Chapter
10 – Mantera Sihir
Pelafal sihir
yang mahir,
yakni seorang
penyanyi yang mahir.
".....
Ada satu di sini......"
Sembari dengan sangat, sangat
berhati-hati berjalan menyusuri dedaunan hutan, akhirnya aku menemukan
buruanku. Seekor rusa.
Meski aku menyebutnya rusa, tapi
itu bukan salah satu rusa yang kuketahui. Rusa yang satu ini mempunyai pola
geometris yang mencolok di sekujur tubuhnya, tanduk yang terlihat heroik, dan merupakan
makhluk yang sanggup dengan mudahnya menumbangkan pohon hanya dengan
mendorongnya saja.
Baik itu aku atau Beruang Berjirah,
bukankah binatang liar di dunia ini terlalu banyak mempunyai keefektivitasan
untuk bertarung?
"Ai.
Bisa kuserahkan itu padamu?"
"Ya.....!"
Saat kuberbisik pada Ai yang berada
pada punggungku dan merasa dia mengangguk, pepohonan di hadapan rusa pun
bergemeresik. Menyadari bahwa gemeresikan pepohonan itu bukan karena disebabkan
oleh angin dengan indranya, secara spontan si rusa pun melompat mundur.
—Dengan kata lain, rusa itu menuju
ke arah kami.
Memanfaatkan kesempatan itu, aku
melompat keluar dari semak-semak dan mengayunkan cakarku. Tetapi, tepat sebelum
aku bisa mengenainya, rusa tersebut dengan cepat merubah arahnya dan menghindari
ayunan cakarku.
"Meleset!"
Melebarkan sayapku, aku
menyerangnya dengan hembusan udara dari kepakakkan sayapku. Walaupun rusa
tersebut sempat kehilangan keseimbangan sejenak, ia menghilang ke dalam hutan
sebelum aku bisa mengejarnya.
"Gagal
lagi, ya....?"
"Maafkan
aku, Mentor....."
"Oh,
tidak, ini bukan salahmu. Ini karena kelalaianku."
Sedari awal aku kurang mahir dalam
berburu.
Sampai-sampai aku hanya akan
berhasil 1 dari 10 kali percobaan dengan usaha terbaikku.
Namun berkat bantuannya Ai, aku
sudah sampai bisa berhasil 1 dari 7 kali percobaan, jadi jelas ini bukan
kesalahannya.
Walaupun bukan......
"Apa
yang harus kulakukan......"
Cara hidup kita saat ini membingungkanku.
Di pemukiman Ai, semuanya ada 16
orang. Ditambah aku, Nina, dan Ai, maka semuanya jadi 18 orang dan satu
binatang yang cukup besar.
Sekalipun aku bisa menutupi bagian
kami bertiga dengan tingkat keberhasilan berburuku saat ini, sulit jika harus
mengurusi orang sebanyak itu.
Tentunya, hingga sekarang mereka
sanggup hidup di dunia ini. Hanya saja, biarpun mereka sanggup hidup dengan
cara mereka tersendiri, mereka masih kekurangan nutrisi.
Dan mereka tak mempunyai waktu
untuk melakukan hal lain dalam hidupnya.
Di pagi hari mereka akan berburu
saat matahari terbit, dan tidur saat matahari terbenam. Hampir seperti itulah
kehidupan mereka. Biar begitu, masih perlu dipertanyakan apa mereka punya cukup
makanan untuk dimakan atau tidak. kebanyakan dari mereka mati karena kelaparan,
setengahnya adalah anak-anak berusia 16 tahun.
Rasanya sediki menyedihkan, karena
mempunyai waktu untuk pendidikan itu sendiri pun merupakan kemewahan yang tidak
mereka punyai.
"Baiklah,
kita sudahi saja untuk hari ini dan pulang."
".....
Baik."
Ucapku pada Ai saat melihat
matahari yang sudah berada di tengah langit.
Pendapatan hari ini adalah
kacang-kacangan, ikan, dan kerang-kerangan. Pendapatan yang seperti ini memang
cukup stabil ketimbang mendapatkan buruan besar, namun fakta bahwa itu mudah habis
jika dipanen secara berlebih membuatnya sulit, jadi aku hanya mengambil
seperlunya saja.
"Aku
pulang."
"Selamat
datang kembali."
"Selamat datang kembali~!"
"Selamat datang kembali!"
Saat kami kembali ke gua, Nina dan
anak-anak menyambut kami. Mendengar limpahan sambutan yang ramai, aku pun
tersenyum.
Kemampuan belajar anak-anak benar-benar
membuatku terkejut. Walaupun kami pindah ke gunia ini belum terlalu lama,
mereka sudah mulai menghafal ungkapan sederhana.
"Kau
masih belum bisa menangkap buruan besar juga hari ini, ya?"
"Ya.....
maaf."
"Bukannya
aku sangat keberatan....."
Mengambil hasil buruan dariku, Nina
segera memasukkannya ke dalam guci.
"Sungguh,
bukannya lebih baik kalau aku ikut bersamamu?"
Mendengar pertanyaan Nina, aku pun
mengeluh.
Memang benar, keefisienan berburuku
akan meningkat drastis kalau dia ikut.
Pada dasarnya, Elf adalah anak-anak
hutan.
Mereka mampu merasakan makhluk
hidup jauh lebih tajam ketimbang makhluk liar manapun dan bahkan mampu membuat resah
serangga, belum lagi mereka bisa menjebak buruannya dengan menggunakan
pepohonan di sekitarnya. Kalau aku pergi bersamanya, bahkan kemampuan berburuku
yang payah ini akan bisa meningkatkan keberhasilan tiap kali percobaannya.
"Aku
ingin mencobanya sedikit lebih lama lagi bersama Ai. Aku juga ingin kau
menangani tempat ini sedikit lebih lama lagi."
Biarpun begitu, aku punya alasan
kenapa tak ingin membawa Nina.
"Tolonglah
lindungi anak-anak."
"Aku
tak punya banyak pilihan, bukan?"
Nina pun menyetujuinya, meski mengembungkan
pipinya karena tak senang.
Dia dan akulah satu-satunya yang
mampu berbuat sesuatu jikalau pemukiman ini diserang.
Aku akan merasa cemas kalau kami
berdua pergi.
Walaupun takkan kenapa-napa saat
aku mengajak Ai berburu, sebab sekarang ceritanya lain lagi karena ada 8
anak-anak lainnya yang mesti dipikirkan. Belum lagi kenyataan bahwa dua di
antaranya masih bayi.
"Sihirnya
Ai juga terus-terusan meningkat, jadi seharusnya sudah cukup lebih baik."
Selama kita semua bisa tetap hidup,
semuanya akan meningkat dan jadi makin baik.
Setidaknya, itulah yang kuyakini. Demi
itu, aku sama sekali tak boleh membiarkan anak-anak ini mati dengan mudahnya
karena mereka mungkin bisa mudah sekarat bahkan di saat-saat terbaik sekali pun.
"Bagaimana
kalau kita mulai pelajaran hari ini?"
Saat kuberkata begitu, semua
anak-anak mengangkat tangannya dan berteriak gembira.
Mungkin karena seselesainya
pelajaran aku memberi mereka buah beri, tapi pada dasarnya mereka semua sangat
bersemangat untuk belajar. Fakta bahwa adanya Ai, seorang gadis yang belajar
sihir dariku, mungkin juga mempunyai peranan besar. Beberapa orang dengan tekun
mempelajari kata-kata baru dari Nina bahkan selama aku tidak ada di sini,
bahkan ada anak yang berhasil menggunakan sihir sederhana.
"Mentor!
Api, muncul!"
Seseorang yang meningkat paling
cepat di antara mereka adalah seorang anak muda bernama Ken.
"Oooh,
kerja bagus! Kau mengagumkan, Ken."
Bisa dibilang kalau dia terlihat
sedikit lebih muda dari Ai.
Walaupun tingkat pemahamannya tak
sejenius Ai, dia masih terbilang cukup cepat. Dia menerima semua yang kuajarkan
padanya secepat yang bisa kutunjukkan padanya. Konsep [Energi] kelihatannya
sangat sulit untuk dipahami mereka, anak-anak selain Ken juga bisa melakukannya
dengan baik jika hanya sedikit menggerakkan daun.
Selagi anak-anak belajar dengan
bersemangat, permasalahannya adalah orang-orang dewasa.
Walaupun dikarenakan kesibukan
mereka yang harus berburu, mereka sama sekali tak berusaha mempelajari
kata-kata apa pun, apalagi sihir.
Terusng terang saja, saat ini sihir
tak terlalu berguna. Walaupun berbeda bagi orang yang mampu menanganinya dengan
terampil seperti Nina, bahkan tingkatan sihirnya Ai pun tidak bisa dugunakan
untuk banyak hal. Jikalau itu adalah sesuatu seperti menggemeresikkan
pepohonan, seorang pria atau satu lenganku saja sudah cukup untuk melakukannya.
Sihir apinya juga tak mampu membakar kayu bakar. Satu-satunya yang bisa
menghasilkan api yang mampu menyalakan hal-hal lainnya hanya aku dan Nina.
Namun bukan seolah-olah mereka
berusaha menghalang-halangiku untuk mengajari anak-anak, tapi setidaknya aku
ingin mereka belajar berbicara.
Aku sudah meminta Ai untuk mengajariku
bahasa yang dipergunakan mereka, tapi itu tidak begitu berguna.
Bagaimana cara bergerak saat pergi
berburu, apa yang mesti dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana
melakukan hal-hal yang spesifik.... kalau mereka tak mengumpulkan pengetahuan
semacam itu, maka bagaimanapun juga, tidak ada artinya aku mengajari mereka
bahasa.
Mereka semua hidup bersama dan
kebanyakan saling berbagi, itulah sebabnya isyarat-isyarat sederhana saja sudah
cukup untuk mereka. Dari awal, mereka tidak punya alasan menggunakan kata-kata
untuk menjelaskan berbagai hal tersebut pada orang lain.
Yah, bukannya aku memahami seluruh seluk-beluknya
dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan, aku belajar apa yang mereka ketahui
juga mungkin tidak banyak gunanya. Perawakanku sangat berbeda dari mereka. Kalau
aku, seseorang yang bukan manusia, menjalani hidup dengan cara yang sama
seperti mereka, aku mungkin tak mengalami hal-hal yang sama.
Kerena itulah, sekali pun aku ingin
mereka belajar bahasa, sesuatu yang mungkin bisa membuat mereka mengobrol
dengan orang-orang yang mempunyai beberapa nila-nilai yang berbeda, aku belum
sanggup menyampaikan seberapa bergunanya bisa menggunakan bahasa pada mereka
karena mereka belum mengetahui bahasa.
"Api! Muncullah! Api! Muncullah!"
Saat aku tenggelam dalam pikiranku,
Ken dengan senangnya menyalakan dan mematikan api. Kalau dipikir-pikir, aku
juga terus bersenang-senang dengan api yang keluar dari mulutku tepat setelah
aku bereinkarnasi ke dunia ini, bukan?
Anak-anak senang bermain dengan
api.
"Ken,
walaupun itu tidak panas, kau seharusnya jangan......"
Kau seharusnya jangan terlalu
banyak bermain dengan api.
Saat aku hendak menegurnya, aku
terkejut.
Api yang dibuatnya jauh lebih panas
ketimbang biasanya.
Kalau api yang dibuat Ai seperti
air hangat, maka miliknya pasti lebih seperti air panas.
"Ken?!
Bagaimana kau melakukan itu?!"
Secara spontan aku berteriak begitu,
membuat Ken ketakutan saat dia mematikan api.
"Maafkan
aku, aku bukan marah. Tidak apa-apa. Bisakah kau mencoba menyalakan api-nya lagi?"
Mengangguk, Ken pun dengan penuh
rasa takut menyalakan apinya lagi. Apa yang muncul di atas telapak tangannya tidak
berbeda jauh dengan apa yang Ai ciptakan.... tidak, sebenarnya suhunya agak
rendah.
"Hah?
Bisakah kau membuat api yang sama seperti yang tadi?"
Saat aku bertanya begitu pada Ken,
dia terlihat kesulitan.
"Kenapa......?
Apa dia seperti kehabisan MP atau semacamnya.....?"
Walaupun sampai sejauh ini aku tak
begitu mengkhawatirkannya, aku tidak pernah breanggapan bahwa sihir adalah
sesuatu yang bisa digunakan tanpa adanya semacam bayaran. Mungkin menggunakan
tekad, mana, atau yang serupa dengan bahan bakar.
"Bukannya
karena dia sekarang tidak mengatakan ‘api, muncullah’?"
Sindir Nina sembari terus
membersihkan sisik-sisik ikannya dengan pisau batu saat aku tengah berpikir
keras.
"Tidak,
mana mungkin.... sebegitu.... sederhananya?"
Setengah meragukan diriku sendiri,
aku pun mendesak Ken untuk mencoba melakukannya.
"Api..... api, muncullah!"
Api pun muncul dari telapak tangan
Ken saat dia meneriakannya dengan penuh semangat.
Itu bukan hanya ilusi yang terbentuk
oleh panas dan cahaya, melainkan api sesungguhnya.
"Begitu,
ya.... jadi begitu?"
Mengapa aku tak menyadari sesuatu
yang sesederhana itu?
"Mantera
sihir."
Kelihatannya selama ini kita sudah
mengabaikan bagian mantera.
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 10 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
1 komentar:
okeh min..
Reply