Tiap kali kumengeluarkan napas, sebuah karunia
keluar.
....... Sungguh.
Keesokan harinya.
"Pagi....."
Ucap Nina sembari menggosok mata kantuknya, mulutnya
terbuka lebar karena menguap.
"Selamat
pagi."
Bersikeras untuk tak melihat tubuh telanjang
bulatnya, kubalas balik sapaannya.
"Masih
ngantuk, nih..... kau sangat berisik semalam......"
Mengeluh, dia pun mengulurkan lengannya, dan goyangan
pepohonan saat mencondongkan dedaunan ke arahnya pun meneteskan embun pada
telapak tangannya. Sesudah membasuh wajahnya, hembusan angin pun menyeka sisa
air di wajahnya. Lalu, sutra yang sebelumnya dilontarkan ke cabang pohon pun
melayang dan menyelimuti tubuhnya Nina, dan berubah menjadi pakaian.
Seperti biasa, sihir memang mengagumkan.
Supaya memudahkan, kuputuskan untuk memanggilnya ras
Elf, karena mau itu kemampuan, gaya hidup, atau karakteristik fisiknya
sangatlah berbeda dari desain yang dikeluarkan oleh Tolkien, seorang novelis
abad ke 20—bahkan mereka pun berbeda dari berbagai Elf yang terdapat dalam
mitologi Nordik, álfr.
Rasanya mungkin lebih tepat untuk memanggil mereka dyrads atau nymphs, tapi aku juga tidak
harus menyesuaikannya dengan mitologi Bumi. Lagian, dia hidup di dunia ini dan
juga merupakan eksistensi dunia ini.
"Jadi,
yang kau pikirkan itu apa? Akademi?"
"Benar.
Aku ingin kau membantuku untuk membangunnya, Nina."
Sembari mengikat rambut emasnya dengan helaian
rumput, dia menanyaiku soal apa yang kupikirkan semalam.
Aku mengangguk—bantuannya sangatlah penting buat
akademi yang kubayangkan.
"Aku
sih, sama sekali tidak keberatan."
Hidup Elf kelihatannya sangatlah monoton.
Karena alasan itu juga lah dia berhubungan dengan
naga aneh sepertiku ini. Meski kupikir itu artinya dia juga bisa hidup tanpa
harus bekerja.
"Tapi
yang jelas, akademi itu apa?"
"Akademi
ialah tempat di mana kau tinggal dalam waktu yang lama, tempat untuk mengajar
para pemuda mengenai dunia. Orangtuamu juga mengajarimu soal dunia, ‘kan?"
"Yah....
begitulah."
Dia pun mengangguk sembari memiringkan kepalanya ke
samping saat mengingat masa lalunya.
"Manusia adalah ras yang jauh
lebih muda ketimbang ras-mu. Saat tiba di mana mereka membutuhkan sesuatu untuk
bertahan hidup, mereka tidak mengetahui apa-apa. Jadinya, aku akan membangun
akademi sihir, dan mengajari mereka sihir."
".....
Sihir?"
Sihir merupakan kata lain yang tidak ada dalam bahasa
Elf. Nina mengatakan kembali padaku kata yang kuucapkan dalam bahasa Jepang.
"Nina,
caramu memanipulasi pepohonan juga termasuk sihir"
"Eh—"
Matanya terbelalak karena terkejut.
"Kau
bilang, mengajarkannya.... tapi bagaimana?"
Dia kelihatan seolah tak tahu bagaimana cara
melakukannya.
"Nina,
bagaimana cara kau melakukannya?"
"Bagaimana......?"
Berkata begitu, Nina melihat pada sebuah pohon dan
mengulurkan tangannya ke arah pohon tersebut.
Pohon tersebut pun bergemeresik dan menempatkan
ranting pada telapak tangannya, hampir serupa seperti dia memberikan perintah
untuk [Bergoyang], seperti yang mungkin bisa diperintahkan pada seekor anjing.
"Seperti
itu."
Nina yang kesusahan pun mengerutkan alisnya. Dia
tidak bisa memberikanku penjelasan yang lebih detail lagi.
Begitu, ya. Jadi bagi dia menggerakkan pohon itu
bagaikan menggerakkan anggota tubuhnya sendiri.
"Kau
sendiri pasti akan bingung kalau aku tanya bagaimana caranya kau bernapas api,
‘kan?"
"Ah.
Jadi itu juga sihir."
Saat aku memikirkannya, sekarang sudah agak jelas.
Bernapas adalah sesuatu yang dilakukan untuk mengambil oksigen, tapi bagaimana
aku bisa melakukannya kalau paru-paruku dipenuhi dengan api? Itu tidak mungkin.
Jadi sudah jelas, kalau itu juga adalah sihir.
Namun dia ada benarnya juga. Aku tidak mampu
menjelaskan padanya bagaimana caranya aku bisa mengeluarkan napas api. Buatku
itu sama halnya dengan bernapas biasa. Bahkan aku sendiri tidak merasakan
panasnya. Meski fakta itu sendiri kerap kali membuatku lupa kalau aku ini
bernapas api.
"Nina.
Bisa kau gerakkan tanganmu tanpa harus menggerakkan pepohonannya?"
"Tentu."
Saat aku kepikiran sesuatu dan menyuruh Nina untuk
mencobanya, dia pun segera menggerakkan tangannya. Sudah kuduga, tindakannya
sendiri bukanlah persyaratan untuk menggerakkannya. Artinya, aku juga
seharusnya bisa bernapas api atau tidak bernapas api.
"Kali
ini bisakah kau coba untuk menggerakkannya?"
"Tentu."
Kali ini, Nina hanya menatap pepohonannya tanpa
mengubah sikapnya.
Ranting pohon pun menggeliat-geliut, bregoyang ke
atas dan ke bawah.
"Apa
ada hal lain yang kau lakukan?"
"Eng,
aku.... membayangkannya?"
Jadi semuanya itu soal penggambaran, ya? Ayo kita
coba.
Kupejamkan mataku dan membayangkan diriku sebelum
bereinkarnasi, saat tubuhku masihlah manusia.
Sebuah badan dengan dua kaki. Punggung tanpa sayap.
Leher yang tegak.
Kutarik napas secara perlahan-lahan, udara pun
menerjang memenuhiku.
Lalu, sembari tetap membayangkannya dalam
benakku..... kuhembuskan napas.
"Kyaah?!
Apa yang kau lakukan?!"
"Ah!
Maaf!"
Panik, aku mengeluarkan napas api yang mulai
menyebar ke pepohonan.
Kelihatannya tak bisa dilakukan semudah itu.
***
Gemertakan kayu bakar pun membuat suara letusan
kecil.
"Jadi
kau makan daging, ya....."
"Hmm?
Apa kau bilang sesuatu?"
Nina yang tengah menggigit daging rusa panggang pun
begitu menikmati cita rasanya.
"Kau
tidak berpikir kasihan atau semacamnya, ya?"
"Hah?"
Mendengar pertanyaanku, Nina pun memiringkan
kepalanya ke samping dan menjawab seolah aku baru saja mengatakan sesuatu yang
aneh.
"Ah,
maaf. Bukan apa-apa, kok."
Kurasa itu tanggapan yang normal? Itu hanyalah
pemikiran yang cuma dimiliki oleh perhimpunan yang banyak. Tapi sungguh terasa
seperti mimpi saja melihat seorang Elf jelita yang menyantap potongan besar daging
panggang dengan rakusnya.
Biarpun aku bilang begitu, tapi aku ini bahkan lebih
buruk dalam hal keduniawian.
Mempunyai tubuh naga bahkan mengubah seleraku,
biarpun masih mentah tapi tetap enak.
Cairannya merembes keluar dari daging saat terbakar oleh
api di tenggorakanku. Lezat sekali.
Sembari mengunyah daging rusa, aku memikirkan
mengenai sihir.
Kelihatannya sihir di dunia ini bukanlah sesuatu
yang memerlukan mantera ataupun gerakkan untuk mengaktifkannya. Sama halnya
dengan pernapasan.
Menyamakan memanipulasi sesuatu dengan bebas dengan
membayangkan tangan memanglah sulit.
Melihat bunga yang berhasil tak terbakar, menahan
keinginanku untuk mengeluh.
Padahal aku sudah sampai bisa menggerakkan sayapku
dengan bebas.
Aku tidak mempunyai sayap maupun ekor saat masih
jadi manusia, jadi mereka sesuatu yang membuatku bingung saat aku lahir.
Tapi setelah beberapa tahun, aku pun sudah terbiasa.
Bahkan saat ini aku sudah merasa nyaman. Aku sekarang bisa menggunakanya dengan
wajar layaknya menggunakan tanganku.
.... Hmm?
Tiba-tiba aku mempertanyakan pemikiranku sendiri.
..... Apa ini benar-benar seperti membayangkan
menggerakkan tangan?
Kini, aku mempunyai sayap sehingga aku bisa terbang
tinggi di langit, sisik-sisik yang melindungi tubuhku, dan taring yang membuatku
bisa mengunyah utuh rusa.
Kalau memang begitu.....
Bukankah ada beberapa organ dalam tubuhku juga yang membuatku
bisa bernapas api?
Sekali lagi kupejamkan mataku.
Kali ini, aku membayangkan diriku bukan sebagai
manusia, melainkan sebagai naga.
Di mana sumber apiku?
Di tenggorokanku?
Bukan. Daging rusa yang kumakan sebelumnya bahkan
terbakar setelah melewati tenggorokanku.
Kalau begitu, apa di paru-paruku?
Tapi biarpun aku berhenti bernapas, api masih keluar
berkelap-kelip dari mulutku.
Kalau begitu.... apa di dalam perutku? Saat aku
berpikir begitu, aku merasakan sesuatu yang aneh.
Rasanya ada sesuatu yang panas di dekat perutku.
Membayangkan untuk menghalanginya, aku pun menunduk
dan menghembuskan napas.
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 04 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia