Chapter 2 – Festival Budaya Bersama Eina
"Ada saran lain?"
Seru perwakilan kelas dari depan
meja guru.
Berbagai saran seperti kafe, drama,
rumah hantu, dan arkade sudah tercatat di papan tulis.
Festival budaya sudah hampir tiba,
namun ada kemungkinan bahwa kelas kami belum mengambil keputusan tepat pada
waktunya, sehingga perundingan yang kurang niat ini pun diadakan seusai jam
Wali Kelas.
Aku dengan tenang menyimak kegiatan
yang tengah berlangsung itu. Anggota-anggota Klub Humanitas di sekolah kami
enggak begitu peduli dengan pementasan kelas karena mereka sudah disibukkan dengan
klubnya sendiri.
Berbeda dengan beberapa sekolah
lainnya, di sekolah kami enggak ada pementasan dari klub-klub olahraga,
sehingga pementasan kelas lebih terpusat pada para anggota Klub Olahraga dan
Klub Pulang Sekolah. Karenanya, murid-murid yang berasal dari kedua klub
tersebutlah yang paling sibuk. Namun, biarpun bukan pilihan utama, kami Klub
Humanitas juga akan turut membantu.
"Putusan akhirnya akan kuambil
dari usulan-usulan ini saja, jadi angkat tangan untuk pilihan yang paling kau
inginkan."
Kuangkat tanganku pada pilihan kafe,
namun seisi kelas kebanyakan memilih drama.
"Drama, ya?"
"Kayaknya sulit."
"Tapi bakalan seru."
"Aku akan jadi penduduk A saja."
Teman-teman sekelasku mulai
membicarakan soal drama tersebut.
"Nah, selanjutnya kita putuskan
drama apa yang akan kita tampilkan."
Supaya beberapa hal bisa lekas
ditetapkan, biasanya bakalan menggunakan sesuatu untuk dijadikan inspirasi,
seperti Cinderella, Putri Salju, atau dongeng-dongeng lainnya. Drama lengkap
rasanya bakalan terlalu sulit karena selain semua murid amatiran, mereka juga
harus berusaha menghafal dialognya.
Sibuk memikirkan banyak hal, aku
diam membisu. Paling ujung-ujungnya juga aku bakalan memainkan peran kecil, dan
semuanya memilih membantu apa yang mereka bisa.
Akan tetapi—
"Akan bagus kalau punya naskah
asli."
Perhatian seisi kelas pun teralihkan
pada naskah asli begitu mendengar usulan gadis itu. Kurasa karena festival
budaya hanya berlangsung setahun sekali, mereka semua jadi bersemangat. Tapi
menurutku naskah asli bakalan terlalu sulit, jadi aku khawatir apa ini bakalan
berjalan dengan lancar. Lagian, apa yang bakalan kita lakukan dengan pembuatan
keseluruhan ceritanya?
Namun, tentunya aku tetap bungkam.
Aku enggak mau merusak kesenangan mereka sebelum kita memutuskan apa pun,
karena semuanya berhak mengutarakan pendapatnya.
"Tapi siapa yang akan
menulisnya?"
"Aku belum pernah
menulis."
"Di sini ada yang dari Klub
Drama?"
"Tidak ada."
"Terus, siapa, dong...."
Apaan
ini?
Semua murid menoleh ke belakang. Tatapannya
terasa ditujukan padaku…
"Benar juga, kita punya Yagi-kun!"
Gadis yang bicara padaku itu mungkin
menunjukku tiga kali.
"Aku? Aku enggak bisa nulis,
tahu?"
"Lah, kau ini masuk Klub
Literatur, ‘kan?"
"Ada di Klub Literatur bukan
berarti aku bisa menulis."
Seisi kelas mulai memperolokku,
sementara Sakai tergelak-gelak di pojok karena tahu aku ini enggak bisa menulis
cerita.
Aku melirik ke tempat duduk di
sebelahku, dan Ketua Minekawa memelototiku sambil mengerutkan keningnya. Eh,
dia juga berpikir begitu.
"Aku enggak bisa melakukannya."
Aku menolaknya, sehingga hari itu
pun kami sudahi karena telah memutuskan untuk mementaskan drama, dan
masing-masing dari kami pun paham harus mempertimbangkan cerita yang seperti
apa yang kami inginkan. Ini harapan yang kurang jelas.
*
Eina
: Malam, Shuu-san. Sedang apa?
Shuu
: Aku lagi menyunting.
Eina
: Ah, buat edisi festival budaya? Kali ini kamu berhasil dapat pengajuan.
Shuu
: Berhubung ini kesempatan terakhir anak kelas tiga, jadi mereka selalu ikut
andil.
Eina
: Huh, Shuu-san, kamu kelihatan
murung hari ini.
Aku tertegun. Perasaanku tertuliskan?
Apa benar?
Shuu
: Enggak, cuman sedikit jengkel aja, sih.
Kuceritakan soal perundingan kelas
sehabis sekolah.
Eina
: Diolok karena tak mau menulis naskahnya? Kejamnya!
Shuu
: Harusnya aku enggak kasih mereka harapan.
Eina
: Kamu tidak salah, kok.
Shuu
: Makasih. Tapi aku bingung, kalau kami memakai naskah asli dengan mengambil
ide-ide dari teman-teman sekelas, kayanya enggak bakalan keburu…
Hanya menulisnya saja sudah lumayan
sulit, apalagi menghafalkan dialognya dan berlatih. Kami juga harus membuat peralatan
buat pentas dan kostum-kostumnya...
Eina
: Shuu-san, ini hanya saran, tapi…
Shuu
: Apa?
Eina
: Naskahnya… boleh aku… yang tulis.
Shuu
: … Beneran?
Eina
: Ya, akan kucoba!
Shuu
: Tapi kau pasti sibuk, ‘kan?
Ujarku, tapi aku sadar enggak tahu
apa-apa soal kehidupan sehari-harinya.
Eina
: Tidak, kok. Malah tiap hari aku senggang karena tak masuk klub atau pun ikut
Bimbel, jadi kupikir menulis akan jauh lebih bermanfaat.
Shuu
: Beneran?! Bagus, deh!
*
"Semuanya, dengarkan sebentar."
Besoknya, aku berdiri di depan meja
guru usai jam sekolah.
"Oh, Yagi, jadi kau mau menulis
naskahnya?"
Ucap salah seorang anak lelaki
padaku.
"Enggak, tapi aku tahu siapa
orang yang mau. Eina, orang yang menulis cerita buat Klub Literatur."
Waktu kubilang begitu, seisi kelas
langsung ribut.
"Aku sudah membacanya,
ceritanya memang menarik."
Orang yang menulis cerita tersebut
harusnya bisa menuliskan sesuatu yang bagus buat kita, ‘kan?
"Kalau begitu, siapa yang
setuju Eina-san menulis naskahnya…"
Perwakilan kelas memungut suara,
seisi kelas pun kebanyakan memilihnya.
"Makasih. Nah, kalau misalnya
ada yang kalian inginkan dari ceritanya, kasih tahu saja, biar nanti menulis
ceritanya jadi gampang."
Tanyaku.
"Aku ingin yang romantis."
"Akhir yang bahagia!"
"Ada sedikit bumbu
misterinya."
Kucatat apa yang diutarakan mereka
semua.
"Nanti ceritanya akan seperti
apa, ya?!"
"Kuharap ceritanya bakalan
menarik!"
Harapan seisi kelas terlihat semakin
meningkat, begitu pun denganku.
Aku sendiri menantikannya karena
bakalan bisa baca karya selanjutnya Eina, tapi karena itu diperuntukkan buat
pentas drama kelas, jadinya aku enggak bisa berharap banyak.
Rasanya
tahun ini aku banyak membantu kelas deh, pikirku.
Klub Literatur punya banyak anggota,
sehingga aku bisa fokus pada pementasan kelas begitu mereka memberikanku
bahan-bahannya. Anak-anak kelas tiga bakalan bergabung bersama kelas mereka
sendiri karena harus belajar buat ujian juga, jadinya ini hubungan yang saling
menguntungkan.
Oleh sebab itu, aku punya keleluasaan sendiri untuk
mengatur persiapan Klub Literatur. Klub harus mencetak buklet, menjilidnya, dan
mendistribusikannya. Namun itu enggak masalah, karena aku bisa menyuntingnya di
rumah dan menjilidnya di ruang klub sesudah membereskan pekerjaan kelas. Terus
kalau sehari sebelumnya aku berusaha sebaik mungkin, aku juga bisa
menyelesaikan pendekorasiannya.
"Shuu, sini bentar," bisik
Sakai padaku, "Apa Eina-san
sekelas dengan kita?"
"Memangnya kenapa?"
"Maksudku, mana ada ‘kan orang
yang mau menuliskan naskah untuk kelas lain?"
Sakai membusungkan dadanya terhadap
penilaiannya.
"Entahlah,"
Aku menghindari pertanyaannya.
Ya atau tidak bukanlah jawaban yang bagus buat pertanyaan semacam itu,
karena jawabannya itu sendiri akan memberinya informasi. Setidaknya biarkan
saja dia tahu kalau Eina enggak ada di kelas kita.
"Sial, kau tidak terkecoh,
ya?"
"Ya iyalah."
Sakai berseru dengan jengkel.
"Untuk punya sahib di Klub
Surat Kabar, mulutmu ini kelewat rapat, Shuu."
"Bahaya buat jadi temanmu kalau
mulutku ember, apa pun bisa kau tuliskan."
"Aku juga tahu mana yang harus
kutulis dan mana yang tidak."
Dia melirik ke arahku, tapi aku
enggak ada niat bicara soal Eina.
Lagian, enggak ada apa pun yang bisa
kuberitahukan soalnya.
Tiba-tiba, hatiku terasa sakit. Perasaan apa ini....
2
Besoknya :
Eina
: Shuu-san, bagaimana kegiatanmu hari
ini?
Shuu
: Menyunting, menerima ilustrasi dan desain sampul dari Ruka-senpai hingga menyusun datanya.
Eina
: Oh! Berjuanglah!
Shuu
: Kau sendiri? Gimana naskahnya?
Eina
: Aku lagi menyiapkan skemanya!
Shuu
: Baiklah, mari kita sama-sama berjuang!
Tiga hari kemudian :
Eina
: Shuu-san, kerja bagus.
Shuu
: Kau juga.
Eina
: Apa kabarmu hari ini?
Shuu
: Sama seperti biasa, berangkat sekolah, lalu menyunting. Sekarang ini aku
ingin membereskan pekerjaan Klub Literatur supaya bisa bantu-bantu kelas
sebelum festival budaya.
Eina
: Kamu ini pekerja keras, ya?
Shuu
: Enggak juga, aku hanya mengerjakan apa yang kusuka saja.
Eina
: Tetap saja hebat.
Shuu
: Makasih, jadi naskahya gimana?
Eina
: Ah, sudah hampir beres.
Shuu
: Aku dan yang lainnya menantikannya, jadi berjuanglah.
Seminggu kemudian :
Sudah tiga hari terakhir ini aku
belum mendapatkan pesan apa pun dari Eina, jadi sepulang sekolah kukirimi dia
pesan.
Shuu
: Hai, apa kabar?
Enggak ada balasan.
Biasanya aku bakalan langsung dapat
balasan, aku penasaran, ada apa, ya.
Apa mungkin dia sibuk dengan
festival sekolahnya sendiri?
Waktu berpikir begitu, ponselku pun
berdengung.
Eina
: Hai, apa kabarmu hari ini?
Shuu
: Aku sudah membereskan data buat bukletnya, jadi sekarang tinggal membeli
kertas dan mencetaknya saja.
Eina
: Wah, cepat sekali!
Shuu
: Ya, dan sekarang harusnya aku bisa membantu kelas dengan benar. Jadi, soal
naskahnya…
Eina
: Eng, ah, eng… sedang kuusahakan.
Shuu
: Kira-kira kapan beresnya.
Balasannya sempat terhenti lagi, dan
baru dibalas lagi pas malamnya sebelum aku tidur.
EIna
: Kurasa masih agak lama.
Shuu
: Begitu, ya.....
Kurasa menulis naskah sama cerita
beda banget. Tadinya kupikir hanya akan memerlukan waktu sekitar seminggu
karena dia bisa menulis cerpen hanya dalam semalam, tapi mungkin itu agak
sulit.
Tapi, festival hanya tinggal dua
minggu lagi. Kalau kami enggak segera membuat alat-alat buat pentas dan
kostum-kostumnya, nantinya enggak bakalan keburu. Para pemerannya juga perlu
latihan…
Sebenarnya, kami harus memutuskan pemeran-pemerannya
juga.
Shuu
: Bisa kau kirimkan saja dulu seadanya? Jadi kami bisa membuat alat-alat buat
pentas dan kostum-kostumnya, dan bisa memutuskan pemeran-pemerannya juga.
Eina
: Eng, eng… sebenarnya…
Lalu, Eina mengirimkan pesan yang mengejutkan.
Eina
: Aku masih belum menulis sepatah kata pun.
"Apa?!"
Teriakku di kamarku.
Belum sepatah kata pun? Kenapa?
Enggak,
aku enggak punya waktu buat cari tahu alasannya.
Ini gawat. Waktunya tinggal dua
minggu lagi, aku enggak yakin dia bakalan bisa menyelesaikannya.
Mataku berputar saat aku kebingungan.
Aku
akan bicara sama Ruka-senpai. Dia mungkin kenal sama seseorang yang kelasnya
juga mementaskan drama. Kalau kami bisa meminjam naskahnya dan mementaskannya…
Selain itu, naskahnya bakalan disiapkan oleh seisi kelas…
Eina
: Shuu-san? Shuu-san?
Ada pesan lainnya lagi dari Eina,
dan aku sadar belum membalasnya.
Shuu
: Maaf, Eina. Aku lupa balas. Enggak apa, akan kuberitahukan saja sama yang
lainnya kalau itu kebanyakan dan terlalu sulit buat menyelesaikannya tepat
waktu, aku akan cari yang lain saja.
Eina
: Eh!!
Shuu
: Enggak apa, mereka bakalan ngerti, kok. Dari awal kau hanya sukwan.
Vzzzzt,
vzzzzt.
Ponselku bergetar lama sebanyak dua
kali.
Itu telepon dari Eina.
《Shuu-san....
aku akan berusaha, aku akan berusaha, jadi…》
"He-Hei…"
Eina nangis. Suaranya gemetar, dan
menangis tersedu-sedu berulang kali.
Aku gelagapan, mungkin harusnya aku
enggak tiba-tiba menolaknya begitu. Mungkin dikiranya aku ini marah.
"Eina, aku sama sekali enggak
marah, kok. Kau enggak usah khawatir, lagian kami sendirilah yang memaksamu,
enggak apa kok kalau kau memang melakukannya sesuai dengan kecepatanmu
sendiri."
《Shuu-san,
jangan bilang begitu.... Kumohon, biarkan aku menulis naskahnya!》
"Tapi...."
《Bicara denganmu adalah satu-satunya alasan hidupku.
Aku tak mau memutuskannya, tolong jangan mengakhirinya, aku akan berusaha lebih
keras…》
Aku merengut. Dia salah paham.
Rasanya hampir seperti....
"Eina. Aku enggak bicara dengamu
karena kau menulis novel atau drama, lo?"
《Eeeh?》
"Tentunya yang kau lakukan itu
memang hebat, tapi kalau enggak juga enggak apa-apa. Lagian, aku sendiri enggak
bisa menulis."
《Kamu tidak kecewa.》
"Kenapa harus kecewa? Mau kamu menulis
atau enggak, kau ya kau, yang berharga—"
"Berharga?"
Yang
berharga apa?
Aku enggak bisa menemukan kata yang
tepat.
"Pokoknya, kau enggak usah memaksakan
diri."
《Terus, kenapa kamu bicara denganku?》
"Karena menyenangkan....
kurasa."
Kali ini aku berhasil mengucapkannya.
Itu sungguh niat sejatiku. Berbicara dengan Eina sangat menyenangkan. Makanya,
aku merasa sedih sewaktu enggak ada kabar darinya selama tiga hari lalu. Sampai-sampai mengobrol dengannya sudah
menjadi bagian dari hidupku.
《Shuu-san.....!!》
Eina terdengar seperti ingin
berteriak dan menangis saat telepon di pihak lain berakhir.
"Ada apa?! Apa aku mengatakan
sesuatu yang salah?!"
《Tidak. Malahan aku senang, karena… sudah begitu
lama…semenjak seseorang berkata begitu padaku…》
"Begitu lama?"
《Shuu-san,
boleh aku.... langgar peraturannya? Boleh aku… bicara soal diriku?》
Aturan, supaya aku enggak tahu
banyak soal Eina. Jadi, aku enggak bisa mengira siapa dia.
Tapi…
"Ya,"
Anggukku.
Aku juga ingin tahu soal dia.
《Aku sudah tak punya ibu dan ayah, mereka sudah
meninggal.》
Napasku tersendat di tenggorokanku.
《Sekarang ini aku tinggal bersama saudari ibuku,
bersama bibi dan pamanku, tapi kami tidak akur. Bahkan Tetehku saja, sepupuku,
menindasku… kamu ingat sewaktu aku tiba-tiba menutup telepon? Saat itu dia
membentakku karena berisik.》
"Apa sekarang enggak apa?"
《Ya, aku menyelimuti kepalaku dengan selimut.》
Aku bisa membayangkannya, seorang gadis
yang bersembunyi di dalam selimut dengan ponsel.
《Aku… tidak punya teman. Di sekolah pun aku menyendiri.》
"…"
《Aku suka sendirian. Susah rasanya untuk terus-menerus
bersama semua orang di sekolah, tapi sewaktu kubilang begitu, tidak ada yang
mau jadi temanku… sendirian di sekolah rasanya agak menyedihkan. Ibu dan ayah
tidak memaksaku untuk sekolah, tapi bibi dan pamanku akan marah kalau aku tidak
sekolah.》
Dia
suka merenung.
Dia lain dari orang-orang di
sekitarnya, namun di sekolah, perbedaan kecil saja bisa diperlakukan sebagai
penyeleweng. Bisa dibilang itu nasib buruk, karena di sekolah enggak ada
seorang pun yang memahami Eina.
Jadi begitu, ya.
Dia selalu sendiri.
Kucengkram erat smartphone-ku hingga bekertak.
Aku ingin menemuinya dan memeluknya.
Tapi enggak bisa. Ada jarak lima
tahun yang memisahkan kami.
Tapi seenggaknya, aku bisa
membuatnya mengerti.
"Aku akan selalu mendukungmu
selamanya."
《Hiks! Terima kasih!》
Dia nangis lagi.
Dia bear-benar banyak nangis.
Tapi… membiarkannya menangis mungkin
adalah yang terbaik. Enggak ada salahnya buat menangis saat kau bahagia, ‘kan?
Aku ingat dia pernah bilang,
‘Bagaimana kalau aku mati setelah lima tahun?’
Eina paham betul kalau enggak
bakalan ada yang tahu kapan kebahagiaanmu akan hancur.
Makanya, hargailah kebahagiaan yang
kau miliki.
*
《Eng, Shuu-san?》
Bisik Eina padaku yang sudah
berhenti menangis.
"Ya?"
《Soal naskahnya.》
"Oh iya, kita lagi bicarain itu."
《Boleh.... aku menulis mengenaimu?》
"Eh?"
《Dengan menggunakan kebahagianku atas apa yang kamu
katakan serta betapa menyenangkan rasanya mengobrol sebagai inspirasi, kurasa
aku akan bisa menulisnya sekarang.》
"Baiklah. Akan kusuruh yang
lainnya untuk menunggu sedikit lebih lama lagi."
"Jangan memaksakan diri, ya?
Kalau ada masalah, jangan sungkan untuk membicarakannya denganku."
《Tidak ada, kok.》
Aku enggak bisa melihat wajahnya.
Namun, rasanya aku bisa melihat
senyumannya.
3
Waktu kubangun paginya, aku
mendapatkan pesan dari Eina.
Pesan tersebut berisikan naskahnya.
Sekujur tubuhku memerah karena
bersemangat.
Shuu
: Makasih, sekarang dramanya sudah mulai bisa disiapkan. Maaf sudah
memburu-buru.
Eina
: Aku hanya tak bisa berhenti begitu aku mulai menulis!
Shuu
: Eina, kau benar-benar punya bakat menulis.
Anehnya, aku enggak merasa cemburu.
Malah, aku senang bisa membaca apa yang ditulisnya.
Kulangsung pindahkan berkas itu ke
laptopku dan mencetak salinannya. Membaca di kertas bisa jauh lebih fokus.
Kutaruh naskahnya pada tasku, dan lekas berangkat ke sekolah. Sesampainya di
kelas, aku langsung duduk di kursiku, dan segera membacanya.
Saat teman-teman sekelasku tiba,
mereka mengucapkan salam dan mulai mengobrol. Namun, suara mereka berasa
terdengar dari kejauhan.
Naskahnya menarik.
Mungkin karena dia sadar naskahnya
buat drama, jadi genrenya benar-benar fantasi, atau juga bisa dibilang dongeng.
Sang protagonis ialah seorang gadis
remaja yang ditindas oleh ibu dan tetehnya, tidak punya teman, dan hidup dalam
keputusasaan. Putus asa akan hidupnya sendiri, dia pun ingin mengakhirinya.
Namun, di hadapannya tiba-tiba
muncul seorang iblis yang terluka. Iblis tersebut dianiaya oleh manusia, dan si
gadis yang baik hati itu pun hatinya tergerak untuk menyembuhkannya.
Si iblis berkata akan mengabulkan
permintaannya sebagai rasa terima kasihnya, namun harus melewati tiga cobaan.
Cobaan pertama, pergi sendirian ke
suatu gua di pegunungan dan membawa balik peti harta karun.
Cobaan kedua, mencuri kunci di kamar
ibunya yang menakutkan.
Dan cobaan terakhir, gunakan belati
di peti harta karun tersebut dan menyerahkan tumbal pada para dewa.
Saat itu, si iblis menawarkan
hidupnya sendiri demi mengabulkan keinginan si gadis, dan berkata :
"Aku akan selalu mendukungmu
selamanya."
Dan menempatkan belati di tangannya.
Namun, si gadis menolak.
"Aku tak sanggup membayangkan
hidup tanpa dirimu. Aku ingin bersamamu."
"Kalau begitu, tak ada pilihan
lain."
Dengan menggunakan sihir, si iblis
pun mengendalikan tangan si gadis supaya menikam dadanya.
Si gadis yang meratap pun berpikir
untuk menghidupkan kembali si iblis. Andai kata dia berhasil menghidupkannya
kembali, maka hidupnya akan sama seperti sebelumnya. Tidak, mungkin hidupnya malah
semakin buruk, tapi biarpun begitu… si gadis tetap memilih untuk menghidupkan
kembali si iblis. Begitu si iblis bangkit dari kematiannya, dia pun berubah
jadi manusia.
Sejatinya dia adalah seorang
pangeran terkutuk, dan kebaikan hati serta perasaan keduanya telah membuat
keajaiban hingga bisa merusak kutukan tersebut.
Keduanya pun bersumpah untuk saling
mencintai selamanya, dan saling bertukar ciuman…
".... Yagi."
"Ya?"
Kuangkat kepalaku dan guru bahasa
Inggris menatapku. Aku sama sekali enggak menyadarinya mendekat.
Aku bisa dengar murid-murid lainnya
tertawa, rupanya pelajaran sudah dimulai.
"Tidak ada salahnya mengerjakan
pekerjaan klubmu, tapi perhatikan juga pelajaranmu."
"Maafkan aku!"
Dengan terburu-buru kukeluarkan
bukuku. Tapi, apa yang harus kulakukan?
"Halaman sembilan puluh,
terjemahkan baris kedua," Terdengar suara di sampingku.
Itu adalah Ketua. Dia agak
memelototiku dengan tampang dingin. Aku menggigil dan membuka buku pelajaran.
Untungnya, aku bisa menerjemahkannya
karena bahasa Inggris enggak susah-susah amat. Guru pun beralih ke murid
berikutnya, dan aku kembali ke naskahnya Eina. Kali ini dengan pulpen merah
buat mengoreksinya.
Alhasil, aku seenggaknya sudah
membaca dua kali.
"Ahem."
Waktu kuangkat kepalaku, aku bersabung
mata dengan guru matematika di jam ketiga.
"Yagi, apa pekerjaan
sampinganmu itu sudah selesai? Kalau sudah, jawab pertanyaan ini."
Seisi kelas pun larut dalam gelak
tawa.
"Dasar, kau ini memang tipe
orang yang asik sendiri, ya?"
"Aku?"
Tanya balikku.
"Kau tidak menyadarinya?"
Sakai mengangkat bahu.
"Kau tidak sadar yang lain
menyapamu pagi ini? Mereka ada yang bilang ‘hebat, jadi ini naskahnya!’ atau
‘kita harus berterima kasih sama Eina’. Dan kau hanya mengabaikan mereka
semua."
"Eh, beneran? Aku harus minta
maaf nanti...."
"Tidak usah, yang lainnya juga
tahu kau lagi membaca naskahnya dengan serius."
Selagi kami mengobrol, perwakilan
kelas muncul di depan meja guru, dan perundingan kelas pun dimulai. Naskahnya
sudah ada, sehingga kami mulai betul-betul mempersiapkan dramanya. Saat
istirahat makan siang nanti akan kucetak naskahnya dan membagikannya pada yang
lainnya.
Hari ini kami akan merundingkan
pembagian tugas-tugasnya. Tentu saja itu juga termasuk pada tokoh-tokohnya,
tapi bakalan ada juga yang ditugaskan buat kostum, peralatan pentas, dan penyetelan.
Semuanya harus punya tugas masing-masing. Memberikan tanggung jawab tetaplah
penting, jadi orang-orang yang masih nganggur bakalan ikut membantu beberapa
hal yang belum beres.
Para murid akan mengutarakan
pendapatnya masing-masing, dan peranannya pun akan diputuskan. Yang bertugas
buat kostum, peralatan pentas, penyetelan, hingga pemeran pembantu pun semuanya
sudah ditentukan.
Aku kebagian membantu bagian penyetelan.
Aku enggak terlalu mahir dengan pekerjaan semacam itu, tapi aku masih bisa
bantu pekerjaan fisik.
Yang tersisa tinggal pemeran utama
dan lawannya, si pangeran iblis.
Mungkin karena adanya hubungan
asmara dalam naskahnya, semuanya merasa malu dan enggak mau melakukannya. Bahkan
ada adegan ciuman. Jelas mereka enggak ingin melakukannya beneran.
.
Lalu, aku mendengar suara derikkan
kursi yang dipundurkan di sebelahku.
Ketua berdiri tegak dan dia pun
berkata.
"Kalau tak ada yang mau, aku
akan memainkan pemeran utamanya."
Seisi kelas pun mulai ribut.
"Ketua memainkan pemeran
utama...."
"Dia sangat cocok,’kan?"
"Bagus, tuh!"
Sarannya pun disetujui. Kurasa dia
memang cocok, kesan seorang gadis fana sangat cocok dengan kecantikannya.
"Tapi ada syaratnya,"
Tuntutnya, sebelum mengatakan sesuatu yang mengejutkan, "Aku mengusulkan
Klub Literatur untuk pemeran pangerannya."
Seisi kelas pun mulai gempar.
"Yagi jadi lawannya?"
"Kenapa?"
"Apa dia punya pengalaman
berakting?"
Terdengar celotehan dari seluruh
ruangan. Aku sadar semuanya menatapku, dan aku terkejut sampai-sampai enggak
bisa mengucapkan sepatah kata pun.
"Dialah satu-satunya orang yang
berbicara dengan si penulis, jadi di kelas ini dialah yang paling memahami
dramanya. Makanya, peran pangeran harus dimainkan olehnya," Ucap Ketua
yang menatapku dengan mata dingin. Nyaris seperti bilang kalau itu adalah
tugasku.
"Ya sudah, kenapa tidak?"
"Apa yang dikatakannya memang masuk
akal."
"Berjuanglah, Yagi-kun!"
Seisi kelas mulai seiya-sekata
dengan pendapatnya, sedangkan aku hanya bisa mengangguk tanpa bisa menolaknya.
4
"Yo, Casanova."
Sakai menepuk punggungku sewaktu
kami berjalan keluar gerbang sekolah.
"… Hentikan."
Sakai berjingkrak, sedangkan aku
berjalan dengan lesu.
"Tapi memang benar ‘kan Ketua
sendiri yang mengusulkanmu?"
"Apa sih yang
dipikirkannya?"
Ucapku, sebelum menghela napas
lelah.
"Seperti apa katanya, dia itu
‘kan tipe orang yang bicara apa adanya."
"Ya, dia selalu punya argumen yang
adil."
Itulah yang kukhawatirkan, karena
enggak semua orang bisa menerimanya.
"Aku sih khawatir kau
dimanfaatkan untuk membuat orang lain cemburu."
"Jangan lebay, deh."
"Bukannya lebay, tapi dia itu
orang yang paling populer di sekolah kita, ‘kan?"
"Eh, dia paling populer?"
Memang sih dia itu cantik, tapi aku
enggak nyangka dia sepopuler itu.
"Wajar sih kalau kau tidak
tahu, lagian kau ini bukan tipe orang yang menilai gadis-gadis," Ujarnya
sembari tersenyum kambing, "Selain tampangnya, menjadi Ketua OSIS saja
sudah cukup membuatnya populer. Kalau kita mengadakan kontes kecantikan, dia
pasti akan memenangkannya dengan mudah."
"Tapi dia agak menakutkan, iya
‘kan?"
"Iya sih, kebanyakan orang,
apalagi yang sok keren saja pernah bilang kalau keterusterangannya itu memang
menakutkan, tapi secara keseluruhan kupikir orang-orang memandangnya dengan
iri."
Aku malah semakin tertekan. Andai
aktingku benar-benar jelek, maka berakhir sudahlah kehidupan sekolahku…
"Pokoknya, berjuanglah. Aku mendukungmu, kok. Dan kau juga punya
sesuatu padanya, ‘kan?"
"Enyah kau."
Kuharap mukaku yang memanas ini
cuman perasaanku saja.
Sesampainya di rumah, kukirim pesan
pada Eina soal kejadian hari ini. Soal bagaimana naskahnya yang diterima, dan
soal bagaimana aku yang bisa mendapatkan peran pangeran…
Eina
: Kamu yang jadi pangerannya! Uwaaah, itu cocok banget!
Dari teksnya saja aku bisa tahu
kalau dia kegirangan, tapi aku gagal paham dengan apa yang dimaksudnya.
Shuu
: Tapi aku ini cuman anak SMA biasa?
Eina
: Tetep cocok, kok. Maksudku, aku membuat pangeran berdasarkan dirimu, jadi aku
sangat senang karena yang memerankannya adalah orang yang sebenarnya.
Kalau
Eina sampai segitunya, aku akan berjuang, deh, pikirku.
Segera kukeluarkan naskahnya dan
membacanya dengan lantang. Aku menggunakan ponselku untuk merekamnya agar tahu
apa aku ini melakukannya dengan benar atau enggak.
Usai membacanya, kuperiksa
rekamannya…
"Ini… parah banget."
Aku kelewat jelek sampai enggak
pantas dibilang pemain sandiwara yang jelek.
"Aku akan pergi membeli buku
akting."
Aku bersepeda ke toko buku yang
masih buka di malam itu.
Besoknya, kami melakukan latihan
pertama seusai jam sekolah. Belajarku sia-sia dan aktingku masih menyedihkan.
Sebenarnya, masih selevel dengan peran pendukung, jadi rasanya wajar buat
seseorang tanpa pengalaman.
Tapi yang kuperankan ini peran
utama, jadinya ini parah banget.
"Masih ada waktu, kau pasti
bisa mengatasinya, ‘kan? Ucap Sakai padaku, tapi itu enggak menghibur.
Ketua enggak hadir karena harus
mengurusi beberapa pekerjaan buat festival budaya. Aku pun pergi ke ruang Klub
Literatur dengan rasa kecewa. Sudah hampir waktunya buat pulang, tapi aku masih
ingin mengerjakan persiapan buat Klub Literatur. Rencananya kami akan
membukakan ruangan dan mendistribusikan buku pada hari H, jadi aku harus
mendekorasi ruangannya.
Namun, aku terus kepikiran soal
akting dan enggak bisa berbuat banyak.
Lalu.
"Klub Literatur." Aku
terkejut karena tiba-tiba ada yang bicara.
Ketua berdiri di depan pintu.
"Maaf, aku akan pulang
sekarang."
Aku minta maaf secara spontan. Jam
sekolah sudah lama berakhir.
"Apa aku memang semenakutkan
itu," Keluh Ketua. Dia tampak murung, dan aku merasa agak bersalah.
"Enggak, aku hanya takut
kehilangan ruangan kami lagi."
"Yang seperti ini masih bisa
kuabaikan. Aku tak mentaati peraturan sampai segitunya. Aku tahu kau sudah
mengerjakan persiapan untuk kelas dan klubmu."
"Memang."
Mungkin aku sudah salah paham akan orang
macam apa dia ini.
"Hei, Klub Literatur. Kalau ada
waktu, maukah kau berlatih bersamaku sebentar sekarang?"
5
Gimana, nih?
Berjalan berduaan bersama Ketua di kala senja, kami
pergi ke taman terdekat karena enggak bisa berlama-lama di sekolah.
Kami enggak banyak mengobrol karena
dia hanya mengatakan apa yang ingin diucapkannya saja.
Rasanya amat kurang nyaman.
Sekilas kulirik dia, dan masih
merengut seperti biasanya. Dia beneran hebat masih bisa tetap terlihat cantik
meski dengan ekspresi begitu.
Dengan suasana yang begini emangnya
kita bakalan bisa latihan?
Ibarat dilemparkan sebuah pelampung
penolong, ponselku bergetar karena pesan dari Eina sewaktu kami tiba di taman.
Eina
: Sore, bagaimana persiapan festival budayanya?
Shuu
: Kebetulan banget! Kalau kamu lagi senggang, kutelepon, ya?
Eina
: Boleh, tapi kenapa?
Shuu
: Sebenarnya, aku mau latihan sama Ketua, tapi… rasanya kurang nyaman.
Eina
: Kurang nyaman? Kenapa?
Shuu
: Soalnya, Ketua kayak membenciku.
Eina
: Kau latihan bersamanya meski dia membencimu?
Shuu
: Iya. Aku enggak jago berakting, dan dia sibuk dengan pekerjaan OSIS-nya. Dia
juga bukan tipe orang yang mencampuradukkan perasaan pribadi dengan urusannya.
Eina
: Kedengarannya seperti orang yang serius.
Shuu
: Memang, tapi dia enggak bisa menyembunyikan suasana hatinya yang buruk, jadi
kami bakalan terbantu kalau kau mau mendengarkan kami berlatih dan memberikan
komentar.
Eina
: Baiklah!
"Klub Literatur, sedang apa
kau?"
"Aku lagi bicara sama si
penulis, dia mau mendengarkan latihan kita. Hanya lewat telepon sih, enggak
apa, ‘kan?
"Ya, aku juga ingin mendengar
pendapat objektifnya."
Kutelepon Eina dan memasangkannya
pada mode speaker.
《Selamat malam. Salam kenal, Ketua.》
"Salam kenal juga, Eina-san. Kurasa itu berfungsi?"
《Ya! Kuharap kita bisa akrab!》
Kutaruh barang bawaan dan ponselku
di bangku, dan menghadap Ketua dengan naskah di tangan.
"Kita mulai dari atas saja,
pertama adalah penampilan si gadis…"
Tiba-tiba, ekspresinya berubah.
"Ini menyakitkan, sangat
menyakitkan. Mungkin akan lebih baik kalau aku mati…"
Ekspresinya berubah menjadi
seseorang yang masygul. Dia seolah mau menangis, namun dengan putus asa menahan
air matanya.
Dia nampak sedih dan mengucapkan
kalimatnya dengan terhenti-henti, namun kesedihan dan penderitaannya
benar-benar tersampaikan.
《Kali ini giliranmu, Shuu-san.》
Suara Eina dari telepon
menyadarkanku kembali.
"Ah, maaf. Nona muda, boleh
kuminta sedikit bantuanmu? Maukah kau pinjami aku lenganmu? Kakiku terluka dan
aku tak mampu berdiri."
Seberesnya adegan itu, Ketua menatapku
dengan teguh.
"Enggak usah bilang, yang tadi
itu memang parah."
《Tidak, malah kupikir itu bagus! Berasa kamu sekali!》
Kebaikan Eina malah terasa lebih
menyakitkan.
"Kerja bagus. Kau sudah mempelajari
kalimat tersebut dengan baik, begitu pula dengan pemikiranmu soal gesturnya.
Sekarang hanya tinggal berlatih dan diperhalus lagi."
Perkataan Ketua sedikit membuatku
tenang.
《Tapi kau memang hebat, Ketua.》
"Apa kau punya pengalaman
berakting?" Tanyaku, tapi dia menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu,
apa kau ini jenius?"
"… Aku hanya sering berlatih
saja."
Dia membuang muka.
Apa dia begadang semalaman? Jelang
festival budaya, dia pasti sangat sibuk.
"Mari kita bahas setiap
adegannya. Aku akan memberimu contoh, jadi pergunakanlah sebagai
referensi."
Satu jam kemudian.
"Kita istirahat dulu,"
Saranku, "Aku mau beli minuman, kau mau apa?"
"Cola," Jawabnya dengan lirih.
"Oke."
Kutinggalkan ponselku di bangku, dan
pergi ke toko terdekat. Karena sudah waktunya makan malam, kasirnya pun ramai
sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dari yang kukira. Sehabis membelinya,
aku pun langsung kembali ke taman dengan berlari.
Ketua duduk di bangku sambil
mengobrol dengan ponselku.
"Aku tahu dia bukan orang yang
buruk. Dia itu orangnya pekerja keras, jadi aku hanya gugup saja saat berbicara
dengannya."
Berbeda dari biasanya yang selalu
berwibawa, ini pertama kalinya aku melihat Ketua yang nampak seperti gadis
biasa.
《Nah, Shuu-san.
Aku mesti pergi sekarang.》
"Latihannya enggak dilanjut?"
《Maaf, ada urusan mendesak. Maafkan aku! Pastikan kamu
antar pulang Ketua, ya?》
"Eh?"
Tunggu
sebentar, pulang bareng? Sama Ketua?
Bukannya itu sangat enggak
mengenakkan? Tapi Eina sudah menutup teleponnya.
"Gimana nih, Ketua? Masih mau
lanjut?"
"Aku juga harus pulang. Aku
punya jam malam."
"Baiklah."
"Apa kau benar-benar akan mengantarku
pulang?"
"Ya, lagian ini sudah larut."
"… Terima kasih,"
Gumamnya.
Lantas kami pun pergi sambil meminum
minuman dari kaleng kami sendiri.
"Apa yang kau bicarakan dengan
Eina?"
"Sekolah dan macam-macam."
"Begitu, ya."
Kami pun terdiam.
Sial, ini memang sangat enggak
nyaman.
Aku enggak tahu apa yang harus
dibicarakan, dan seperti biasa, dia pun enggak terlihat bakalan segera bicara
padaku.
Kenapa Eina menyuruhku untuk
mengantarnya pulang. Kami ini bukan pacar atau apa pun. Percakapan kami
selanjutnya berakhir sewaktu kami tiba di rumahnya.
"Huh, ini…"
Aku enggak bisa menahan diri untuk
bertanya.
Kami tiba di suatu panti asuhan. Itu
adalah bangunan kecil yang depannya nampak seperti sekolahan kecil.
"Apa kau terkejut?"
Tanyanya.
"Sedikit."
"Jangan membuat wajah seperti
itu." Wajah seperti apa yang kubuat? "Ini pilihanku sendiri. Aku
punya masalah di rumah. Aku lebih suka dengan gaya hidup ini. Bohong sih kalau
tak ada yang tak kusukai, tapi masih lebih baik ketimbang sebelumnya."
"Terus soal universitas nanti gimana?"
"Rencananya aku mau mengambil
ujian universitas terdekat. Semisalnya aku lulus, maka aku bisa terbebas dari
biaya sekolah karena pendapatan rumah tangga, aku juga harus bisa mendapatkan
beasiswa. Berhubung universitas punya asrama, harusnya aku bisa mengatasi biaya
hidup. Aku akan bekerja untuk menutupinya dan berusaha hingga lulus. Memang
akan sulit untuk menggantinya, tapi aku benar-benar ingin masuk
universitas."
Ucap Ketua selagi melihat ke arah
panti asuhan. Wajahnya menunjukkan ketegasan, kewibawaan, dan yang paling utama,
cantik.
Aku
sama sekali enggak tahu apa pun soalnya.
"Klub Literatur, berjuanglah
saat festival nanti," Ujar Ketua, dengan wajah yang lebih lemah lembut
dari biasanya.
"Tentu saja."
"Dan… terima kasih, sudah
mengantarku pulang."
Ketua pun memasuki pintu.
Kata-kata terakhirnya nyaris enggak
kedengar.
Aku tersenyum selagi berpikir ingin
tahu lebih banyak soalnya.
6
Seberes makan dan mandi malamnya,
ada pesan dari Eina sewaktu aku lagi bersantai di kamarku.
Eina
: Shuu-san, kamu tahu tidak? Fufufu…
Shuu
: Soal apa?
Eina
: Soal Ketua yang sebenarnya tak membencimu?
Shuu
: Huh?
Eina
: Kami membicarakan banyak hal sewaktu kamu pergi membeli minuman, tapi
kelihatannya Ketua bersikap kasar padamu itu karena dia gugup. Haha, jadi
populer memang sulit, ya!
Wajahku memerah.
Eina
: Ini adegan pernyataan cinta! Sewaktu kamu pulang dari festival atau
semacamnya! Itu sangat bagus, bukan? Berasa seperti terikat takdir dengan lawan
mainmu.
Perasaan
apa ini…
Aku mulai panik dan bingung sewaktu
dikasih tahu kalau sebenarnya Ketua mungkin enggak membenciku, tapi mungkin
menyukaiku.
Lalu kusadar kalau aku panik bilamana
Eina menyalah pahami perasaanku. Mungkin dipikirnya aku ini menyukai Ketua dan
dengan tulus mendukungku.
Tapi buatku itu malah terlihat
kesepian.
Aku terkejut, mengapa aku berpikir
begitu? Melihat wajahnya saja bahkan aku belum pernah, dan dia pun hidup di
lima tahun silam, sehingga kami bahkan enggak bisa bertemu…
Shuu
: Aku cuman mengagumi Ketua saja. Memang sih dia cantik, tapi kurasa aku enggak
menyukainya, jadi aku enggak bakalan menyatakan cinta.
Eina
: Eh? Be-Begitu, ya… baguslah.
Shuu
: Bagus?
Eina
: Ah, bukan apa-apa, kok.
Untuk sesaat, kami berdua pun
berhenti mengirim pesan.
Shuu
: Mending kita tidur saja.
Eina
: Ya, benar. Selamat malam.
Shuu
: Malam.
7
Dua minggu pun berlalu. Aku
berangkat ke sekolah pagi-pagi buat latihan drama.
Di sepanjang pelajaran aku setengah
tidur, dan kami pun berlatih lagi sehabis jam sekolah. Di saat kami berlatih,
teman-teman sekelas kami membuat peralatan buat pentas dan kostum-kostumnya.
Tiba-tiba, terdengar suara benturan
keras bersamaan dengan suara kaca pecah. Kelompok suara tengah memilih musk dan
efek-efek suaranya.
Bahkan ada orang yang membuat lampu
sorot dengan lampu senter dan kertas kaca.
Kegaduhan semacam ini terjadi di
seluruh sekolah karena semuanya sudah mulai mempersiapkan festival budaya.
Perkataan umumnya mah, mereka sedang
memuaskan hari-harinya.
Entah kenapa, rasanya ada yang
kurang.
Aku enggak tahu alasannya, tapi aku
merasa kurang senang, seperti ada lubang kecil terbuka di hatiku.
Namun, banyaknya pekerjaan yang
harus dilakukan membuatku enggak punya waktu buat memikirkannya. Waktu luangku
dipakai menjilid buku-buku Klub Literatur.
Dan hari jumat pun tiba, sehari
sebelum festival berlangsung.
Seusai jam sekolah, kurasa aku bisa
pergi sebentar ke ruang klub untuk mendekorasi ruangannya. Di luar sudah
benar-benar gelap, namun para guru memberikan pengecualian hanya untuk hari ini
saja kami bisa berada di sekolah hingga larut.
Sewaktu aku tiba, Ruka-senpai sudah berada di sana.
"Kebetulan sekali! Shuu-kun, bisa kau pasangkan ini?"
Dia ada di atas meja, berusaha
menggantungkan dekorasi pada papan tulis, namun enggak kejangkau. Dia sudah berusaha
sekuat mungkin hingga terlihat seperti bakalan jatuh.
"Serahkan saja padaku,
Senpai."
Aku bertukar tempat dengannya dan
menggantungkan dekorasinya.
"Dua orang lainnya mana?"
"Mereka sudah pergi. Mereka ada
sekolah persiapan. Kuharap sekolah persiapannya bisa baca suasana, sih."
"Apa boleh buat, ujian enggak
bakalan nunggu. Senpai sendiri bagaimana?"
"Eng, sebenarnya sebentar lagi
aku juga ada sekolah persiapan."
"Ya sudah, pergi saja. Sisanya
serahkan saja padaku."
"Kau yakin? Aku boleh pergi…"
"Enggak apa, lagian hanya
tinggal dekorasi saja."
Dia enggak terlihat senang, mungkin
dia mengharapkan aku memberinya dalih untuk pergi.
"Ya, makasih. Oh, iya. Besok
aku pasti akan nonton dramanya! Semoga berhasil!"
"Terima kasih, tapi di sini
nantinya bagaimana?"
"Aku akan meminta Kobayashi-sensei untuk menggantikannya, lagian dia
penasehat kita, jadi tidak akan ada masalah! Sampai jumpa!"
Ruka-senpai pun pergi dengan menjatuhkan langkah kakinya.
"Nah, sekarang mari cepat-cepat
bereskan."
Yang lainnya sudah hampi beres,
hanya tinggal membuat tempatnya.
Kusatukan beberapa meja hingga
seperti sebuah bar, memasangkan kain di atas mejanya, dan menata buku-buku yang
sudah di jilid di atasnya.
Enggak hanya sebatas buku-buku buat
festival saja, kami juga mengeluarkan buku-buku lama buat siapa pun yang minat.
Begitu sudah beres, aku menghela
napas panjang dan melihat keluar jendela.
Sekolah sudah makin sepi, kebanyakan
murid mungkin sudah pulang.
Langit gelap gulita dihiasi dengan
bintang-bintang.
Apa
Eina juga melihat bintang yang sama, pikirku dengan santai.
Eina yang kubicarakan ini adalah
Eina dari lima tahun silam, jadi mana mungkin dia bisa melihat bintang-bintang
ini. Tapi… bagaimana dengan Eina yang ada di masa kini?
Apa dia, di planet yang sama dan di
waktu yang sama pula, sedang menatap bintang-bintang ini.
Kukeluarkan ponselku. Enggak ada
pesan satu pun. Aku sangat sibuk saat ini dan enggak bisa sering balas,
sehingga belakangan ini kami enggak banyak bicara. Kugulirkan jariku pada layar
sentuh, dan meneleponnya.
Ponselnya berbunyi sekali dan dia
mengangkatnya.
《Halo, ini Eina.》
"Ini Shuu."
《Selamat malam. Besok hari H-nya, apa kamu sudah
pulang?》
"Belum, aku masih di
sekolah."
《Wah, pasti sulit.》
"Yah, aku baru mau
pulang."
《Kedengarannya seperti memuaskan kehidupan sekolah!》
Eina memang benar. Belakangan ini,
herannya hidupku terasa memuaskan.
"Ya, benar. Latihan drama dan
mempersiapkan Klub Literatur terasa menyenangkan tapi," Usai mendengar
suara Eina, aku tahu mengapa aku agak merasa sedih, "Pasti bakal lebih
menyenangkan kalau kau juga ada di sini."
Eina enggak ada di sini. Aku enggak
tau wajahnya, namanya, atau bahkan umurnya, tapi aku tetap merasa dia harusnya
ada di sampingku. Aku ingin bertemu dengannya.
Karena dia hidup di lima tahun
silam…
Andai
kita hanya terpisahkan oleh jarak yang jauh, kita masih bisa bertemu. Aku bisa
menaiki kereta, atau bahkan pesawat.
Tapi terpisahkan oleh waktu enggak
bisa diatasi.
《… Kalau bisa, aku juga ingin bertemu denganmu,》soprannya
yang jelas memasuki telingaku, tenang dan kesepian, 《Aku ingin
mempersiapkan festival budaya dan berlatih bersamamu.》
Mungkin Eina juga merasakan hal yang
sama denganku, dan dengan tenang kudekap suaranya di hatiku.
"Terima kasih, Eina."
《Tidak masalah.》
Kami terdiam untuk beberapa
saat, benar-benar terdiam tanpa kata.
Tapi hatiku terasa tenang, mungkin karena aku tau sedang terhubung dengannya
lewat ponselku.
Dia memang enggak ada di sampingku,
tapi sedikit pun aku enggak merasa sendirian.
"Begini."
《Umm…》Kami bicara bersamaan sebelum kembali terdiam untuk
menunggu pihak lain melanjutkan.
"Kau duluan."
《Eng, kapan ulang tahunmu?》
"Sabtu depan."
《Eh, sebentar lagi, dong?! Gimana, nih…》
"Gimana?"
《Eng, ah, aku hanya bicara sendiri. Ah, benar juga,
kita pergi bersama saja Sabtu depan?》
"Pergi bersama?"
Aku enggak paham apa yang
dimaksudnya.
《Kita memang tidak akan bisa bertemu. Tapi kalau kita
pergi ke tempat yang sama, berasa seperti kita pergi bersama.》
"Ah, ayo kita lakukan."
Kuperiksa jamku.
Aku benar-benar harus segera pulang.
"Teleponnya kututup, ya, aku
harus pulang."
《Baik.》
"…"
《… Eng, kamu tidak menutupnya.》
"Aku nunggu kamu."
Kami berdua tertawa.
《Kalau begitu, dalam hitungan ketiga?》
"Tiga."
《Satu.》
"Dua."
《"Tiga."》
Suara kami berbaur dengan nada
elektronik saat kami menutup teleponnya. Bahkan setelah menutupnya pun, sejenak
pandanganku masih tertuju pada ponselku.
8
Di hari berlangsungnya festival, aku
mengerjakan beberapa persiapan klub dan segera menuju ke kelas.
Ruang kelas diriuhi suara
orang-orang yang sibuk melakukan tata rias, yang menyiapkan kostum-kostum, dan
yang mengatur tata cahaya.
Aku enggak bisa menemukan Ketua,
padahal masih ada beberapa hal yang ingin kubahas sekali lagi.
"Apa Ketua masih bersama
OSIS" Tanyaku pada Sakai.
Enggak biasanya dia membuat wajah
serius saat menjawab.
"Dia masih belum datang ke
sekolah. Aku juga sudah tanya ke anggota OSIS, tapi mereka juga belum melihatnya."
Aku merasa kaget sekaligus was-was.
"Bukannya dia sudah
menghubungimu? Tanyanya.
"Enggak, aku enggak punya
nomornya…"
Aku jatuh lemas.
Lalu.
"Ketua! Kau sedikit
telat!"
Teriak seorang gadis dari pintu. Aku
melihat Ketua yang memasuki ruangan dengan lamban. Tapi dia hanya melirik gadis
itu dan enggak menjawab.
Enggak, dia menjawab, mulutnya
bergerak.
Namun, suaranya enggak menjangkauku.
Aku punya firasat buruk, nih.
"Ketua, apa kau baik-baik
saja?"
"Ya, aku baik-baik saja."
Dia mendekat dan suaranya nyaris
enggak terdengar.
Itu bukanlah suara soprannya yang
jelas, suaranya serak, dan kalau saja aku enggak melihatnya bicara, mungkin aku
enggak bakalan tahu suara siapa itu.
Matanya sembap dan pipinya merah.
Sudah jelas kalau dia demam. Bahkan cara berjalannya saja terlihat diseret.
"Baik-baik saja apanya."
"Maaf, aku lelah dan tidak
tidur semalam. Aku juga sepertinya pilek," Ungkapnya.
"Kau tidak tidur, kenapa?"
"Aku gugup sewaktu memikirkan
pementasan hari ini."
"Jadi kau juga gugup…"
"Kau pikir aku ini robot
apa?"
Merasa enggak senang, dia
mengerutkan dahinya, dan mengembungkan pipinya.
"Enggak, hanya saja kau selalu
tenang bicara pada semua orang selama perkumpulan dan semacamnya."
"Aku bisa karena selalu
berusaha sebaik mungkin," Dia berhasil mengucapkannya, sebelum terbatuk
kering lagi.
Gimana, nih? Dia kelihatannya
enggak bisa bicara, tapi bakalan sulit berakting dengan suaranya yang begitu.
"Kita harus menggantinya. Apa
ada yang…" Saat kumulai bicara, semua gadis langsung membuang muka,
"Oi, ini darurat."
"Sudah jelas tak ada yang
mau," Salah seorang gadis melangkah maju mewakili yang lainnya,
"Salah satu dari kami harus menggantikan Ketua? Semua orang datang untuk
melihatnya, iya, ‘kan? Seandainya
salah satu dari kami yang maju, mereka akan berkata ‘apaa-apaan dengan pemeran
jelek ini’ atau semacamnya, jadi tidak mungkin."
"Benar, tuh! Orang-orang hanya
akan menyoraki kita kalau gadis lain yang memerankannya!"
Tambah Sakai.
Seketika itu pun dia langsung
digusur oleh gadis-gadis tersebut.
"Mau tak mau kita harus
membuatmu melakukannya, tapi dengan suara seperti itu pasti sulit."
"Hei, Klub Literatur, bisa kau
hubungi Eina-san?" Tanya Ketua
dengan suara serak.
"Karena hari ini Sabtu, jadi
harusnya sih bisa."
"Kalau begitu, tolong."
Kutelepon Eina seperti yang
dimintanya.
《Halo, ini Eina.》
"Eina-san?"
《… Siapa ini?》
"Itu Ketua," Ujarku
padanya.
《Ehh?!》Teriaknya dengan bingung. 《Suaramu kenapa?!》
"Aku pilek. Jadi, aku punya
permintaan…"
《Selama aku bisa, beritahu saja!》
Kata-kata Eina seolah membuat Ketua
tenang.
Lalu :
"Terima kasih. Kalau begitu,
maukah kau menyuarakan peran utamanya?"
Ucapnya dengan ekspresi tenang.
《Ehh?》
"Huh?"
Kata kami dengan serempak.
"Tunggu sebentar, maksudmu dia
melakukannya lewat ponsel?"
"Begitulah."
"Bukannya sudah jelas bakal
ketahuan?"
"Tidak apa. Buat begini saja,
si protagonisnya bisu karena terluka, jadi si iblis menggunakan sihir supaya
kita bisa mendengarnya?"
《Kalau memang seperti itu, kurasa terdengar masuk akal…》
Kalau penulis aslinya bilang begitu,
maka dalam fiksi mungkin bisa.
"Terima kasih. Kalau begitu,
kita akan buat narator mengatakannya nanti."
《Benar juga, bukan itu masalahnya! Aku tidak bisa
berakting!》
"Bukannya sewaktu di taman
dengan Klub Literatur sudah kusuruh untuk mencoba berlatih juga?"
《Iya sih, tapi aku benar-benar tidak mahir…》
"Kau pasti bisa, kok. Malah,
hanya kaulah yang bisa melakukannya. Protagonisnya adalah kau, ‘kan? Kau tidak
usah berakting, cukup mengucapkan kata-katanya saja."
《Tapi… nantinya aku malah bicara dengan monoton…》
"Tidak apa. Si gadis dalam
ceritanya memang kurang dalam perasaan dan kesengsaraan. Aku yakin kau pasti
bisa," Ujar Ketua, sebelum mulai tersedak.
"Eina, kau bisa dengar sendiri
kondisinya, ‘kan? Jadi mau, ya?"
《Baiklah, aku akan berusaha!》
"Nah, sudah beres. Kau terlihat
keren, Yagi-kun."
Gadis yang bertanggung jawab atas
kostum dan tata rias menampar bahuku.
"… Makasih."
"Kau gugup?"
"Ya iyalah."
"Dasar, contoh Ketua, tuh."
Kulirik ke samping padanya.
Dia didandani layaknya gadis lusuh
dan nampak fana, seakan bisa lenyap kapan pun.
Meski mengenakan pakaian robek
sekali pun, dia masih memikat.
Dengan mata yang terpaku pada
naskah, dia melakukan pemeriksaan terakhir dengan tenang.
"Eina, sebentar lagi mulai, apa
kau siap?"
Ucapku pada ponselku yang
dipasangkan dalam sistem suara.
《Ya! Serahkan padaku!》
Dia penuh semangat kembali tanpa
merasa gugup sedikit pun.
Aku
enggak boleh jadi satu-satunya orang yang gugup.
Kutegakkan tubuhku dan tarik napas dalam-dalam.
"Nah, sekarang giliran kita!
Seru perwakilan kelas sewaktu Ketua pergi ke atas panggung.
Sorakan menyambutnya di atas
panggung.
Perkataan Eina bergema di seluruh
aula.
《Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Mungkin akan
lebih baik kalau aku mati…》
Suaranya masih tetap indah sekali
pun lewat sistem suara.
Sopran yang teramat jelas nan indah
yang enak di dengar.
Lalu aku menuju ke atas panggung.
Ruangan kelas sudah ditata ulang
menjadi aula dan sudah terisi sepenuhnya, sehingga aku kewalahan oleh banyaknya
penonton dari yang kukira.
"Nona muda, boleh kuminta
sedikit bantuanmu? Maukah kau pinjami aku lenganmu? Kakiku terluka dan aku tak
mampu berdiri."
Aku pun berada di atas panggung
selama sisa dramanya.
Di sepanjang cobaan pertama dan
kedua, Kami memainkan peran kami… tanpa adanya kesalahan besar.
Dan terakhir, adalah cobaan ketiga.
"Aku akan selalu mendukungmu
selamanya."
Saat kuucapkan dialogku, kuserahkan
belati bohongan pada si gadis, yakni Ketua.
Mulutnya Ketua terbuka.
Namun, aku enggak bisa dengar
suaranya Eina.
Seisi aula pun terhening.
Kulirik ke bagian sisi panggung, dan
teman sekelas kami pun panik.
Para penonton sepertinya belum
menyadari adanya kesalahan.
Ada
apa, Eina? Kenapa kau diam saja…?
Aku mau bicara begitu tapi langsung
menyerah. Bukan perasaan Eina lah yang harusnya kupikirkan, melainkan perasaan tokoh
di panggung.
Apa yang akan dipikirkan si gadis?
Dia
akan bahagia, bukan? Akan perasaan cintanya.
Lalu ia pun bersatu. Saking
bahagianya, dia sampai enggak bisa meluapkan perasaannya.
"Aku… mendukungmu."
Enggak lama setelah kuulangi dialog
itu, mata Ketua berlinangkan air mata. Air mata tersebut mungkin hanya sekedar
perasaanku saja, seolah Eina berada di depanku, berdiri bersamaku di atas
panggung.
Aku merasa bersalah pada Ketua
karena sudah berkata begitu, tapi aku melihat Ketua sebagai Eina.
《Aku tak sanggup membayangkan hidup tanpa dirimu. Aku
ingin bersamamu. 》
Kini kami pun langsung menuju akhir
yang bahagia.
"Oi, tadi itu keren
sekali."
Seberesnya drama, Sakai melompat
dari sisi panggung.
"Yang bener?"
"Ya, para penonton juga sangat
menyukainya. Oh iya, nih rekamannya."
Sakai memberikan kartu SD.
"Makasih, kau memang
penyelamat."
Sakai merekam drama tersebut dengan
ponselnya. Karena sebagai reporter Klub Surat Kabar dia harus menontonnya
sendiri, aku pun menyuruh dia untuk sekalian merekamnya.
"Oh iya, kenapa tidak kau suruh
Eina-chan datang saja? Akan lebih
bagus kalau dilakukan sendiri, ‘kan?" Tanya Sakai. Dia mungkin menanyakan
pertanyaan yang sangat penting begitu karena ingin tahu siapa orangnya.
"Entahlah."
"Mulutmu memang rapat seperti
biasanya, ya."
"Ya iyalah."
Sekalipun
aku mau, aku enggak tahu apa-apa soal dia.
"Aku mau pergi dulu ke Klub
Literatur," Ucapku dan meninggalkan Sakai.
Aku pun bergegas ke ruang klub untuk
menghilangkan kesepian yang memilukan hati.
Di jalan, aku mengirim rekamannya ke
Eina.
Usai beberapa saat, aku mendapat
balasan.
Eina
: Itu mengagumkan, aku sangat terkesan! Rasanya sulit dipercaya bisa melihat
sesuatu yang kutulis dipentaskan! Aku sedikit malu karena suaraku juga ada,
sih…
Shuu
: Apa itu enggak persis dengan yang kau bayangkan?
EIna
: Persis, kok! Tidak, malahan lebih bagus! Karena…
Shuu
: Karena?
Eina
: Aku bisa melihat rupamu.
Benar, ini pertama kalinya dia
melihat rupaku.
Shuu
: Apa aku menghancurkan kesanmu?
Eina
: Tidak, kok! Malah… terasa seperti… persis seperti yang kukira!
Mendengar komentarnya Eina, hatiku
terasa hangat.
*
Hari terakhir festival.
Di sekolah kami ada acara pra-festival yang hanya
diperuntukkan para siswa-siswi saja. Mereka menggunakan panggung gimnasium,
menampilkan band sukwan dan pertunjukkan
gulat profesional di aula.
Aku bukan tipe orang yang suka
berpesta, jadi hanya menyesap minuman saja di aula tanpa menyaksikan perayaan.
Ada banyak orang juga yang berbuat begitu, jadi aku enggak merasa terasingkan.
"Klub Literatur,"
Seseorang menepuk bahuku, itu adakah Ketua.
"Enggak apa nih, bukannya OSIS
yang mengurus ini?"
"Bukan berarti aku melakukan
semua pekerjaan," Balasnya sekeras mungkin. Aku merasa kasihan padanya
karena suara band menggelera di
seluruh aula.
Kuberi isyarat untuk pergi keluar
dengan lirikan, dan dia pun mengangguk. Lantas kami pun pergi keluar ke
belakang aula.
Angin malam terasa menyejukkan.
"Maafkan aku," Ketua
duluan bicara selagi kami berjalan, "Harusnya aku menjaga kesehatanku
dengan lebih baik."
"Enggak usah khawatir, lagian
kau ini sibuk. Selain itu, kau berhasil memerankan dramanya meski dalam kondisi
begitu, kau memang hebat."
Ketua tampil dua kali, pagi dan
sore. Saat tampil kedua kalinya, suaranya makin membaik, jadi dialognya pun
diucapkan sendiri olehnya.
"A-Aku…?"
"Ya. Kau enggak nyusahin siapa
pun, dan bahkan Eina juga merasa senang."
Bagi Ketua mungkin itu enggak adil,
tapi aku senang bisa berpartisipasi dalam festival budaya bersama Eina, dan dia
juga turut senang. Itu adalah keberuntungan kami. Tentunya aku enggak bilang
begitu pada Ketua, mana mungkin aku bisa bilang bahwa aku bersyukur dia terkena
pilek, dan bakal berasa enggak sopan juga terhadap aktingnya. Tapi aku sungguh
ingin dia tahu bahwa dia enggak membuat masalah apa pun.
"Terima kasih buat aktingmu
yang mengagumkan, kau benar-benar memerankannya dengan baik," Ujarku, dan
dia membuang muka, wajahnya sedikit merah.
"Kau juga sama. Apa kau juga
akan berterima kasih pada Eina? Aku akan pergi sekarang!"
Ketua pergi begitu saja seolah
menyembunyikan wajahnya.
Dia terkadang manis juga, pikirku.
Aku enggak balik ke aula dan malah
berdiri di angin malam untuk sejenak.
Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 2 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
1 komentar:
Ntaps!!!
Reply