Saturday, February 9, 2019

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 26 Bahasa Indonesia







Chapter 26 – Duel


"Oi, mari kita selesaikan ini di luar."

"Tidak perlu, kita sudah di luar."

Daerah di sekitar kami berubah menjadi tempat kosong saat dia berbicara,

aku sadar sudah membuat kesalahan untuk memilih bertarung melawannya.



            "… Tentu, kenapa tidak. Kalau itu memang yang kamu mau, akan kuakui bahwa kalian semua memang cukup kuat andai bisa mengalahkan ketiga eliteku. Tempat ini juga terkurung, sih."

            Tetua membawa kami bertiga keluar dengan berucap begitu.

            Mengayunkan lengannya begitu kami sudah pindah keluar, pepohonan di sekitarnya mulai bergemeresik, bergerak menjauh seakan mempunyai akal tersendiri dan lekas meninggalkan daerah terbuka. Bahkan pemanipulasian pepohonannya lebih hebat ketimbang Nina dan tanpa memerlukan mantra sekali pun.

            [Beneran kau ingin memindahkan senjatamu sejauh itu?]

            [Bukan masalah. Evergreen, bermainlah dengannya.]

            [Yo, Cebol. Kau ingin melawanku secara langsung dengan tubuh seperti itu?]

            Dia lebih kecil bila dibandingkan dengan tubuh berototnya Darg yang tingginya dua meter lebih.

            [Tahukah kau mengapa Tetua bilang bukan masalah meski menjauhkan pepohonan itu?]

            [Karena pada akhirnya kau tetap akan kalah?]

            Tanggap Darg dengan bergurau pada pertanyaan Elf itu.

            [Tidak—]

            Dengan suara yang terdengar mirip gemertakan tulang, bentuk badan Evergreen membesar.

            Sejumlah otot pada lengannya berubah menjadi dahan tebal, berwarna coklat kemerahan. Kulit pohon seperti sisik menyelimuti tubuhnya saat itu berubah menjadi batang pohon yang tebal.

            [—Itu karena kami sendiri merupakan hutan, Cebol.]

            Tingginya sekitar sepuluh meter.

            Usai berubah menjadi pohon besar, Evergreen benar-benar memandang rendah Darg saat dia mengguncangkan dedaunannya.

            [Heh.]

            Mendongak padanya, Darg menanggapinya tanpa minat.

            [Berusahalah agar tidak mati, ya?]

            Dahan pohon raksaksa itu diangkat, lalu dihantamkan pada Darg.

            Darg tetap berdiri dan membiarkan dirinya dihancurkan.

            "Darg….!"

            Panggil Ai dari sampingku.

            [Aku penasaran….]

            Akan tetapi, kami mendengar banyolan biasanya yang berasal dari bawah bayangan dedaunan Elf itu.

            [Pohon ini tubuhmu, ya? Kalau kuhancurkan, akankah kau mati?]

            [Tidak. Itu hanyalah wadah sementara. Tidak usah mengkhawatirkannya.]

            Usai menjawab, sebuah retakan mulai menjalar di sepanjang tubuhnya Evergreen.

            [Baguslah.]

            Ujar Darg saat pohon raksaksa itu lanjut terbelah menjadi dua.

            [Akan menyebalkan kalau nantinya kau sekarat.]

            [Mengagumkan…!]

            Muncul dari dalam pohon yang rusak itu, dia pun berlutut.

            [Kau masih ingin lanjut?]

            Mendengar pertanyaan Darg, Evergreen menolak dengan tersenyum pahit.

            [Nah, siapa selanjutnya? Langsung keduanya juga tidak masalah buatku.]

            [Violet. Giliranmu.]

            Tak mengindahkan Darg, Tetua mengutus lawan berikutnya.

            Kali ini, lawannya adalah Elf mungil.

            [Akulah yang akan menjadi lawanmu.]

            Elf yang bernama Violet itu bicara dengan sopan, mengulurkan tangan kirinya ke depan.

            Setelahnya, tubuhnya diselimuti duri-duri dalam sekejap mata, lalu berubah menjadi tameng dan zirah. Dari tangannya tumbuh tangkai mawar panjang yang digunakannya untuk menunjuk Darg layaknya pedang.

            [Begitu, Violet, ya?]

            Memahaminya, Darg mengangguk.

            Bunga mawar Violet muncul di sana-sini, di antara duri-duri yang membentuk zirahnya.

            Pikirku Evergreen dan Violet hanyalah sekedar nama yang tidak biasa saja, tapi kini aku paham bahwa itu merujuk pada sihir yang mereka gunakan. Mestinya Ultramarine pun sama, dia harusnya punya daun atau bunga berwarna ultramarine(Biru Laut).

            Tapi apabila memang benar begitu, bagamaina dengan Nina?

            Ultramarine memanggilnya Guron… seseorang yang bunganya gugur dan daunnya rontok, kalau aku tak salah?

            Tapi Nina takbisa membuat pohon mati bergerak?

            Bahkan selagi aku memikirkan itu, duel Darg dan Violet sudah dimulai.

Darg mundur dan mendecakkan lidahnya. Darah segar menetes di sekujur tinju hingga dadanya.

            [Beneran lebih keras dari kelihatannya.]

            Bahkan serangan Darg takbisa menghancurkan zirah duri itu dengan mudah.

            Duri-duri itu menusuk tinjunya sewaktu dia melancarkan serangan padanya, sehingga Violet mampu mengenyahkan serangan lawan dengan senjatanya, membuat lawan takbisa mendekatinya.

            [Akan berbahaya bila kamu terus berdarah. Mohon, menyerahlah.]

            Violet mengarahkan senjatanya pada Darg.

            Hanya sihir penguatan saja yang bisa digunakan Darg.

            Andai saja dia bisa memanggil api atau badai salju seperti Ai dan diriku, dia akan bisa menang dengan mudah melawan Violet.

            Kalau saja dia menggunakan pedang karangnya, setidaknya mungkin dia tidak akan berdarah sebanyak itu.

            Tapi itu bukan alasan dia sampai terpojokkan seperti ini.

            [Naif sekali kau. Kalau begitu, rasanya aku harus minta maaf terlebih dahulu.]

            Mendengar Darg berkata begitu dengan masa bodo, Violet memiringkan kepalanya ke samping.

            "Aku ini cepat. Aku ini kuat. Aku—"

            Itu adalah mantra yang amat sederhana.

            Darg hanya bisa menggunakan sihir yang memperkuat dirinya.

            Itu saja sudah meyakinkan.

            "Ini Kuat!"

            Bukan berarti dia itu lemah.

            Satu serangan yang digunakan Darg bukanlah kepalan tinju, melainkan telapak tangan yang sepenuhnya terentang.

            Kedengarannya seperti ditabrak sebuah truk, tubuh Violet—zirah dan semuanya—diledakkan ke belakang.

            Terus terhempaskan, akhirnya dia menghantam batang pohon di pinggir daerah terbuka dan terjatuh, tak bergerak.

            [Dia tidak mati, ‘kan?]

Keluh Darg saat darah menetes dari telapak tangannya.

            [… Aku… menyerah….]

            Melihat Violet yang entah bagaimana berhasil bendiri kembali sendiri, Darg menepuk dadanya merasa lega.

            "Abang bakalan menghajarku setengah mati kalau aku membunuh seorang wanita."

            Yah, kelihatannya sikap Darg sudah lebih membaik dalam tak memperlakukan wanita sebagai barang… kurasa?

            Dia mungkin akan bisa menang dengan lebih mudah kalau bukan dikarenakan perjanjian denganku.

            [Keluarkan sini yang terakhir. Mari cepat kita bereskan ini.]

            "Aku akan maju."

            Darg langsung pucat begitu melihat siapa yang melangkah maju dengan suara dingin.

            Orang ketiga bahkan lebih kecil dari si mungil Violet.

            Rambutnya dijepit ke atas dan bersinar keemasan karena cahaya matahari yang menembus melalui pepohonan, matanya seterang warna biru bak mata air suci. Dia nampak polos, tapi tidak kekanak-kanakan. Ekspresinya yang menyejukkan dipenuhi dengan ketenangan, serta harga diri.

            Dia menyimpan kecantikan misterius, bagaikan dewi dalam mitos. Melihatnya saja, aku sudah merasa tenang, kecemasanku mereda—aku merasa seperti sudah hidup bersamanya selama beberapa dekade.

            "… Hei. Boleh aku ‘nyerah?"

            "Tidak."

            Lebih tepatnya, ia adalah Nina.

            Pedang, tombak, kapak, palu, sabit.

            Berbagai macam senjata yang terbuat dari kayu berjejer di hadapan Darg, dan semuanya dilemparkan ke arah Darg sekaligus.

            "Tunggu—kubilang tunggu! Kumohon tunggu, Mbak!"

            Walau Darg mampu menghindari yang pertama, mematahkan yang kedua, menangkap yang ketiga, menangkis yang keempat, dan menahan yang kelima, senjata-senjata kayu yang terus dilancarkan Nina padanya tak kunjung berakhir. Harus menghadapi serangan yang jumlahnya banyak itu secara langsung, Darg takbisa meneruskan dan terdorong mundur.

            "Keterlaluan…"

            Berkata begitu, Darg jatuh ke tanah.

            Aku setuju dengannya.

            Yang tetap tersisa usai bunga-bunga rontok dan dedaunan gugur dari dahannya.
            Adalah benih.

            Dengan kata lain, kemampuan Nina—[Guron]—adalah menciptakan dan menumbuhkan tanaman sesukanya.

            Begitu, ya. Itu memang kekuatan yang pantas bagi seseorang yang disebut tuan putri.

            Aku tak yakin apakah dia mempunyai kekuatan itu karena dia seorang tuan putri, atau dia seorang tuan putri karena mempunyai kekuatan itu, sih.

            Yang jelas, aku tak paham mengapa dia melawan kami.

            "Kurasa aku salah memahami sesuatu, deh."

            Nina menatapku dengan mata dingin dan berkata.

            "Kembali ke hutan ini, adalah keputusanku. Jangan ikut campur."

            "Bohong."

            Tak disangka, Nina tak pandai berbohong.

            Dia takbisa melupakan tempat di mana dia dibesarkan karena ingatannya yang mengagumkan dan ekspresinya yang gelisah berkata, bahwa dia kembali bukan karena keinginan sejatinya. Bahkan aku pun bisa memahami itu.

            "Kau sendiri memaksakan dirimu demi Ai, bukan?"

            "… Aku tidak memaksakan diriku untuk melakukan apa pun."

            Menanggapi dengan bermuka masam, Nina mengalihkan pandangannya.

            "Kau tidak peduli padaku. Hanya Ai sajalah yang kaupikirkan."

            "Aku peduli, kok!"

            Tanggapan Nina yang sangat tak biasa membuatku jengkel, sehingga aku tak sengaja meninggikan suaraku.

            "Bukan itu maksudku! Kau harusnya hanya memedulikan apa yang penting—"

            "Kau juga sangat penting buatku, Nina!"

            Mulut Nina tertutup rapat, menatapku seakan ingin mengucapkan sesuatu.

            "Kau—"

            "Cukup. Pertarungan ini kamilah pemenangnya, akui kekalahanmu."

            Nina hendak bicara, tapi Tetua menyelanya.

            "Tunggu."

            Namun, Ai angkat bicara.

            "Aku akan bertarung."

            "… Kenapa…?"

            Mendengar gumaman Nina yang seakan tak percaya, Ai menatapnya dan tersenyum.

            "Karena bagiku, kamu juga penting."

            "… Apa dia sudah tak waras?"

            Tetua tak menanyakan itu pada Ai, tapi padaku.

            Dia bahkan tidak akan cukup menerimanya untuk berbicara dengannya secara langsung.

            "Dia—"

            Tanggapku.

            Di antara kami, Ai lah satu-satunya Ahli Sihir yang bukan bawaan sejak lahir.

            Dia memang jenius kalau menyangkut soal sihir.

            Darg menjadi Ahli Sihir karena diberkahi fisik semenjak lahir.

            Dia hanya mampu menggunakan sihir penguatan diri dikarenakan keyakinan akan kekuatannya sendiri.

            Begitu pula dengan aku dan Nina.

            Aku terlahir sebagai seekor naga, sedangkan dia terlahir sebagai seorang Elf.

            Makanya, kami ini kuat.

            Dalam persoalan tersebut, Ai lah yang paling berbakat di antara kita semua yang ada di sini.

            Namun, yang benar-benar paling berbakat adalah Nina.

            Serupa dengan Darg yang terlahir menjadi sangat kuat, Nina adalah orang jenius di antara para Elf sekali pun.

            Tepatnya, begitulah alasannya.

            "Dia… kuat."

            Ai adalah orang yang paling pantas untuk menunjukkan kekuatan dari ras manusia.

            "… Kalau begitu, coba saja."

            Usai menutup matanya sejenak, Tetua pun menerimanya.

            Ai dan Nina saling berhadapan tanpa kata.

            "Aku tidak akan menahan diri."

            "Aku tahu."

            Ai mengangguk menanggapi kata-kata Nina, lalu tersenyum.

            "Begitu pun denganku."

            Aku merasakan adanya percikan api yang beterbangan di udara di antara mereka berdua.

            Heh?

            Bukannya Nina bertarung demi Ai?

            "Aku takkan memberimu kesempatan untuk merapalkan apa pun!"

            Tepat usai Nina berteriak begitu, pepohonan yang tak terhitung banyaknya melonjak dari tanah dan berubah bentuk menjadi senjata, sama seperti sebelumnya.

            Tidak, dia benar-benar tak menahan diri, seperti yang dikatakannya.

            Ribuan senjata yang disusunnya melawan Darg hanya muncul di depannya saja, tapi yang satu ini mengelilingi Ai sepenuhnya. Itu adalah pengurungan total, tidak mungkin untuk melarikan diri.

            Ai, yang tak punya waktu untuk merapalkan mantra, menghadapi senjata dan menunjuk.

            "Munculah."

            Hanya pernyataan singkat itulah yang dirapalkannya.

            Di detik selanjutnya, duel pun telah diputuskan.

            "Kemampuanmu—

            Dia terdengar amat kecewa.

            "—sudah meningkat lagi, bukan …."




            Semua yang ada di sekitar mereka membeku, diselimuti dunia putih murni.

            "Hoh, hoh, hoh."

            Suara Jack Frost menggema keras terhadap embun beku itu.



⟵Back         Main          Next⟶



Related Posts

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 26 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh