Chapter 02 – Tanngrisnir
Ia yang mengeritkan giginya,
Menarik gerobak dan menjadi makanan kita,
Takkan rehat selama tulangnya tak terluka.
"Wow, tinggi bangeeet!"
"Pegangan yang erat,
Yuuki!"
Aku mengepakkan sayapku, cemas
karena dia berteriak kegirangan dari atas kepalaku. Perlu tiga tahun lamanya
‘tuk kembali ke wujud nagaku dan bisa terbang ke langit lagi.
Naga dan manusia. Sihir yang Ai
tinggalkan memberikanku kemampuan ‘tuk berubah ke dalam dua wujud ini sesuka
hati. Akan terasa nyaman andai hanya bisa mengeluarkan sayapku saja dalam wujud
manusia ketimbang hanya mengganti jemari manusia dalam wujud nagaku, tetapi
semua itu takbisa kulakukan. Mungkin dikarenakan namaku sebagai manusia dan
naga?
"Nah, ayo turun."
"Ya!"
Mendengar tanggapan semangatnya, aku
turun ke tempat yang kutuju di depan hutan.
Seraya melintir sayapku ke belakang
dan menyebarkannya di sekitarku layaknya mantel, aku berubah ke wujud manusiaku
dan menangkap kaki Yuuki dengan memanggulnya.
"Aaah, serunya! Kak, lagi,
yuk!"
"Pas pulangnya saja. Sekarang
pegang dan jangan lepaskan tanganku, ya?"
Menenangkan Yuuki yang
tergelak-gelak, aku mengulurkan tangan padanya. Biarpun dia itu anak yang jujur
dan penurut, dia juga penuh semangat dan dipenuhi dengan rasa keingintahuan.
Entah akan pergi ke mana jika tak kutahan.
"Baik, Kak!"
"… Tidak bisakah kau mengubah
panggilanmu itu…"
"Tetapi kakak mah ya
kakak?"
Entah mengapa, dari dulu Yuuki sudah
memanggiku kakak.
Padahal, pada kakak kandungnya
sendiri hanya memanggilnya Amata.
Jangankan jadi kakaknya, aku sudah
ketuaan untuk menjadi kakeknya.
"Berhenti."
Kami dihentikan oleh suara garang
saat berjalan mendekati hutan.
"Punya urusan apa dua monyet di
hutan kami?"
"Oi, Ultramarine. Lama tak
jumpa."
Sewaktu aku melambaikan tangan pada
Elf yang menatap tajam kami, dia terlihat makin galak.
"Tahu namaku dari mana?"
"Tidak, tidak, tidak. Ini aku,
si naga merah. Kau ini sungguh pelupa."
Tampang Ultramarine melembut.
"Oh, oooh, ternyata kamu si
kadal yang selalu bersama si Guron! Hah, benar juga. Kamu mengganti wujudmu.
Jadi, orang yang satu ini si Guron? Kalian berdua jadi kecil!"
Sambil berkata begitu, dia
menepuk-nepuk punggungku dan mengusap kepala Yuuki.
"Anak ini mah dari desa kami,
Yuuki. Nina saat ini ada di rumah."
"Huh? Terus, ada perlu apa kamu
di sini?"
Wajar bila dia merasa curiga. Aku
kerap kali mengunjungi hutan Elf ini, tetapi selalu dengan dalih membiarkan
Nina mengunjungi rumahnya. Kalau dipikir-pikir, ini kali pertamanya aku ke sini
tanpanya.
"Aku kemarin untuk menemui Pea
Green."
"Hmph, ya sudah. Kalau kamu pengin
bertemu Pea Green, lewat sini."
Dia mengangguk seakan tak minat,
tetapi tetap mulai berjalan. Kelihatannya dia akan mengantarku.
"Kak, siapa Pea Green?"
"Orang yang merawat hewan
ternak di hutan ini."
Aku menjawab pertanyaan Yuuki selagi
jalan. Ya, kabarnya para Elf sudah berhasil merawat hewan ternak. Aku sendiri
belum melihat pertaniannya, tetapi aku sudah banyak mendengar kabar tentangnya.
Aku ada bilang akan mulai merawat
hewan, tetapi aku tidak tahu caranya. Karenanya, kuputuskan mengunjungi hutan
Elf dan meminjam kebijaksanaannya karena mereka sudah mulai melakukannya.
Mereka memberitahuku dengan tepat cara merawatnya, tetapi mereka hanya
memberitahuku spesies hewan apa yang cocok dan akan sangat membantu untuk
digembalakan.
Sewaktu aku mencari sendiri hewan
tersebut, aku takbisa menemukan hewan apa pun yang pantas digembalakan di dunia
ini. Bahkan, hewan yang menyerupai sapi dan babi saja kuat dan beringas, serta
akan mudah merusak pagar apa pun yang kami buat untuk mereka.
"Hoh, Mentor. Lama tak
jumpa."
"Lama tak jumpa juga. Maaf
karena sudah lama tak menghubungimu."
Sudak sekitar satu abad semenjak
terakhir kali berjumpa dengannya. Biar begitu, tak seperti Ultramarine, dia
masih mengingat wajahku.
Pea Green menundukkan kepalanya.
"Begitu, ya. Aku tidak
keberatan. Tetua juga sudah bilang untuk mengajarimu."
"Tetua bilang begitu?"
Begitu kumenjelaskan keadaannya, Pea
Green menyetujui dan memberikan tanggapan yang membuatku memiringkan kepala.
Aku takbisa bilang Tetua—ayah
Nina—membenciku, tetapi dia juga tidak menyukaiku. Aku ragu dia akan membantu
tanpa dimintai dahulu…
"Lewat sini."
Pea Green tak mengantar kami ke
kurungan berpagar ataupun kandang, melainkan daerah terbuka yang dipenuhi
rerumputan. Ada binatang serupa rusa dan kambing yang kerap kali kuburu di
pastura, tetapi mereka terlihat takkan melarikan diri sekali pun kami mendekati
mereka.
"Kebetulan, kurasa sudah
waktunya untuk memanen daging."
Pea Green menaruh tangannya ke
rerumputan tinggi yang tumbuh di dekatnya sambil berkata begitu. Tak lama
kemudian, rerumputan tersebut tumbuh semakin panjang dan dia mencabut bilah rumput
tipis berwarna hijau kacang polong. Kurasa ini adalah sihir yang berdasarkan
namanya?
Bilah rumput tersebut panjang dan
tajam, layaknya pedang. Mengambil seekor kambing berukuran sedang, Pea Green
mengayunkan bilah rumputnya.
"…!"
Melihat bagian pinggul kambing
dipotong, tanpa sadar kumenghirup napas.
Mau itu darah yang meluap dari luka
atau dari potongan rapi itu sendiri, kambing tersebut terlihat tak bereaksi
sama sekali, bahkan tak mengeluarkan seembikan pun.
Pas Pea Green menempatkan bilah rumputnya
pada luka kambing itu, bilah rumputnya melekat pada lukanya dengan amat lembut,
jauh berbeda dengan yang tadinya terkesan kukuh. Dia pun melilitkannya di
sekitaran luka seperti perban, bahkan sampai menambahkan dua atau tiga bilahan
rumput lagi.
"Bila dilakukan seperti ini,
nanti sekitar sebulan lagi dagingnya bisa diambil kembali."
"Dengan tidak membunuhnya… kamu
bisa menyembuhkan lukanya dan mengambil dagingnya berulang kali?"
"Ya."
Pea Green mengangguk seakan itu hal
yang wajar.
Melihat tanggapannya, membuatku
teringat saat mencari cara untuk memperoleh keabadian. Proses pembuatan Serbuk
Zombie.
Mereka tidak lari ataupun ketakutan,
hanya terus memakan rerumputan saja. Kambing tersebut pasti berada di bawah
pengaruh obat tersebut. Itulah alasan awalnya aku sampai bisa bertemu Pea
Green, aku sungguh melupakannya.
"Jadi, bagaimana
menurutmu?"
Pea Green mengajukan pertanyaan
seakan merasa penasaran.
Dia bukanlah orang kejam atau tak
berperasaan, hanya seorang pemuda Elf biasa.
—Akan tetapi, pemahaman kita berbeda….
Aku pribadi hanya merasa kasihan
pada si kambing yang takbisa mati sekali pun selalu dipotong, dan melihatnya
terasa memuakkan. Sedangkan bagi para Elf, itu bukanlah persoalan besar, serupa
dengan kami yang tak memikirkan apa pun saat memetik bebuahan dari pohon selama
bertahun-tahun.
"Kak?"
Aku melirik pada Yuuki di sebelahku.
Dia terlihat penasaran.
Inilah era yang kita jalani. Dia
bukanlah wanita muda yang akan ketakutan oleh bangkai binatang. Malah, dia
dengan senang hati ikut berburu. Pun denganku, yang terkadang memakan mangsaku
hidup-hidup.
Kurasa lebih baik tetap hidup dengan
cara apa pun ketimbang harus mati.
Metode efisien macam ini mampu
menyelamatkan ratusan atau bahkan ribuan nyawa orang.
Biar begitu, aku takbisa memilih
metode macam ini.
Aku enggan Yuuki menjadi terbiasa
dengan perbuatan macam ini. Begitulah yang kuyakini.
"… Sepertinya ini takkan banyak
membantumu."
Dia mungkin menerka apa yang
kupikirkan dari raut wajahku. Bahu Pea Green terkulai, merasa kecewa. Dia ingin
bisa membantu dengan caranya tersendiri.
"Yah… kami tidak mampu memotong
dagingnya dengan amat rapi ataupun menggunakan sihir untuk menyembuhkan
lukanya."
Sekalipun aku mengesampingkan apa
yang kusuka dan tidak mengenai hal tersebut, Scarlet tetap tidak mampu
melakukannya. Sihir Pea Green amatlah hebat. Bahkan, aku saja hanya mampu
menggunakan sihir penyembuh terhadap luka ringan saja, tetapi untuk bisa
menyembuhkan luka separah itu dalam satu bulan terbilang mustahil.
Pun dengan pemotongan dagingnya,
bahkan menggunakan cakarku saja akan terasa sulit.
Nina mungkin mampu melakukannya,
tetapi mana mungkin menyuruhnya untuk menangani peternakan selagi dia harus
mengajar anak-anak.
"Kalau begitu masalahnya,
mengapa tidak suruh saja dia untuk mengajari? Dia lebih jago memotong dari Pea
Green."
"Benar, mungkin itu ide yang
bagus."
Tahu-tahu, Ultramarine angkat bicara
usai diam sedari tadi. Pea Green pun mengangguk untuk menanggapi.
"Siapa?"
"Kamu sudah pernah bertemu
sebelumnya. Violet!"
Dengan demikian, nama wanita terkuat
di hutan pun muncul.
Hajimari no Mahoutsukai Volume 02 Chapter 02 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
1 komentar:
Thanks min. Lanjutkan terus, seru nih novelnya
Reply