Tuesday, October 23, 2018

Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 3 Bahasa Indonesia





Chapter 3 – Lonceng Tengah Malam

Maaf menelepon malam-malam begini,ada telepon dari Eina saat malam Sabtu, malam sebelum ulang tahunku, Ada yang mau kubicarakan soal besok.

            "Boleh."

Pertama-tama, barang yang perlu kamu bawa…

            "Lah, bukannya ponsel saja cukup?"

Sekop juga sama pentingnya.

            "Kenapa?"

Fufufu, ini rahasia. Untuk ketemuannya, sore saja, ya?

            "Boleh, berangkatnya sesudah makan saja."

Makan sambil teleponan akan terasa kurang sopan,kami berdua tertawa, Tempatnya… di Stasiun C saja, ya? Tidak terlalu jauh darimu, ‘kan?

            "Iya, tapi sekopnya buat apaan?"

Sudah kubilang, itu rahasia.

            "Malah jadi tambah penasaran."

Kamu juga akan paham bes… Ah, selamat ulang tahun!

            "Eh?" Saat kutengok, jarum jamnya sudah melewati tengah malam, "Terima kasih."
            Baru kali ini aku bicara dengan seseorang saat ulang tahunku tiba. Biasanya, aku berbaring terlelap di kamarku sewaktu tanggal berganti.
            Dadaku terasa hangat.
            Dengan begitu, aku pun berumur tujuh belas tahun.

*

            Besoknya, ponsel yang kugenggam berdengung sewaktu berdiri di depan Stasiun C.
            "Halo," ucapku pada mikrofon headset.

Halo, Shuu-san.

            Jantungku mulai berdegup kencang sewaktu mendengar suaranya dari earphone. Aku sudah terbiasa dengan suaranya, tapi mendengarnya langsung lewat telingaku nampak seolah saling berdempetan.
            "… Hei," kutenangkan diriku supaya suaraku enggak kedengaran gugup dan menyapanya.
            Kami pun berangkat dan pergi ke toko buku terlebih dahulu, lalu memilih tempat yang terkenal, di lantai atas pasaraya.
            "Eina, kau suka baca dongeng, ‘kan?"

Ya, aku sangat menyukainya!

            "Apa ada yang kau sarankan?"

Apa ya, buku yang kusuka yang masih akan dijual dalam lima tahun…dia membacakan nama buku gambar dongeng yang terkenal, Tapi kamu sudah membacanya, ‘kan?

            "Mungkin aku sudah membacanya sewaktu masih kecil. Tapi, mumpung sudah di sini, aku akan membelinya."

Kalau begitu, apa kamu sendiri punya saran?

            "Mungkin The Door into Summer?" saranku.

Ah, aku belum pernah membacanya! Baru kali ini aku mendengarnya,enggak disangka, Di perpustakaan ada tidak, ya…

            "Pasti ada, soalnya itu cerita yang terkenal."
            Aku heran, kenapa dia enggak membelinya saja.

Ah, memang lebih baik untuk membelinya, tapi, eng... aku tak punya banyak uang yang bisa kugunakan semena-mena…

            "Ah, enggak apa, ‘kan?"
            Kondisi tiap orang beda-beda, sehingga aku enggak bisa tanya lebih jauh.

            Kami pun lanjut pergi dan melihat pakaian.

Kita pergi ke Proca, yuk!

            Proca adalah deretan butik-butik fesyen yang sudah menyebar ke seluruh negeri.
            Tapi…
            "Eh, Proca…?"
            Aku memiringkan kepalaku, menanyakan apa ada Proca di sekitar sini dan segera tersadar, bahwa itu ada di masanya Eina, bukan di masaku.
            "Ahh, agak sulit bilangnya, tapi di sini enggak ada Proca."

Eh, tidak ada? Mereka sudah ditutup?!

            "Ya."

Tidak mungkin… padahal aku mengimpikan pergi ke Proca untuk membeli sesuatu bersama teman-temanku…

            "Maaf."
            Enggak ada yang bisa kuperbuat selain merasa iba karena menghancurkan harapannya.

Tidak apa kok, aku bisa ke kota lain untuk pergi ke Proca. Tapi… sungguh disayangkan… padahal aku ingin pergi ke Proca bersamamu dan melihat-lihat pakaian, minum teh di kafe-nya, dan melakukan banyak hal…

            "Ya, sayang sekali… sekarang mending kita minum teh saja."
            Aku agak khawatir kalau kafe tersebut juga bakalan enggak ada.

            Kami pun pergi ke deretan kafe yang cocok. Kami pergi ke tempat yang sama, tapi namanya sudah berubah. Aku pun membeli kopi dan duduk di alun-alun terdekat.
            "Dalam lima tahun sudah banyak yang berubah, ya?"

Semuanya serba berubah, rasanya jadi agak sedih.

            "Ada beberapa hal juga yang belum berubah, kok."

Seperti apa?

            "Eng, nama Stasiun C?"

Perubahan itu mah tidak terlalu berarti.

            "Benar juga."

Oh, iya. Bicara soal hal yang tidak berubah… Shuu-san, kenapa coba sepatu kaca Cinderella ketinggalan?Aku enggak tahu betul apa yang ditanyakannya, jadi aku enggak sempat menjawabnya, lantas Eina pun menjelaskan, Itu karena mantranya akan patah saat berbunyinya lonceng tengah malam, ‘kan? Cinderella selalu mengenakan pakaian yang jelek, jadi bukankah sepatu kacanya juga akan kembali menjadi sepatu biasa?

            Itu memang benar.
            "Aku enggak pernah memikirkannya."

Aku selalu penasaran soal itu. Firasatku bilang, bahwa itu bukanlah suatu kebetulan.

            "Mungkin perasaannya si pangeran menyimpan sihir? Itulah buah pikiran pertamaku yang amat sederhana, "Dari sudut pandangnya si pangeran, hilangnya Cinderella akan menjadi suatu tragedi, iya, ‘kan? Satu-satunya orang yang dipikirkannya telah menghilang, sehingga perasan ingin bertemu lagi dengannya mungkin telah menjangkau sepatu kaca itu?"
            Namun, seusai kumengatakannya, aku mulai berpikir kalau itu mungkin saja benar-benar terjadi. Maksudku, kalau pangerannya adalah aku… maka Eina lah yang akan jadi Cinderella-nya.
            Kuyakin rasanya menyakitkan. Andai aku enggak bisa mengirim pesan dan berbicara dengan Eina, aku enggak yakin bakalan bisa pulih.

Tak disangka kamu bisa romantis juga, ya?

            "Kecewa?"

Tidak, malahan sangat bagus. Eng, perasaan pangeran, ya? Cinderella akan senang bertemu dengan seseorang yang sangat mencintainya.

            Kami keluyuran di sekitaran kota untuk beberapa saat. Jalan-jalan dan ngobrol sama Eina memang menyenangkan, tapi akhirnya aku pun kepikiran apa yang akan terjadi kalau kami beneran ketemu…
            Kami ketemuan di depan stasiun, kubilang ‘Hai,’ dan dijawab ‘Hai juga’ olehnya. Lalu kami pun pergi bersama, berkeliling kota sebentar, dan pergi ke kafe. Eina suka makanan-makanan manis, jadi dia mungkin memesan parfait atau semacamnya. Mungkin bagusnya pergi ke karaoke setelah itu. Lagu apa yang akan dinyanyikannya, ya?
            Aku ingin pergi ke toko buku dan membicarakan soal buku-buku yang populer bersamanya. Bukan lewat telepon, melainkan dengan gadis di hadapanku.
            Semua itu terlalu jauh bagi kita, sih.

Shuu-san? Ada apa, kok diam terus.

            Suara Eina menyadarkanku kembali. Kami datang ke tempat yang tinggi dan melihat pemandangan dari atas sana.
            "Ah, maaf, barusan aku melamun."

Duh, jangan melamun sendiri, aku jadi merasa kesepian,dia berlagak marah, tapi sama sekali enggak menakutkan, Nanti tidak akan kukasih hadiah.

            "… Hadiah?"

Pengin tahu?

            "Ya… tunggu, gimana caranya?"

Fufufu, gali agak dalam di bahwa pohon itu.

            Kuturuti perintahnya dan menggunakan sekop untuk menggali.
            Sekop itu pun membentur sesuatu dengan suara tung.
            Kupindahkan tanahnya ke samping dan menemukan sesuatu yang tampak seperti kaleng manisan. Kuambil dan kubuka, lantas kumelihat gantungan ponsel dengan sesosok boneka kecil di dalamnya.
            Boneka itu adalah tokoh iblis yang kuperankan.


            "Ini kaubuat sendiri?"

Iya. Aku ini orangnya kikuk, jadi maaf kalau tak begitu bagus, tapi…

            Dia seperti bicara sambil nunduk. Bonekanya agak cacat dan jahitannya kasar. Tapi aku tahu ini adalah hadiah yang tulus.
            "Enggak, aku sangat senang, kok. Terima kasih, aku akan menjaganya."

Ehehe.

Ada jarak lima tahun di antara kami. Tapi biarpun begitu, kami masih hidup di planet yang sama.

2

            "Shuu-kun, gantungannya lucu, ya?"
            Sudah sekitar seminggu berlalu. Di hari Jumat ini aku sedang duduk sambil membaca dengan lamban, menunggu para pendaftar baru yang enggak akan kunjung datang. Di hadapanku, ada Ruka-senpai yang lagi belajar.
            Sudah sekitar satu jam kami berada di sini. Tiba-tiba, dia melihat ponselku yang ada di atas meja, dan menanyakannya.
            "Itu hadiah, dari Eina."
            "Maksudmu si penulis itu? Aku mengangguk, "Kamu sering ketemu dengannya?"
            Dia meletakkan pensilnya dan mencondongkan diri ke depan, benar-benar dalam mode gosip. Kuletakkan bukuku dan menatapnya.
            "Sebenarnya, kami belum pernah betemu."
            "Lah, terus bagaimana bisa kamu mengenalnya? Lewat media sosial?"
            "Ya, semacam itulah," akuku.
            "Aduh, anak zaman sekarang memang pada hebat, ya. Si Tante ini sampe terkejut banget."
            "Apanya yang ‘si tante ini’, kamu cuman setahun lebih tua dariku!"
            "Ahaha. Cuman bercanda, kok… pernah kepikiran pengin bertemu dengannya? Soalnya kau terlihat akrab dengannya, jadi bukannya akan lebih menyenangkan kalau bisa bicara langsung?
            "Karena suatu alasan, kami… enggak bisa bertemu."
            "Jadi intinya, kamu pengin bertemu."
            "Eh?"
            Dia memperdayaiku, bagaimana bisa dia mengetahuinya?
            "Kalau tidak, kamu tidak akan bilang enggak bisa bertemu, ‘kan?" Dia tersenyum lembut.
            "… Ya, kalau bisa, aku memang ingin bertemu dengannya."
            Sebenarnya, kami sudah mencobanya, namun enggak bisa.
            Sebelum sempat bertanya, dia memiringkan kepalanya dengan suara penuh pertimbangan.

            "Shuu-kun, kau menyukainya, ‘kan?"

            Dia bicara begitu saja, seolah hanya melanjutkan percakapannya.
            Tapi pas aku mendengar perkataannya, hatiku terasa membeku.
            Apa aku…. suka ama Eina…?
            Begitu aku memikirkannya, aku sadar akan segala sesuatu mengenai dirinya, dan pikiranku pun langsung kosong. Sepatah kata pun enggak bisa kuucapkan. Ruka-senpai menatapku dengan geli, lalu menghela napas kecil.
            "Begitu ya, jadi aku kalah ama orang yang belum pernah kautemui."
            "… Kalah?" Aku berusaha mengatakan sesuatu, namun aku enggak bisa memahami makna dibalik perkataannya itu.



            "Tidak usah merisaukannya, aku hanya berbicara sendiri. Hei, kalau kau menyukainya, kau harus menemuinya dan ungkapkan perasaanmu. Kalau tidak, kau pasti akan menyesalinya."
            "Ada banyak alasan mengapa kami enggak bisa bertemu."
            "Tapi kau menyukainya, ‘kan?"
            "… Ya," akuku.
            Kurasa akan menyenangkan bila dia ada di sisiku sewaktu aku tengah mempersiapkan festival budaya. Sewaktu kami mengobrol di hari ulang tahunku, aku sungguh ingin dia berada di sampingku, dan sewaktu aku menerima hadiahku, aku sungguh ingin dia memberikannya padaku secara langsung. Pasti aku berpikir begitu karena aku memang menyukainya.
            "Kamu pengin memastikan siapa dia sebenarnya, ‘kan?"
            "… Ya," ucapku lagi, usai terhenti lama kali ini.
            "Kalau begitu, Senpai-mu yang baik ini aka membantumu. Jadi, apa alasannya?"
            "Jangan ketawa, ya? Aku… akan mengatakan sesuatu yang kedengarannya sulit dipercaya," Aku menyerah dan akan memberitahukan semuanya. Mungkin aku sudah kehilangan penilaian normalku, tapi dorongan hati adalah suatu bagian penting dari kehidupan, "Sebenarnya, Eina bukan berasal dari masa sekarang, dia berasal dari lima tahun silam. Aku enggak tahu bagaimana caranya, tapi ponselku terhubung ke masa tersebut dan aku bisa berbicara dengannya."
            Tampangnya sedikit terkejut usai mendengar perkataanku, mulutnya sedikit menganga dan pikirannya nampak terhenti.
            "Maaf, bisa kaukatakan sekali lagi?"
            "Akan kukatakan berulang-ulang, Eina hidup di masa lalu. Aku hidup di masa kini, jadi kami enggak bisa bertemu."
            "Aku hanya ingin memastikannya saja, tapi itu bukan hanya sekedar alasan yang kau berikan padaku, iya, ‘kan?"
            "Tuh ‘kan, kamu enggak percaya."
            "Oi, jangan merajuk begitu. Memangnya siapa orang yang akan langsung percaya! Ah! Bukan berarti aku tak memercayaimu, biar kupikir sebentar," ujarnya, dan melipatkan tangannya. "… Yah, kurasa itu memang sesuai. Kau menyembunyikan kebenaran soal Eina karena kaupikir takkan ada yang memercayaimu sekali pun kau mengatakannya?"
            "Itu benar."
            "Oke. Aku memercayaimu. Lagian kamu ini bukan orang yang suka mengada-ngada," ujarnya dan tersenyum padaku, dan rasanya seperti beban di punggungku telah diangkat, "Terus, kenapa kau tidak bisa bertemu dengannya sekarang? Meskipun itu artinya membuat dia menunggu selama lima tahun."
            "Itu karena Eina enggak mau bertemu denganku di lima tahun dari masanya, dia enggak ingin tahu masa depannya."
            "Eng, aku jadi pengin tahu apa yang terjadi padaku di masa depan."
            "Eina orangnya pesimis, jadi dia pikir masa depannya mungkin lebih buruk dan takut mengetahuinya. Dia pikir aku enggak bakalan menyembunyikannya bilamana ada suatu hal yang buruk menimpanya, jadi dia minta untuk enggak bertemu."
            "Jadi, begitu."
            Angguknya.
            "Jadi, aku benar-benar menghargainya, tapi…."
            "Tapi kau pengin bertemu dengannya, ‘kan?"
            "Benar."
            "Kalau begitu, tujuan kita adalah untuk mengetahui siapa Eina tanpa sepengetahuannya, dan pergi menemuinya," lalu dia merosotkan diri, "Tapi bagaimana caranya?'
            "Aku juga enggak tahu."
            "Kita butuh bantuan."
            Aku hanya tahu seorang yang punya pengetahuan mengenai hal-hal itu. Andalan Klub Surat Kabar, Sakai. Dia ahli dalam mengumpulkan informasi, jadi dia pasti bisa menemukannya.

3

            "Menemukan seseorang? Serahkan saja padaku," angguk Sakai begitu kami menjelaskan padanya di ruang klub-nya, "Tapi ada syaratnya, aku mau mencetak hasil interviu dengan Eina-chan."
            "Eh, aku enggak bisa menyetujuinya tanpa seizin orangnya."
            "Itu mustahil, ‘kan? soalnya kami lagi mencari dia tanpa sepengetahuannya," Ruka-senpai membantuku.
            Sebelum melanjutkan, Sakai sempat terhenti sejenak untuk berpikir.
            "Kalau begitu, kau harus janji padaku untuk membujuknya. Tentu saja, aku tak mau kau terlalu memakasanya, dia tidak usah memberikan gambar, cukup interviu saja, kok. Bagaimanapun juga, dia sangat terkenal, debut pekerjaannya menimbulkan desas-desus di sekolah dan sandiwaranya membuat festival budaya jadi sukses! Kalau kami bisa menginterviunya secara khusus, kami akan dikenal di seluruh dunia!"
            Saking semangatnya mulut Sakai sampe hampir berbusa dan aku merasa enggak berdaya. Interviu mah tergantung Eina sendiri, jadi…
            "Shuu-kun, setujui saja untuk saat ini," Ruka-senpai tersenyum kaku padaku, "Kau ini orangnya terlalu serius, jadi kau mungkin merisaukannya."
            "Oke, aku akan mencoba membujuknya."
            "Nah, mumpung sudah sepakat, mari kita mulai," Sakai menaruh tablet di atas meja, "Eina bisa pake internet, ‘kan?"
            "Iya, kayaknya."
            "Kalo begitu, coba kita cari di Twitter."
            Aku terkejut karena enggak kepikiran sama sekali. Aku kebelet pengin bertemu dengannya, tapi aku sendiri enggak pernah memikirkan banyak hal.
            Sakai memasukkan kata ‘Eina’ pada kolom pencarian dan sekitar sepuluh akun pun muncul di layar.
            "Huh, ada banyak juga," gumam Ruka-senpai dengan heran.
            "Sekitar setengahnya kira-kira adalah orang asing, jadi mungkin salah satu dari kedua itu," selagi berbicara, Sakai membuka tab baru untuk melihat lini masa keduanya, "Gimana? Ada yang kaukenali? Atau apa pun yang cocok dengan yang dikatakannya?"
            "Ah!" Aku menunjuk pada yang satunya, "Bisa jadi yang ini. Soalnya dia menulis tentang minggu kemarin."

Eina@eina002
Aku akan pergi bersama S-san besok.

Eina@eina002
Aku sudah menyiapkan hadiah untuknya.

Eina@eina002
Akusangatgugup!

            "S-san itu kau?"
            "Bisa jadi…."
            Kugulirkan lagi sedikit ke bawah.

Eina@eina002
Aku tidak bisa… menulis naskahnya… berakhir su dah.

Eina@eina002
S-san memujiku karena naskahnya! Aku senang sekali!

Eina@eina002
Aku melihat dramanya! S-san keren sekali!

            "Eina-chan manis ‘kali."
            "Aku sedikit cemburu."
            Ujar Sakai dan Ruka-senpai yang ada di sampingku, dan aku juga tahu mukaku sudah memerah.
            "Yang jelas, kemungkinan besar ini akun miliknya. Selanjutnya gimana?"
            Tanyaku sembari berlagak tenang.
            "Kita teliti tweet-nya dan cari informasi pribadinya," Sakai menggulirkan layarnya ke samping dengan jarinya, "Oh, dia juga menggunakan blog biasa, coba kita lihat."
            Dia membukanya pada window terpisah dan beberapa entri yang lebih detail ketimbang tweet di tampilkan di layar.
            "Bergembiralah, Yagi. Eina-chan benar-benar awam internet."
            "Kenapa juga aku harus gembira?" Aku makin gelisah.
            "Ini kabar baik untuk bisa menemukannya. Misalnya, coba lihat gambar ini…" dia memperluas gambar pohon sakura, itu adalah gambar yang indah, pohon yang mekar penuh dengan bunga merah muda, "Masih ada data GPS pada gambarnya. Dan judulnya ‘Jepretan dari dekat rumah’. Kita jadi bisa tahu bahwa dia tinggal dekat pohon sakura itu. Alamatnya di…" Dia menarik lokasinya di peta, letaknya satu stasiun dari Stasiun C, dan sepertinya agak di pedalaman.
            "Jadi ‘gini caranya penguntit mencari seseorang…" Ruka-senpai menjauh darinya.
            "Hei, Ruka-senpai! Aku tidak menyalahgunakan ini! Iya, ‘kan, Yagi?"
            "Maaf, aku juga sependapat dengannya."
            "Kejamnya! Kalau begitu, kau juga sama."
            "Shuu-kun mah beda! Mereka sedang jatuh cinta!"
            "Kuh… apa-apaan diskriminasi ini?! Sakai menggertakkan giginya. "Ini takkan menghentikanku… ini semua demi interviu dengan Eina-chan…!"
            Dia benar-benar berusaha keras, dan kuputuskan juga untuk berusaha sekeras mungkin supaya Eina bersedia di interviu.
            "Ada banyak foto, ayo kita telaahi tweet-tweet-nya… Oh, pekan olahraga SD? Hanya ada satu sekolah yang ada pekan olahraganya, jadi… oh! Dia mengunggah gambar dari jendela!!" untuk sementara Sakai tak mengindahkan kami, terlena sendiri pada internet, lalu…
            "Mungkin di sinilah tempat tinggalnya," tunjuknya pada suatu rumah pada aplikasi street view. Butuh sekitar setengah jam untuk sampai ke sana, kita mungkin bisa memeriksanya. "Rasanya itu kayak rumah Keluarga Yokota. Lima tahun yang lalu, mereka punya anak SMP dan SD. Kalo sekarang mah aku tidak tahu, sih. Eina-chan tidak punya postingan-postingan apa pun semenjak Oktober lima tahun yang lalu, jadi aku tidak bisa mempersempitnya lagi. Mungkin dia punya rutinitas yang lebih baik setelah itu."
            "Ini… rumahnya Eina…" Aku gemetar saat melihat foto itu, "Terima kasih. Enggak disangka kau akan menemukannya secepat ini."
            "Aku pengin jadi seorang jurnalis, jadi hal segini mah cuman masalah sepele," ujarnya dengan bangga.
            "Hati-hati aja supaya jangan sampe terbunuh kalau kauikut campur terlalu dalam pada beberapa kasus korupsi politisi…"
            "Aku akan senang bisa terlibat dalam sesuatu yang sangat besar!"
            Ruka-senpai sepertinya benar-benar khawatir, tapi Sakai menepis kekhawatirannya dengan keberhasilan.
            "Jadi, selanjutnya ngapain?" tanyaku.
            "Kita pergi dan periksa. Lagian kita tak melakukan sesuatu yang salah."
            Pungkas Sakai dengan percaya diri.
            Enggak, tadi kita sudah berbuat salah, pikirku dengan cemas.

4

            Besoknya, kami bertiga pun pergi ke kediaman Yokota.
            Aku membeli beberapa manisan di depan Stasiun C.
            "Kau ini beli apaan, sih?" tanya Sakai.
            "Eina suka yang manis-manis, jadinya aku beli dorayaki." jawabku.
            "Kau ini benar-benar mencintainya," ujar Ruka-senpai, dan pipiku memerah.
            Kami turun dari kereta di stasiun berikutnya dan berjalan selama lima menit menyusuri daerah pinggiran kota yang sunyi sebelum tiba di kediaman Yokota.
            Kuberdiri di hadapan interkom dan mengambil napas dalam-dalam.
            Ruka-senpai dan Sakai melangkah mundur dan menungguku, enggak mendesakku untuk menekan tombol.
            Pelan-pelan, kujulurkan jariku pada tombol itu.
            Rupanya seperti apa, ya?
            Bentuk alisnya kayak gimana?
            Apa warna matanya?
            Kulitnya pucat atau kecokelatan?
            Dia tinggi atau pendek?
            Seberapa panjang rambutnya?
            Apa warna rambutnya?
            Dia selalu tersenyum, senyumannya kayak gimana?
            Kutekan tombolnya.
            Suara yang terdengar nyaman pun terdengar.

Ya?

            Terdengar jawaban dari seorang wanita dewasa.
            "Apa di sini ada yang bernama Eina-san."

Eina…?

            Wanita itu nampak bingung.
            Apa enggak ada gunanya usai mengusutnya? Dia mungkin enggak memberitahu keluarganya nama yang dia gunakan.
            Atau apa kita mengunjungi tempat yang salah?
            Bisa jadi dia sudah pindah karena lima tahun sudah berlalu.

Apa dia menulis cerita?

            "Ya, benar!"
            Aku mencondongkan diri ke depan.
            Akan tetapi, pengeras suara tersebut senyap. Maaf, tapi dia tidak ada di sini.
            "Tidak ada? Apa dia pindah?"

Eng, tunggu sebentar.

            Pengeras suara tersebut berdengung saat dimatikan, dan setelah beberap saat, seorang wanita keluar. Dia terlihat berumur dua puluhan. Tatapannya tajam, dan dia nampak seperti wanita yang agak dingin.
            Dia sedikit membungkuk.
            "Aku sepupunya Eina. Senang bisa bertemu dengan teman-temannya."
            "Senang bertemu denganmu juga."
            Kusapa balik, bertanya-tanya pada diri sendiri apa ini sepupu yang sudah menindasnya itu.
            "Mari kita bicara di dalam."
            Dia mengajak kami masuk, dan kami bertiga pun memasuki rumahnya, dia mengantarkan kami ke ruang tamu dan kami pun duduk di sofa.

            "Terus terang saja, sebenarnya Eina sudah meninggal."

            Apa yang dia…?
            Kucoba untuk bertanya padanya, tapi yang keluar hanyalah suara pertanyaan yang tersendat.
            Tenggorokanku tersumbat karena terkejut, sehingga aku enggak bisa bicara.

            "Eina mendaki bukit yang ada di belakang rumah kami sewaktu terjadi badai lima tahun lalu dan tak kunjung kembali. Dia masih hilang. Karena sudah lima tahun berlalu, mungkin sudah tidak ada harapan lagi, sehingga kami pun menyerah," ucap sepupunya dengan tampang serius.
            Aku hanya terperanjat, menatap wajahnya.
            "Kalau dipikir-pikir lagi, kurasa aku sudah berbuat hal yang mestinya tak kulakukan. Aku selalu memperlakukannya dengan buruk… tapi dia hanya selalu mengurung diri di kamarnya, dan hanya menggunakan barang-barang orang lain. Lalu ada juga perselisihan dengan mama dan papa, dan kekhawatirannya…"
            Dia mulai menangis selagi bicara.
            Ruka-senpai berkata sesuatu padanya, dan Sakai memberikan tanggapan juga.
            Kumenyaksikan semua ini dengan bingung, suara mereka kedengaran jauh.
            Hanya satu ucapan yang terulang di kepalaku.
            Eina sudah meninggal.
            Meninggal…
            Meninggal!

Tapi aku takut. Takut mengetahui masa depanku. Maksudku… Bagaimana kalau aku mati setelah lima tahun?

            Kuteringat kata-kata Eina.
            "Itu pasti salah…" kata-kata tersebut langsung keluar dari mulutku. "Itu pasti salah…!!"

⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 3 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh

1 komentar: