Chapter 19
Hidup
ini membosankan.
Rumah,
keluarga, sekolah, teman sekelas, dan sahabat.
Semuanya
tercerminkan dalam satu warna.
Aku
sudah muak dengan semua itu.
Aku
benci ‘diriku’ yang mampu melakukan apa pun. Mendengar orang-orang membicarakan
masa depan mereka, membuatku iri. Berkat diriku yang mampu melakukan apa pun,
semangat dan motivasiku pun hilang… padahal yang lain mampu mengejar
matian-matian mimpi mereka.
Aku
suka membaca cerita fiksi, fantasi, dan sci-fi… tiap kali kumembayangkan diriku
sebagai protagonis dalam cerita fantasi, membuat jantungku berdebar-debar.
Bukan karena percintaan, ketegangan, ataupun sejarah lah yang membuatku
berdebar-debar… melainkan karena kisah-kisah yang jauh berbeda dengan
kenyataan.
Intinya,
aku ini hanya orang yang terpikat akan sesuatu yang tidak realitas.
Harapan
kedua orang tuaku, kecemburuan adik lelakiku, dan kedengkian orang lain. Aku
melampiaskan semua tekanan tersebut pada novel, seakan melarikan diri dari
segalanya.
Sekalipun
hanya sesaat, aku pengin menjauhkan diri dari hubungan sosial.
"Orang
macam kakak, mending tidak ada saja!!"
Itulah
kata-kata dari adik semata wayangku.
Dengan
berlinangkan air mata, suaranya terdengar gemetar saat meneriakkan kata-kata
yang mengiris hatiku.
Sebagai
seorang kakak, mestinya aku bisa akrab dengannya.
Salah
apakah aku ini.
Tidak,
pasti aku telah berbuat salah.
Orang
tuaku selalu menjadikanku bahan bandingan terhadap adikku. Saking seringnya,
pikiran adikku pun melemah.
Aku
tahu orang tuaku tidak bermaksud jahat. Namun, justru itulah yang membuat
adikku tersakiti.
Hanya
sekadar kasih sayang orang tua lah yang diinginkan adikku. Dia sampai
membentakku karena ketidakadilan orang tuaku. Hanya sebatas itu.
Benar,
semuanya memang salahku.
Aku
hanya pura-pura tidak menyadarinya saja, sehingga keadaan saat inilah yang
kudapatkan… penampilan luarku, lebih baik lenyap atau enyah sajalah….
*
"Ah…
wah…."
Mimpi
barusan, sungguh tak menyenangkan.
Aku
bersusaha bangun, sekali pun tubuh lesuku ini terasa kurang mengenakkan. Lalu,
aku pun sadar kalau itu karena pakaianku yang basah kuyup.
Saat
memeriksa sekelilingku, terdapat pepohonan yang terlampau subur dan sungai dengan
arus yang tenang.
Kenapa
aku sampai bisa berada di sini? Kalau kuingat-ingat lagi, Usato dan aku
pagi-pagi pergi ke luar kerajaan untuk berlatih, lalu kami pun dihadang bandit,
terus diserang monster….
"Benar
juga, Usato!!"
Wajahku
langsung memucat begitu berhasil mengingat semuanya, dan mencari Usato yang
sudah melindungiku.
"…
Uuu."
"Syukurlah…
ternyata kamu di sini…."
Usato
ternyata ada di sampingku; dia pingsan dengan tertelungkup.
Di
sekujur tubuhnya banyak sekali luka dan pakaiannya pun compang-camping. Kami
dilambungkan karena dia melindungiku dari serangan langsung monster. Aku hanya
ingat sampai situ saja, tetapi aku yakin setelah itu kami jatuh ke sungai dan
hanyut ke sini.
Kalau
benar begitu—
"Usato,
kamu membawaku sampai ke sini, ‘kan…."
Menelusuri
sungai dengan mataku, aku bisa melihat ada air terjun besar setinggi 20 meter
yang memisahkan arus atas dan bawah.
"Maaf…."
Pasti
sulit membawaku sampai ke sini.
Untuk
sekarang, aku mesti mencari tempat yang aman—
Selagi
aku mengangkat tubuh Usato, aku tempatkan dia pada punggungku.
Uuu,
berat….
"Aku
ini wanita yang selalu membalas budi…."
Lagian,
salahku juga hingga dia bisa berada di dunia ini.
Maka
dari itu, aku takkan membiarkannya mati.
Bertahanlah,
Usato!
"Aku
baik-baik saja, Kak Inukami. Aku baru saja bangun."
"Bukankah
kamu bangun terlalu cepat...."
Tekadku
jadinya terasa sia-sia, lo.
Usato
menyingkir dari punggungku dan memeriksa lukanya. Kelihatannya dia sudah
menggunakan sihir penyembuhan karena sekujur tubuhnya diselimuti aura hijau.
Namun, mau kamu apakan coba tekadku ini. Rasanya bagian diriku yang amat
memalukan telah terlihat olehmu juga.
"Kak
Inukami sendiri enggak kenapa-napa?"
"Harusnya
aku yang bilang begitu, tahu…."
"Aku
sih sudah terbiasa. Jadi, enggak apa-apa."
Kurasa
kamu tak boleh sampai terbiasa, deh.
Biar
begitu, tetap saja terasa canggung.
Aku
membicarakan soal Usato yang melindungiku dari monster-monster itu dan
merenungkannya. Pada akhirnya, aku hanya selalu diselamatkan.
Rasanya
aku ini tak begitu berguna.
"…
Kak Inukami, aku harus menjelaskan dulu situasi kita saat ini."
"Eh…
ah, benar juga."
Tampang
Usato terlihat serius saat menjelaskan keadaan kita saat ini. Dari apa yang
dijelaskannya, Usato dan aku berakhir di hutan ini karena dilambungkan babi
hutan, yakni Fall Boars. Lalu, kami pun jatuh ke sungai dan hanyut ke sini.
Karena
serangkaian kejadian tersebut, Usato pun amat kelelahan dan akhirnya pingsan….
Memang
sesuai dengan apa yang kuduga, tetapi tetap saja Usato menangung banyak beban.
"…
Maaf, Usato."
"Enggak
usah minta maaf segala. Lagian, aku melakukannya atas kemauanku sendiri. Selain
itu, aku masih harus menjelaskan ada di tempat yang seperti apa kita sekarang
ini."
Biar
begitu, aku masih merasa tidak enak.
Namun,
aku juga tak boleh terus menerus bersedih hati. Aku harus berjuang keras supaya
terlihat tenang.
"Di
hutan inilah aku menjalani latihan bertahan hidup selama 10 hari. Tempat ini
juga dikenal sebagai Dark Lyngle."
"Jadi,
sebelumnya kamu pernah tinggal di tempat ini…."
Kalau
begitu, bukannya tempat ini sangat berbahaya?
Aku
sungguh bersyukur kita tidak diserang oleh monster saat masih pingsan.
"Kalau
begitu, kita harus cepat-cepat keluar dari sini…."
"Itu
bahaya. Lihat, langitnya sudah mulai gelap. Mau sekuat apa pun Kak Inukami,
pasti akan kesulitan untuk melawan monster yang bisa muncul dari mana pun,
‘kan?"
"Uu…."
Dalam
keadaanku yang sekarang ini memang tidak mungkin untuk bertarung melawan
monster dalam kegelapan.
"Makanya,
kita harus berjalan mumpung masih rada terang."
"Tetapi
bentar lagi gelap…."
"Aku
sudah terbiasa memanjat ke atas pohon dan menggunakannya untuk bergerak, juga
dari atas aku bakal bisa langsung tahu jikalau ada monster. Apa kamu juga bisa
manjat pohon?"
"Aku
tidak terlalu yakin. Soalnya, aku belum pernah melakukannya…."
Lagian,
saat masih kecil aku belum pernah bermain yang begituan.
Berbeda
dengan Usato yang sudah terbiasa, bisa jadi aku akan mati hanya karena terjatuh
saja.
Kata-kataku
membuat Usato terlihat kesusahan saat berpikir keras sambil menyilangkan kedua
tangannya.
Usai
berpikir lama, jawaban yang didapatkan pun adalah—
"Ya
sudah, kita menetap saja dulu di sini."
"Apa?!"
Itulah
jawaban Usato saat menunjuk ke tanah.
Bukannya
ada banyak monster saat malam?
"Di
sini juga dekat dengan air, dan bisa jadi kita diserang monster kalau pergi mencari
tempat lain."
"…
Be-Benar juga, ya."
"Nah,
setuju berarti."
Usai
berkata begitu, Usato mulai mengumpulkan dedaunan dari ranting pohon; dia
terlihat sudah terbiasa. Tak lama berselang, setumpukan besar pun terbuat…. sedang
apa sih, Usato? Aku tidak tahu apa pun soal berkemah. Jadi, aku tidak bisa
membantunya.
"Kak
Inukami, bisa buat api dengan sihirmu? Kebanyakan monster takut api. Jadi,
mereka tidak akan mendekat."
"Ah,
begitu. Baiklah."
Menuruti
perintah Usato, aku pun menggunakan sihir petir untuk menyalakan api.
Udara
di sektar kami mulai menghangat, dan api besar pun terbuat dengan asap yang
membumbung ke langit.
Aku
menempatkan kedua tanganku di dekat api untuk menghangatkan diri karena
pakaianku masih basah kuyup.
"Barang-barangmu
bagaimana, Kak?"
"Aah,
aku masih punya tas dan pedang."
Untungnya,
aku punya pakaian ganti di dalam tasku. Jadi, aku pun bisa menggantinya.
Selain
itu, aku juga punya peta dan pisau. Sepertinya hanya pisau yang akan berguna.
Melihat ke dalam tas, kelihatannya tasnya kering… apa karena semua air menyerap
ke pakaian gantiku dan sudah kering, atau dari awal memang tidak kemasukan air?
"Syukurlah.
Dalamnya tidak basah."
"Mau
ganti baju sekarang? Pakaianku cepat kering. Jadi tidak perlu sungkan padaku,
ganti saja."
"Ya,
sudah. Ah… mungkin aku harus simpan saja pedang dan pisauku di sini."
Meletakkanya
di dekat Usato, aku pun mengambil barang-barangku dan pergi ke tempat lain.
Tentu
saja, dalam situasi seperti ini, aku juga tak lupa mengatakan perkataan klise
pada Usato.
"Jangan
ngintip, ya?"
"Hah?"
Reaksinya
barusan terasa agak menyakitkan.
*
Pakaian
ganti yang kubawa adalah seragam olahraga yang mirip dengan yang kupakai di
sekolah. Aku belum terlalu terbiasa mengenakan pakaian yang begini, tetapi aku
tidak terlalu mempermasalahkannya.
Bahkan
Usato saja masih tahan dengan pakaiannya yang masih basah.
Daerah
sekitar sudah semakin gelap, hanya bermodalkan cahaya dari api saja. Aku juga
bisa mendengar raungan mirip hewan buas yang berasal dari ke dalaman hutan…
kemungkinan besar monster, dan aku pun sedikit merasa takut diserang oleh
mereka. Sulit rasanya membayangkan Usato yang tinggal di hutan ini selama 10
hari.
"…
Perutku keroncongan."
"Sama…."
"Dari
pagi aku belum makan apa pun, lo."
Yah,
wajar saja karena kita harus berangkat saat masih pagi buta.
Makanan
yang kami bawa pun dibawakan kedua pengawal juga. Kita juga tidak bisa mencari
makanan karena sudah sangat gelap. Jangankan mendapatkan makanan, bisa jadi
malah kami yang menjadi makanan monster.
Saat
aku tak tahu mesti berbuat apa, aku sadar Usato tengah menatapku.
"…
A-Ada apa, Usato?"
"Kak…
di sini ada sungai, ‘kan?"
Eh?
Memangnya kenapa, ‘gitu?
*
Aku
pergi ke sungai dan bisa dengar suara gemuruh air terjun.
Selagi
memasukkan kedua tanganku ke dalam air, aku menoleh ke Usato yang ada di
belakangku.
"Cukup
begini saja?"
"Ya,
aku sudah berlindung. Mulai saja kalau sudah siap."
Berlindung,
ya… yah, terserahlah.
Saat
menutup mata, aku merasakan kekuatan sihir di dalam tubuhku dan memusatkannya
langsung ke tanganku. Aku takkan langsung melepaskannya. Begitu sudah cukup
terkumpul, akan kulepaskan semuanya sekaligus.
Mengubah
kekuatan yang terkumpul menjadi sihir petir, aku melepaskannya dari tanganku
yang terendam air.
Usai
sesuatu yang serupa dengan pelepasan muatan listrik terjadi, ikan pun terlihat
mulai mengambang di sungai.
…
Tak disangka aku akan menggunakan sihir dunia ini untuk menangkap ikan. Biarpun
sedikit keheranan, aku langsung menoleh ke Usato lagi.
"Syukurah,
di sini ada Kak Inukami…."
Dia
memujiku. Malah, dia sampai terharu.
Tidak
salah. Memang tidak salah, sih… tetapi entah kenapa aku tidak merasa senang.
Setelahnya,
kami pun mempersiapkannya dan memakan dua ikan kecil. Kami hanya membakarnya
saja sehingga rasanya terasa hambar, tetapi itu sudah cukup untuk mengurangi
rasa lapar kami.
Sehabis
makan, Usato tiba-tiba mengajak ngobrol.
"Haduh,
ada Kak Inukami mah rasanya benar-benar beda."
"Tidak,
tidak. Kamu terlalu melebih-lebihkan."
"Kalau
ada Kak Inukami, mungkin bisa tahan sampai 3 bulanan di sini."
"Eh?
Ma-Masa, ah?"
Rasanya
sedikit memalukan.
Bersama
orang lain rasanya memang lebih baik ketimbang sendirian. Namun, kamu ini
terlalu blak-blakan Usato.
Kebanyakan
orang biasanya akan malu berkata begitu.
"Iya.
Lagian, Kak Inukami bisa membuat api dan menangkap ikan. Kak Inukami jadi
mengingatkanku sama mesin berguna di dunia kita berasal."
"Kamu
pikir aku ini peralatan listrik apa?"
Kutarik
kembali apa yang kupikirkan soal dia tadi.
Aku
memang bisa menggunakan sihir petir, tetapi tak pernah kusangka dia akan
menyamakanku dengan peralatan listrik.
Namun,
sampai bisa dipermainkan oleh adik kelasku… rasanya aku perlu menunjukkan
martabatku sebagai kakak kelasnya.
"Kamu
ini kejam, Usato. Kamu anggap aku ini apa?"
"…
Orang aneh?"
Guhaa…!
Tak
disangka dia mengatakan apa yang mestinya kukatakan! Dalam benakmu, citraku itu
memangnya seperti apa, Usato?! Tetapi yang paling membuatku kesal adalah diriku
yang tidak bisa menyangkal kata-katanya! Tetapi tetap saja, dikatai langsung
seperti itu sangat menyakitkan!
Usai
berselang beberapa saat dan masih sedih karena Usato mencapku sebagai ‘orang
aneh’, Usato yang dari tadi memandangi api pun angkat bicara.
"Sudah
gelap sekali. Jadi, mending segera tidur. Biar aku saja yang menjaga
apinya."
"Tidak,
tidak. Mana bisa aku menyerahkan semuanya pada Usato saja, ‘kan? Aku
harus…."
"…
Kalau begitu, kita gantian saja. Kalau sudah waktunya, nanti akan kubangunkan.
Sekarang, istirahatlah dulu."
Kalau
kamu sampai bilang begitu, kurasa aku harus menerimanya.
Akan
tetapi, aku takkan tertipu. Kamu mungkin berkata begitu untuk membiarkanku
tidur. Kamu pasti takkan membangunkanku sampai pagi. Bagiku, kebaikanmu itu
hanya akan berdampak sebaliknya. Aku hanya akan merasa tidak enak karena serasa
bersalah.
Namun,
aku benar-benar lelah. Setelah istirahat dengan cukup, aku akan bangun sendiri
dan gantian dengannya.
"Aah,
ya sudah, aku akan istirahat sebentar… jangan menyerangku, ya?"
"…
Enggak bakal."
"?!"
Tidak
perlu sampai berkata begitu….
Aku
pun menutup mata saat berbaring. Aku hanya akan tidur sejenak… hanya sebentar.
Selagi terus-terusan berpikir begitu, perlahan kesadaranku pun mulai memudar,
hingga akhirnya tertidur—
"Kak
Inukami, waktunya gantian."
"…
Kamu ini benar-benar selalu melebihi harapanku, ya."
Daerah
sekitar masih gelap. Dia membangunkanku secara biasa.
Chiyu Mahou no Machigatta Tsukaikata Volume 01 Chapter 19 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia