Sunday, February 17, 2019

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 27 Bahasa Indonesia






Chapter 27 – Sihir Pengendali


Ibarat memperkenalkan diri di dalam hutan.

—Suatu kiasan untuk menghindari bahaya yang diturunkan Klan Scarlet.






            "Terima kasih, Jack Frost."

            "Hoh, hoh, hoh."

            Roh salju itu pun lenyap seraya tertawa begitu Ai menepuk pelan kepalanya. Seketika itu juga, semua senjata kayu yang sudah dibekukan jatuh berdentang ke tanah.

            Es yang menyelimuti tanah dan pepohonan pun juga ikut meleleh.

            Kemampuan utama manusia terletak pada perkembangan pesatnya.

            Bukan hanya pada tubuh saja, melainkan mentalitas, teknologi, dan sihir. Semua hal tersebut meningkat dan berkembang pesat. Hal itu pun juga berlaku bagi Ai, yang mana mampu mengendalikan Jack Frost itu sendiri.

            Bahkan jika kita bertarung sekarang, kemampuannya itu sudah bisa mengalahkanku yang tak serius.

            "Harusnya sekarang kita bisa pulang bersama, benarkan, Nina?"

            Ai menatap Nina yang menjatuhkan diri karena merasa sangat kecewa.

            "Tidak!"

            Walau begitu, Tetua tetap menyanggahnya.

            "Setelah sesuatu yang begitu konyol… mengapa juga aku harus setuju?!"

            Walau mengetahui bahasa Jepang, dia masih belum memahami kekuatan Darg dan Ai.

            Membawa Nina kembali usai memenangkan pertandingan bukan merupakan persyaratan yang sudah ditentukan.

            Namun, walaupun memang benar begitu, aku takkan menyerah.

            "Janji adalah janji. Aku akan membawa Nina."

            Sewaktu kuhendak meraih tangan Nina yang tengah duduk, Tetua bangkit dari kursinya dan berdiri di hadapanku.

            "Ini akan menjadi yang terakhir."

            Dia membersut padaku dengan tatapan tajam, menyatakan dengan tinggi hati.

            "Aku akan jadi lawanmu."

            Apa sihir itu hanya sekedar kumpulan makna saja? Tidak ada yang berubah meski aku menggunakan mantra atau tidak.

            Dengan kata lain, semakin lama kamu hidup, semakin banyak yang kamu ketahui, semakin kuat pula jadinya.

            Jadi tak perlu diragukan lagi, bahwa Tetua yang tak diketahui sudah hidup berapa abad, akan menjadi seorang Ahli Sihir yang kuat.

            "Kendatipun kuberkata begitu…."

            Sihir macam apa yang akan digunakannya?

            Memikirkannya sembari waspada, Tetua pun peralahan mengangkat tangannya pada Ai.

            "Ini takkan menjadi pertarungan."

            Seketika itu juga, tubuh Ai terjatuh ke tanah.

            "Apa yang Anda lakukan pada Ai?!"

            "Hmph… seekor naga memang hebat, kurasa. Tenang, tidak usah risau begitu. Aku hanya membuatnya tertidur."

            Ucapnya, lalu mengangkat tangannya pada Nina, yang juga membuatnya terjatuh seperti halnya Ai.

            Apa yang sebenarnya terjadi?!

            Terakhir, Darg pun dibuat tidur olehnya, lalu dia pun berbalik padaku.

            Aku sungguh tak paham sihir macam apa yang digunakannya.

            Dia membuat mereka tertidur, jadi apakah dia menyebarkan semacam serbuk sari atau gas pembuat tidur?

            Namun harusnya itu tidak mungkin bisa membuat mereka bertiga tertidur secepat itu, bahkan tanpa adanya sedikit pun perlawanan.

            "Anda sudah menyingkirkan empat orang, berarti sekarang aku bisa bertarung?"

            "Ya, tak apa, aku tak keberatan."

            Tetua mengangguk dengan mantap, mengulurkan tangannya ke arahku.

            Aku tak paham dengan apa yang dilakukannya, tapi aku harus mengalahkannya sebelum dia punya peluang untuk berbuat apa pun.

            Akan tetapi, mendekatinya juga sama bahayanya.

            "Jangan bergerak."

            Tetua bicara saat aku ragu, spontan aku pun berhenti bergerak.

            "Hebat, bahkan naga saja berhenti bergerak bila kubicara?"

            Apa… yang dia maksud?

            "Kau ini sangat ceroboh dan bebal. Tidak peduli seberapa kuat sihir yang bisa kaugunakan, kau takbisa melindungi dirimu sendiri."

            Aku sungguh tak paham dengan yang Tetua maksud.

            "Nah, sekarang kau juga tidurlah."

            Tetua menghadapkan telapak tangannya padaku dan mataku pun perlahan menutup.


            Untuk saat ini, akan kugigit tanganya sepelan mungkin.

            "Guah?!"

            Tepat saat kumelakukannya, Tetua menjerit dan memegangi tangannya.

            "Bagaimana?! Bagaimana bisa kau bergerak?!"

            Sekalipun kaubertanya padaku kenapa….

            "Walaupun aku dihentikan, bukan berarti aku tidak bisa bergerak, sih?"

            Biarpun aku berhenti sewaktu disuruhnya, bukan berarti seakan aku ini tidak bisa bergerak.

            Sewaktu kumencoba menggerakkan ekorku, ternyata bisa bergerak seperti biasanya.

            "Sungguh konyol… berhenti! Jangan bergerak! Mentor! Jangan bergerak dari sana!"

            Oh, jadi begitu?

            Akhirnya aku tahu sihir macam apa yang digunakannya, dan merasa kecewa akan kebodohanku sendiri.

            Mengapa aku baru menyadarinya sekarang?

            Sihir dikendalikan oleh pengetahuan, kesadaran akan pengetahuan dari dunia itu sendiri. Kesadaran itu terbentuk melalui nama.

            Dengan demikian, seseorang seharusnya tidak memberitahukan namanya pada seorang Ahli Sihir.

           Mungkin itu jugalah alasan dibalik mengapa semua Elf saling mengacu dengan nama-nama warna.

            Tak sembarang orang bisa melakukannya selain Tetua, tapi memang tidak salah untuk melakukan hal tersebut.

            "Maaf, Tetua. Sepertinya sihir Anda tidak mempan padaku."

            Sebenarnya, namaku saja yang bukan Mentor, sih.

            Kutempatkan cakarku pada bahu Tetua dan bicara dengan api yang meningkat di belakang tenggorokanku.

            "… … … Aku menyerah."

            Kali ini, Tetua mengakui kekalahannya.

***

            "Gaaah! Bodoh! Dasar bodoh…!"

            "Sudah jangan marah begitu, bukannya semuanya berjalan lancar?"

            Suasana hati Nina sudah jelek semenjak kami meninggalkan desa.

            Tapi aku sungguh tidak tahu apa penyebabnya.

            "Tetua menerima koalisi antara desa kita dan desanya, kita mendapatkan cara memperpanjang hidup, dan kau juga bisa pulang bersama kami, jadi apa masalahnya?"

            "Gah… makanya aku bilang kau ini bodoh!"

            Nina yang berada di punggungku, meninju leherku berulang kali.

            "Nina, kau tidak mau dirubah jadi pohon, ‘kan?"

            "Apa yang kau… tunggu. Jangan-jangan kau menelan mentah-mentah kata-kata itu?"

            "Apa maksudmu?"

            Mendengarnya, Nina menekankan tangannya ke dahinya dan menghela napas dalam-dalam.

            "Menjadi pohon… artinya aku akan bekerja sekeras yang pohon lakukan dalam menumbuhkan dedaunan, memekarkan bebungaan, dan menghasilkan bebuahan saat musim berganti."

            "Eh… ta-tapi Ultramarine bilang, bahwa pohon Tetua sudah terlalu tua sehingga harus diganti dengan yang baru?"

            "Pohon macam itu sulit untuk dirawat hingga tumbuh besar. Aku benci melakukannya, jadi Ultramarine membantuku kabur dari hutan…."

            Memandang sekilas wajahku, Nina menghela napas lagi.

            "Sejujurnya, membantumu jauh lebih menyusahkan. Orang tidak dirubah jadi pohon…."

            Cara bicara Nina terdengar seperti merasa heran dari lubuk hatinya. Aku biasanya seia sekata dengannya, tapi mana mungkin aku tahu bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bertentangan dengan akal sehatku!

            Tapi sungguh, disibukkan dengan merawat pohon sungguh jauh berbeda. Hanya saja, seberapa bebasnya sih para Elf itu?

            "Lantas mengapa Tetua begitu tak menyukai ideku untuk membawamu pergi?"

            Mendengarkan penjelasannya, aku berhenti merasakan keterdesakan ibarat perasaan itu dihancurkan tanpa adanya Nina di sana. Namun tetap saja, rasanya Tetua sangat putus asa.

            "Yah… menurutmu apa yang akan dilakukan orang tua usai melihat putrinya kabur dari rumah dan pulang bersama seekor naga?"

            "Tetua ayahnya Nina…?"

            Kalau dipikir-pikir, bukannya itu wajar?

            Para Elf memang merupakan sebuah himpunan yang dibangun dengan anggota tertua yang memimpinnya.

            Dengan demikian, Nina—seseorang yang mereka panggil tuan putri—akan sewajarnya menjadi putrinya.

            "Kalau begitu… Nina, apa kau tidak mau pulang bersama kami?"

            Apa akhirnya aku memang memaksanya melakukan sesuatu yang tak diinginkannya karena kesalahpahamanku?

            Kalau iya, wajarlah Nina marah.

            Tepat saat aku mulai memikirkan itu, Nina tiba-tiba menarik tandukku.

            "Aw, Nina, sakit."

            "Kau melakukan sesuatu yang tak perlu, hanya itu. Padahal aku sudah memantapkan diri…."

            Nina bicara dengan suara yang pelan.

            "Tapi… aku ingin tinggal bersama Ai… dan kau juga, aku, eng…."

            "Ya. Aku juga sama, Nina."

            Tak bisa begitu mendengar apa yang dikatakannya saat suaranya memelan, kujawab saja dengan tegas. Akan tetapi, dia menarik lagi tandukku dengan kuat.

            Walau begitu, aku paham dia hanya ingin menyembunyikan rasa malunya saja.

            "Mbak mau tinggal karena diriku juga!"

            "Aku tak peduli padamu."

            Darg bicara untuk menggodanya, tapi langsung dibuat diam.

            "Jahatnya!"

            Darg tersenyum, berteriak seolah tak memikirkannya saat suaranya menggema di langit.

            "Sungguh, kau ini sangat bodoh—"

            Nina bicara dengan merasa kagum dan sedikit terhibur.

            "Tapi, aku senang Nina bisa tetap bersama kita!"

            Melihat Ai tersenyum tanpa cemas, membuat Nina takbisa menahan diri untuk tersenyum balik.

            "Yah, kurasa tak ada pilihan lain selain berkelana sedikit lebih lama."

            Bagi seorang Elf sedikit itu mungkin agak cukup lama.

            Merasa lega akan dugaan tersebut, kami pun pulang.




            —Itulah hari terbahagia yang pernah kurasakan.

            Aku tidak tahu berapa kali kuakan memikirkannya kembali nanti.



⟵Back         Main          Next⟶




Related Posts

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 27 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh