Chapter
03 – Warisan
Tombak, itulah senjata yang pas untuk berburu binatang
buas. Gagang panjangnya membuatmu bisa menyerang sambil kabur.
Kapak, senjata yang pas untuk membunuh musuh. Bilah
beratnya mampu memotong dan membelah zirah yang kukuh.
Namun, pilihan mereka bukanlah keduanya—
Violet adalah seorang prajurit Elf yang namanya
diambil dari bunga violet itu sendiri, dan memanfaatkan duri-durinya untuk
bertarung. Kali pertama aku bersua dengannya adalah sebagai lawan tanding dari
pihak pengawal Tetua. Namun, kini kami acap kali bertemu sebagai teman baik.
"Gara-gara kamu, belakangan ini
dia kurang kerjaan."
"Aku?"
Ultramarine angkat bicara seberpisahnya kami dengan
Pea Green.
"Manusia Kadal, Raksasa, selama
seratus tahun terakhir ini mereka semua tidak memberontak. Padahal, sudah
menjadi tugas Violet lah untuk membungkam mereka. Alhasil, kini dia kurang
kerjaan."
"Yah… damai lebih baik."
Manusia Kadal dan Raksasa merupakan
bangsa doyan perang, mereka akan menyerang tanpa sebab untuk memicu peperangan.
Scarlet juga pernah diserang
beberapa kali, tetapi aku dan Nina berhasil memukul mundur mereka, yang
akhirnya berhasil diajak berunding lewat kesabaran dan kegigihan yang kuat.
"Damai, ya… kamu ini masih saja
membicarakan sesuatu yang tidak kamu pahami. Ah, itu Violet."
Sebelum sempat menanyakan apa yang
tidak kupahami itu, Ultramarine melambaikan tangannya.
"Aku sudah mendengarnya.
Kemarilah."
Ujar Violet sambil memperlihatkan
rumahnya. Dia pun memandu kami ke sebuah goa yang dibuat pada pohon besar. Elf
bisa tahu apa yang terjadi di dalam hutan dengan mendengarkan desiran
pepohonan. Jadi, dia sepertinya sudah tahu maksud kedatangan kami.
"Kamu ingin diajari cara
menggunakan pedang, benar begitu?"
"Ya,
benar…."
Mengetahui Violet orangnya tanpa
basa-basi dari Ultramarine sebelumnya, aku langsung mengutarakan saja apa yang
ada dalam benakku.
"Kalau Violet tidak keberatan,
maukah kau sendiri datang ke desa kami?"
"Aku….?"
Violet mengedipkan matanya karena terkejut. Dia
mungkin tidak menyangka akan mendapatkan tawaran begitu.
"Benar. Dengan adanya kau dan
Nina, kita pasti bisa mengajarkan ilmu berpedang dan sihir."
Sekalipun kami mampu mengiris daging serapi Pea Green,
aku tidak ada niatan untuk menjalankan peternakan semacam itu di Scarlet.
Akan tetapi, mau bagaimana pun
caranya tetap tidak akan mengubah fakta bahwa saat ini kami kekurangan orang
terampil.
Namun yang jelas, desa ini punya
banyak anak-anak. Satu orang paling banyak harus mengajar puluhan anak-anak,
sedangkan aku dan Nina saja mengajar ratusan anak-anak. Jadi jangankan untuk
penelitian, kami bahkan tidak punya banyak waktu sekali pun sudah mengajar pada
hari dan waktu terpisah.
Aku sudah berunding dengan Nina
untuk menambah jumlah pengajar, guna mengatasi jumlah anak-anak yang terus
meningkat. Dan Violet lah kandidat terkuat.
"… Aku memang tertarik dengan
sekolahmu, Mentor."
Jawab Violet usai sempat berpikir
sejenak.
"Tetapi, sebagai penjaga hutan
ini, aku tidak bisa meninggalkannya."
"Memang benar, tetapi bukannya kamu kalah dari si
Monyet Beruang?"
Ultramarine ikut nimbrung untuk
menyadarkannya, tetapi Violet hanya mengangguk tanpa terpengaruh.
"Aku bisa mendapatkan izin
jikalau sekadar memperoleh kekuatan tersebut. Namun, beberapa abad sudah
berlalu semenjak masa itu. Aku pun sadar akan jangkah hidup manusia yang
pendek. Anak itu juga sudah mati, ‘kan?"
"…
Ya."
Anggukku sambil menggenggam hiasan batu yang
tergantung di leherku. Hingga sekarang pun, aku serasa ingin menangis tiap kali
teringat masa-masa itu.
"Padahal kamu ini tidak punya
banyak kerjaan, ‘kan?"
"Bukan
itu masalahnya."
Violet menggelengkan kepalanya terhadap pertanyaan
Ultramarine.
"Kamu bisa bawa Ultramarine
saja."
"Meski
aku sama sekali tidak mau?"
Walaupun Ultramarine mendesak Violet, dia sendiri
langsung menolak begitu dirinya yang ditunjuk. Yah, memang gadis semacam itulah
dia. Lagian, dia tidak terlihat pantas untuk menjadi guru… oh iya, aku bahkan
belum pernah lihat Ultramarine menggunakan sihirnya, ‘kan?
"Aku tidak keberatan
mengajarimu cara menggunakan pedang bila kamu datang ke mari, sih."
"Terima kasih. Akan kuterima
tawaranmu jikalau nanti ada kesempatan."
Aku bangkit dari kursi dan
membungkuk padanya. Namun, aku sendiri bahkan tidak yakin apa memang
memerlukannya. Bagiku, setidaknya lebih baik bertarung dengan menggunakan gigi
dan cakar ketimbang mengandalkan pedang.
"Aku sungguh tidak
mengerti…."
Begitu
aku hendak pulang, Yuuki angkat bicara.
"Kalau semisal aku lebih kuat darimu, Violet akan
menjadi guru?"
"… Aku tahu betul Mentor itu kuat. Aku mungkin
bukanlah tandingan dia dalam wujud aslinya… akan tetapi."
Violet memperlihatkan kemampuannya, dan duri-duri pun
tumbuh dari tangannya, membentuk pedang.
"Inilah kekuatanku bawaan sejak
lahir. Naga bahkan jauh lebih kuat. Namun, bukan itulah yang kuinginkan. Pedang
merupakan suatu keterampilan, sesuatu yang dilatih dan disempurnakan setelah
terlahir. Itulah yang kukejar, Nak."
Darg pun sama. Akan tetapi, dia bisa
unggul dari Violet karena belajar sihir dariku. Dia akan kalah jikalau
bertarung sebelum bertemu denganku.
"Ya!
Kalau begitu—"
Yuuki menghunus pedang yang tersarung di pinggangnya.
Apa yang tersarung dalam sarung kulit serigala-singa tersebut adalah bilah
pedang yang terbuat dari kayu dengan batu sebagai tepiannya. Bukan tombak ataupun
kapak, melainkan pedang. Kami memanggil keluarganya dengan sebutan Klan Pedang.
"Kalau aku menang, kau akan
ikut?"
Violet memicingkan matanya terhadap ucapan Yuuki.
Senyumannya tampak sirna, memandang Yuuki dari atas hingga bawah.
Dalam perihal ketinggian, tinggi
Yuuki hanya sedadanya Violet. Mengingat bahwa Yuuki masih anak-anak, Violet
menoleh padaku seakan memastikan pikiranku.
Apa Nina sudah menduga akan menjadi
begini? Awalnya aku mau pergi seorang diri, tetapi dia menyuruhku untuk membawa
Yuuki. Mungkin hanya inilah pilihan terakhirnya.
"Sebisa mungkin jangan sampai
terluka."
Ujarku pada keduanya.
"Yuuki
ini kuat."
***
Keduanya mengambil kuda-kuda dan saling berhadapan
sambil menggenggam pedang masing-masing. Violet memegang perisai yang tersusun
dari duri-duri serta tangkai yang kecil dan tajam berbentuk pedang. Sementara
Yuuki, memegang pedang kayu satu-tangan yang disisipkan batu. Keduanya tampak
mirip, sekali pun perawakan dan senjatanya jauh berbeda.
"Nah, tarik kembalilah pedangmu begitu yakin
pemenangnya telah diputuskan. Terutama kamu, Yuuki, mengerti?"
"Ya!"
Aku masih tetap cemas, sekali pun
Yuuki mengangguk dengan penuh semangat. Namun, mana bisa aku menghentikan
mereka sekarang karena sudah mengakui pertandingan ini.
"Kalau begitu… mulai!"
Violet lah yang pertama kali
bergerak usai pertanda dariku. Dia melancarkan tusukkan secepat kilat sejauh
rentangan tangannya. Memperkecil jarak dalam sekejap mata dari Yuuki yang
merasa aman, dia pun mengincar tangan Yuuki.
"Aku ini cepat!"
Di saat-saat tersebut, tubuh Yuuki
pun lenyap dan hanya meninggalkan suaranya saja. Namun, Violet langsung bisa
menemukannya lagi selang sepersepuluh detik berikutnya. Elf takkan pernah
kehilangan jejak musuh mereka di dalam hutannya sendiri.
"Aku ini kukuh!”
Yuuki menangkis serangan yang
dilancarkan padanya dengan tangan kosong. Serangan yang bahkan bisa membuat
lubang menganga pada pohon tebal pun, terdengar seperti terpental bongkahan
batu pas ditangkis.
"Aku ini kuat!"
Lalu, tebasan kilat pun mengayun
lurus ke tenggorokan Violet. Namun, berkat instingnya, Violet berhasil
menangkisnya dengan mengangkat perisainya cepat-cepat. Bilah batu pun dengan
gampangnya memotong separuh atas perisai durinya.
"Kuh…!"
Dia sepertinya sadar gadis kecil ini
bukan lawan yang bisa diremehkan. Seolah merupakan bagian tubuhnya sendiri,
zirah duri mulai melindungi seluruh tubuh Violet saat melompat mundur.
Akan tetapi, itu langkah yang kurang
tepat baginya.
"Lambat!"
Pergerakan lambat Violet terlihat
jelas saat Yuuki berteriak begitu.
"Kau lambat! Kau lemah!"
Violet berusaha melancarkan serangan
lain, tetapi kakinya lemas dan kuda-kudanya pun hancur.
"Cahaya! Jadilah perenggut
segalanya dan potonglah!"
Bilah pedang Yuuki mulai diselimuti
cahaya yang menyerupai kilatan petir.
"Sudah cukup!"
Begitu aku berteriak, bilah pedang
Yuuki yang bersinar membelah dua pedang duri Violet dan terhenti begitu
menembus helmnya.
… Selalu saja bengis. Usai
memperkuat dirinya dan melemahkan lawannya, dia pun memperkuat senjatanya
supaya lawan tidak bisa menghindari ataupun menghalaunya. Daya serangannya
sendiri sudah cukup untuk membunuh beruang berzirah dalam satu serangan. Memang
terlihat sederhana, tetapi itu teknik kelas tinggi yang sulit untuk dilakukan
oleh anak berusia sembilan tahun.
"Itu… yang barusan itu, belajar
dari siapa kamu?"
Tanya Violet pada Yuuki dengan
tampang terkejut.
"Ayahku!"
Violet tampak terkejut mendengar
tanggapan Yuuki. Meski perawakan dan wajahnya jauh berbeda, rambut dan mata
merahnya sama.
"Ayah belajar dari kakek, dan
kakek belajar dari kakek buyut. Kami senantiasa mengajarkan teknik
berpedang!"
Ahli pedang, itulah hadiah terakhirku
untuk Darg. Sejauh yang kuketahui, inilah nama keluarga pertama di dunia.
"Tetapi… gaya bertarungmu jauh
berbeda dari miliknya."
Suara Violet gemetar.
Sesuai apa katanya, gaya bertarung
Darg jauh lebih bergairah dan dinamis. Sekalipun sihir penguatan mereka sama,
cara penggunaan pedang dan pergerakan tubuh mereka sama sekali berbeda.
"Ya. Leluhur kami lah yang
menciptakan sihir itu, tetapi cara kami menggunakan pedang berbeda."
Tidak semua keturunan Darg mempunyai
tubuh yang kuat seperti dirinya, sehingga Darg pun menghancurkan bilah pedang
batu karangnya menjadi lebih kecil. Dan dia menemukan cara bertarung yang
sesuai untuk pedang yang lebih kecil dan ringan.
"Kami meniru teknik berpedang
orang yang sangaaat kuat, yang dijumpainya di hutan."
Dia membicarakan kisah yang
diturun-temurunkan Klan Ahli Pedang, kisah petualangannya bersama naga, Elf,
dan seorang gadis.
"Jadi aku sangat senang sekali
bisa bertarung denganmu, Violet!"
Yuuki bicara riang dengan matanya
yang dipenuhi kesenangan.
"… Aku pengin lihat masa depan
pedangku dan kekuatan anak ini kelak nanti."
Menyeka sudut matanya dengan
jarinya, sikap Violet berubah.
"Artinya…."
"Ya, izinkan diriku masuk ke sekolah
Mentor… kalau Tetua mengizinkan."
Tambahan kata-kata terakhirnya
membuatku mengeluh. Lagian, dia juga tidak bisa memutuskannya sendiri, ya?
Kurasa aku memang harus mendapatkan izin Tetua.
"Baiklah."
Melihat muka masamku, Violet
tersenyum untuk menenangkanku.
"Beliau pasti takkan
menolakku—"
Aku dan Yuuki memiringkan kepala
melihat senyuman penuh maknanya.
Hajimari no Mahoutsukai Volume 02 Chapter 03 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia