Saturday, April 7, 2018

The Forsaken Hero - Volume 01 - Chapter 15 Bahasa Indonesia


Chapter 15 – Trance Labyrinth ③




Di tempat penginapan kami, Wrystonia Moon, hari sudah malam.

Menginap dua hari termasuk sarapan dan makan malam merogoh kocek sebesar 10.000 Col. Aku bisa tahu dari papan quest Guild Petualang yang kulihat sebelumnya, tapi ini memang penginapan yang cukup bagus.

Menaklukkan 50 Rigal dihadiahi 5.000 Col. Bayaran yang sangat murah.

Kami menginap di sini pun berkat Leadred.

Dan kini, Leadred tengah berdiri di hadapanku dengan pakaian pelayannya. Aku bahkan tak bisa berkata apa pun.

            "Selamat datang kembali, Pahlawan, Shuri."

Alasan nada dan cara bicarannya jadi biasa kembali karena aku menyuruhnya.

Maksudku, mana mungkin aku akan terus membiarkannya begitu.

Berkata begitu, dia pun memilih untuk berbicara padaku layaknya ‘teman lelaki’. Atau mungkin dia memang lebih suka berbicara begitu?

Namun ia tetap bersikeras ingin memanggilku Pahlawan, yang memusnahkan harapanku.

            "Aku kembali. Maaf kalau memang mendadak, tapi kita akan mulai pergi ke dungeon lusa—"

            "Pahlawan,"

Ucap Leadred, menyelaku.

            "Hm? Ada apa?"

            "Sebenarnya aku berhasil memperoleh informasi bagus."

Dia mengeluarkan selembar kertas dari sakunya, dan menyerahkannya padaku.

Leadred bilang bahwa hari ini dia diam-diam pergi untuk mengumpulkan informasi. Mungkin mencari sesuatu yang kemungkinan akan menggangu kita untuk menaklukan dungeon.

Mengesampingkan pemikiran tersebut, kulihat kertas tersebut.

            "..... Eh?"

Saat baru kubaca separuhnya, aku pun terkejut.

Kau pasti bercanda.... hei, yang benar saja.....

            "Hah..... ahahahaha!!"

Aku tak bisa menahan tawaku.

Ini sangat lucu.

Sangat hebat.

Ini pasti yang orang sebut kuasa tuhan.

            "Daichi? Apa yang tertulis dikertasnya?"

Shuri melihat kertas tersebut dari belakangku. Aku pun menyerahkannya padanya.

            "Lihat saja sendiri."

Mengambilnnya, dia pun membacanya.

Dia pun sama terkejutnya denganku.

Itu adalah arahan perekrutan untuk menjadi pengawal.

Namun, bukan untuk mengawal seseorang yang penting semacam pedagang atau bangsawan, melainkan untuk mengawal—

[Quest mengawal Pahlawan. Kami mencari orang-orang yang ingin bekerja sebagai pengawal untuk menjelajahi Trance Labyrinth. Status sosial tidak diperlukan, hanya diperlukan kekuatan saja]

—Para Pahlawan yang Malang, teman-teman sekelasku.

            "Jadi, Rencana Memperbudak Pahlawannya seperti apa?"

            "Kita biarkan saja Samejima hidup, jangan membunuhnya dulu sebelum kita membunuh rekan-rekannya satu per satu, atau mungkin mengurungnya? Mereka pasti akan saling meragukan dan menyalahkan antar satu sama lain"

            "Terus, akan kubunuh mereka dan menjadikannya budakku. Dengan begitu, dendamku selama beberapa tahun terakhir ini akan bisa terbalasakan, dan mempekerjakan mereka sekeras-kerasnya. Aku bisa menjual perempuan ke rumah pelacuran kalau sudah bosan, aku juga bisa melepaskan mereka kalau sudah tak layak jadi budak. Dengan berbuat begitu, aku bisa melihat mereka yang jauh lebih menderita, bagaikan membunuh dua burung dengan satu batu"

            "Kedengarannya bagus."

            "Baiklah!"

[Pahlawan kehilangan semangat juangnya. Mereka perlu membiasakan diri dengan dungeon, dan menaklukannya supaya bisa memperoleh kepercayaan dirinya lagi, maka dari itu mereka pun mencari para pengawal untuk membantunya]

Menyimpulkan keseluruhan cerita yang didengar Leadred, pada dasarnya itulah yang terjadi.

Kalau itu kerajaan ini, para pengawalnya pasti akan diperlakukan sebagai tameng.

Pion bisa dibuang kapan pun saat situasi berbahaya terjadi.

Para petualang di kota pun nampaknya menyadarinya juga, jadi sepertinya belum ada sama sekali yang mengajukan diri.

Maksudku, kalau kau memang cukup percaya diri akan kemampuanmu untuk jadi pengawal mereka, bukannya lebih baik kau taklukan saja dungeon itu sendiri? Mestinya semua orang tengah berpikir mengapa mereka mesti repot-repot melakukan sesuatu yang merepotkan untuk menjadi pengawalnya para Pahlawan?

Aku heran, apa si Gringer brengsek bahkan menyadarinya? Kalau tidak, maka dia hanyalah seorang raja bodoh karena mengeluarkan quest seperti ini.

Pembicaraan kami pun berlanjut hingga sepakat untuk menerima quest menggelikan tersebut. Bagi kami, jawabannya sudah jelas.

Kami punya dendam terhadap para Pahlawan tersebut.

"Nah, sekarang akan kuputuskan apa yang mesti kita lakukan. Aku sendiri yang akan menerima quest tersebut. Kalian beruda akan pergi ke labirin. Ada yang keberatan?"

            "Eeh?! Aku tidak pergi bersamamu?"

            "Daichi! Bagaimana denganku?"

            "Benar. Shuri, mereka ini mengenali wajahmu. Dan kau, kau ini bahkan bukan manusia."

            ".... Oh, baiklah"

            "Benar, aku tak boleh egois"

Keduanya pun menyerah. Akan tetapi, setimpal dengan apa yang tak bisa kulakukan, karena para perempuan punya banyak hal yang perlu mereka persiapkan.

Ini ada hubungannya dengan apa yang kupikirkan saat mendengar soal hal ini. Aku sudah mengutuk para bajingan itu, dan memikiran cara untuk membalasnya setiap harinya, jadi aku punya banyak ide mengenai apa yang harus kulakan terhadap mereka.

Kali ini, kurasa aku akan menggunakan cara itu.

Tapi, aku masih punya banyak hal yang perlu aku periksa bersama Leadred sebelum aku bisa melakukannya.

            "Leadred, ada yang ingin aku tanyakan padamu. Bisakah kau menjawabnya?"

            "Ya, tentu saja. Akan kujawab apa pun yang kuketahui"

            "Baguslah. Kalau begitu, pertama....."

Aku pun mulai menjelaskan padanya skenario balas dendam yang sudah kususun dalam benakku. Mendapatkan sarannya dan memeriksa dengan tepat apa yang mesti aku lakukan, aku menyatukan semuanya.

Kami pun terus melakukannya berulang kali hingga rencana tersebut sempurna.

Sudah dini hari saat kami akhirnya puas dengan rencananya, dan kami pun pergi tidur.




Tubuhku menggigil, dan hangatnya sinar mentari pun tembus lewat tirai yang terbuka, aku pun membuka mataku.

Karena suatu alasan, kelihatannya Shuri membangunkanku.

            "Selamat pagi, Daichi."

            "Pagi."

Mengusapa mataku, aku menyapanya balik.

Aku tidak tidur terlalu lama, tapi aku sudah berisitrahat dengan cukup.

Tak boleh lengah sedikit pun saat berada di dungeon. Apalagi, dengan lantainya yang keras membuat lingkungannya tidak baik untuk mental maupun fisik.

Dibandingkan dengan tempat tersebut, aku punya tempat tidur yang empuk di sini. Hidupku juga tak berada dalam bahaya. Kalau harus dibandingkan, rasanya tak terlalu berlebihan untuk menyebut tempat ini surga.

"Kelihatannya kau beristirahat dengan cukup baik!"

            "Eh, yah. Kurasa aku bisa tidur di mana pun selama itu bukan di dungeon."

            "Ya."

Dia tersenyum setuju.

Melihat senyumannya, aku pun memeluk tubuh kecilnya. Bukan melawan, dia menetap dalam pelukanku.

Kubenamkan wajahku pada lehernya, dan sedikit mencium aroma manis khas wanita

            "Enaknya......"

            "Daichi, hari ini banyak yang harus kita lakukan, jadi bukankah seharusnya kita segera bergegas?"

            "Aku perlu mengisi ulang Shurinium-ku. Ini obat yang mantap. Memberiku keberanian."

            ".... Ya sudah, kalau begitu"

Kelihatannya dia memahami apa yang ingin kukatakan.

Aku tak ingin mengatakannya karena itu menyedihkan, aku sangat bersyukur kalau dia mempertimbangkan perasaanku seperti itu.

Beberapa menit kemudian, aku pun melepaskan Shuri.

Sesudah sarapan, kami pun berpisah jadi dua kelompok. Aku sedikit sedih karena untuk sementara kita tak bisa bertemu, tapi kukendalikan diriku dan menepuk kedua pipiku.

            "Pahlawan. Mari kita sama-sama berjuang agar bisa tersenyum saat bertemu kembali."

            "Daichi, berjuanglah."

            "Aku akan menemui kalian berdua di sana. Jangan terlalu memaksakan diri."

            "Aku tahu."

            "Jangan khawatir, aku akan melindunginya. Dah."

Berkata begitu, keduanya pun membawa barang bawaannya dan meninggalkan penginapan.

Usai melihat mereka pergi hingga tak terlihat lagi, aku pun mulai melakukan tugasku.

Kemarin aku sudah mengirimkan surat ke istana kerajaan yang menyatakan bahwa aku ingin menerima pekerjaan sebagai pengawal, dan mereka pun membalasnya dengan mengatakan bahwa mereka ingin aku mengikuti tes pag ini.

Mereka ingin menguji kemampuanku.

Aku menggunakan pedang panjang besi dengan armor kulit, terlihat seperti seorang petualang. Aku mempunyai ramuan pada kantongku untuk keadaan darurat, bersama dengan ramuan herbal untuk mengobati racun dan kelumpuhan.

Dan kini, tepat di depanku, ada seseorang yang kubenci—Ginger.

            "Jadi kau Yuuji, ya?"

Yuuji adalah nama samaran yang kupikirkan. Itulah nama yang kudaftarkan di Guild Petualang kemarin, jadi tidak akan ada masalah untuk menggunakannya.

Ngomong-ngomong, aku berhasil menyempatkan diri untuk mendaftar saat kami pergi berbelanja. Aku tak tahu kalau di sini kau tidak akan bisa membeli barang kalau tidak terdaftar di guild. Berkat itu, aku mempunyai kenangan memalukan lainnya.

Di samping itu, dia pun memanggil namaku, jadinya kurasa tidak akan ada masalah bahkan bagi seorang pendatang baru sepertiku. Mungkin bagi mereka sebenarnya lebih mudah untuk mengurusi orang-orang yang akan dijadikan tameng.

            "Ya, saya Yuuji. Saya ingin membantu, jadi saya mendaftar"

Menyembunyikan pikiranku sebenarnya, aku pun memainkan peranku dan menundukkan kepalaku.

            "Hmph. Kalau begitu, perlihatkanlah kekuatanmu. Bagaimanapun juga, kami akan mempercayakan orang penting padamu"

            "Ya, dengan senang hati..... apa yang harus saya lakukan? Apa saya harus menunjukkan sihir saya?"

            "Sudah, tenang saja. Aku hanya perlu melihat seberapa kuat dirimu."

            "Baiklah. Kalau begitu, akan saya tunjukkan sekarang."

Semua berjalan seperti yang direncanakan, aku berulang kali menggunakan sihir tingkat roh dan akhirnya berhasil mengeluarkan Flame Ball, sihir tingkat jiwa.

Aku membandingkan kemampuan Samejima dan yang lainnya dengan menggunakan akal sehat dunia ini, dan menyesuaikan kekuatanku agar berada sedikit di atas kelas bawah agar tak menimbulkan kecurigaan.

Bisa dibilang kalau itu sudah cukup untuk memuaskan si raja bodoh itu.




Menerima pemberitahuan kalau aku diterima, aku pun dipandu oleh salah satu prajurit kerajaan. Dari apa yang dikatakannya, kita akan segera berangkat sekarang juga. Kelihatannya prajurit ini dan aku akan saling bergantian untuk mengurusi mereka.

Itu malah memudahkanku. Mencekiknya supaya tidak akan ada jejak darah saat kami hanya berdua, aku membuatnya menjadi bawahanku. Aku ingin menggunakan orang dalam supaya rencanaku bisa berjalan dengan lancar.

Mengesampingkan kemalangannya, ternyata dugaan kami mengenai kerajaan yang berusaha membuat para Pahlawan supaya bisa cepat mendapatkan kembali martabatnya ternyata memang benar.

Dugaanku ternyata benar, jadinya aku tak perlu menambahkan apa pun.

Sesudah dia menjelaskan berbagai hal mengenai tugas kami, kami pun berjalan melewati koridor yang panjang dan sunyi tanpa ada seorang pun di sana.

            "Ada empat Pahlawan yang akan menjadi tanggung jawabmu, Daichi."

            "Hanya empat?"

Sangat sedikit dari yang kuduga. Hanya ada 4 dari 29, ya.....

            "Benar, karena masih banyak para Pahlawan yang ketakutan dari penjelajahan terakhir.... sebagian besar dari mereka masih menahan rasa sakit itu dalam benaknya."

            "..... Menyedihkan."

Padahal akulah orang yang dimakan oleh para demon karena ulah kalian semua.....

Lebih baik hentikan. Aku jadi terlalu marah.

Aku mengepalkan tanganku dan menahan amarahku.

            "Terus, apa keempat orang itu adalah orang-orang yang sudah menyingkirkan rasa sakitnya?"

            "Ya, selain mereka, ada 10 orang lagi. Kali ini mereka dibagi menjadi 3 kelompok supaya mereka bisa mendapatkan pengalaman yang lebih efisien. Kelompok yang akan ditanggung jawabkan padamu dalam keadaan baik-baik saja."

            "Oh, sayang sekali."

            "Apa yang kau.... ah, kita sudah sampai."

            "Baik. Kau bisa pergi sekarang.... Benar. Selesaikanlah persiapannya agar kita bisa segera pergi."

Berkata begitu, aku menyuruh pergi prajurit itu.

            "Baik. Kalau begitu, permisi."

Dengan membungkuk, pria itu pun pergi.

..... Mereka takkan menyadariku, ‘kan?

Aku masih sediki cemas, tapi aku berhasil mayakinkan diriku kalau mereka takkan bisa menyakitiku.

            ".... Baiklah."

Aku menghadap pintu masuk. Begitu kubuka pintu ini, mereka akan berada di sana.

Orang-orang yang sudah menghancurkanku dan membuang Shuri.

.... Pagi ini aku sudah memperoleh banyak kekuatan dari Shuri.... aku pasti bisa. Aku takkan menunggu.

Menempatkan tanganku pada gagang pintu, aku menghela napas.

            ".... Sudah waktunya."

Memutar gagang pintunya, aku pun membuka pintunya.

Ada seorang pria berambut hitam, seorang gadis berambut pirang, seorang gadis berkacamata dengan rambutnya yang dikepang, dan seorang gadis yang rambutnya diikat ke samping.

Aku tak melihat Samejima di sana.

Tapi tak apa.

Akan kupastikan supaya dia mendapatkan hukuman terbaik.

Tidak akan menarik kalau aku tak menyimpannya untuk bagian terakhir.

Sebelum aku sampai pada bagian terakhir, bukankah seharusnya aku bersenang-senang dulu dengan orang-orang ini?

Dengan ini, dimulai—mari mulai drama balas dendam kita.


⟵Back         Main          Next⟶



Related Posts

The Forsaken Hero - Volume 01 - Chapter 15 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh