempublikaskan sesuatu dalam waktu dua minggu, OSIS akan mengambil ruang klub kami.

Eina : Itu gawat sekali! Baiklah! Aku akan mencobanya!

            Dia kelihatan benar-benar menyukainya. Apa soal kehilangan ruangan klub memang ampuh? Dia ternyata baik. Yang jelas, dia sepertinya lupa soal bunuh diri.
            Dan seandainya aku bisa mendapatkan naskahnya dan mempublikasikan sebuah buku, maka kemungkinan aku bisa mempertahankan ruang klub.
            Benar-benar membunuh dua burung dengan satu batu.

Eina : Umm, apa ada syarat-syaratnya?
Shuu : Enggak juga. Tulis saja apa yang kau suka. Atau bakalan jadi mudah kalau ada syarat-syaratnya?
Eina : Ya, itu akan memudahkan! Bagaimanapun juga, ini pertama kalinya buatku!
Shuu : Kalau begitu, mengenai gadis SMA yang jadi protagonisnya. Isinya enggak akan dipersoalkan.
Eina : Aku mengerti!

...... 3

Keesokan harinya, terdapat pesan tunggu dari Eina dengan melampirkan berkas teks.
Kurasa itu adalah plot atau latar pada umumnya, dan saat membukanya aku pun terkejut.
Itu adalah naskah.
Aku enggak bisa menahan diri untuk bergumam dengan kaget.
            "Beneran, nih?"
            Ada sekitar lima ribu kata, sempurna untuk sebuah cerita pendek.

Shuu : Terima kasih buat naskahnya! Naskahnya bagus, apa kau menulis itu semua semalam?

            Selagi masih mengenakan piyama, aku mengirimi Eina pesan. Seketika itu juga, balasannya pun tiba.

Eina : Aku begadang semalaman.
Shuu : Ini pertama kalinya kau menulis, ‘kan? Itu luar biasa.
Eina : Ehehe.
Shuu : Akan kubaca secepatnya dan kuberitahukan pendapatku. Aku akan periksa kesalahan pengetikan dan kelalaiannya, serta memeriksa plot dan berbagai hal lainnya juga.
Erina : Silahkan lakukan!

            Selagi berangkat ke sekolah, aku bertanya-tanya, siapa sih dia sebenarnya?
            Ampe bisa menulis sebanyak itu dalam semalam.....
            Kupikir dia itu anak SMP atau SMA, tapi apa mungkin dia itu Mahasiswi?
            Atau bahkan, mungkin saja seorang karyawan? Mungkin aku harus menanyakannya saja.....
            Selagi menunggu di ruangan klub seperti biasanya, aku mulai membaca naskah Eina di ponselku.
            Itu adalah novel anak muda.
            Ringkasannya kurang lebih begini :

Seorang gadis SMA bertemu dengan hantu seorang gadis di atap sekolahannya. Hantu itu meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, dan meminta untuk meminjam tubuh si protagonis sehari karena ada seseorang yang ingin ditemuinya, dan ingin memberitahukan perasaan dia terhadapnya. Orang itu adalah anak lelaki yang disukai si protagonis....
Si protogonis mengalami sesuatu seperti merasakan keluar dari tubuh, mengikuti hantu itu dan anak lelaki yang kencan sembari melayang di udara. Melihat kebahagiaan mereka, dia pun dengan ikhlas membiarkan dirinya lenyap dan memenuhi cinta mereka.

            Itu adalah kisah yang cukup menyedihkan, tapi ditulis dengan begitu baik hingga membuat hatiku tersentuh.
            Bahkan, ini lebih baik dari yang kuharapkan.
            "Ini agak sulit dipahami, jadi aku harus membantu merevisinya... Aku juga ingin tahu lebih banyak soal motivasinya, juga ada sedikit yang enggak bisa kau tuturkan mengenai apa yang ia pikirkan...."
            Aku mencatat pendapat-pendapatku selagi bergumam pada diri sendiri.
            Aku mungkin berkata begitu untuk menghargainya, tapi kurasa itu adalah tulisan yang mengagumkan. Kalau kau tanya mengapa aku mencatat cara untuk memperbaikinya jika itu sudah mengagumkan, karena aku yakin itu akan jadi lebih mengagumkan.
            Semua penulis pun bilang, bahwa sulit untuk bisa menulis naskah komplet sekaligus. Contohnya, sekalipun seorang penulis merasa apa yang sudah ditulisnya itu masuk akal, enggak semua orang bisa membacanya dengan jelas dan mungkin ada kesalahan yang enggak terduga dalam ungkapan. Adanya orang lain yang memeriksa sangatlah efektif untuk meningkatkan pekerjaan.
            Tapi di saat yang sama, diperlukan seseorang yang handal. Saat menyerahkan naskahnya, para penulis akan menyerahkan yang terbaik, dan rasanya kurang mengenakkan ketika ada poin-poin yang ditunjukkan pada mereka untuk diperbaiki. Terlebih lagi, aku ini hanyalah sekedar penggemar novel yang merupakan bagian dari Klub Literatur sekolah, bukan seorang editor profesional. Aku sendiri mungkin membuat kesalahan.
            Bisakah aku menyampaikan pendapatku tanpa menyakiti si penulis, dan memintanya untuk memeriksanya dengan teliti....
            Hingga kini, aku sudah berbicara secara langsung dengan para penulis di ruang klub, tapi.... Dengan Eina, kami enggak bisa bertemu.
            Aku masih curiga dia itu penipu, aku bahkan enggak tahu usianya atau apakah dia itu sebenarnya memang seorang perempuan. Bahkan, mungkin saja dia itu orang yang berbahaya. Selain itu, aku juga enggak tahu tempat tinggalnya. Kalau dia tinggal di Hokkaido atau Okinawa, maka kami enggak akan bisa bertemu dengan mudah karena aku tinggal di Chiba.
            "....."
            Dengan berpikiran begitu, kulihat naskah pada layar ponselku lagi.
            Aku yang termenung, berpikir bahwa kami enggak bisa bertemu, tapi dalam lubuk hatiku, aku ingin menemuinya.
            Aku hanya ingin bertemu dan berbicara dengan orang yang sudah menulis sesuatu yang mengagumkan.
            "Nah, itu enggak bakalan terjadi."
            Gumamku pada diriku, memupus harapanku untuk bertemu dengannya. Saat kupikirkan itu dengan tenang, enggak mungkin aku bisa bertemu dengannya. Tapi kalau enggak bisa bertemu, bagaimana aku akan memberikan kesanku...
            Aku akan menempatkan banyak koreksi dalam berkasnya semampuku.
            Kukeluarkan salah satu laptop milik klub, dan menghubungkan ponselku untuk memindakan berkas-nya.
            "Hmm, yang ini?"
            Enggak tahu kenapa, tapi aku langsung merasa enggak nyaman dan segera menyadari tanda-waktunya aneh.
            Tanda-waktu pada berkas yang dikirm Eina adalah xx/09/2013.
            Sekarang ini sudah tahun 2018, jadi tepat lima tahun yang lalu.
            Apa dia bohong soal begadang semalaman dan mengirimkan yang sudah dia tulis sebelumnya?
            Jadi, dia emang beneran mencoba menipuku?
            Tapi mau diapakan pencapaiannya itu? Selain itu, hasil akhirnya juga kelewat bagus....
Aku mulai mencatatkan komentar-komentar pada berkasnya.

*

            Sehabis pulang dan makan, aku mengirim pesan ke Eina.

Shuu : Aku sudah baca, naskahnya bagus.

            Balasan pun datang dalam hitungan detik.

Eina : Beneran?
Shuu :  Bener. Meski ceritanya kurang mengenakkan, aku merasa begitu sedah sehabis membacanya. Kupikir itu novel yang bagus.
Eina : Kau terlalu memujiku.

            Rupanya dia pemalu.

Shuu : Sudah kutunjukkan beberapa kesalahan pengetikan dan masalah-masalahnya, tapi....

Eina : Ah, benar.
Shuu : Aku menambahkan komentar-komentar pada berkas-nya, maukah kau memeriksanya?

            Aku melampirkan berkas dan mengirimkannya ke Eina.

Eina : Sudah terkirim.
Shuu : Bisa kau buka?
Eina : Sudah kubuka. Ahhhhhhhh.
Shuu : Ada apa?
Eina : Maafkan aku! Aku sungguh minta maaf!

            Eina terus meminta maaf.

            Sial. Mungkin aku kebanyakan mengkoreksi. Aku sudah mencobanya seteliti mungkin, tapi kurasa koreksi pada pekerjaan pertamamu mempunyai dampak yang nyata.

Shuu : Enggak usah minta maaf. Hal seperti ini wajar, kok.
Eina : Tapi, tapi.... aku sudah menghabiskan waktumu, dan....

            Percuma, itu enggak muncul lewat teks. Kalau ‘gini, itu enggak bakalan terselesaikan.
            "Apa yang harus kulakukan?.... Hmm?"
            Aku menyadari sesuatu pada layarku. Aplikasi ini mempunyai panggilan suara gratis. Kuketuk tombolnya, sebagian besar karena refleks.
            Kuletakkan ponselku ke telinga dan mendengarkan nada panggilan.
            Lalu—itu terhubung.

Halo?

            Sopran dari ponselku membuatku terkagum. Suaranya indah.
            Suaranya sedikit lebih tinggi dari yang kubayangkan saat kami mengobrol, dan terdengar jelas.

Halo, ini Shuu. Um.... Salam kenal.
Salam kenal juga.

            Dia terasa cukup dekat hingga aku bisa mendengar napasnya.
            "....."

.....

            "Jadi."

Umm.

            Berbicara di saat yang sama,  kami pun berhenti bicara.

.....  Silahkan duluan.

            "Maaf. Ini soal naskahnya."

Y-ya.....

            Meski lewat ponsel, aku tahu dia sangat gugup. Mungkin dikiranya aku ini marah?
            Karenanya, aku bicara seramah mungkin.
            "Naskahnya benar-benar bagus."

Eh? Tapi ada banyak koreksinya....

            "Justru karena adanya koreksi membuat naskahnya bagus. Aku yakin naskahnya pasti bisa lebih baik. Maaf, mungkin kesannya agak kasar, tapi aku enggak ingin bicara buruk soal naskahnya."

Akulah orang yang seharusnya minta maaf. Naskah semacam itu.... semuanya berantakan.

            "Ini baru pertama kalinya buatmu. Kalau kau enggak ingin merevisinya, kau bisa memeriksa kesalahan pengetikan dan mencetaknya apa adanya. Aku enggak menemukan sesuatu yang mencolok, kok."

Tidak! Kau sudah berupaya keras untuk meyuntingnya, aku akan berusaha keras untuk merevisinya!

            Suaranya jauh lebih semangat dari sebelumnya, dan aku tenang. Bicara sebenarnya sangat penting.

Umm, boleh aku mengajukan beberapa pertanyaan?

            "Tentu saja!"

Apa yang dimaksud dalam komentar pertamamu..... saat kau bilang ingin lebih banyak gambaran dari keadaan psikologis si protagonis?

            "Ah, yang itu. Kurasa mungkin bakalan lebih baik lagi kalau kau mengatakan lebih banyak soal alasan mengapa dia membiarkan hantu itu meminjam tubuhnya. Dengan begitu, akan lebih banyak empati, ‘kan?"

Begitu, ya! Lalu, di halaman selanjutnya—

            Dan begitulah percakapan itu berlalu dengan lancar, hingga kami selesai.

            "Apa itu enggak apa? Kau enggak punya pertanyaan?"

Tidak apa!

            "Aku sendiri mungkin membuat kesalahan, jadi tolong tunjukkan."

Kurasa tidak ada, deh!

            Lalu kami pun membahas naskahnya beberapa kali selama akhir pekan, dan novelnya Eina pun rampung.

..... 4

           "Shuu-kun, ada apa dengan naskah ini?" Tanya Ruka-senpai sehabis selesai membaca naskah yang dicetak itu.
            Hari itu adalah hari Senin, dan kami berada di ruang klub.
            Dia adalah anak kelas tiga di Klub Literatur. Dia adalah seorang wanita dengan rambut penuh gelombang, dan senyum ramah yang mempesona. Dia tenang dan berbicara dengan santai, sehingga bersamanya terasa agak tenteram.
            "Aku mendapatkannya dari seorang kenalan." Jawabku pada Ruka-senpai yang menyimpan tatapan penuh tanya.
            "Kenalan? Siapaaa?"
            "Itu mah rahasia. Namanya enggak ingin dikenal."
            "Mgh."





            Ruka-senpai benar-benar ingin tahu soal si penulis, namun aku enggak bisa bilang ‘Aku mendapatkannya dari seseorang yang kutemui di aplikasi.’  Aku enggak ingin membuatnya khawatir, bahwa aku mungkin ditipu.
            "Ini agak mendadak, tapi bisakah kamu buatkan sampul ilustrasi dan desainnya?"
            Ruka-senpai juga enggak menulis. Malahan, dia menggambar ilustrasi, dan mendesain sampul. Tentu saja dia menyukai buku, tapi bukan tipe yang ingin menulisnya sendiri, dia ingin mendesain buku-buku sebenarnya. Bisa dibilang, menempatkan orang tepat dalam bidangnya.
            Ada dua anggota kelas tiga lainnya yang sebagian besarnya menulis. Kebetulan, mereka termasuk orang-orang yang sudah berhenti untuk fokus pada ujian mereka.
            "Boleh, hari Jumat aja, ya?"
            Angguk Ruka-senpai yang tersenyum padaku.
            "Ya. Terimakasih banyak sudah mau melakukannya selagi kamu sibuk belajar."
            "Enggak apa, kok. Selain ingin membantumu, aku juga akan sedih kalau kita kehilangan ruangannya."
            Kebaikannya membuatku tersentuh.
            Sampulnya sudah dipilah. Aku akan mendapatkannya hari Jumat, lalu mencetaknya hari Sabtu, dan mempublikasikannya hari Senin.
            Biarpun aku harus meminta OSIS untuk meminjamkan ruang pencetakan. Rasanya agak menyusahkan hati karena di sana ada Ketua Minekawa juga, dan aku benar-benar enggak ingin melihatnya.
            Tapi aku mesti pergi, jadi aku pamitan pada Ruka-senpai dan pergi ke ruangan mereka.
            "Permisi."
            Kuketuk pintu, dan masuk ke  dalam. Semua anggotanya sedang bekerja di mejanya. Kelihatannya mereka semua sibuk, jadi enggak ada yang datang buat mengurusiku.
            Aku juga enggak lagi buru-buru, jadi kutunggu saja dengan nyantai di pintu.
            "Baik. Aku akan pergi dan bicara pada Klub Bisbol dan...."
            Ketua lagi bekerja di meja bagian dalam. Aku enggak bisa menahan diri untuk menatap ke tempat tersebut.
            Kelihatannya dia lagi mengurusi klub olahraga.
            Senyuman lembut terpampang di wajahnya dan agak tampak seperti salah satu lukisan orang-orang suci barat.
            Dia benar-benar fotogenik.
            "Klub Literatur?"
            Dia menyadariku dan melihat ke arahku, mengerutkan kedua alisnya bebarengan.
            Dia selalu terlihat kesal saat melihatku.
            Kupasang senyum tegang di wajahku.
            "Ada perlu apa? Saat ini kami rada sibuk."
            Ucapnya sambil berdiri dan berjalan ke arahku.
            "Aku ingin meminjam ruang pencetakan hari sabtu, apa kosong?"
            "Ya, kosong."
            Dia berputar dengan tumitnya, dan mengambil buku catatan dari rak-rak.
            "Tuliskan kelas dan namamu di sini, dan kapan kau akan menggunakannya."
            Kutuliskan seperti yang dikatakannya.
            "Apa yang kau cetak, sih?"
            "Buku murid baru."
            "Kau menulis sesuatu?"
            "Tidak, kok."
            Berhubung aku lagi berbicara dengannya, kuputuskan untuk bertanya soal ruang klub.
            "Gini, ketua, kalau kami benar-benar melakukan sesuatu, kami enggak bakalan diusir dari ruangan kami, ‘kan?"
            "Aku tak bisa memutuskannya secara sepihak, tapi kalau kau terus mempublikasikan buku, aku bisa membahasnya kembali saat rapat."
            "Aku janji, kami bakalan terus mempublikasikan."
            "Baiklah. Aku akan membahasnya saat rapat besok. Tapi ada satu syarat lagi."
            "Syarat?"
            "Beri juga aku bukunya satu."
            "Kami memberikannya secara gratis, sih?"
            Kami selalu menempatkannya pada kotak-kotak di setiap lantai dengan papan pemberitahuan ‘Silahkan ambil satu’ pada kotak.
            "Bawakan aku satu."
            "Kenapa?"
            "Tidak ada ruginya buat usaha sebanyak itu, bukan? Bagaimanapun juga, aku sudah bilang akan merusak sesuatu yang sudah diputuskan."
            Kurasa itu malah menambah beban kami, tapi kalau bisa memenuhi syarat itu, kami bisa mempertahankan ruang klub kami, aku bisa langsung menjawabnya.
Saat kami selesai, dia pun kembali ke mejanya tanpa mengucapkan ‘salam perpisahan’ dan karenanya, aku bahkan enggak sempat berterima kasih padanya.
            Dia selalu begitu terus terang. Aku tahu dia adalah orang yang realistis, tapi setidaknya dia tersenyum pada orang-orang yang lagi di hadapinya, tapi dia masih terlihat sangat jengkel padaku.
            "Kurasa dia benar-benar membenciku...."
            Gumamku sambil berjalan melewati koridor. Aku enggak bisa menahan diri  untuk memikirkan kembali pertemuanku dengannya.

            Saat itu adalah hari pertama sekolah. Kuakui kalau aku ini adalah seorang kutu buku dan penasaran dengan buku-buku di sekolah yang kumasuki, jadi kupergi ke perpustakaan saat hari berakhir. Aku suka membaca di ruangan-ruangan dan di perpustakaan, keduanya mempunyai kesan yang bagus saat dipenuhi dengan buku-buku. Bau debu dari buku-buku lama membuatmu seperti tengah diselimuti buku-buku, sehingga mempunyai pesona yang berbeda dari toko buku.
            Aku melihat ke sepanjang rak-rak buku mulai dari sudut.
            "Oh!"
            Aku menemukan salah satu buku Sci-Fi kesukaanku, dan secara enggak sadar mengulurkan tanganku pada buku tersebut.
            Itu adalah buku Sci-Fi yang berurusan dengan waktu, yang disebut The Door Into Summer.
            Tanganku terhenti, karena adanya tangan lain yang juga menggapai buku tersebut.
            "Silahkan."
            Kutarik kembali tanganku.
            "Apa kau yakin?"
            "Ya, aku sudah membacanya.... lumnya."
            Aku melihat tangan orang itu dan kehilangan kata-kata.
            Dia sangat cantik hingga aku harus menenggak.
            Itu adalah Ketua Iblis, Minekawa Yukino.
            "Kau Yagi Shuu-kun dari kelas A, ‘kan?"
            "Ya," Aku berhasil berucap saat dipanggil olehnya.
            Kenapa dia tahu namaku? Aku baru saja masuk sekolah.....
            "Aku Minekawa Yukino dari Kelas B. Salam kenal."
            "Y-ya, salam kenal juga."
            "Apa kau.... suka buku?"
            "Ya, kau juga?"
            "Ya."
            "Jadi, apa kau masuk Klub Literatur?"
            "Aku sedikit bingung. Ada begitu banyak yang ingin kulakukan...."
            "Begitu, ya. Aku bergabung dengan Klub Literatur, jadi mari kita teruskan kalau kau bergabung."
            "..... Akan kuingat."
            Aku masih belum melupakan senyuman lembut dan ramahnya itu. Pada akhirnya, dia enggak bergabung dengan Klub Literatur dan aku sering kehilangan kesempatan untuk berbicara dengannya. Bisa dibilang, hari itu adalah hubungan pertama dan terakhir kami.
            Lalu, saat di mana kami bertemu lagi adalah saat kelas dua di kelas yang sama, dia nampak memperlakukanku dengan kasar. Kami hampir enggak pernah bicara, jadi aku enggak tahu kenapa dia tiba-tiba membenciku. Hidup teh bener-bener penuh misteri.

..... 5

            Aku mencetak seratus buklet.
            Biarpun buklet-buket tersebut dibagikan secara gratis, enggak semua murid-murid menyukai buku, jadi itu jumlah yang wajar. Tapi saat mengerjakannya sendiri, jumlahnya cukup banyak.

            Hari itu adalah hari Sabtu, dan aku bisa mendengar para anggota klub olahraga dari luar.
            Seberesnya di ruang pencetakan, aku membawa cetakan tersebut ke ruang klub dan mulai menjilidnya.
            Pekerjaannya itu sendiri mudah. Lipat setiap lembaran B4 menjadi dua, menumpukkannya, lalu menstaplernya. Dikarenakan aku kurang tidur, jadi hanya membawa bahan-bahannya saja sudah melelahkan.
            Ruka-senpai sudah mengirimkan ilustrasinya saat Jumat pagi, dan aku pun sudah menata cetak semuanya dari sehabis sekolah hingga pagi ini. Teks-nya sendiri sudah rampung, tapi itu memerlukan waktu hingga pagi.
            Aku sudah tidur sejenak sebelum pergi ke ruang pencetakan, jadi sekrang sudah tengah hari.
            Aku menyantap makan siang yang sebelumnya kubeli di toko, lalu mulai bekerja dengan sungguh-sungguh.
            Kumelipat kertas tanpa kata selagi mendengarkan musik yang dimainkan dari ponselku.
            Printer-printer terbaru akan membaca data dan menjilid hasilnya ke dalam buku-buku itu sendiri, tapi sekolahku enggak punya barang semalah itu. Karenanya, kami harus melakukannya dengan tangan... tapi hanya aku sajalah anggota yang aktif.
            "Aku harus mengerjakannya."
            Ucapku dengan sombong untuk memotivasi diri sendiri, sungguh gambaran pahlawan yang mengenaskan.
Agak terasa seperti semangat larut malam.
            Lalu :
Vrr vrr.
Ponselku pun berdengung.

Eina : Halo, apa kabar?
Shuu : Baik.
Eina : Hari ini kamu lagi ngapain?
Shuu : Menjilid buku-buku.
Eina : Hari ini kamu ada kegiatan klub?
Shuu : Iya, sendirian.
Eina : Tidak ada yang bantu?! Kejamnya!
Shuu : Murid-murid kelas tiga sudah berhenti, jadi cuman aku seorang yang aktif.
Eina : Begitu, ya.... jadi kau menjilidnya sendirian? Berapa banyak?
Shuu : Seratus.
Eina : Waah, banyak sekali. Maaf, ya... aku tidak bisa bantu.
Shuu : Enggak apa, kok. Ada orang yang bisa diajak bicara saja sudah memudahkan.
Eina : Ya sudah, kalau memang tidak mengganggu, akan kutelepon.

            Seketika, panggilan pun langsung datang sehabis aku membacanya, dan kujawab dengan speaker telepon.

Halo, Shuu-san?

            "Halo."

Berjuanglah. Aku akan menyorakimu.

            "Makasih."

.....

            "....."

Sebenarnya, aku tak tahu harus membicarakan apa.

            "Karena kita saling enggak tahu apa-apa, jadi mari kita saling mengenalkan diri. Eina suka buku yang seperti apa?"

Hmm.... Selain kisah romantis, aku juga suka yang berbau-bau fantasi, seperti dongeng. Kamu sendiri?

            "Aku hampir suka semuanya, terutama Sci-Fi."

Makanan apa yang kamu suka?

            Kali ini, Eina lah yang mengajukan pertanyaan.
            "Ramen, katsudon, makanan-makanan yang seperti itu."

Itu mah kesukaan banyak laki-laki.

            "Eina sendiri?"

Aku suka yang manis-manis! Kue, crim, choux, dorayaki, anmitsu....

            Kurasa makanan-makanan manis barusan itu memang gadis banget.

Pertanyaan berikutnya! Apa kau punya pacar?

            "Enggak, tuh."

Kalau orang yang kamu suka?

            Tiba-tiba, wajah ketua muncul di benakku, dan aku pun langsung tersenyum masam.
            Dia memang cantik, tapi dia itu di luar jangkauanku. Aku cuman bisa mengaguminya dari jauh. Kalau mungkin, aku bener-bener kagak ingin berbicara dengannya.
            Rasanya sulit buat melihat tingkahnya yang seakan membenciku saat kami saling berbicara berhadapan.
            "Kurasa, aku punya."

Eh, eh. Orang yang kayak ‘gimana.

            "Orang yang kayak ‘gimana? .... Hmm, aku kurang tahu. Aku hampir enggak tahu apa-apa mengenainya."

Ah, jadi bertepuk sebelah tangan......

            "Kayaknya begitu. Kamu sendiri? Apa kamu punya pacar?"

Kamu pikir aku akan benar-benar punya?

            Kayaknya enggak, lalu kutanya.
            "Kalau orang yang kau suka?"

Umm. Ada seseorang yang kukagumi tapi,

            Dia kelihatan ingin menghindari pertanyaan itu,

bagiku itu bertepuk sebelah tangan juga, mungkin.

            Mendengar dia yang agak kesepian membuat hatiku sakit. Cinta bertepuk sebelah tangan teh.... memang berat.

            "Kalau butuh saran, mungkin aku bisa bantu?"

Terima kasih. Buat saat ini aku baik-baik saja, kok. Tapi saat itu terjadi, mohon bantuannya.

            Enggak terasa, waktu pun berlalu dengan cepat saat aku meneruskan obrolan yang enggak jelas itu dengan Eina, dan buku-bukunya juga sudah dijilid sepenuhnya saat aku enggak sadar matahari sudah terbenam.

.....6

            Hari itu adalah hari Senin, buku-bukunya pun sudah di tempatkan di sebelah papan pemberitahuan dengan aman. Aku langsung menuju ke ruang OSIS begitu mereka sudah mulai bekerja.
            Ketua duduk sendirian, tengah bekerja.
            “Ketua, aku membawanya sesuai janjiku."
            "Terima kasih, kami juga takkan mengambil ruang klubmu seperti yang sudah kujanjikan."
            "Yes! Aku berhutang padamu."
            "Sebagai gantinya, lakukanlah kegiatanmu dengan benar meskipun terlihat membosankan, oke?"
            "Baik."
            Aku pun meninggalkan ruangan OSIS dengan keberhasilan.

*

            Karena terlambat, buklet murid baru pun meyebabkan kepopuleran yang tentram di sekolah. Klub Literatur kami punya tradisi mempublikasikan sesuatu menggunakan nama asli kami, tapi ‘Eina’ jelas-jelas merupakan nama samaran. Terlebih, enggak ada banyak orang yang menulis cerita seperti Eina.
            Semua orang ingin tahu siapa orang yang sudah menulisnya, dan nampaknya banyak orang yang membaca ketimbang biasanya. Contohnya, Sakai Keisuke sang andalan Klub Surat Kabar yang mengampiriku selagi aku makan siang pas hari Rabu.
            Sakai dan aku sudah melakukan banyak hal bersama karena kami sudah sekelas semenjak kelas satu, tapi sebelumnya dia belum menunjukkan batang hidungnya di ruang klub.
"Eina itu siapa? Anggota baru? Nama samaran kakak kelas? Atau malah kamu sendiri?"
Sakai enggak kerepotan membenarkan kacamatanya yang bergeser, dan menghujaniku dengan pertanyaan.
"Aku enggak bisa bilang."
            Malahan, aku enggak bisa bilang meskipun aku ingin, karena aku hampir enggak tahu apa-apa mengenainya.
            "Ayolah, kita ini teman, ‘kan? Bos mengancamku untuk kemari dan menanyakan siapa orangnya!"
            Sakai berlutut memohon padaku. Terlihat agak menyedihkan, tapi kalau aku enggak bisa bilang, ya enggak bisa.
            "Maaf, enggak bisa."
            "Dasar kejam."
            "Aku punya situasi tersendiri, begitu pula dengan Eina."
            "Ahhhh, aku bakalan dipecaaaaaaat!"
            Sulit buat nenangin Sakai yang nangis, tapi aku senang buklet-nya populer.
            Aku ingin memberitahu Eina sekarang juga, jadi kuusir Sakai dan mengiriminya pesan.

Shuu : Semua orang menyukai ceritamu!

            Balasan pun tiba sesampainya aku di rumah.

Eina : Yang bener?!

            Biasanya aku enggak mendapatkan pesan dari Eina selagi dia sekolah, jadi mungkin dia mengirimnya saat dia sudah pulang ke rumah. Mungkin di sekolanya ponsel dilarang.

Shuu : Beneran! Klub Surat Kabar datang buat meliputnya. Mereka ingin tahu siapa yang menulisnya! Aku mengelaknya, sih.
Eina : Itu berjalan lancar?!

            Aku bisa merasakan kegembiraaanya dari layar.
            Lalu, aku teringat sesuatu yang penting.

Shuu : Oh iya, aku lupa. Harus kuapakan sama buku yang sudah jadinya ini? Mau aku poskan saja?
Eina : Diposkan.... mungkin agak bermasalah.

Shuu : Kayaknya kau enggak ingin memberithukan alamatmu.

            Tentulah dia enggak mau. Sejauh yang diketahuinya, aku ini cuman orang yang enggak dikenal.

Eina : Bukan begitu, aku sendiri memang tidak keberatan.... tapi keluargaku mungkin tak suka dikirimi sesuatu oleh seseorang yang tak dikenalnya....
Shuu : Begitu, ya.
Eina U-umm... kalau bisa.... maukah... kau memberikannya padaku secara pribadi?

            Hatiku terasa melompat begitu melihat pesan itu. Aku akan ketemuan sama Eina—
           
Eina : Ah! Maafkan aku! Aku belum sempat tanya tempat tinggalmu.

            Eina mengirim pesan lainnya selagi aku enggak tahu harus balas apa.

Eina : Aku tinggal di Chiba, jadi kalau di sekitaran Kanto harusnya bisa.

            "Ehh?!"
            Aku enggak bisa menahan diri untuk berteriak karena terkejut. Eina juga tinggal di Chiba?!
            Apa kebetulan semacam itu beneran ada?
            Untuk suatu alasan, jantungku berdegup kencang.

Eina : Shuu-san, kamu tinggal di mana?
Shuu : Aku juga tinggal di Chiba, di Kota C.

            Karena dari tadi hanya Eina yang terus mengirimi pesan, jadi dengan terburu-buru kubalas saja dengan tempat tinggalku.

Eina : Ya sudah, kita ketemuan di station C aja, ya?
Shuu : Boleh, tuh.
Eina : Baiklah, terima kasih. Sampai ketemu hari Sabtu!

...... 7

            Mungkin karena hari Sabtu, stasiun itu pun ramai. Tempatnya bersih dan teratur karena sudah direparasi dua tahun yang lalu, dan pas buat mengamati orang-orang.

Aku sampai di pembatas tiket sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan.

Shuu : Aku sampai sedikit lebih awal, nih. Aku ada di depan tiang, pake mantel hitam dan celana jengki, aku masih remaja.
Eina : Aku juga. Eh, tiang....? Umm, di mana?
Shuu : Di depan pembatas tiket. Tepat di sebelah kananmu di jalan keluar.
Eina : Yang bener.... coba angkat tanganmu?

            Kuangkat tanganku seperti yang dimintanya.

Shuu : Sudah, nih.
Eina : Lah, kamu di mana?
Shuu : Kau pake apa?
Eina : Kemeja rajut terang, sepasang kulot, dan sandal. Rambutku lurus dan masih remaja.

            Kulihat ke sekeliling. Ada banyak gadis remaja, tapi enggak ada yang lagi mencari-cari.

Shuu : Ini aneh. Bukan stasiun pribadi, ‘kan?
Eina : Bukan~
Shuu : Iya juga, sih. Ya sudah, pergi aja ke mesin tiket, aku juga akan ke sana.
Eina : Baik, aku sudah di sini.

            Dia enggak ada di sana.

Eina : Susah untuk menemukan orang saat sedang direnovasi.

            Aku merengut.

Shuu : Direnovasi? Bukannya itu sudah beres?
Eina : Eh? Mereka bilang akan memerlukan waktu tiga tahun lagi, bukan?
Shuu : .....
Eina : .....

            Dia mungkin main-main denganku, atau berada di tempat lain dengan nama yang sama.
            Hanya ada satu Stasiun C di Chiba, sih.
            Lalu kuteringat tanda-waktu pada filenya, xx/09/2013. Sekarang sudah tahun 2018, jadi tepat lima tahun yang lalu.
            Renovasi mah sudah beres dua tahun yang lalu, jadi waktunya pas dengan yang dibilang Eina yang bakalan memerlukan waktu ‘tiga tahun lagi’.

Shuu : Coba kirimkan gambar bagian depan stasiun.
Eina : Baik.

            Ponselku berdenting saat pesannya sampai. Bagin depan stasiun dilingkupi pembatas bangunan, jadi tepat disaat tengah-tengah renovasi.

            Aku ditipu.
            Kau bisa dengan mudah memalsukan hal semacam ini. Contohnya, kalau mengambil pesan awal padaku seperti ‘seorang gadis yang tinggal di tahun 2013’, dari sana bakalan mudah untuk mengikutinya.
            Tapi untuk suatu alasan, aku enggak bisa meragukan Eina. Apa dia beneran seseorang yang bakalan berbohong begitu?
            Jadi—

Shuu : Eina, tahun berapa sekarang?
Eina : Eh? Kenapa?

            Dia membalas dengan pertanyaan yang wajar.

Shuu : Akan kujelaskan nanti, beritahu saja aku?
Eina : Tahun 2013.....

            Aku berulang kali membaca ‘2013’. Enggak ada kesalahan.
            Bisa saja itu bohong.
            Tapi aku ingin mempercayainya, jadi.... aku berbicara dengan jujur.

Shuu : Jangan terkejut, buatku sekarang ini tahun 2018.

            Enggak ada balasan untuk beberapa saat.

Eina : Itu.... aku tak bisa mempercayainya.
Shuu : Sama, aku juga.

....8

            Aku pergi ke taman terdekat dan menelepon Eina selagi duduk di bangku. Rasanya makin menjengkelkan bicara lewat teks.

Halo, ini Eina.

            "Ini Shuu. Apa buatmu beneran tahun 2013? Kau enggak menipuku, ‘kan?

            Tanyaku dengan terus-terang.

Memang apa untungnya menipumu?

            Dia terdengar kesal. Aku bisa membayangkan seorang anak SMA yang cemberut padaku.

            "Bisa saja kau ini teman sekelas yang harus mengerjaiku karena semacam hukuman."

Kau terlalu banya berpikir. Selain itu, aku sudah berteriak ‘penipu’ dan yang lainnya akan muncul sekarang, ‘kan?Aku tak perlu melanjutkan, ‘kan?

            Memang benar.

Kupikir kamu juga mungkin menipuku, tapi aku tak bisa memikirkan alasan kamu melakukannya, jadi kurasa aku harus menerimanya sebagai kebenaran.

            "Memangnya mungkin ‘gitu buat bicara dengan seseorang dari lima tahun yang lalu?"

Mau itu mungkin atau tidak, setidaknya kita tak bisa bertemu dan berbicara.

            Kukeluarkan buku itu dari tasku dan menatapnya.
            Aku enggak bakalan bisa memberikannya pada Eina.
            Ini memang memalaukan... aku bisa membuatnya menjadi PDF dan mengirimkannya? Mungkin enggak seperti punya yang asli, tapi masih lebih baik daripada enggak sama sekali.
            Saat pemikiran-pemikiran itu terlintas di benakku, aku menyadari sesuatu.
            “Tidak, kita bisa bertemu."

Eh, tapi kita tinggal di waktu yang berbeda?

            "Aku bisa bertemu dengan dirimu di lima tahun mendatang. Maaf, tentunya kau harus menunggunya."
            Memang enggak sampai seratus atau dua ratus tahun, tapi hanya lima tahun. Dalam lima tahun, tentu saja anak SMA sepertiku akan menjadi orang dewasa, jadi itu waktu yang lama, tapi enggak sebegitu lamanya hingga kami harus menyerah untuk bertemu. Atau enggak harus begitu juga, tapi untuk suatu alasan, Eina terdiam.
            "Eina?"
            Setelah beberapa saat, Eina pun kembali bicara dengan tenang.

..... Kalau kubilang untuk berhenti, akankah kau membenciku?

            "Eh, tentu saja enggak...."

Maaf, aku jadi egois.

            Dia nampak merosotkan tubuhnya di telepon.
            Aku panik karena perubahan sikapnya dari yang bisanya riang.
            "Kau enggak berbuat salah apa-apa, kok. Maafkan aku karena sudah membicarakan soal itu."

Tidak, akulah yang salah. Aku benar-benar ingin bertemu denganmu.

            Jantungku berdegup kencang saat dia berkata begitu.

Tapi aku takut. Takut untuk mengetahui masa depanku. Maksudku.....

            Suara Eina memelan, dand dia berbisik.

Bagaimana kalau di lima tahun mendatang aku sudah meninggal?

            Rasanya seperti ditikam dengan kata-kata tenangnya.          
            Eina.... sekarat?
            "Apa kau.... sakit?"

Eh? Tidak, aku tidak sakit, kok. Ini cuman seumpamanya saja. Kalau aku mati, ya tak apa. Mungkin itu sudah nasib burukku. Ada banyak hal yang lebih buruk ketimbang kematian.

            Dia bilang hanya seumpamanya saja.
            Dia enggak salah, kehidupan seseorang memang bisa berubah drastis tiap harinya. Tapi kebanyakan orang hidup dengan perasaan yang enggak jelas apa mereka masih akan berada di sini esoknya, lusanya... dan bahkan lima atau sepuluh tahun mendatang.
Orang bisa hidup dengan normal karena mereka enggak meragukan hal itu. Tapi Eina bilang dia mungkin akan mati.
            Mengapa?
            Apa yang membuatnya sampai berkata begitu....?

Pasti kalau sesuatu yang buruk sudah terjadi padaku di masa depan, kamu akan menyembunyikannya. Tapi aku mungkin bisa tahu dari suaramu, jadi aku takut. Maafkan aku.

            Namun aku enggak menanyakan bagaimana situasinya, atau mengapa dia begitu pesimis.  
            Dia beneran berpikir soal bunuh diri saat kita pertama kali bicara.
            Mungkin itu enggak ada hubungannya.
            Tapi aku enggak bisa bertanya, masih ada jarak yang terlalu jauh di antara kami. Aku enggak tahu apa aku bisa mengajukan semacam pertanyaan yang mengusut seseorang yang belum pernah kulihat sebelumnya.
            "Ya sudah, ayo kita terus mengobrol aja, Eina."
           
Ya! Ayo!

            Mungkin karena aku bicara seceria yang kubisa, suara Eina kembali bersemangat
            Aku menghela napas.

.....9

                        Sebuah pesan pun tiba dari Eina selagi aku tengah rebahan di kamarku semalamnya.

Eina : Boleh aku meneleponmu sekarang?
Shuu : Boleh.

            Panggilan pun tiba.
            "Halo."

Halo, Shuu-san?

Enggak hanya mengatakannya dengan begitu saja, itu nampak seperti dirinya.
"Enggak usah khawatir. Besok libur, kok. Jadi, ada apa?"

Kupikir kita harus punya beberapa aturan karena aku berasal dari lima tahun yang lalu.

            "Aturan?"
            Aku merengut.

Ya, supaya tak mempengaruhi masa lalu. Demi yang terbaik, kupikir kita jangan terlalu banyak mengubah masala lalu. Itu sering muncul di Sci-Fi, ‘kan?

            "Ya, itu benar. Jadi kau enggak mau berbicara denganku sesering ini?"

Begitulah maksudku. Pengaruh kecil seharusnya baik-baik saja, tapi perubahan besar bisa membuat alam semesta meledek atua semacamnya.

            Aku pernah dengar hal semacam itu sebelumnya.

Pertama-tama, sebisa mungkin jangan beritahu aku soal masa depan.

            Yah, itu cukup mendasar.
            Hmm? Tunggu sebentar.
            "Kalau aku memberitahumu perusahaan-perusahaan mana saja yang berjalan dengan baik, bukannya kau bisa menjadi kaya? Lalu kita bisa membagi hasilnya nanti...."

Shuu-san! Itu perkataan terburuk yang bisa kau katakan!

            "Cuman bercanda."

Mgh!

            Aku tertawa, tapi sepertinya dia cemberut saat percakapan di ponsel lain berakhir.
            "Maafkan aku."

Ini bukan persoalan yang patut ditertawakan. Kita harus berhati-hati dengan hal-hal yang bisa menghasilkan uang. Bahkan, aku ingin kamu tak memberitahuku produk apa yang populer dalam lima tahun.

            "Baik."

Juga.... kita seharusnya tak boleh terlalu banyak bicara mengenaiku.

            "Kenapa?"

Kalau kamu tahu banyak hal mengenaiku, ada kemungkinan kamu bisa mengubah masa depanku, ‘kan

            "Benar juga. Aku enggak akan terlalu banyak bertanya, deh."

Setelah dipikir-pikir, kebanyakan aku hanya memberitahumu untuk berhati-hati, maafkan aku.

            "Mau bagaimana lagi, karena aku orang yang ada di masa depan."

Harusnya aku bisa memberitahumu soal masa lalu, jadi kalau ada yang ingin kau ketahui, beritahu saja aku.

            "Seperti apa?"

Umm, seperti apa Chiba lima tahun yang lalu?

            "Aku ragu itu bakalan berubah banyak dalam lima tahun."

Ya, itu benar.

            Dia terdengar agak putus asa.
            "Enggak usah khawatir. Akulah orang yang ada di masa depan, jadi kau enggak bisa mengubahnya."

Kamu memang baik, terima ka—

            Beeeep.
            Tiba-tiba, panggilan terputus.
            "Eina?"
            Kutelepon balik, tapi enggak terhubung.
            Usai sepuluh menit, ada panggilan datang darinya.

Maafkan aku, Shuu-san

            "Enggak apa, kok. Apa yang terjadi?"

Sepertinya ponselu agak rusak....

            Dia mengatakannya dengan canggung, kalau memang enggak ada masalah dengan tranmisi-nya, maka seharusnya memang ponselnya, tapi Eina seperti enggak ingin menjelaskannya, jadi kubungkam saja mulutku.

Udah dulu, ya.

            "Ya, selamat malam."
            Tiba-tiba panggilan terputus lagi.
            Apa yang terjadi?
            Saat aku memikirkannya, aku menyadari sesuatu.
            Aku enggak ingin tahu soal masa lalu.
            Masa lalu mah enggak penting.
            Aku mah ingin tahu lebih banyak soal Eina.

⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 1 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh

2 komentar

August 14, 2018 at 2:21 PM delete

LN ini masih baru dijepang ya min..

Reply
avatar
August 14, 2018 at 6:11 PM delete

Iya, dan ini novel cuman 1 volume (one-shot)

Reply
avatar