Chapter 02 – Pertemuan tak Diduga
Kala itu, kupikir aku akan diselamatkan.
Tapi kalau dipikir-pikir, seharusnya aku kabur.
..... aku bercanda.
—Ahli Sihir Amatiran, Nina.
Sepuluh tahunku sebagai naga pun berlalu dalam
sekejap mata.
Alhasil, kubisa hidup sebagai naga dan bahkan bisa
sampai terbang dengan aman di langit, tapi aku bingung.
Sebab, Ibu Nagaku mengusirku dari sarangnya.
Walau kubilang diusir, tapi rasanya lebih sudah
saatnya kupergi dan membuat sarangku sendiri.
Saat kuterbang di udara sembari memikirkan apa yang
harus kulakukan mulai dari sekarang, kumelihat ada sesuatu yang aneh di hutan
yang berada jauh di bawahku.
Gemerisik pepohonan besar nan tinggi berseliweran,
terjatuh satu demi satu.
Saat aku yang penasaran memusatkan perhatianku ke
sana, penglihatan nagaku yang serupa dengan elang pun membuatku bisa melihat
sekilas seorang gadis kecil yang belari melintasi hutan.
"Haah,
haah, haah.....!"
Napasnya berat saat dia lari mati-matian melintasi
hutan.
Bergerak dengan cepat melewati pepohonan, dia
menyelusur ke bawah akar pohon raksaksa yang serupa dengan gerbang lengkung.
Apa dia lari dari sesuatu—?
Seakan menegaskan pemikiranku, batang pohon raksaksa
tersebut pun langsung berguncang dan retak saat kuberpikir begitu. Tepat saat
kumulai bertanya-tanya apa penyebanya, pohon pun tumbang, dan menampakan seekor
binatang buas merah gelap.
Binatang buas tersebut lebar dengan telinga bundar
dan anggota badan yang pendek.
Kalau disamakan dengan binatang, kurasa itu beruang.
Tapi apa yang kulihat saat ini jelaslah bukan
semacam beruang yang kuketahui, bahkan untuk yang bukan ahli binatang
sepertiku.
Tingginya lebih dari lima meter.
Cakar tebal nan panjangnya bagaikan pedang yang
tumbuh dari lengannya yang besar.
Yang menyelimuti tubuhnya bukanlah bulu, melainkan
sisik. Sisik tersebut bagaikan zirah berat seorang Jenderal perang lama.
Dengan karakteristiknya tersebut, sebut saja beruang
berzirah. Mengesampingkan fakta kalau cakar-cakarnya lah yang barusan
menghancurkan pohon tersebut, tak diragukan lagi kalau itu adalah makhluk yang
sangat berbahaya. Jika seorang gadis muda terkena cakarannya, pasti tubuhnya
akan menjadi beberapa potongan.
Dan binatang buas tersebut pun semakin mendekat.
Melumat segala macam yang menghalangi dengan ayunan
cakarnya, beruang berzirah pun dengan mudahnya menutup jarak yang dibuat oleh
gadis yang berlari dengan mati-matian.
"Gawat.....!"
Melihat beruang berzirah mengangkat lengannya dan
membayangkan hasil yang tak terelakan, secara spontan aku pun berteriak.
".....
Eh.....?"
Perkiraanku pun meleset.
Aku menatap pertunjukkan yang terjadi tepat di depan
mataku.
Tepat saat kupikir gadis itu akan berbalik dan
terkena serangan, beberapa pepohonan mulai bergerak dan menghalangi jalan beruang
berzirah tersebut.
Meski, tentu saja pepohonan tersebut bukanlah
halangan besar bagi beruang berzirah itu. Akan tetapi, pepohonan tersebut
menembakkan daunnya pada wajah beruang berzirah saat mencoba menyingkirkan
ranting-rantingnya untuk menangkap gadis tersebut. Akar-akar pepohonan itu pun
melonjak keluar dari tanah dan membelit ke sekeliling kaki beruang
berzirah. Si gadis kecil pun
memanfaatkannya untuk kabur layaknya seekor kelinci.
—Aku takkan mungkin keliru.
Itu adalah hal yang kudambakan selama hidupku.
Sihir.
Aku tak mungkin salah dengan apa yang dilakukan
gadis tersebut guna melarikan diri dari beruang berzirah yang ukurannya tak
sebanding dengannya.
Walaupun itu juga takkan memberinya banyak waktu.
Kecepatan gadis itu pun perlahan mulai melambat, dan
dinilai dari pergerakkan pepohonan yang dengan cepat berhenti, sihir yang
digunakannya pun juga ada batasnya.
.... Tak ada jalan lagi.
Melihat serpihan rambut gadis itu terpotong oleh
ayunan beruang berzirah, kuambil keputusan dan mengepakkan sayapku. Sosok gadis
itu semakin membesar dalam bidang penglihatanku saat aku mendekat, kuhancurkan
beberapa ranting dan mendarat tepat di depannya.
"Ah—?!"
Napas gadis itu tertahan dalam tenggorokannya
sejenak saat dia terjatuh mundur ke tanah. Dia sudah melarikan diri begitu lamanya
dari beruang berzirah dan melihat seekor naga yang muncul entah dari mana, jadi
bukan berarti aku tak bersimpati padanya.
Tapi terus terang saja, aku juga ingin melakukan hal
yang sama.
Kini saat kulihat dari dekat beruang berzirah yang
berdiri dengan kaki belakangnya.... ternyata jauh lebih besar dari dugaanku.
Bahkan walaupun aku merangkak, ia masih dua kali
lebih besar dariku.
Aku mungkin seekor naga, tapi aku masihlah anak muda
berumur sepuluh tahun. Ibu mungkin mampu menghabisinya hanya dengan
memelototinya saja, tapi bagiku itu layaknya mengintimidasi gunung.
Aku seharusnya tak ikut campur.
Sekarang sudah agak telat, tapi aku sedikit.....
tidak, aku akan terus terang saja.
Dalam lubuk hatiku aku menyesalinya.
Aku payah saat menghadapi pertentangan. Aku bahkan
tak pernah berkelahi di kehidupanku sebelumnya.
Bahkan dengan tubuhku saat ini, terlalu berlebihan
buatku untuk melakukan pertarungan pertamaku melawan seseorang yang bisa
dijuluki Raja Hutan.
Tapi......
Sekilas kumelirik gadis di sampingku yang berada di
tanah. Aku tak bisa mengatakannya dengan pasti karena inilah pertama kalinya
kumelihat manusia di dunia ini, tapi kurasa usianya antara 14 – 15 tahunan jika
mengikuti standar pada kehidupanku sebelumnya.
Mana mungkin aku bisa menelantarkan gadis muda
sepertinya. Aku tak bisa lagi meninggalkannya karena dia seseorang yang mampu
menggunakan sihir, sesuatu yang selama ini kucari.
"Cepat
larilah"
Kucoba berkata begitu sembari tetap memusatkan
perhatianku pada beruang berzirah, tapi karena gadis itu tak begitu tersentak,
kelihatannya gadis itu tak bisa memahamiku. Walaupun mungkin aku bisa kabur ke
langit kalau dia barusan melarikan diri......
Tapi, suaraku malah berakibat sebaliknya saat
beruang berzirah itu mengiranya sebagai intimidasi dan menyerangku.
Bukan kau!
Aku tak punya waktu untuk berkata begitu saat
beruang berzirah dalam sekejap menutup jarak di antara kami, melontarkan
cakarnya yang tajam padaku.
Itu begitu mendadak hingga aku bakan tak bisa
mengelak. Secara spontan, aku malah menutup mataku.
Kudengar suara kusam dan retakan begitu serangannya
mendarat pada leherku.
Bukan leherku lah yang menyebabkan suara retakan,
melainkan cakar beruang berzirah.
Menatap cakarnya, kami pun tercengang. Maksudku,
bukan berarti aku bisa melakukan apa pun.
Cakar tersebut benar-benar tak kuasa menahan segenap
kekuatan ayunannya terhadap sisikku.
Beruang berzirah memang hebat, dialah yang pertama
kali kembali sadar.
Beruang berzirah tersebut meraih pundakku dengan
kedua kaki depannya seakan hendak mendekapku. Aku pernah dengar kalau hampir
semua binatang buas otot terkuatnya bukan penahanannya, melainkan ada pada
rahangnya. Beruang berzirah pun merubah cara penyerangannya saat menyadari
kalau cakarnya tak mempan padaku.
"Aah!"
Meski menyedihkan, yang hanya bisa kulakukan untuk
membalas Raja Hutan yang menghampiriku dengan serangan terkuatnya adalah......
berteriak.
Walau begitu, beruang berzirah berteriak dan dengan
panik memisahkan diri dariku. Bagian di sekitar dadanya terbakar dan asap putih
berhembus keluar dari sekitar dadanya tersebut. Untuk sejenak, aku merasa
bingung saat kucoba memikirkan apa yang terjadi, tapi aku segera bisa
mengetahuinya. Beruang berzirah itu terkena napasku.
Walaupun napas naga lebih mempunyai kesan pergerakkan
pembunuh pada karya sastra di kehidupanku sebelumnya, namun bukan dengan tubuh
reinkarnasiku ini.
Bukan berarti sebagai teknik juga. Ini sama halnya
dengan cara manusia menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida, Ibu dan
aku mengeluarkan napas api. Hanya dengan bernapas biasa saja, api keluar dari
mulutku. Seperti itulah makhluk sejenis naga.
Tapi, melihat beruang berzirah yang
berjingkrak-jingkrak dan memekik, kelihatannya api di dalam diriku lebih panas
dari yang kuduga.
Kalau aku bisa melukainya hanya dengan bernapas,
entah bagaimana mungkin aku mampu mengatasinya. Saat kumelakangkah maju menuju
beruang berzirah, beruang itu pun merangkak dan terlihat akan mulai menyerang.
Jadi apa ini yang namanya semangat juang seorang raja? Kelihatannya ia tak
peduli meski harus menderita luka parah.
Melihat beruang berzirah yang menerjangku layaknya
peluru, aku pun sedikit membuka mulutku dan menghembuskan napas besar. Sudah
lama kuberlatih melakukan ini, jadinya aku tahu kalau ini akan bisa membuatku
menembakkan api yang lebih terpusat. Lagian, aku sudah banyak bermain dengan
berbagai macam api semenjak bereinkarnasi jadi naga.
Tapi.
Inilah kali pertamanya aku tahu seberapa kuatnya
itu, karena sebelumnya aku belum pernah mencoba mengarahkannya pada makhluk
hidup. Mencium bau beruang berzirah yang hangus terbakar, aku menggigil
ketakutan atas apa yang kuperbuat. Beruang berzirah pun terhempas ke belakang,
kepalanya—bahkan tulangnya pun—lenyap.
Saat kulihat gadis yang berada di sampingku, dia pun
melihat mayat beruang berzirah tersebut sembari gemetaran.
Kurasa, dia pun bertanya-tanya apa hal yang serupa
akan terjadi padanya.
Kutatap matanya saat dia melihatku dengan ekspresi
takut pada wajahnya.
Setelah beberapa saat, dia pun mulai bisa tenang.
[Kau—.....
kau menyelamatkan..... ku.....?]
Tak disangka, gadis tersebut pun membuka mulutnya
dan berkata sesuatu padaku. Dia kedengaran seperti mengajukan suatu pertanyaan
padaku, tapi aku tak mengetahuinya karena dia berbicara dalam bahasa yang belum
pernah kudengar sebelumnya.
"Jangan
takut. Kau selamat sekarang"
Kubicara dengan perlahan sembari mengarahkan wajahku
ke tanah. Akan kuturunkan senjataku kalau aku punya tubuh manusia untuk
menunjukkan kalau aku ini bukan musuh, tapi nahasnya, kini seluruh tubuhku
adalah senjata. Jadi setidaknya, kutaruh dahuku ke tanah supaya dia tak melihat
taring atau pun api.
[Jadi kau
menyelamatkanku.....?]
Mengucapkan beberapa patah kata yang agak berbeda
dari yang sebelumnya, gadis tersebut pun mendekatiku dengan hati-hati. Dengan
begitu, alhasil kusadar kalau dia agak berbeda dengan manusia yang kuketahui.
Ujung telinganya yang runcing mencuat keluar dari
rambut emasnya.
Sosoknya yang masih muda meninggalkan banyak
kepolosan, benar-benar teratur.
Mengherankannya, wajahnya kecil dengan mata biru
berbentuk badam yang terletak di bawah sepasang alis yang tipis. Dia mempunyai
hidung tegap dengan sepasang bibir manis yang mengingatkanku akan kelopak
bunga. Badannya nampak langsing dengan mengenakan pakaian yang nampak semacam sutra
yang belum diolah. Warna kulitnya lebih mengingatkan akan orang-orang Erupa
Utara ketimbang apa pun, dan tubuh rampingnya membuatnya terlihat seperti
seorang model muda. Walaupun beberapa bagian tubuhnya kotor karena kabur dari
binatang buas sebelumnya, tetap saja tak cukup untuk menyembunyikan akan
kecantikannya.
Dia benar-benar tampak seperti ras elf yang sering digambarkan dalam cerita
fiksi di kehidupanku sebelumnya.
Belum berani menjawabnya, aku pun menunggu untuk
melihat apa yang akan dilakukannya.
[Hangat.....]
Menempatkan telapak tangannya pada moncongku, dia
menggumamkan sesuatu.
"Hangat?"
Ucapku, mengatakan kembali apa yang dikatakannya.
[Ya, hangat. Begitu..... hangat]
Dia tersenyum layaknya bunga yang mekar.
Inilah pertemuan pertamaku dengannya—saat kali
pertamanya kubertemu Nina.
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 02 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
2 komentar
Mantab
ReplyLegal gak nih?
Reply