Monday, September 2, 2019

Chiyu Mahou no Machigatta Tsukaikata Volume 01 Chapter 20 Bahasa Indonesia



Chapter 20


            Karena kami setuju untuk gantian mengawasi api, aku pun membangunkan Kak Inukami dan rebahan.

            "Iih~, kamu ini kurang perhatian sekali. Harusnya aku bangun sendiri …, memang sampai segitunya ‘kah kamu ingin melebihi harapanku?"

            "Kalau Kazuki dan Kak Inukami mungkin akan begitu, tapi enggak mungin kita begadang semalaman. Sok baik pun hanya akan membahayakan kita, ‘kan?"

            "Iya sih, tetapi …."

            Lagian, aku juga bukan Kazuki. Aku pasti bakal nyesel kalau sihirku belum pulih bener karena kurang tidur. Salah satu ajaran Pasukan Penyelamat, adalah harus bisa memanfaatkan waktu untuk beristirahat sebisa mungkin.

            "Lagian, Kak Inukami enggak kelihatan bakal bangun-bangun sampai pagi."

            "Uu."

            Aku pun menutup mata usai berkata begitu padanya.

            Raungan monster masih terdengar dari kejauhan.

            Akan tetapi, enggak perlu ada yang dicemaskan karena sekarang ada Kak Inukami yang berjaga.

*

            "Usato …, masih bangun?"

            "… Ada apa?"

            Baru juga 10 menit. Aku hampir tertidur, tapi suara Kak Inukami terdengar jelas.

            Berbalik, aku pun menghadap Kak Inukami.

            "Apa yang kamu pikirkan sedipanggilnya ke dunia ini?"

            Aku heran mengapa dia menanyakan itu padaku.

            Apa dia hanya sekadar bertanya saja? Atau justru itu sesuatu yang serius …?

            Dia juga merasa bersalah karena melibatkan diriku dalam pemanggilan pahlawan.

            "Apa yang kupikirkan, ya … latihan Rose memang sulit, dan tiap harinya aku mesti melihat muka-muka seram rekan sekelompokku … sedari awal, bertarung melawan pasukan Raja Iblis saja sudah serasa mimpi buatku."

            "Kamu tidak pengin pulang?"

            "… Eng, entahlah."

            Aku merasa mau pulang, tapi juga enggak.

            Aku sendiri juga bingung, tapi aku enggak mau pisah begitu saja dengan sihir penyembuhan dunia ini yang sudah kukembangkan, bahkan sudah bisa dibilang sebagai kekuatanku sendiri. Juga, rasanya rada sedih untuk berpisah dengan semua orang yang pernah kutemui di dunia ini. Aku sudah terbiasa tinggal di sini meskipun baru sebentar.

            Akan tetapi, aku juga mecemaskan keluargaku.

            Selagi aku tengah merenungkan hal-hal tersebut, Kak Inukami pun bilang begini padaku.

            "Aku sendiri, tidak mau pulang."

            Aku enggak tahu apa yang membuatnya berpikir begitu … karena aku sendiri juga enggak begitu yakin. Mungkin aku enggak bisa memberikan jawaban yang diinginkan Kak Inukami.

            Yang jelas, aku harus jawab.

            "Begitu, ya?"

            "… Kamu tidak tanya alasannya?"

            "Kamu mau aku tanya?"

            "Aku pengin kamu tanya."

            Memangnya harus sampai minta langsung begini padaku ….

            Terus, tanpa malu-malu lagi ….

            "Enggak, ah. Kedengarannya merepotkan. Aku juga ngantuk lagi."

            "Sa-Sampai menolak segitunya … sebenarnya ini tingkat kesulitannya apa, Usato?"

            Tingkat kesulitan … ini bukan gim, lo.

            Yang jelas, kurang lebih aku tahu alasan kamu enggak mau pulang. Pas kita dipanggil, hanya Kak Inukami saja yang kegirangan di antara kita bertiga. Pasti karena ‘itu’, deh.

            Baginya, inilah dunia yang pantas untuknya.

            Aku harus menghargainya juga karena Kak Inukami memang enggak tertarik dengan dunia kita sebelumnya.

            "… Haah, sekarang aku kelihatan bodoh karena sudah gugup begini, ya?"

            "Orang macam Kak Inukami, gugup?"

            "Iih, tidak sopan sekali kamu ini. Aku juga manusia, maklum lah kalau gugup."

            Kak Inukami menatap sinisku saat aku rebahan.

            Aku memunggungi api untuk menghindari tatapannya. Sepertinya sudah beres mengobrolnya, aku harus segera tidur.

            "Fufu, kamu ini memang ‘biasa’, ya."

            Saat kesadaranku kian memudar, aku bisa mendengar suara Kak Inukami yang terdengar senang.






            Esoknya, kami berjalan menyusuri hutan saat matahari terbit.

            Aku masih rada ingat jalan keluar hutan ini pas Rose terakhir kali membawaku pergi dari sini.

            Aku percaya diri dengan kepekaan arahku.

            "Aku penasaran sekali … menurutmu bau kita akan bisa ditemukan Bluerin tidak, ya?"

            "Sayangnya enggak, soalnya kita terjatuh ke sungai."

            Kuharap si rakus itu enggak merepotkan para pengawal.

            Kami berjalan pelan-pelan karena ada dua alasan.

            Pertama, kami enggak mau menarik perhatian monster. Apalagi, kali ini enggak ada Kururu. Jadi, enggak ada yang bisa merasakan bahaya.

            Kedua, supaya kami enggak bakalan tersesat dari arah yang kami tuju. Hutan ini dikerumuni pepohonan tinggi yang benar-benar menutupi sekelilingnya, sehingga kemungkinan untuk tersesat tinggi. Demi menghindari hal-hal tersebut, sangat penting untuk memperhatikan area sekitar saat berjalan.

            Semua ini tercatat dalam buku yang Rose buat.

            Jalan keluarnya masih juga belum kelihatan selepas berjalan waspada selama beberapa jam. Lalu, di atas Kak Inukami, ‘sesuatu’ terbang keluar dari pohon.

            "Usato, di atas!"

            "!"

            Melihat ke arah yang ditunjukkan, rupanya itu adalah sekelompok monster yang menyerupai monyet berwarna hijau beracun. Itu ….

            "Venom Monkey."

            "Kamu mengetahuinya?"

            "Enggak … aku cuman tahu dari buku saja, ini juga pertama kalinya aku melihatnya."

            [Venom Monkey], adalah monster beracun mematikan seperti namanya.

            Berdasarkan buku yang kubaca, ia adalah spesies yang jinak. Demi mencegah kelompoknya dari kelaparan, mereka memilih untuk memakan buah beracun. Di buku pun disebutkan juga bahwa racun tersebut terakumulasi terus menerus, sehingga tubuh mereka pun menjadi sangat kebal terhadap kelumpuhan.

            Bulu mereka pun tumbuh menjadi hijau, penangkal alami bagi para pemangsa. Ditambah, taring dan mereka pun mempunyai racun pelumpuh.

            Dan monster tersebut kini ada di hadapanku, memanjat dari satu pohon ke pohon lainnya.

            Salah satu Venom Monkey ini berpisah dari kelompoknya dan turun ke hadapan kami.

            Ia terlihat seperti bocah dan enggak takut pada manusia. Monyet kecil itu mendekat dan memandang kami dengan tampang penuh penasaran.

            … Yah, mungkin aku harus memperingatinya lebih dulu.

            "Kak Inukami, monyet ini beracun. Jadi, jangan menyentuhnya."

            "Kemarilah, jangan takut."

            "Oi, dengerin."

            Kakak kelas ini memang madesu.

            Aku enggak tahan untuk bicara dengan enggak sopan.

            Lupakan saja dulu itu, kepalaku jadi sakit pas melihat Kak Inukami menyodorkan tangannya pada monyet kecil itu. Aku pun memegang tangan cewek sedeng ini untuk menghentikannya.

            "Bahaya, tau! Nanti kena racun!"

            "… Ya, saking imutnya anak ini sampai-sampai akan bisa meracuniku!"

            "Tolong deh, jangan bilang sesuatu yang sulit dimengerti begitu …."

            Dijelasin sekali pun sepertinya percuma.

            Aah, Kak Inukami juga masih termasuk cewek. Jadi, aku enggak bisa menahannya secara paksa.

            Si monyet yang penasaran itu pun memiringkan kepalanya atas tindakan Kak Inukami tersebut. Menilai dari tindakan monyet itu, Kak Inukami kelihatan senang karena pikirnya telah berhasil, tapi—

            "Kii!!"

            Grek. Monyet kecil itu menggigit jari telunjuk Kak Inukami.

            Kak Inukami sendiri masih tersenyum, dan aku sendiri enggak kaget karena sudah menduganya.

            Tuh, ‘kan … kataku dalam hati.

            Saat sadar akan situasinya, senyuman Kak Inukami pun mengaku dan berkata begini selagi masih digigi monyet itu.

            "Tuh, tidak ada yang perlu ditakutkan."

            "Kii—!"

            Si monyet pun lari.

            Kembali ke kelompoknya memang pilihan yang tepat dalam situasinya saat ini.

            Aku cuman bisa lihat punggung Kak Inukami yang dipenuhi kesedihan. Tanpa berkata apa pun, aku menempatkan tanganku di bahunya dan menyalurkan sihirku untuk mengobati yang terkena gigitan beracunnya.

*

            "Kak Inukami, aku tahu kamu sedih, tapi … masih ada monster lain yang lebih baik buatmu."

            "…."

            Kami harus cepet pergi selepas menghibur Kak Inukami, tapi … dia masih saja belum mengangkat kepalanya dan masih merasa hancur karena kejadian tadi.

            Jujur, ini ngeselin. Makanya, aku cuma melihat ke arah lain.

            Kami berdua enggak bicara dan larut dalam keheningan, lalu Kak Inukami berjalan di depanku dan mulai bicara.

            "Kamu tidak mau menghiburku apa?"

            "Enggak, merepotkan."

            "…."

            Aku rada kasihan sama dia, tapi langsung kuakhiri saja obrolan ini karena situasi kami saat ini tambah rumit.

            Perlahan, pepohonan di sekitar kami mulai berkurang. Harusnya kita sudah dekat dengan jalan keluarnya, deh.

            "Kak, bentar lagi kita keluar dari hutan."

            "Dih … pas ada hubungannya dengan itu baru bicara padaku. Kamu harus tahu mana waktu yang tepat, Usato."

            Bicarain apa sih? Mengacangi Kak Inukami yang berisik, aku memandang ke depan.

            Aku bisa melihat sesuatu yang menyerupai gumpalan biru.

            "Ada apa, Usato? Tiba-tiba berhenti …, apa di depan ada sesuatu …?"

            "Enggak lucu ini mah …, padahal kita sudah jauh-jauh ke mari …."

            Blue Grizzly … terlebih lagi, kelihatannya itu tipe yang berbahaya.

            Ia sangat besar dan menggarukkan cakarnya pada pohon.

            "Kita ambil jalan untuk memutarinya saja. Sekalipun aku keliru, tolong jangan memeluk atau menjilatinya, ya?"

            "Kamu kira aku ini orang cabul apa?"

            "…."

            "Mengapa kamu tidak bilang apa-apa?!"

            Kami segera melangkah mundur sambil memerhatikan Blue Grizzly. Beruntungnya, ia sedang asik sendiri menggarukkan cakarnya dan enggak menyadari kami. Baguslah, dengan begini kami bakal bisa ambil jalan untuk memutarinya—

            "Gururururu."

            "Usato, di belakang kita juga …."

            "Ada dua …!?"

            Kami terlalu fokus ke depan sehingga enggak sadar ada yang mendekat dari belakang. Asem, kalau saja ada Kururu di sini ….

            Yang ada di depan kami pun segera menyadari kami dan berhenti menggarukkan cakarnya. Ia mulai menghampiri kami.

            Kami dihadang dari depan dan belakang.

            Makhluk ini punya kaki yang cepat dan penciuman yang tajam juga. Kami juga bisa pergi ke sungai, tapi itu artinya balik ke hutan.

            Bagaimana, nih? Haruskah aku lari sambil menggendongnya?

            Atau aku jadi umpan saja? Enggak, mereka malah mengincar Kak Inuami nantinya.

            Bagaimana kalau menggunakan daya tembaknya Kak Inukami untuk menumbangkan mereka? Enggak bisa juga, seluruh hutan akan menjadi lautan api nantinya.

            Kalau begitu, apa harus aku lawan saja mereka dan lihat apa yang terjadi nanti?

            Rose bilang aku bisa menang melawan Grand Grizzly, tapi aku enggak tahu apa itu benar atau bohong, yang jelas … aku harus mencaritahunya sendiri. Kalau berbahaya, kami akan kabur.

            "Kamu bisa menang melawan salah satu dari mereka enggak, Kak?"

            "… Mungkin."

            "Kalau begitu, akan kutahan yang satunya. Sisanya aku serahkan padamu. Mari kita tundukkan satu-satu."

            "Aku mengerti … berhati-hatilah."

            Kak Inukami mengambil yang ada di belakang kami, sementara aku ambil yang ada di depan.
            Yang ada di depan mulai meraung dan berdiri.

            Selain dengan Fall Boars, aku belum pernah bertarung lagi semenjak dengan yang ular waktu itu. Aku enggak punya pisau atau pun tombak kali ini, tapi anehnya, aku enggak takut. Apa karena kali ini aku enggak sendirian?

            Blue Grizzly pelan-pelan mendekatiku dan mengangkat kedua cakarnya untuk menakutiku. Kok, rasanya aneh; mirip saat Rose pertama kali melemparku ke hutan ini.

            "Fuu …."

            Menghembuskan napas panjang, aku menyelimuti tubuhku dengan sihir penyembuhan yang tipis. Merendahkan pinggangku, aku menempatkan kekuatan ke dalamnya saat mengerahkan semua tenagaku untuk melancarkan terjangan yang kuat ke arah Bluer Grizzly.

            Aku mengincar badannya Blue Grizzly dan berhasil menghantamnya.

            "Ooooo!"

            "Guo … Guruoooo."

            Ia mengayunkan cakarnya, tetapi serangannya pun terhenti karena aku terlalu dekat dengannya.

            Selagi Blue Grizzly berusaha mengincarku dengan tangannya, aku terus maju dan mendorong tubuh besarnya.

            "Gu … gu …."

            Berbeda dengan Bluerin, kekuatan Blue Grizzly dewasa memang enggak bisa diremehkan. Perbedaan yang mencolok terdapat pada berat badan mereka.

            Akan tetapi, aku sudah berlari tiap hari untuk melatih kakiku!

            Mengeritkan gigiku, aku mengerahkan seluruh tenagaku. Selangkah demi selangkah, aku mendorong mundur Blue Grizzly.

            Aku selalu terus belari saat malam atau pun siang. Mengabaikan segalanya … hanya memusatkan pada tenagaku …!

            Perlahan, aku mulai bisa merasakan Blue Grizzly yang makin mengerahkan tenaga pada lengannya—aku meladeninya secara langsung. Makanya, aku bisa merasakan tulang lenganku yang mulai retak. Aku menggunakan sihir penyembuhan secara paksa selagi merasakan rasa sakit yang terus melandaku.

            "Gua?! Aaaaa!!"

            Mengangkat tubuh Blue Grizzly, aku langsung berlari.

            Seluruh tubuhku terasa sakit, tapi aku terus berlari. Tubuhku enggak patah bahkan selagi menahan berat Blue Grizzly ini. Aku benar-benar enggak boleh membiarkannya bergerak dari sini.

            Aku harus terus menundukkannya demi Kak Inukami, makanya—

            "Tumbanglah!"

            Dengan paksa, aku membenturkan Blue Grizzly ke pohon.

            Diiringi dengan suara benturan keras, aku terpental mundur dan terjatuh.

            "Haa—kupikir aku akan mati. Tapi, memang seperti yang Rose bilang …."

            Terbaring di tanah seperti huruf , aku melihat ke arah Blue Grizzly.

            Di sana ada Blue Grizzly yang enggak sadarkan diri dan pohon yang patah jadi dua. Melihat Blue Grizzly yang enggak mati, aku merasa lega dan kembali berdiri.

            Saat ini, aku harus berusaha memulihkan diri dengan sihir penyembuhan. Begitu sudah rada pulih, aku harus menuju ke Kak Inukami.

            Aku yang baru berdiri dengan berpikiran begitu, hanya bisa melihat kilatan cahaya yang menyinari daerah sekitar dari arah Kak Inukami.

            "… Kurasa kecemasanku enggak guna."

            Aku pun duduk kembali.

            Enggak lama berselang, Kak Inukami terlihat menghampiriku. Mungkin harusnya aku pergi, tapi tubuhku terasa goyah karena mengangkat Blue Grizzly dalam posisi yang aneh. Lukaku harusnya sudah rada sembuh, tapi masih menyisakan kelelahan mental.

            "Usato!"

            Tuh ‘kan, Kak Inukami datang. Pakaiannya terlihat kotor sekarang, tapi enggak ada luka apa pun selain kotoran itu. Melihatnya yang baik-baik saja, aku melambaikan tangan padanya. Usai terlihat kaget melihat pohon tumbang dan Blue Grizzly yang enggak sadarkan diri, dia pun berlari menghampiriku dan duduk di sampingku.

            "Kamu baik-baik saja?!"

            "Ya … Kak Inukami sendiri? … Apa kamu membunuhnya?"

            "Tidak, aku hanya membuatnya pingsan saja."

            Sepertinya Kak Inukami juga sepemikiran denganku, enggak ingin melukai monster yang mirip Bluerin.

            Nah, sebelum Blue Grizzly ini keburu bangun, kita harus cepat-cepat pergi—

            ""Tuan Usato—!! Nona Suzune—!!""

            "Suara ini …."

            "Para pengawal …."

            Mungkin mereka keluyuran di sekitaran jalan masuk untuk menunggu kami atau mereka mencari kami sepanjang malam … aku enggak tahu, tapi petir Kak Inukami tadi mungkin menarik perhatian mereka.

            Sambil nyender di bahu Kak Inukami, kami menuju ke asal suara tersebut. Entah bagaimana, dua hari ini terasa sangat lama, bahkan mungkin lebih lama dari pas aku di sini waktu itu.

            "… Lelahnya."

            "Aku sendiri senang …, ada Usato bersamaku."

            Masa?

            Biasanya aku akan salah memahami kata-kata ini, tapi namanya juga Kak Inukami, makanya, aku enggak memedulikannya.

            "Akhirnya ketemu juga!! Kalian benar-benar membuat kami khawatir~!"

            "Guo!"

            Aku melirik ke samping, dan melihat senyuman mirip bunga Kak Inukami. Kami melambaikan tangan ke para pengawal yang kelelahan dan Bluerin sambil menghampiri mereka.


⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Chiyu Mahou no Machigatta Tsukaikata Volume 01 Chapter 20 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh