Tuesday, February 26, 2019

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 29 Bahasa Indonesia






Chapter 29 – Janji


Kata-kata masa depan dari masa yang teramat lampau.



            Enam puluh sembilan tahun telah berlalu semenjak kubertemu Ai.

            Baik Darg dan Ken… serta semua orang yang dulunya pernah tinggal di gua tempat Ai berasal, telah meninggal.

            Hidup di antara anak, cucu, dan cicit mereka, Ai lah orang yang terakhir berpulang.

            "… Sang empunya banyak nama, aliran waktu, kematian itu sendiri… enyahlah dirimu dari tubuh ini, lenyaplah."

            Usai merapalkan mantra yang teramat panjang, Ai menghela napas dan berbaring di tempat tidur.

            Tempat tidur tersebut dibuat khusus dari bulu domba yang kutangkap dari benua lain.

            Tempat tidurnya itu takbisa menyimpan lilin seperti yang ada di Bumi zaman modern, tapi Ai tetap tersenyum dan berkata, masih jauh lebih baik ketimbang tidur di tanah yang beralaskan jerami.

            "Ai, apa kau baik-baik saja…? Jangan memaksakan diri, ya."

            "Aku baik-baik saja, kok… seperti rutinitas sehari-hariku, sekarang."

            Ai bicara pelan-pelan, nadanya tak karuan.

            Mantra yang kelewat panjang untuk memperpanjang hidup memakan waktu sekitar sepuluh menit untuk dirapalkan. Dia merapalnya tiap hari, bahkan ketika aku tidak berada di sana. Dia hampir takbisa berdiri lagi, tapi dia masih melanjutkan kebiasaan tersebut.

            Aku sempat menduga sihir tersebut tidak mempunyai efek, tapi melihat Ai yang berumur panjang, tampaknya sihir tersebut mungkin punya sedikit pengaruh.

            Meski demikian, efknya hanya sekedar pelipur belaka.

            "Selain itu… yang jelas, aku takkan… bertahan lebih lama."

            Takbisa menimpalinya, kuhanya menyisir poninya.

            Nina pun mengatakan hal yang serupa padaku.

            Ai hanya punya sisa waktu beberapa hari lagi.

            Aku tak sanggup membayangkan dunia tanpa ada dirinya.

            Memikirkan itu, kuhanya bisa berserah diri.

            Dia, sebagai seorang manusia di era ini, telah hidup lama melebihi masanya.

            Tubuhnya yang sudah menua semakin melemah, takbisa lagi berlari di sepanjang ladang, takbisa lagi bicara dengan riang, takbisa lagi mendengar banyak hal.

            Menyaksikan dirinya yang seperti itu, menyiksa hatiku.

            "Mentor."

            Ai menatap seriusku.

            "Boleh kubertanya… satu hal terakhir?"

            "Apa? Apa pun ‘kan kujawab."

            Kumohon, janganlah jadikan ini yang terakhir.

            Dengan putus asa menekan perasaan tersebut yang seakan mengancam untuk menguasaiku, aku nyaris takbisa memaksakan senyum di wajahku.

            "Kuingin—tahu… nama Mentor."

            "Namaku?"

            Naga tidaklah tinggal bersama, bahkan dengan anak-anak mereka sendiri.

            Wawasan mereka sangatlah luas, sehingga mereka juga mungkin tahu bagaimana cara menguasai makhluk dengan memahami nama mereka.

            Mungkin karena itulah mereka tak memberikan nama.

Kesannya aneh memberi nama sendiri, jadi kubilang pada Ai untuk memanggilku Mentor. Sebutan itu telah menyebar ke seluruh orang-orang di desa, hanya dua orang sajalah yang tidak memanggilku begitu. Mereka berdua adalah Nina dan Darg.

            "Bukannya sudah kujelaskan sebelumnya? Naga tidak punya nama. Makanya kubilang pada kalian semua untuk memanggilku Mentor, itulah namaku."

            "Yang ingin kutahu… adalah nama Mentor, sebagai seorang manusia."

            Perkataannya membuatku tiba-tiba mengingatnya.

            Benar. Dulunya, aku ini seorang manusia.

            Tentu saja, aku tak lupa akan hal itu.

            Namun, hidup yang kujalani sebagai naga hampir lebih lama ketimbang hidup yang kujalani sebagai manusia.

            Aku sudah terbiasa hidup sebagai naga, saking terbiasanya sampai membuat kesadaran akan diriku yang dulu mulai memudar.

            "Jadi… kau menyadarinya?"

            Tak seorang pun yang pernah kuberitahu, bahwa dulunya aku ini adalah manusia.

            Bukan masalah besar bila mereka tahu, tapi kupikir takkan ada yang memercayaiku.

            "Kutahu semua… mengenai dirimu, Mentor."

            Ai bicara dengan sedikit senyuman di wajahnya.

            Dia tidaklah melebih-lebihkan, itu mungkin saja benar.

            Telinganya terkulai, tapi entah kenapa, dia tak pernah bisa berhenti mendengarku.

            "Aku… ya. Dulunya aku adalah manusia. Namun, aku bukanlah manusia yang berasal dari dunia ini. Aku adalah manusia yang hidup di dunia yang sama sekali berbeda."

            Ai, yang tampak tak meragukanku sedikit pun, mengangguk saat mendengarkan.

            "Di dunia tersebut tak ada sihir… tidak, kurasa teradapat satu. Sihir itu… adalah yang mereinkarnasiku ke dunia ini sebaga naga."

            "Reinkarnasi…."

            Ai mengucapkan kata itu, merenungkannya.

            "Ryouji. Itulah nama manusiaku, Ryouji Sekiguchi. Ditulis seperti ini."

            Kutuliskan huruf namaku di udara saat mengatakan itu.

            "… Ryou… ji…."

            Pada saat Ai menggumamkannya, seluruh tubuhku terasa seakan terbakar.

            Mau itu sewaktu kuberendam di air panas atau sewaktu tak sengaja membakar pepohonan yang mengelilingiku—bahkan saat aku mandi dalam magma—baru pertama kali ini kumerasakan panas sepanas ini.

            Inilah ketegangan pertamaku merasakan panas semenjak dilahirkan sebagai naga.

            Perutku terbakar, lenganku terkilir, dan penglihatanku mengabur.

            Namun, anehnya, tidak terasa menyakitkan.

            Perasaan tersebut tiba-tiba berlalu seolah tak pernah terjadi.

            "Ryouji… apa…?"

            Berkedip beberapa kali usai melihat Ai yang anehnya terlihat sangat dekat denganku, aku sadar—

            "… Rupanya begitu."

            —Bahwa penampilanku telah berubah menjadi manusia.

            "Itukah… kau?"

            "Mungkin… kurasa."

            Matanya terbelalak, Ai menatapiku dengan saksama.

            Kuulurkan tanganku yang gemetar dan dengan lembut menempatkan tanganku di pipinya.

            Lalu, kupeluk erat-erat.

            Bahkan yang seperti ini saja takbisa.

            Bahkan yang seperti ini saja… takbisa kulakukan hingga sekarang.






            Memeluk tubuh seorang wanita yang kucintai untuk kali pertamanya, dia terasa kecil dan lembut, seolah akan patah bila kukuatkan sedikit pelukanku.

            "Ah…"

            Lengan Ai mencapai punggungku, dia mengeluarkan suara kepuasan.

            Mata basahnya berkilau bak cahaya bintang, dia mentapku dengan tulus.

            Sejujurnya, mata… tulusnya, menatap lurus ke arahku, takkan berubah tak peduli berapa lama pun waktu berlalu.

            Dulu dia diserahkan padaku sebagai tumbal—masih muda dan polos, itulah musim semi kami.

            Dia telah tumbuh menjadi cantik, layaknya dedaunan baru yang bertunas di pohon—gadis yang kudambakan, itulah musim panas kami.

            Secantik bunga berwarna cerah—sewaktu dia menyatakan cintanya padaku, itulah musim gugur kami.

            Kerutan yang tak terhitung jumlahnya menggerogoti kulitnya—wanita yang menyongkongku sebagai isriku, itulah musim dingin kami.

            Sepanjang tahun, matanya hanya tertuju padaku.

            "Aku merasa bahagia."

            Aku juga.

            Biarpun kuharus mengatakannya, mulutku takbisa bergerak.

            "Bisa bertemu denganmu… dan tinggal bersamamu…."

            Kumohon, jangan pergi.

            Hanya iu yang mampu kulakukan supaya bisa mengendalikan diri dari keegoisanku sendiri.

            "Aku sungguh, benar… benar bahagia."

            Sekalipun wujudku sudah berubah menjadi manusia, sebagian indraku rupanya masih sebagai naga.

            Untuk kali pertamanya semenjak aku dilahirkan kembali, aku mengutuk diriku yang dilahirkan sebagai naga api.

            Sihir yang telah mengubahku menjadi manusia kelihatannya sudah kehabisan tenaga.

            Kehangatan terus menerus terkuras dari bibirnya, matanya, jari jemarinya….

            Mulai perlahannya dia sekarat, membuatku sangat takut.

            Mudah sekali bagiku ‘tuk memohon, berteriak padanya ‘tuk tak meninggalkanku sendiri?

            Berulang kali kusudah merenungkan apakah aku juga harus mengakhiri hidupku bersamanya.

            Tak mau kumembayangkan hidup selama ratusan, ribuan tahun di dunia yang tanpa dirinya.

            "Ya… bertemu denganmu… sungguh, benar-benar membuatku… sangat bahagia, juga…"

            Menahan penderitaan yang melandaku, akhirnya kuberhasil mengeluarkan suaraku.

            Kuharus memberitahunya.

            Kuharus memberitahunya, bahwa dia juga telah memberikan kebahagiaan yang sepadan, bahwa senyumannya adalah mentari yang menerangi duniaku.

            "Mentor, kamu… sangat lembut. Aku mencintaimu."

            Namun Ai menanggapi dengan senyuman, rupanya bisa memahami semua pemikiranku.

            "Jadi, sekali lagi… kuakan—"

            Menghimpun seluruh kekuatannya yang tersisa, Ai mengutarakan kata-katanya.

            Saking lemahnya, dia bahkan takbisa menggetarkan udara.

            Itulah napas terakhirnya.

***

            "… Sudah usai?"

            "Ya."

            Usai mengangguk pada pertanyaan tenang Nina, tiba-tiba kumenyadari.

            "Tidak ada tanggapan?"

            "Tidak ada yang berbeda, sih? Mata emas dan rambut merah yang sama."

            Biarpun penampilanku sama sekali berbeda dari sewaktu aku naga, sama sekali hanya sebatas itulah reaksi dan tanggapannya.

            "Yah, kalau harus…."

            Dia menatapku dan melanjutkan.

            "Kupikir kau lebih kelihatan seperti anak kecil."

            "Iya kalau sebagai naga, sih."

           Aku takbisa memastikan karena tidak ada cermin di hadapanku, tapi dinilai dari tangan dan kakiku, wujud manusiaku ini berumur sekitar dua puluh tahunan. Aku takbisa bilang seberapa panjang umur naga, tapi sebagai naga harusnya terbilang muda.

            "… Kau tak sesedih yang kukira."

            "Tidak, aku sangat sedih, kok."

            Bila Nina tak ada di sini sekarang, aku akan menangis meraung-raung.

            Namun.

            "Nina. Mari kita buat akademi sihir."

            Kuucapkan kata-kata sama yang pernah kukatakan saat dulu sekali.

            "…? Bukannya sudah?"

            Ai sungguh istri yang mengagumkan.

            Sampai akhir hayatnya pun dia memikirkanku.

            "Sekolah yang lebih besar, lebih bagus."

            Pendengaran naga benar-benar tajam.

            Saking tajamnya sampai bisa mendengar kata-kata terakhir Ai, kata-kata yang bahkan tak sampai terucapkan mulutnya.

            Makanya, aku akan percaya pada kata-kata yang ditinggalkannya padaku dan mengharapkannya.

            "Mari kita buat akademi yang hebat sampai semua orang di penjuru dunia mengetahuinya."

            Karena.

            Karena suatu hari nanti, dia akan kembali.


⟵Back         Main          Next⟶




Related Posts

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 29 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh

1 komentar: