Chapter
26 – Duel
"Oi, mari kita selesaikan
ini di luar."
"Tidak perlu, kita
sudah di luar."
Daerah di sekitar kami
berubah menjadi tempat kosong saat dia berbicara,
aku sadar sudah membuat
kesalahan untuk memilih bertarung melawannya.
"… Tentu, kenapa tidak. Kalau itu memang yang kamu
mau, akan kuakui bahwa kalian semua memang cukup kuat andai bisa mengalahkan
ketiga eliteku. Tempat ini juga terkurung, sih."
Tetua membawa kami bertiga keluar dengan berucap begitu.
Mengayunkan lengannya begitu kami sudah pindah keluar,
pepohonan di sekitarnya mulai bergemeresik, bergerak menjauh seakan mempunyai
akal tersendiri dan lekas meninggalkan daerah terbuka. Bahkan pemanipulasian
pepohonannya lebih hebat ketimbang Nina dan tanpa memerlukan mantra sekali pun.
[Beneran kau ingin memindahkan senjatamu sejauh itu?]
[Bukan masalah. Evergreen, bermainlah dengannya.]
[Yo, Cebol. Kau ingin melawanku secara langsung dengan
tubuh seperti itu?]
Dia lebih kecil bila dibandingkan dengan tubuh berototnya
Darg yang tingginya dua meter lebih.
[Tahukah kau mengapa Tetua bilang bukan masalah meski
menjauhkan pepohonan itu?]
[Karena pada akhirnya kau tetap akan kalah?]
Tanggap Darg dengan bergurau pada pertanyaan Elf itu.
[Tidak—]
Dengan suara yang terdengar mirip gemertakan tulang,
bentuk badan Evergreen membesar.
Sejumlah otot pada lengannya berubah menjadi dahan tebal,
berwarna coklat kemerahan. Kulit pohon seperti sisik menyelimuti tubuhnya saat
itu berubah menjadi batang pohon yang tebal.
[—Itu karena kami sendiri merupakan hutan, Cebol.]
Tingginya sekitar sepuluh meter.
Usai berubah menjadi pohon besar, Evergreen benar-benar
memandang rendah Darg saat dia mengguncangkan dedaunannya.
[Heh.]
Mendongak padanya, Darg menanggapinya tanpa minat.
[Berusahalah agar tidak mati, ya?]
Dahan pohon raksaksa itu diangkat, lalu dihantamkan pada
Darg.
Darg tetap berdiri dan membiarkan dirinya dihancurkan.
"Darg….!"
Panggil Ai dari sampingku.
[Aku penasaran….]
Akan tetapi, kami mendengar banyolan biasanya yang
berasal dari bawah bayangan dedaunan Elf itu.
[Pohon ini tubuhmu, ya? Kalau kuhancurkan, akankah kau
mati?]
[Tidak. Itu hanyalah wadah sementara. Tidak usah
mengkhawatirkannya.]
Usai menjawab, sebuah retakan mulai menjalar di sepanjang
tubuhnya Evergreen.
[Baguslah.]
Ujar Darg saat pohon raksaksa itu lanjut terbelah menjadi
dua.
[Akan menyebalkan kalau nantinya kau sekarat.]
[Mengagumkan…!]
Muncul dari dalam pohon yang rusak itu, dia pun berlutut.
[Kau masih ingin lanjut?]
Mendengar pertanyaan Darg, Evergreen menolak dengan
tersenyum pahit.
[Nah, siapa selanjutnya? Langsung keduanya juga tidak
masalah buatku.]
[Violet. Giliranmu.]
Tak mengindahkan Darg, Tetua mengutus lawan berikutnya.
Kali ini, lawannya adalah Elf mungil.
[Akulah yang akan menjadi lawanmu.]
Elf yang bernama Violet itu bicara dengan sopan, mengulurkan
tangan kirinya ke depan.
Setelahnya, tubuhnya diselimuti duri-duri dalam sekejap
mata, lalu berubah menjadi tameng dan zirah. Dari tangannya tumbuh tangkai
mawar panjang yang digunakannya untuk menunjuk Darg layaknya pedang.
[Begitu, Violet, ya?]
Memahaminya, Darg mengangguk.
Bunga mawar Violet muncul di sana-sini, di antara
duri-duri yang membentuk zirahnya.
Pikirku Evergreen dan Violet hanyalah sekedar nama yang
tidak biasa saja, tapi kini aku paham bahwa itu merujuk pada sihir yang mereka
gunakan. Mestinya Ultramarine pun sama, dia harusnya punya daun atau bunga
berwarna ultramarine.
Tapi apabila memang benar begitu, bagamaina dengan Nina?
Ultramarine memanggilnya Guron… seseorang yang bunganya gugur dan daunnya rontok, kalau aku tak
salah?
Tapi Nina takbisa membuat pohon mati bergerak?
Bahkan selagi aku memikirkan itu, duel Darg dan Violet
sudah dimulai.
Darg
mundur dan mendecakkan lidahnya. Darah segar menetes di sekujur tinju hingga
dadanya.
[Beneran lebih keras dari kelihatannya.]
Bahkan serangan Darg takbisa menghancurkan zirah duri itu
dengan mudah.
Duri-duri itu menusuk tinjunya sewaktu dia melancarkan
serangan padanya, sehingga Violet mampu mengenyahkan serangan lawan dengan
senjatanya, membuat lawan takbisa mendekatinya.
[Akan berbahaya bila kamu terus berdarah. Mohon,
menyerahlah.]
Violet mengarahkan senjatanya pada Darg.
Hanya sihir penguatan saja yang bisa digunakan Darg.
Andai saja dia bisa memanggil api atau badai salju
seperti Ai dan diriku, dia akan bisa menang dengan mudah melawan Violet.
Kalau saja dia menggunakan pedang karangnya, setidaknya
mungkin dia tidak akan berdarah sebanyak itu.
Tapi itu bukan alasan dia sampai terpojokkan seperti ini.
[Naif sekali kau. Kalau begitu, rasanya aku harus minta
maaf terlebih dahulu.]
Mendengar Darg berkata begitu dengan masa bodo, Violet
memiringkan kepalanya ke samping.
"Aku ini cepat. Aku ini kuat. Aku—"
Itu adalah mantra yang amat sederhana.
Darg hanya bisa menggunakan sihir yang memperkuat
dirinya.
Itu saja sudah meyakinkan.
"Ini Kuat!"
Bukan berarti dia itu lemah.
Satu serangan yang digunakan Darg bukanlah kepalan tinju,
melainkan telapak tangan yang sepenuhnya terentang.
Kedengarannya seperti ditabrak sebuah truk, tubuh
Violet—zirah dan semuanya—diledakkan ke belakang.
Terus terhempaskan, akhirnya dia menghantam batang pohon
di pinggir daerah terbuka dan terjatuh, tak bergerak.
[Dia tidak mati, ‘kan?]
Keluh
Darg saat darah menetes dari telapak tangannya.
[… Aku… menyerah….]
Melihat Violet yang entah bagaimana berhasil bendiri
kembali sendiri, Darg menepuk dadanya merasa lega.
"Abang bakalan menghajarku setengah mati kalau aku
membunuh seorang wanita."
Yah, kelihatannya sikap Darg sudah lebih membaik dalam
tak memperlakukan wanita sebagai barang… kurasa?
Dia mungkin akan bisa menang dengan lebih mudah kalau
bukan dikarenakan perjanjian denganku.
[Keluarkan sini yang terakhir. Mari cepat kita bereskan
ini.]
"Aku akan maju."
Darg langsung pucat begitu melihat siapa yang melangkah
maju dengan suara dingin.
Orang ketiga bahkan lebih kecil dari si mungil Violet.
Rambutnya dijepit ke atas dan bersinar keemasan karena
cahaya matahari yang menembus melalui pepohonan, matanya seterang warna biru bak
mata air suci. Dia nampak polos, tapi tidak kekanak-kanakan. Ekspresinya yang
menyejukkan dipenuhi dengan ketenangan, serta harga diri.
Dia menyimpan kecantikan misterius, bagaikan dewi dalam mitos.
Melihatnya saja, aku sudah merasa tenang, kecemasanku mereda—aku merasa seperti
sudah hidup bersamanya selama beberapa dekade.
"… Hei. Boleh aku ‘nyerah?"
"Tidak."
Lebih tepatnya, ia adalah Nina.
Pedang, tombak, kapak, palu, sabit.
Berbagai macam senjata yang terbuat dari kayu berjejer di
hadapan Darg, dan semuanya dilemparkan ke arah Darg sekaligus.
"Tunggu—kubilang tunggu! Kumohon tunggu, Mbak!"
Walau Darg mampu menghindari yang pertama, mematahkan
yang kedua, menangkap yang ketiga, menangkis yang keempat, dan menahan yang
kelima, senjata-senjata kayu yang terus dilancarkan Nina padanya tak kunjung
berakhir. Harus menghadapi serangan yang jumlahnya banyak itu secara langsung,
Darg takbisa meneruskan dan terdorong mundur.
"Keterlaluan…"
Berkata begitu, Darg jatuh ke tanah.
Aku setuju dengannya.
Yang tetap tersisa usai bunga-bunga rontok dan dedaunan
gugur dari dahannya.
Adalah benih.
Dengan kata lain, kemampuan Nina—[Guron]—adalah
menciptakan dan menumbuhkan tanaman sesukanya.
Begitu, ya. Itu memang kekuatan yang pantas bagi
seseorang yang disebut tuan putri.
Aku tak yakin apakah dia mempunyai kekuatan itu karena
dia seorang tuan putri, atau dia seorang tuan putri karena mempunyai kekuatan
itu, sih.
Yang jelas, aku tak paham mengapa dia melawan kami.
"Kurasa aku salah memahami sesuatu, deh."
Nina menatapku dengan mata dingin dan berkata.
"Kembali ke hutan ini, adalah keputusanku. Jangan
ikut campur."
"Bohong."
Tak disangka, Nina tak pandai berbohong.
Dia takbisa melupakan tempat di mana dia dibesarkan
karena ingatannya yang mengagumkan dan ekspresinya yang gelisah berkata, bahwa
dia kembali bukan karena keinginan sejatinya. Bahkan aku pun bisa memahami itu.
"Kau sendiri memaksakan dirimu demi Ai, bukan?"
"… Aku tidak memaksakan diriku untuk melakukan apa
pun."
Menanggapi dengan bermuka masam, Nina mengalihkan
pandangannya.
"Kau tidak peduli padaku. Hanya Ai sajalah yang
kaupikirkan."
"Aku peduli, kok!"
Tanggapan Nina yang sangat tak biasa membuatku jengkel,
sehingga aku tak sengaja meninggikan suaraku.
"Bukan itu maksudku! Kau harusnya hanya memedulikan
apa yang penting—"
"Kau juga sangat penting buatku, Nina!"
Mulut Nina tertutup rapat, menatapku seakan ingin
mengucapkan sesuatu.
"Kau—"
"Cukup. Pertarungan ini kamilah pemenangnya, akui
kekalahanmu."
Nina hendak bicara, tapi Tetua menyelanya.
"Tunggu."
Namun, Ai angkat bicara.
"Aku akan bertarung."
"… Kenapa…?"
Mendengar gumaman Nina yang seakan tak percaya, Ai
menatapnya dan tersenyum.
"Karena bagiku, kamu juga penting."
"… Apa dia sudah tak waras?"
Tetua tak menanyakan itu pada Ai, tapi padaku.
Dia bahkan tidak akan cukup menerimanya untuk berbicara
dengannya secara langsung.
"Dia—"
Tanggapku.
Di antara kami, Ai lah satu-satunya Ahli Sihir yang bukan
bawaan sejak lahir.
Dia memang jenius kalau menyangkut soal sihir.
Darg menjadi Ahli Sihir karena diberkahi fisik semenjak lahir.
Dia hanya mampu menggunakan sihir penguatan diri
dikarenakan keyakinan akan kekuatannya sendiri.
Begitu pula dengan aku dan Nina.
Aku terlahir sebagai seekor naga, sedangkan dia terlahir
sebagai seorang Elf.
Makanya, kami ini kuat.
Dalam persoalan tersebut, Ai lah yang paling berbakat di
antara kita semua yang ada di sini.
Namun, yang benar-benar paling berbakat adalah Nina.
Serupa dengan Darg yang terlahir menjadi sangat kuat,
Nina adalah orang jenius di antara para Elf sekali pun.
Tepatnya, begitulah alasannya.
"Dia… kuat."
Ai adalah orang yang paling pantas untuk menunjukkan
kekuatan dari ras manusia.
"… Kalau begitu, coba saja."
Usai menutup matanya sejenak, Tetua pun menerimanya.
Ai dan Nina saling berhadapan tanpa kata.
"Aku tidak akan menahan diri."
"Aku tahu."
Ai mengangguk menanggapi kata-kata Nina, lalu tersenyum.
"Begitu pun denganku."
Aku merasakan adanya percikan api yang beterbangan di
udara di antara mereka berdua.
Heh?
Bukannya Nina bertarung demi Ai?
"Aku takkan memberimu kesempatan untuk merapalkan
apa pun!"
Tepat usai Nina berteriak begitu, pepohonan yang tak
terhitung banyaknya melonjak dari tanah dan berubah bentuk menjadi senjata,
sama seperti sebelumnya.
Tidak, dia benar-benar tak menahan diri, seperti yang
dikatakannya.
Ribuan senjata yang disusunnya melawan Darg hanya muncul
di depannya saja, tapi yang satu ini mengelilingi Ai sepenuhnya. Itu adalah
pengurungan total, tidak mungkin untuk melarikan diri.
Ai, yang tak punya waktu untuk merapalkan mantra,
menghadapi senjata dan menunjuk.
"Munculah."
Hanya pernyataan singkat itulah yang dirapalkannya.
Di detik selanjutnya, duel pun telah diputuskan.
"Kemampuanmu—
Dia terdengar amat kecewa.
"—sudah meningkat lagi, bukan …."
Semua yang ada di sekitar mereka membeku, diselimuti
dunia putih murni.
"Hoh, hoh, hoh."
Suara Jack Frost menggema keras terhadap embun beku itu.
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 26 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia