Chapter 20
Karena
kami setuju untuk gantian mengawasi api, aku pun membangunkan Kak Inukami dan rebahan.
"Iih~,
kamu ini kurang perhatian sekali. Harusnya aku bangun sendiri …, memang sampai
segitunya ‘kah kamu ingin melebihi harapanku?"
"Kalau
Kazuki dan Kak Inukami mungkin akan begitu, tapi enggak mungin kita begadang
semalaman. Sok baik pun hanya akan membahayakan kita, ‘kan?"
"Iya
sih, tetapi …."
Lagian,
aku juga bukan Kazuki. Aku pasti bakal nyesel kalau sihirku belum pulih bener
karena kurang tidur. Salah satu ajaran Pasukan Penyelamat, adalah harus bisa
memanfaatkan waktu untuk beristirahat sebisa mungkin.
"Lagian,
Kak Inukami enggak kelihatan bakal bangun-bangun sampai pagi."
"Uu."
Aku
pun menutup mata usai berkata begitu padanya.
Raungan
monster masih terdengar dari kejauhan.
Akan
tetapi, enggak perlu ada yang dicemaskan karena sekarang ada Kak Inukami yang
berjaga.
*
"Usato
…, masih bangun?"
"…
Ada apa?"
Baru
juga 10 menit. Aku hampir tertidur, tapi suara Kak Inukami terdengar jelas.
Berbalik,
aku pun menghadap Kak Inukami.
"Apa
yang kamu pikirkan sedipanggilnya ke dunia ini?"
Aku
heran mengapa dia menanyakan itu padaku.
Apa
dia hanya sekadar bertanya saja? Atau justru itu sesuatu yang serius …?
Dia
juga merasa bersalah karena melibatkan diriku dalam pemanggilan pahlawan.
"Apa
yang kupikirkan, ya … latihan Rose memang sulit, dan tiap harinya aku mesti
melihat muka-muka seram rekan sekelompokku … sedari awal, bertarung melawan
pasukan Raja Iblis saja sudah serasa mimpi buatku."
"Kamu
tidak pengin pulang?"
"…
Eng, entahlah."
Aku
merasa mau pulang, tapi juga enggak.
Aku
sendiri juga bingung, tapi aku enggak mau pisah begitu saja dengan sihir
penyembuhan dunia ini yang sudah kukembangkan, bahkan sudah bisa dibilang
sebagai kekuatanku sendiri. Juga, rasanya rada sedih untuk berpisah dengan
semua orang yang pernah kutemui di dunia ini. Aku sudah terbiasa tinggal di
sini meskipun baru sebentar.
Akan
tetapi, aku juga mecemaskan keluargaku.
Selagi
aku tengah merenungkan hal-hal tersebut, Kak Inukami pun bilang begini padaku.
"Aku
sendiri, tidak mau pulang."
Aku
enggak tahu apa yang membuatnya berpikir begitu … karena aku sendiri juga
enggak begitu yakin. Mungkin aku enggak bisa memberikan jawaban yang diinginkan
Kak Inukami.
Yang
jelas, aku harus jawab.
"Begitu,
ya?"
"…
Kamu tidak tanya alasannya?"
"Kamu
mau aku tanya?"
"Aku
pengin kamu tanya."
Memangnya
harus sampai minta langsung begini padaku ….
Terus,
tanpa malu-malu lagi ….
"Enggak,
ah. Kedengarannya merepotkan. Aku juga ngantuk lagi."
"Sa-Sampai
menolak segitunya … sebenarnya ini tingkat kesulitannya apa, Usato?"
Tingkat
kesulitan … ini bukan gim, lo.
Yang
jelas, kurang lebih aku tahu alasan kamu enggak mau pulang. Pas kita dipanggil,
hanya Kak Inukami saja yang kegirangan di antara kita bertiga. Pasti karena
‘itu’, deh.
Baginya,
inilah dunia yang pantas untuknya.
Aku
harus menghargainya juga karena Kak Inukami memang enggak tertarik dengan dunia
kita sebelumnya.
"…
Haah, sekarang aku kelihatan bodoh karena sudah gugup begini, ya?"
"Orang
macam Kak Inukami, gugup?"
"Iih,
tidak sopan sekali kamu ini. Aku juga manusia, maklum lah kalau gugup."
Kak
Inukami menatap sinisku saat aku rebahan.
Aku
memunggungi api untuk menghindari tatapannya. Sepertinya sudah beres
mengobrolnya, aku harus segera tidur.
"Fufu,
kamu ini memang ‘biasa’, ya."
Saat
kesadaranku kian memudar, aku bisa mendengar suara Kak Inukami yang terdengar
senang.
Esoknya,
kami berjalan menyusuri hutan saat matahari terbit.
Aku
masih rada ingat jalan keluar hutan ini pas Rose terakhir kali membawaku pergi
dari sini.
Aku
percaya diri dengan kepekaan arahku.
"Aku
penasaran sekali … menurutmu bau kita akan bisa ditemukan Bluerin tidak,
ya?"
"Sayangnya
enggak, soalnya kita terjatuh ke sungai."
Kuharap
si rakus itu enggak merepotkan para pengawal.
Kami
berjalan pelan-pelan karena ada dua alasan.
Pertama,
kami enggak mau menarik perhatian monster. Apalagi, kali ini enggak ada Kururu.
Jadi, enggak ada yang bisa merasakan bahaya.
Kedua,
supaya kami enggak bakalan tersesat dari arah yang kami tuju. Hutan ini
dikerumuni pepohonan tinggi yang benar-benar menutupi sekelilingnya, sehingga
kemungkinan untuk tersesat tinggi. Demi menghindari hal-hal tersebut, sangat
penting untuk memperhatikan area sekitar saat berjalan.
Semua
ini tercatat dalam buku yang Rose buat.
Jalan
keluarnya masih juga belum kelihatan selepas berjalan waspada selama beberapa
jam. Lalu, di atas Kak Inukami, ‘sesuatu’ terbang keluar dari pohon.
"Usato,
di atas!"
"!"
Melihat
ke arah yang ditunjukkan, rupanya itu adalah sekelompok monster yang menyerupai
monyet berwarna hijau beracun. Itu ….
"Venom
Monkey."
"Kamu
mengetahuinya?"
"Enggak
… aku cuman tahu dari buku saja, ini juga pertama kalinya aku melihatnya."
[Venom
Monkey], adalah monster beracun mematikan seperti namanya.
Berdasarkan
buku yang kubaca, ia adalah spesies yang jinak. Demi mencegah kelompoknya dari
kelaparan, mereka memilih untuk memakan buah beracun. Di buku pun disebutkan
juga bahwa racun tersebut terakumulasi terus menerus, sehingga tubuh mereka pun
menjadi sangat kebal terhadap kelumpuhan.
Bulu
mereka pun tumbuh menjadi hijau, penangkal alami bagi para pemangsa. Ditambah,
taring dan mereka pun mempunyai racun pelumpuh.
Dan
monster tersebut kini ada di hadapanku, memanjat dari satu pohon ke pohon
lainnya.
Salah
satu Venom Monkey ini berpisah dari kelompoknya dan turun ke hadapan kami.
Ia
terlihat seperti bocah dan enggak takut pada manusia. Monyet kecil itu mendekat
dan memandang kami dengan tampang penuh penasaran.
…
Yah, mungkin aku harus memperingatinya lebih dulu.
"Kak
Inukami, monyet ini beracun. Jadi, jangan menyentuhnya."
"Kemarilah,
jangan takut."
"Oi,
dengerin."
Kakak
kelas ini memang madesu.
Aku
enggak tahan untuk bicara dengan enggak sopan.
Lupakan
saja dulu itu, kepalaku jadi sakit pas melihat Kak Inukami menyodorkan
tangannya pada monyet kecil itu. Aku pun memegang tangan cewek sedeng ini untuk
menghentikannya.
"Bahaya,
tau! Nanti kena racun!"
"…
Ya, saking imutnya anak ini sampai-sampai akan bisa meracuniku!"
"Tolong
deh, jangan bilang sesuatu yang sulit dimengerti begitu …."
Dijelasin
sekali pun sepertinya percuma.
Aah,
Kak Inukami juga masih termasuk cewek. Jadi, aku enggak bisa menahannya secara
paksa.
Si
monyet yang penasaran itu pun memiringkan kepalanya atas tindakan Kak Inukami
tersebut. Menilai dari tindakan monyet itu, Kak Inukami kelihatan senang karena
pikirnya telah berhasil, tapi—
"Kii!!"
Grek.
Monyet kecil itu menggigit jari telunjuk Kak Inukami.
Kak
Inukami sendiri masih tersenyum, dan aku sendiri enggak kaget karena sudah
menduganya.
Tuh,
‘kan … kataku dalam hati.
Saat
sadar akan situasinya, senyuman Kak Inukami pun mengaku dan berkata begini
selagi masih digigi monyet itu.
"Tuh,
tidak ada yang perlu ditakutkan."
"Kii—!"
Si
monyet pun lari.
Kembali
ke kelompoknya memang pilihan yang tepat dalam situasinya saat ini.
Aku
cuman bisa lihat punggung Kak Inukami yang dipenuhi kesedihan. Tanpa berkata
apa pun, aku menempatkan tanganku di bahunya dan menyalurkan sihirku untuk
mengobati yang terkena gigitan beracunnya.
*
"Kak
Inukami, aku tahu kamu sedih, tapi … masih ada monster lain yang lebih baik
buatmu."
"…."
Kami
harus cepet pergi selepas menghibur Kak Inukami, tapi … dia masih saja belum
mengangkat kepalanya dan masih merasa hancur karena kejadian tadi.
Jujur,
ini ngeselin. Makanya, aku cuma melihat ke arah lain.
Kami
berdua enggak bicara dan larut dalam keheningan, lalu Kak Inukami berjalan di
depanku dan mulai bicara.
"Kamu
tidak mau menghiburku apa?"
"Enggak,
merepotkan."
"…."
Aku
rada kasihan sama dia, tapi langsung kuakhiri saja obrolan ini karena situasi
kami saat ini tambah rumit.
Perlahan,
pepohonan di sekitar kami mulai berkurang. Harusnya kita sudah dekat dengan
jalan keluarnya, deh.
"Kak,
bentar lagi kita keluar dari hutan."
"Dih
… pas ada hubungannya dengan itu baru bicara padaku. Kamu harus tahu mana waktu
yang tepat, Usato."
Bicarain
apa sih? Mengacangi Kak Inukami yang berisik, aku memandang ke depan.
Aku
bisa melihat sesuatu yang menyerupai gumpalan biru.
"Ada
apa, Usato? Tiba-tiba berhenti …, apa di depan ada sesuatu …?"
"Enggak
lucu ini mah …, padahal kita sudah jauh-jauh ke mari …."
Blue
Grizzly … terlebih lagi, kelihatannya itu tipe yang berbahaya.
Ia
sangat besar dan menggarukkan cakarnya pada pohon.
"Kita
ambil jalan untuk memutarinya saja. Sekalipun aku keliru, tolong jangan memeluk
atau menjilatinya, ya?"
"Kamu
kira aku ini orang cabul apa?"
"…."
"Mengapa
kamu tidak bilang apa-apa?!"
Kami
segera melangkah mundur sambil memerhatikan Blue Grizzly. Beruntungnya, ia
sedang asik sendiri menggarukkan cakarnya dan enggak menyadari kami. Baguslah,
dengan begini kami bakal bisa ambil jalan untuk memutarinya—
"Gururururu."
"Usato,
di belakang kita juga …."
"Ada
dua …!?"
Kami
terlalu fokus ke depan sehingga enggak sadar ada yang mendekat dari belakang. Asem,
kalau saja ada Kururu di sini ….
Yang
ada di depan kami pun segera menyadari kami dan berhenti menggarukkan cakarnya.
Ia mulai menghampiri kami.
Kami
dihadang dari depan dan belakang.
Makhluk
ini punya kaki yang cepat dan penciuman yang tajam juga. Kami juga bisa pergi
ke sungai, tapi itu artinya balik ke hutan.
Bagaimana,
nih? Haruskah aku lari sambil menggendongnya?
Atau
aku jadi umpan saja? Enggak, mereka malah mengincar Kak Inuami nantinya.
Bagaimana
kalau menggunakan daya tembaknya Kak Inukami untuk menumbangkan mereka? Enggak
bisa juga, seluruh hutan akan menjadi lautan api nantinya.
Kalau
begitu, apa harus aku lawan saja mereka dan lihat apa yang terjadi nanti?
Rose
bilang aku bisa menang melawan Grand Grizzly, tapi aku enggak tahu apa itu
benar atau bohong, yang jelas … aku harus mencaritahunya sendiri. Kalau
berbahaya, kami akan kabur.
"Kamu
bisa menang melawan salah satu dari mereka enggak, Kak?"
"…
Mungkin."
"Kalau
begitu, akan kutahan yang satunya. Sisanya aku serahkan padamu. Mari kita
tundukkan satu-satu."
"Aku
mengerti … berhati-hatilah."
Kak
Inukami mengambil yang ada di belakang kami, sementara aku ambil yang ada di
depan.
Yang
ada di depan mulai meraung dan berdiri.
Selain
dengan Fall Boars, aku belum pernah bertarung lagi semenjak dengan yang ular
waktu itu. Aku enggak punya pisau atau pun tombak kali ini, tapi anehnya, aku
enggak takut. Apa karena kali ini aku enggak sendirian?
Blue
Grizzly pelan-pelan mendekatiku dan mengangkat kedua cakarnya untuk menakutiku.
Kok, rasanya aneh; mirip saat Rose pertama kali melemparku ke hutan ini.
"Fuu
…."
Menghembuskan
napas panjang, aku menyelimuti tubuhku dengan sihir penyembuhan yang tipis.
Merendahkan pinggangku, aku menempatkan kekuatan ke dalamnya saat mengerahkan
semua tenagaku untuk melancarkan terjangan yang kuat ke arah Bluer Grizzly.
Aku
mengincar badannya Blue Grizzly dan berhasil menghantamnya.
"Ooooo!"
"Guo
… Guruoooo."
Ia
mengayunkan cakarnya, tetapi serangannya pun terhenti karena aku terlalu dekat
dengannya.
Selagi
Blue Grizzly berusaha mengincarku dengan tangannya, aku terus maju dan mendorong
tubuh besarnya.
"Gu
… gu …."
Berbeda
dengan Bluerin, kekuatan Blue Grizzly dewasa memang enggak bisa diremehkan.
Perbedaan yang mencolok terdapat pada berat badan mereka.
Akan
tetapi, aku sudah berlari tiap hari untuk melatih kakiku!
Mengeritkan
gigiku, aku mengerahkan seluruh tenagaku. Selangkah demi selangkah, aku
mendorong mundur Blue Grizzly.
Aku
selalu terus belari saat malam atau pun siang. Mengabaikan segalanya … hanya
memusatkan pada tenagaku …!
Perlahan,
aku mulai bisa merasakan Blue Grizzly yang makin mengerahkan tenaga pada
lengannya—aku meladeninya secara langsung. Makanya, aku bisa merasakan tulang
lenganku yang mulai retak. Aku menggunakan sihir penyembuhan secara paksa
selagi merasakan rasa sakit yang terus melandaku.
"Gua?!
Aaaaa!!"
Mengangkat
tubuh Blue Grizzly, aku langsung berlari.
Seluruh
tubuhku terasa sakit, tapi aku terus berlari. Tubuhku enggak patah bahkan
selagi menahan berat Blue Grizzly ini. Aku benar-benar enggak boleh
membiarkannya bergerak dari sini.
Aku
harus terus menundukkannya demi Kak Inukami, makanya—
"Tumbanglah!"
Dengan
paksa, aku membenturkan Blue Grizzly ke pohon.
Diiringi
dengan suara benturan keras, aku terpental mundur dan terjatuh.
"Haa—kupikir
aku akan mati. Tapi, memang seperti yang Rose bilang …."
Terbaring
di tanah seperti huruf 大,
aku melihat ke arah Blue Grizzly.
Di
sana ada Blue Grizzly yang enggak sadarkan diri dan pohon yang patah jadi dua.
Melihat Blue Grizzly yang enggak mati, aku merasa lega dan kembali berdiri.
Saat
ini, aku harus berusaha memulihkan diri dengan sihir penyembuhan. Begitu sudah
rada pulih, aku harus menuju ke Kak Inukami.
Aku
yang baru berdiri dengan berpikiran begitu, hanya bisa melihat kilatan cahaya
yang menyinari daerah sekitar dari arah Kak Inukami.
"…
Kurasa kecemasanku enggak guna."
Aku
pun duduk kembali.
Enggak
lama berselang, Kak Inukami terlihat menghampiriku. Mungkin harusnya aku pergi,
tapi tubuhku terasa goyah karena mengangkat Blue Grizzly dalam posisi yang
aneh. Lukaku harusnya sudah rada sembuh, tapi masih menyisakan kelelahan
mental.
"Usato!"
Tuh
‘kan, Kak Inukami datang. Pakaiannya terlihat kotor sekarang, tapi enggak ada
luka apa pun selain kotoran itu. Melihatnya yang baik-baik saja, aku
melambaikan tangan padanya. Usai terlihat kaget melihat pohon tumbang dan Blue
Grizzly yang enggak sadarkan diri, dia pun berlari menghampiriku dan duduk di
sampingku.
"Kamu
baik-baik saja?!"
"Ya
… Kak Inukami sendiri? … Apa kamu membunuhnya?"
"Tidak,
aku hanya membuatnya pingsan saja."
Sepertinya
Kak Inukami juga sepemikiran denganku, enggak ingin melukai monster yang mirip
Bluerin.
Nah,
sebelum Blue Grizzly ini keburu bangun, kita harus cepat-cepat pergi—
""Tuan
Usato—!! Nona Suzune—!!""
"Suara
ini …."
"Para
pengawal …."
Mungkin
mereka keluyuran di sekitaran jalan masuk untuk menunggu kami atau mereka
mencari kami sepanjang malam … aku enggak tahu, tapi petir Kak Inukami tadi
mungkin menarik perhatian mereka.
Sambil
nyender di bahu Kak Inukami, kami menuju ke asal suara tersebut. Entah
bagaimana, dua hari ini terasa sangat lama, bahkan mungkin lebih lama dari pas
aku di sini waktu itu.
"…
Lelahnya."
"Aku
sendiri senang …, ada Usato bersamaku."
Masa?
Biasanya
aku akan salah memahami kata-kata ini, tapi namanya juga Kak Inukami, makanya,
aku enggak memedulikannya.
"Akhirnya
ketemu juga!! Kalian benar-benar membuat kami khawatir~!"
"Guo!"
Aku
melirik ke samping, dan melihat senyuman mirip bunga Kak Inukami. Kami melambaikan
tangan ke para pengawal yang kelelahan dan Bluerin sambil menghampiri mereka.
Chiyu Mahou no Machigatta Tsukaikata Volume 01 Chapter 20 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia