Chapter 10 – Dimulainya Pertarungan Kematian ④
Sekali
lagi, kami berada di pintu itu lagi.
Rantai
yang menyegel pintunya pun sudah tak ada lagi, tapi pintunya tertutup, serupa
dengan Rumah Monster di lantai 51, memberitahuku kalau ini adalah ruangan
penting.
Seperti
yang kuduga.
Kabut
masih keluar dari celah di sekitar pintu, seakan waktu berputar kembali untuk
ruangan ini.
Yang
jelas, saat ini aku mempunyai seorang budak Pahlawan, Hamakaze dan High Wulve
Satu dan Dua.
"High Wulf Satu dan Dua, segera
lompatlah ke ruangan begitu pintunya terbuka. Hamakaze, lindungilah aku dengan
nyawamu"
Kuberikan
perintah pada buda-budakku menggunakan Absolute
Command.
Kami
harus melakukan sesuatu terhadap kabut itu, sehingga aku bisa melancarkan
serangan. Akan tetapi, apa pun yang berada di sana takkan membiarkanku untuk
melakukannya.
Berdasarkan
apa yang dikatakan Hamakaze, makhluk itu tak mengejar kami saat dia berlari.
Aku yakin bukan karena ia tak bisa melakukannya.
Bagian-bagian
tubuhku yang terpotong, semuanya masuk ke dalam ruangan itu.
Bukan
berarti separuh bagian bawahku tak terpotong sejak aku mati. Apa pun yang
berada di dalam ruangan itu takkan bisa mengerahkan kekuatannya karena itu
berada di luar ruangan.
Kalau
memang benar begitu, selama aku menyerang dari luar ruangan, aku seharusnya
mampu melakukannya dengan sangat aman.
Kujelaskan
perkiraanku pada Hamakaze saat kami memeroleh kedua High Wulves ini.
Dia
setuju denganku, bahkan sampai memohon untuk tetap berada di sampingku untuk
berjaga-jaga.
Dan
kami pun tiba di sini.
".... Daichi"
"Kali ini, aku akan membunuhnya
menggunakan Berserk Tempest. Kau
harus sepenuhnya berkonsentrasi untuk melindungiku"
"..... Baik"
Hamakaze
pun mempersiapkan belatinya dan segera mempersiapkan diri untuk melafalkan
sihir Wind saat aku berdiri dengan
menggunakan Berserk Tempest.
"Sekarang, Hamakaze! Buka
pintunya!"
"Baik!"
Hamakaze
pun membukakan pintunya.
Itu
adalah pertanda untuk memulai pertarungan kematian.
"Satu! Pergi!"
"Guoooh!!"
Serigala
perak yang melolong pun melompat ke ruangan kematian.
"GUOOOOW!!"
Teriakan
yang ganas membenamkan lolongannya High Wulf. Aku belum melihatnya, tapi aku ingat
suara itu.
Dari
bayangan besarnya saja sudah cukup untuk memberitahuku kalau itu ada di sana.
"GUOOOH!!"
High
Wulf ditebas oleh ayunan pedang sadis yang bahkan tak bisa kulihat.
Bersamaan
dengan itu, High Wulf Dua pun berlari.
Dan
pada saat itu juga, aku menembakkan sihirku.
"Berserk Tempest!"
Amukan
angin kencang pun meledak keluar dari tanganku. Kabut pun tersingkirkan saat
itu menyembur ke luar dari ruangan dan sekitar kami.
"Wind!"
Hamakaze,
tak ingin penglihatan kami terhalang oleh kabut, memisahkan kabutnya ke kiri
dan kanan kami.
Selama
saat itu, aku terus melihat ke dalam ruangan.
Ada
suara dentangan logam.
Seluruh
tubuh High Wulf pun tersayat dengan bersih.
Kabut
menghilang, aku pun bisa melihat dengan jelas apa yang ada di dalam ruangan
itu.
Saat
kabutnya benar-benar hilang—aku membelalakkan mataku.
Bayangan
besar itu hanyalah sebuah ilusi.
Itu
adalah seorang wanita yang mengenakan jubah hitam.
Angin
mengibaskan tudungnya, aku pun melihat mata merah darah dan rambutnya.
Tebakan
Hamakaze sedikit meleset.
Itu
bukanlah mansuia, melainkan humanoid.
".... Serius, kau pasti
bercanda, ‘kan?"
".... Tidak mungkin....."
Di
dunia asalku, bahkan itu adalah sesuatu yang melegenda.
Perwujudan
dari ketakutan. Sebuah pedang berdarah. Kulit merah. Mata merah menyala. Dua
tanduk yang tumbuh dari kepalanya.
Yah,
memang itu.
Iblis.
"Ini adalah kali kedua kita
bertemu bukan, Pahlawan?"
Senyuman
permusuhannya menunjukkan taringnya yang tajam.
Naluriku
bilang kalau dia berbahaya.
Dia
melepaskan perasaan haus darah yang sama dengan wanita itu.
Seseorang
yang ahli dalam mengembil nyawa setiap orang yang melihatnya.
Dan
kini, ia menatap lurus ke arah kami.
"Hei.... bagaimana kalau kita
mulai dengan membunuh?"
Menebas
udara, pertarungan kematian pun dimulai.
"Apa?!"
Dugaanku
terbukti salah, aku jadi bingung. Yang jelas, aku harus menghindarinya. Walau
begitu, Hamakaze tetap berdiri layaknya patung.
Apa
perasaan haus darahnya yang membuatnya terdiam......?!
"LOMPAT KE KANAN!!"
Melihatnya
yang tak mampu bergerak setelah tertangkap oleh perasaan haus darahnya, aku
berteriak sekeras mungkin. Memaksanya bergerak menggunakan Absolute Command, tubuh Hamakaze pun melompat ke kanan seperti yang
kuperintahkan.
Tebasan
pedang menghantam tembok dungeon, meledakkannya.
Temboknya tak hancur, tapi masih terdengar seperti ledakan.
"Kuh!!"
Suaranya
sangatlah keras hingga kupikir gendang telingaku bisa meledak, tapi aku lebih
mengkhawatirkan gadis yang baru saja ambruk di sampingku.
"Kuatkanlah dirimu,
Hamakaze!"
"Maaf, maafkan aku, maafkan
aku, maafkan aku!"
Hamakaze
tak bisa tenang, dia layaknya anak kecil yang ketakutan.
Sialan,
apa dia jadi kacau?
"Tuan Pahlawan kecil ini memang
hebat, kau masih waras setelah menerima Devilish
Aura-ku ya?"
Dia
menyindirku dengan berpura-pura memujiku dari ruangannya. Sang Iblis pun masih
menatap kami dari dalam ruangan.
"Hei, tinggalkanlah si cengeng
itu dan kemarilah bermain bersamaku. Menunggu membuatku gila"
"Kau tahu, aku tahu kenapa kau
ada di sini, ‘kan? Tempat ini sangatlah penting bagi kalian berdua"
.....
Yang benar saja. Dia tahu kenapa kami di sini?
Dia
bahkan memanggilku Pahlawan.
"Biar begitu, tak ada alasan
bagiku untuk bertarung sendirian"
"Bukan berarti dia akan bisa bertarung
lagi. Dia akan terus terjebak seperti itu, Devilish
Aura-ku takkan berhenti kecuali kau mengalahkanku"
"..... Kau pikir aku akan
menuruti perkataanmu?"
.....
apa yang harus kulakukan?
Yang
jelas, aku harus mengetahui apa yang teradi pada Hamakaze.
"Open"
Jendela
stauts pun muncul begitu aku mengatakan kata kuncinya. Ada sederetan teks baru
mengenai status Hamakaze.
Special
condition : Nila Mana menurun 100 kali berdasarkan
perbedaan level antara sang pengguna dan target. Ditambah lagi, takkan pulih
sampai sang pengguna pingsan atau mati.
|
Pengurangan
Mana.... jadi serangan mental? Kelihatannya
takkan bisa pulih dengan cepat, sungguh kemampuan yang gila....
"Kau memahaminya? Kelihatannya
kau tak kehilangan pikiranmu, jadi kau pasti sekuat diriku, ya? Aku ingin kita
bertarung murni satu lawan satu "
"Cih....."
Sisa
Mana-ku terpotong menjadi seribu. Aku
tak bisa menggunakan sihir tingkat kekaisaran.
Jadi
aku harus melawanya dengan sihir tingkat roh atau jiwa?
Aku.
Sendirian.
"..... Jangan bercanda. Kalau
aku melawanmu, aku akan bertarung bersamanya"
"Bersamanya? Dia tidaklah
berguna, atau mungkin kau mempunyai suatu rencana?"
Aku
terus berbicara untuk mengulur waktu. Aku harus memikirkan cara untuk
menghadapinya.
....
suatu rencana, ya. Saat ini, yang bisa kupikirkan hanyalah Revenge of the Grudgebearer.
.....
Haruskah aku mati?
Tidak,
itu takkan berhasil. Takkan ada orang yang bisa mengambil tubuhku.
Mungkin
aku bisa kabur dengan menyuruh Hamakaze menggunakan Absolute Command...?
Tidak,
tidak mungkin Iblis ini akan membiarkannya.
Kalau
Hamakaze mati, maka semuanya berakhir. Aku masih bisa hidup lagi, tapi ada
banyak kesenjangan waktu antara saat aku hidup kembali dan saat aku sadar. Si
Iblis itu mungkin akan terus membunuku selamanya.
Pada
akhirnya, tak ada pilihan selain melawannya.
Aku
menatap balik si Iblis dan melototinya.
"Hoh, apa akhirnya kau sudah
memikirkan sesuatu? Dari tadi aku sudah menunggu di sini, jadi setidaknya
pastikanlah untuk membuat ini sedikit menyenangkan, mengerti?"
"Kau bicara seperti bisa
membunuhku kapan saja?"
"Tentu saja bisa, karena aku
hebat. Bisa kita mulai sekarang?"
"... Ya, ayo kita mulai"
Menampar
pipiku, kusemangati diriku.
Aku
membawa Hamakaze ke tempat yang terlihat aman terhadap serangan nyasar yang
akan mengenainya dan masuk ke ruangannya si Iblis.
Seketika,
tubuh merahnya melesat ke arah tubuhku.
"Kuh!"
Aku
menyilangkan lenganku dan menahan pukulannya, menurunkan pusat gravitasiku supaya
tak terdorong mundur.
"Ooh? Kuat sekali"
"Berkat kau, aku jadi cukup
kuat juga"
Mengunci
tinjunya, aku pun memutar dan mengangkatnya ke udara. Sebagian tubuhnya
berputar mengikuti lemparan, dia pun mendarat dan menghampiriku dengan pedang
di tangan kanannya.
"Cih!"
Dia
mengincar kakiku. Dipaksa melepaskan tangannya untuk menghindar, aku
tersandung, membuat sikapku hancur. Dia menindaklanjutinya dengan melontarkan
sihir.
"Devil Flame!"
"Cepat sekali!"
Mengabaikan
mantranya, dia langsung mewujudkan bola berapi dan melontarkannya padaku. Tak
bisa menghindarinya, aku langsung terkena serangannya dan terhempaskan ke
belakang.
"Gah!!"
Menabrak
tembok, seluruh tubuhku terasa sakit.
Tentunya,
aku menerima damage karena menghantam
tembok, tapi masalah utamanya adalah tubuhku terbakar. Itu jauh lebih panas
ketimbang Fireball sebelumnya.
Seluruh tubuhku terbakar, tenggorokanku juga terasa terbakar.
"Wahai roh air, berikan aku
karuniamu! Water Ball!"
Kugunakan
sihir tipe air untuk memadamkan apinya.
"Geh!?"
Masih
terbatuk-batuk dan merangkak, aku merasakan tendangan pada tubuhku,
melontarkanku ke udara. Benturannya jauh lebih hebat dari yang bisa Samejima
lakukan.
Tubuhku
terus terbang ke atas.
Lurus
menuju ke langit-langit.
"Memangnya
aku akan menunggu!"
Dia
melancarkan tebasan pedang lainnya padaku.
Aku
tak bisa menghindarinya!
"Wahai roh angin, sayatan udara!
Wind Slice!"
Setidaknya
aku bisa mengurangi kekuatannya dengan membuatnya harus melewati pisau angin
terlebih dahulu.
"Gaaah!!"
Mendorong
tubuhku sampai pada batasnya, aku memaksakan diri untuk bergerak.
Ujung
serangannya menggores pipiku, darah melayang di udara.
Serangannya
meleset!
Mendapatkan
kesempatan, aku menggunakan gravitasi untuk menjatuhkan diri, dan dengan cepat melancarkan
drop-kick padanya.
"Raaaah!"
"Hebat juga! Tapi kau masih
terlalu lemah!"
Akan
tetapi, dia dengan mudahnya menghentikan sernaganku menggunakan satu tangan
rampingnya.
"Tidak mungkin!?"
"Rasakan ini!!"
Kakiku
mengeluarkan suara yang mengkhawatirkan. Mencengkram kakiku, si Iblis
melemparkanku ke tanah.
"Kah....!!?"
Dadaku
terasa sakit, aku tak bisa bernapas dengan baik. Kaki kananku patah dan bengkok
ke arah yang aneh, tulangku menembus kulit.
Rasa
sakit itu menghantamku bagaikan arus yang mengamuk.
"Ahhhhh!!"
"Apa kau ini batu atau sesu—atu!!"
Dia
menusukkan pedangnya padaku. Berguling, aku menghindarinya dan berdiri—tapi
pada akhirnya terjatuh kembali.
Tepat
pada si Iblis.
Kalau.....
kalau aku harus merasakan sakit sebanyak ini,
cepat.... cepatlah....!
"BUNUH AKU!!"
Tiba-tiba
mendengarku yang mengemis untuk kematianku sendiri, si Iblis pun mengerutkan
alisnya.
"Diam!"
Dia
mencoba menjauhkanku darinya, tapi kumanfaatkan sebaik mungkin apa yang bisa
kulakukan dari status strength-ku
yang sangat tinggi dan menempel padanya.
"Cepatlah bunuh! Cepat!
Lakukanlah!"
"Ya, tapi menjauhlah dariku
brengsek!!"
"Dengan senjatamu! Dengan
sihirmu! Cepatlah lakukan!!"
"Dasar bajingan picik!"
Dia
mendorong jauh wajahku dengan tangannya dan melancarkan Devil Flame padaku.
Aku
bahkan sudah tak peduli lagi dengan seberapa panasnya, aku hanya ingin dia
segera membunuhku.
Cepat,
sebelum aku..... pingsan.....
Saat
itu, aku tak bisa melihat si Iblis. Semua yang kulihat adalah kemampuan baru
yang kudapatkan di dungeon.
Meraih
jubahnya untuk yang terakhir kalinya sebelum aku pingsan, aku menempel padanya.
Dasar
jalang, ini belum berakhir!
"Tolong,
lakukanlah......!"
Dengan
mulut yang penuh darah, aku pun meludahkannya seperti mengutuk.
"Ya, dengan senang hati!"
Menanggapinya,
dewa kematian di hadapanku mengangkat senjatanya di atas kepala.
Melihat
itu, aku pun menyeringai.
"....... Aku menang"
Pedang
Iblis pun terhenti.
Dia
diserang oleh rasa ketidaknyamanan. Sedikit keheranan.
Ada
belati yang keluar dari dadanya.
"B.... Bagaimana....!?"
"Wind!"
Sebuah
mantra terselsaikan seolah membenamkan perkataannya, sebuah lubang besar
terbuka pada dadanya.
Si
Iblis pun meludahkan banyak darah, nyaris tak bisa menopang diri dengan pedangnya.
Apa
yang kulihat dari belakang yang mengejutkan si Iblis adalah pemain kunci
pertarungan ini.
"Maafkan aku, maafkan aku,
maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku!"
Budak
berambut hitam yang marah dengan belati berdarah di tangannya. Seseorang yang
hanya mengikuti perintah yang diberikan padannya, Hamakaze Shuri.
"Sudah kubilang.... bukan?
Kalau aku.... akan bertarung, bersamanya....."
Aku
pasti sudah mengatakannya. Dalam pertarungan ini, aku tak berniat untuk
bertarung sendirian.
Aku
sudah berencana untuk bertarung bersama Hamakaze sepanjang waktu ini.
"..... kupikir.... ini
pertarungan satu lawan satu........"
Si
Iblis meringis kesakitan. Bagaimanapun juga, serangan itu sepertinya memang
fatal.
"Memangnya, aku peduli.
Selama..... aku bisa menang......"
"Dasar..... brengsek....."
Tanpa
bisa menyelesaikannya, dia ambruk tak berdaya ke tanah.
Tentu
saja, itu termasuk aku juga, karena aku menggunakan dia sebagai penopangku.
"..... aku akan memberimu
kehidupan baru. Kehidupan..... kedua. Buatlah perjanjian denganku dan.....
jadilah pelayanku.... Binding
Resurrection.....!"
Kugunakan
kekuatan terakhirku untuk mengubah is Iblis menjadi budakku. Dengan itu, aku pun
berhasil lolos dari skenario terburuk.
....
ah, sial. Aku tak bisa bergerak. Semuanya terasa sakit. Aku sudah kehilangan
banyak darah hingga aku hampir tak bisa membuka mata. Ini dingin.
Kematian
datang menjemputku...... aku bersyukur...... mungkin.
Aku
menang melawan seseorang yang lebih kuat dariku. Aku meraih kemenangan dengan
memberikan semua yang kupunya, berpikir dengan hati-hati, dan menggunakan semua
yang kubisa.
Aku
mungkin hampir mati sekarang.... tapi aku masih merasa bangga.
.....
mari puji Hamakaze saat aku hidup kembali.
Merasa
bangga pada diriku sendiri untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku pun mati.
The Forsaken Hero - Volume 01 - Chapter 10 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
3 komentar
bantai min....
ReplyDi tunggu minggu depan...
ReplyLanjut min di tunggu Update nya
Reply