Chapter
01 – Dibayangi Kebinasaan
Ia menimpa kita
bak bayangan,
membekuk kita
tanpa disadari.
"Aku menyerah…"
Aku yang kehabisan akal pun berhenti
menggerakkan pena di papan tulis. Mau diperhitungkan berapa kali pun, hasilnya
tetap sama.
"Bagaimana, nih?"
Di luar mendadak ribut pas aku mulai
memeras otak dengan menahan kepala di tanganku. Mengalihkan pandanganku ke
jendela, aku pun menghela napas begitu sadar hari sudah senja.
"Mentooor, sampai jumpa!"
"Ya, sampai jumpa."
Aku tersenyum sambil melambaikan
tangan pada anak-anak desa, yang tengah berlarian di luar jendela dengan senyum
di wajahnya.
Mereka adalah harta berharga desa, yang
kelak nanti akan mewarisi desa. Makanya, aku takbisa mengabaikan masalah ini.
"Haah, capenya. Akhirnya, hari
ini beres juga."
"Terima kasih atas kerja
kerasmu hari ini, Nina."
Kusambut Nina pas dia masuk ke ruang
pengajar. Biar begitu, hanya aku dan Nina sajalah pengajarnya.
"Ada masalah apa? Kau kelihatan
susah hati dari biasanya."
Tuturnya saat memandangku. Sudah
sekitar lima ratus tahun semenjak aku bertemu dengannya. Kalau dipikir-pikir,
kita ini sudah cukup kenal lama. Setidaknya, kita sudah rada bisa memahami
perasaan satu sama lain hanya dengan memandang saja.
Memang tidak ada banyak perubahan
pada ekspresinya, tetapi saat ini dia terlihat cemas.
"Eng, begini…"
Itu terjadi pas aku hendak bicara.
"Kakaaaak~!"
Aku melihat sosok mungil yang
melompat padaku sambil berteriak dengan penuh semangat.
"Belajarku sudah beres."
Dengan rambut merah berkuncir dua,
senyuman cerah menerangi wajahnya. Biarpun mata merah besarnya yang bersinar
menjamin akan kecantikannya kelak nanti, tingkahnya sendiri agak tomboi dengan
membawa pedang di pinggangnya.
"Oh? Hebat, Yuuki."
Gadis muda penuh semangat yang
melekat padaku ini adalah salah satu anak yang bersekolah, dan amat menyukaiku.
"Maaf, tadi aku melihat Yuuki
ke arah sini… oh. Jadi, di kemari."
Tak lama setelah Yuuki tiba-tiba
masuk ke dalam ruangan, muncul anak muda yang wajahnya mirip dengannya. Dia
anak muda cantik yang sering di salah kira sebagai seorang gadis. Selain sikap
tenang dan potongan rambut pendeknya, selebihnya dia mirip Yuuki.
"Kau pasti kesulitan, ya,
Amata."
"Tidak, maaf karena adikku
selalu merepotkan."
Perilakunya saat menundukkan
kepalanya sekali pun usianya hanya terpaut satu atau dua tahun dari Yuuki yang
kekanak-kanakan sangat menenangkan. Padahal, dia bisa bertingkah sesuai usianya;
lagian, dia masih anak-anak.
"Mari pulang, Yuuki!"
"Enggak mau—!"
Misalnya, dia bisa seperti Yuuki
yang sekarang ini tengah memeluk erat diriku karena tak mau pulang.
"… Jadi."
Terlepas dari apa yang terjadi, Nina
tiba-tiba angkat bicara.
"Apa yang kau cemaskan?"
Eh?
Kau tanyakan itu sekarang?
"Ini
bukan hal yang bisa dibicarakan di depan anak-anak…."
"Tak
apalah, lagian mereka ini ahli pedang!"
"Ya! Aku ini ahli pedang!"
Mendengar perkataan Nina, mata Yuuki
seketika berseri saat mulai melambai-lambaikan tangannya. Mengambil napas
dalam-dalam, aku pun angkat tangan. Yah, membicarakannya di depan mereka berdua
juga sama saja.
"Sebenarnya… kalau keadaannya
begini terus, desa ini akan binasa."
"Eeh?!"
Mata Nina terbelalak, Amata termengap-mengap,
dan Yuuki berteriak kaget.
"Masih seratus tahunan lagi,
itu juga kalau sekarang kita tidak berbuat apa pun."
"Ooh."
"Aku sedikit terkejut!"
Yuuki dan Amata merasa lega usai
mendengar perkataanku berikutnya. Benar, hanya memerlukan satu abad lagi.
"Maksudmu, kaubisa melihat masa
depan?"
Bicara dengan nada serius, hanya
Nina seorang lah yang seperasaan denganku. Yuuki dan Amata takkan begitu
memedulikan apa yang takkan terjadi selama satu abad lagi, dan kemungkinan
besar mereka akan meninggal duluan. Akan tetapi, lain halnya bagiku dan Nina.
Waktu selama itu hanya akan berlalu sekejap saja.
"Ini bukan ramalan, tetapi prediksi.
Hanya perhitungan sederhana saja."
Aku, Nina… dan Ai. Akademi sihir
yang awalnya hanya dimulai bertiga saja sudah berkembang beserta desa ini, yang
dikenal sebagai Scarlet. Jumlah orang yang tinggal di sini telah meningkat
sejauh perkembangan penelitian sihir hingga bisa membuat kehidupan yang nyaman
di desa. Usai mengikuti perkembangan dan pertumbuhan desa dengan saksama,
akademi sihir pun ikut meningkat juga. Keduanya saling memberikan pertumbuhan
positif.
Baik desa maupun akademi tidak
mempunyai permasalahan besar yang perlu dicemas—
Malahan, berjalan terlalu mulus.
"Masalahnya, kalau begini terus
kita akan kekurangan makanan."
Makanan desa masih bergantung pada
perburuan dan pengumpulan. Biarpun sudah lama kita bisa mengatasi kelebihan
populasi dengan mempertahankan pemburu-pengumpul biasa, kita bahkan mampu
menyimpan persediaan untuk musim dingin dan keadaan genting. Ini semua berkat
sihir.
Rumah es yang diciptakan menggunakan
sihir dingin mampu mengawatkan daging dalam waktu yang lama, dan berburu daging
pun menjadi lebih mudah dengan menggunakan sihir untuk membuat tombak dan anak
panah mengenai sasaran, sekali pun biasanya meleset. Bahkan, anak-anak sekali
pun mampu mengumpulkan buah-buahan dari pepohonan tinggi di hutan dengan
memanipulasi dan mendengarkan suara rerumputan.
Nina dan aku melindungi semuanya
dari ancaman luar, dan sejauh ini belum ada epidemi besar, sehingga saat ini
kami tidak ada masalah.
Lalu, satu masalah pun akhirnya
muncul.
"Jumlah tanaman dan hewan yang
bisa dimakan berangsur menurun dari tahun ke tahunnya. Sementara, populasi kita
terus meningkat. Padahal, semua orang butuh makan… tetapi, itu baru akan
terjadi dalam 128 tahunan lagi."
Tak sepenuhnya memahami penjelasanku,
Yuuki dan Amata menatapku dengan wajah bingung. Hanya Nina seorang yang
mengangguk paham.
"Tetapi, kakak pasti akan
mengatasinya ‘kan?"
"Ya, tentu saja."
Mana mungkin desa ini kubiarkan
binasa. Aku harus mengembangkan sekolah ini, hingga bisa dikenal di seluruh
dunia.
"Anda sudah tahu apa yang mesti
dilakukan?"
Aku mengangguk atas pertanyaan
serius Amata.
"Sudah waktunya mengolah
lahan."
Hajimari no Mahoutsukai Volume 02 Chapter 01 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
1 komentar:
Whohh... akhirnya update. Next min
Reply