Wednesday, September 19, 2018

Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 2 Bahasa Indonesia




Chapter 2 – Festival Budaya Bersama Eina

            "Ada saran lain?"
            Seru perwakilan kelas dari depan meja guru.
            Berbagai saran seperti kafe, drama, rumah hantu, dan arkade sudah tercatat di papan tulis.
            Festival budaya sudah hampir tiba, namun ada kemungkinan bahwa kelas kami belum mengambil keputusan tepat pada waktunya, sehingga perundingan yang kurang niat ini pun diadakan seusai jam Wali Kelas.
            Aku dengan tenang menyimak kegiatan yang tengah berlangsung itu. Anggota-anggota Klub Humanitas di sekolah kami enggak begitu peduli dengan pementasan kelas karena mereka sudah disibukkan dengan klubnya sendiri.
            Berbeda dengan beberapa sekolah lainnya, di sekolah kami enggak ada pementasan dari klub-klub olahraga, sehingga pementasan kelas lebih terpusat pada para anggota Klub Olahraga dan Klub Pulang Sekolah. Karenanya, murid-murid yang berasal dari kedua klub tersebutlah yang paling sibuk. Namun, biarpun bukan pilihan utama, kami Klub Humanitas juga akan turut membantu.
            "Putusan akhirnya akan kuambil dari usulan-usulan ini saja, jadi angkat tangan untuk pilihan yang paling kau inginkan."
            Kuangkat tanganku pada pilihan kafe, namun seisi kelas kebanyakan memilih drama.
            "Drama, ya?"
            "Kayaknya sulit."
            "Tapi bakalan seru."
            "Aku akan jadi penduduk A saja."
            Teman-teman sekelasku mulai membicarakan soal drama tersebut.
            "Nah, selanjutnya kita putuskan drama apa yang akan kita tampilkan."
            Supaya beberapa hal bisa lekas ditetapkan, biasanya bakalan menggunakan sesuatu untuk dijadikan inspirasi, seperti Cinderella, Putri Salju, atau dongeng-dongeng lainnya. Drama lengkap rasanya bakalan terlalu sulit karena selain semua murid amatiran, mereka juga harus berusaha menghafal dialognya.
            Sibuk memikirkan banyak hal, aku diam membisu. Paling ujung-ujungnya juga aku bakalan memainkan peran kecil, dan semuanya memilih membantu apa yang mereka bisa.
Akan tetapi—
            "Akan bagus kalau punya naskah asli."
            Perhatian seisi kelas pun teralihkan pada naskah asli begitu mendengar usulan gadis itu. Kurasa karena festival budaya hanya berlangsung setahun sekali, mereka semua jadi bersemangat. Tapi menurutku naskah asli bakalan terlalu sulit, jadi aku khawatir apa ini bakalan berjalan dengan lancar. Lagian, apa yang bakalan kita lakukan dengan pembuatan keseluruhan ceritanya?
            Namun, tentunya aku tetap bungkam. Aku enggak mau merusak kesenangan mereka sebelum kita memutuskan apa pun, karena semuanya berhak mengutarakan pendapatnya.
            "Tapi siapa yang akan menulisnya?"
            "Aku belum pernah menulis."
            "Di sini ada yang dari Klub Drama?"
            "Tidak ada."
            "Terus, siapa, dong...."
            Apaan ini?
            Semua murid menoleh ke belakang. Tatapannya terasa ditujukan padaku…
           
            "Benar juga, kita punya Yagi-kun!"

            Gadis yang bicara padaku itu mungkin menunjukku tiga kali.
            "Aku? Aku enggak bisa nulis, tahu?"
            "Lah, kau ini masuk Klub Literatur, ‘kan?"
            "Ada di Klub Literatur bukan berarti aku bisa menulis."
            Seisi kelas mulai memperolokku, sementara Sakai tergelak-gelak di pojok karena tahu aku ini enggak bisa menulis cerita.
            Aku melirik ke tempat duduk di sebelahku, dan Ketua Minekawa memelototiku sambil mengerutkan keningnya. Eh, dia juga berpikir begitu.
            "Aku enggak bisa melakukannya."
            Aku menolaknya, sehingga hari itu pun kami sudahi karena telah memutuskan untuk mementaskan drama, dan masing-masing dari kami pun paham harus mempertimbangkan cerita yang seperti apa yang kami inginkan. Ini harapan yang kurang jelas.

*

Eina : Malam, Shuu-san. Sedang apa?
Shuu : Aku lagi menyunting.
Eina : Ah, buat edisi festival budaya? Kali ini kamu berhasil dapat pengajuan.
Shuu : Berhubung ini kesempatan terakhir anak kelas tiga, jadi mereka selalu ikut andil.
Eina : Huh, Shuu-san, kamu kelihatan murung hari ini.

            Aku tertegun. Perasaanku tertuliskan? Apa benar?

Shuu : Enggak, cuman sedikit jengkel aja, sih.

            Kuceritakan soal perundingan kelas sehabis sekolah.

Eina : Diolok karena tak mau menulis naskahnya? Kejamnya!
Shuu : Harusnya aku enggak kasih mereka harapan.
Eina : Kamu tidak salah, kok.
Shuu : Makasih. Tapi aku bingung, kalau kami memakai naskah asli dengan mengambil ide-ide dari teman-teman sekelas, kayanya enggak bakalan keburu…

            Hanya menulisnya saja sudah lumayan sulit, apalagi menghafalkan dialognya dan berlatih. Kami juga harus membuat peralatan buat pentas dan kostum-kostumnya...

Eina : Shuu-san, ini hanya saran, tapi…
Shuu : Apa?
Eina : Naskahnya… boleh aku… yang tulis.
Shuu : … Beneran?
Eina : Ya, akan kucoba!
Shuu : Tapi kau pasti sibuk, ‘kan?

            Ujarku, tapi aku sadar enggak tahu apa-apa soal kehidupan sehari-harinya.

Eina : Tidak, kok. Malah tiap hari aku senggang karena tak masuk klub atau pun ikut Bimbel, jadi kupikir menulis akan jauh lebih bermanfaat.
Shuu : Beneran?! Bagus, deh!

*

            "Semuanya, dengarkan sebentar."
            Besoknya, aku berdiri di depan meja guru usai jam sekolah.
            "Oh, Yagi, jadi kau mau menulis naskahnya?"
            Ucap salah seorang anak lelaki padaku.
            "Enggak, tapi aku tahu siapa orang yang mau. Eina, orang yang menulis cerita buat Klub Literatur."
            Waktu kubilang begitu, seisi kelas langsung ribut.
            "Aku sudah membacanya, ceritanya memang menarik."
            Orang yang menulis cerita tersebut harusnya bisa menuliskan sesuatu yang bagus buat kita, ‘kan?
            "Kalau begitu, siapa yang setuju Eina-san menulis naskahnya…"
            Perwakilan kelas memungut suara, seisi kelas pun kebanyakan memilihnya.
            "Makasih. Nah, kalau misalnya ada yang kalian inginkan dari ceritanya, kasih tahu saja, biar nanti menulis ceritanya jadi gampang."
            Tanyaku.
            "Aku ingin yang romantis."
            "Akhir yang bahagia!"
            "Ada sedikit bumbu misterinya."
            Kucatat apa yang diutarakan mereka semua.
            "Nanti ceritanya akan seperti apa, ya?!"
            "Kuharap ceritanya bakalan menarik!"
            Harapan seisi kelas terlihat semakin meningkat, begitu pun denganku.
            Aku sendiri menantikannya karena bakalan bisa baca karya selanjutnya Eina, tapi karena itu diperuntukkan buat pentas drama kelas, jadinya aku enggak bisa berharap banyak.
            Rasanya tahun ini aku banyak membantu kelas deh, pikirku.
            Klub Literatur punya banyak anggota, sehingga aku bisa fokus pada pementasan kelas begitu mereka memberikanku bahan-bahannya. Anak-anak kelas tiga bakalan bergabung bersama kelas mereka sendiri karena harus belajar buat ujian juga, jadinya ini hubungan yang saling menguntungkan.
Oleh sebab itu, aku punya keleluasaan sendiri untuk mengatur persiapan Klub Literatur. Klub harus mencetak buklet, menjilidnya, dan mendistribusikannya. Namun itu enggak masalah, karena aku bisa menyuntingnya di rumah dan menjilidnya di ruang klub sesudah membereskan pekerjaan kelas. Terus kalau sehari sebelumnya aku berusaha sebaik mungkin, aku juga bisa menyelesaikan pendekorasiannya.
            "Shuu, sini bentar," bisik Sakai padaku, "Apa Eina-san sekelas dengan kita?"
            "Memangnya kenapa?"
            "Maksudku, mana ada ‘kan orang yang mau menuliskan naskah untuk kelas lain?"
            Sakai membusungkan dadanya terhadap penilaiannya.
            "Entahlah,"
            Aku menghindari pertanyaannya.
            Ya atau tidak bukanlah jawaban yang bagus buat pertanyaan semacam itu, karena jawabannya itu sendiri akan memberinya informasi. Setidaknya biarkan saja dia tahu kalau Eina enggak ada di kelas kita.
            "Sial, kau tidak terkecoh, ya?"
            "Ya iyalah."
            Sakai berseru dengan jengkel.
            "Untuk punya sahib di Klub Surat Kabar, mulutmu ini kelewat rapat, Shuu."
            "Bahaya buat jadi temanmu kalau mulutku ember, apa pun bisa kau tuliskan."
            "Aku juga tahu mana yang harus kutulis dan mana yang tidak."
            Dia melirik ke arahku, tapi aku enggak ada niat bicara soal Eina.
            Lagian, enggak ada apa pun yang bisa kuberitahukan soalnya.
            Tiba-tiba, hatiku terasa sakit. Perasaan apa ini....

2

            Besoknya :

Eina : Shuu-san, bagaimana kegiatanmu hari ini?
Shuu : Menyunting, menerima ilustrasi dan desain sampul dari Ruka-senpai hingga menyusun datanya.
Eina : Oh! Berjuanglah!
Shuu : Kau sendiri? Gimana naskahnya?
Eina : Aku lagi menyiapkan skemanya!
Shuu : Baiklah, mari kita sama-sama berjuang!

            Tiga hari kemudian :

Eina : Shuu-san, kerja bagus.
Shuu : Kau juga.
Eina : Apa kabarmu hari ini?
Shuu : Sama seperti biasa, berangkat sekolah, lalu menyunting. Sekarang ini aku ingin membereskan pekerjaan Klub Literatur supaya bisa bantu-bantu kelas sebelum festival budaya.
Eina : Kamu ini pekerja keras, ya?
Shuu : Enggak juga, aku hanya mengerjakan apa yang kusuka saja.
Eina : Tetap saja hebat.
Shuu : Makasih, jadi naskahya gimana?
Eina : Ah, sudah hampir beres.
Shuu : Aku dan yang lainnya menantikannya, jadi berjuanglah.

            Seminggu kemudian :
            Sudah tiga hari terakhir ini aku belum mendapatkan pesan apa pun dari Eina, jadi sepulang sekolah kukirimi dia pesan.

Shuu : Hai, apa kabar?

            Enggak ada balasan.
            Biasanya aku bakalan langsung dapat balasan, aku penasaran, ada apa, ya.
            Apa mungkin dia sibuk dengan festival sekolahnya sendiri?
            Waktu berpikir begitu, ponselku pun berdengung.

Eina : Hai, apa kabarmu hari ini?
Shuu : Aku sudah membereskan data buat bukletnya, jadi sekarang tinggal membeli kertas dan mencetaknya saja.
Eina : Wah, cepat sekali!
Shuu : Ya, dan sekarang harusnya aku bisa membantu kelas dengan benar. Jadi, soal naskahnya…
Eina : Eng, ah, eng… sedang kuusahakan.
Shuu : Kira-kira kapan beresnya.

            Balasannya sempat terhenti lagi, dan baru dibalas lagi pas malamnya sebelum aku tidur.

EIna : Kurasa masih agak lama.        
Shuu : Begitu, ya.....

            Kurasa menulis naskah sama cerita beda banget. Tadinya kupikir hanya akan memerlukan waktu sekitar seminggu karena dia bisa menulis cerpen hanya dalam semalam, tapi mungkin itu agak sulit.
            Tapi, festival hanya tinggal dua minggu lagi. Kalau kami enggak segera membuat alat-alat buat pentas dan kostum-kostumnya, nantinya enggak bakalan keburu. Para pemerannya juga perlu latihan…
            Sebenarnya, kami harus memutuskan pemeran-pemerannya juga.

Shuu : Bisa kau kirimkan saja dulu seadanya? Jadi kami bisa membuat alat-alat buat pentas dan kostum-kostumnya, dan bisa memutuskan pemeran-pemerannya juga.
Eina : Eng, eng… sebenarnya…

            Lalu, Eina mengirimkan pesan yang mengejutkan.

Eina : Aku masih belum menulis sepatah kata pun.
           
            "Apa?!"
            Teriakku di kamarku.
            Belum sepatah kata pun? Kenapa?
            Enggak, aku enggak punya waktu buat cari tahu alasannya.
            Ini gawat. Waktunya tinggal dua minggu lagi, aku enggak yakin dia bakalan bisa menyelesaikannya.
            Mataku berputar saat aku kebingungan.
            Aku akan bicara sama Ruka-senpai. Dia mungkin kenal sama seseorang yang kelasnya juga mementaskan drama. Kalau kami bisa meminjam naskahnya dan mementaskannya… Selain itu, naskahnya bakalan disiapkan oleh seisi kelas…

Eina : Shuu-san? Shuu-san?

            Ada pesan lainnya lagi dari Eina, dan aku sadar belum membalasnya.

Shuu : Maaf, Eina. Aku lupa balas. Enggak apa, akan kuberitahukan saja sama yang lainnya kalau itu kebanyakan dan terlalu sulit buat menyelesaikannya tepat waktu, aku akan cari yang lain saja.
Eina : Eh!!
Shuu : Enggak apa, mereka bakalan ngerti, kok. Dari awal kau hanya sukwan.

            Vzzzzt, vzzzzt.
            Ponselku bergetar lama sebanyak dua kali.
            Itu telepon dari Eina.

Shuu-san.... aku akan berusaha, aku akan berusaha, jadi…

            "He-Hei…"
            Eina nangis. Suaranya gemetar, dan menangis tersedu-sedu berulang kali.
            Aku gelagapan, mungkin harusnya aku enggak tiba-tiba menolaknya begitu. Mungkin dikiranya aku ini marah.
            "Eina, aku sama sekali enggak marah, kok. Kau enggak usah khawatir, lagian kami sendirilah yang memaksamu, enggak apa kok kalau kau memang melakukannya sesuai dengan kecepatanmu sendiri."

Shuu-san, jangan bilang begitu.... Kumohon, biarkan aku menulis naskahnya!

            "Tapi...."

Bicara denganmu adalah satu-satunya alasan hidupku. Aku tak mau memutuskannya, tolong jangan mengakhirinya, aku akan berusaha lebih keras…

            Aku merengut. Dia salah paham. Rasanya hampir seperti....
            "Eina. Aku enggak bicara dengamu karena kau menulis novel atau drama, lo?"

Eeeh?

            "Tentunya yang kau lakukan itu memang hebat, tapi kalau enggak juga enggak apa-apa. Lagian, aku sendiri enggak bisa menulis."

Kamu tidak kecewa.

            "Kenapa harus kecewa? Mau kamu menulis atau enggak, kau ya kau, yang berharga—"
            "Berharga?"
            Yang berharga apa?
            Aku enggak bisa menemukan kata yang tepat.
            "Pokoknya, kau enggak usah memaksakan diri."

Terus, kenapa kamu bicara denganku?

            "Karena menyenangkan.... kurasa."
            Kali ini aku berhasil mengucapkannya. Itu sungguh niat sejatiku. Berbicara dengan Eina sangat menyenangkan. Makanya, aku merasa sedih sewaktu enggak ada kabar darinya selama tiga hari lalu.  Sampai-sampai mengobrol dengannya sudah menjadi bagian dari hidupku.

Shuu-san.....!!

            Eina terdengar seperti ingin berteriak dan menangis saat telepon di pihak lain berakhir.
            "Ada apa?! Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?!"

Tidak. Malahan aku senang, karena… sudah begitu lama…semenjak seseorang berkata begitu padaku…

            "Begitu lama?"

Shuu-san, boleh aku.... langgar peraturannya? Boleh aku… bicara soal diriku?

            Aturan, supaya aku enggak tahu banyak soal Eina. Jadi, aku enggak bisa mengira siapa dia.
            Tapi…
            "Ya,"
            Anggukku.
            Aku juga ingin tahu soal dia.

Aku sudah tak punya ibu dan ayah, mereka sudah meninggal.

            Napasku tersendat di tenggorokanku.

Sekarang ini aku tinggal bersama saudari ibuku, bersama bibi dan pamanku, tapi kami tidak akur. Bahkan Tetehku saja, sepupuku, menindasku… kamu ingat sewaktu aku tiba-tiba menutup telepon? Saat itu dia membentakku karena berisik.

            "Apa sekarang enggak apa?"

Ya, aku menyelimuti kepalaku dengan selimut.

            Aku bisa membayangkannya, seorang gadis yang bersembunyi di dalam selimut dengan ponsel.

Aku… tidak punya teman. Di sekolah pun aku menyendiri.

            "…"

Aku suka sendirian. Susah rasanya untuk terus-menerus bersama semua orang di sekolah, tapi sewaktu kubilang begitu, tidak ada yang mau jadi temanku… sendirian di sekolah rasanya agak menyedihkan. Ibu dan ayah tidak memaksaku untuk sekolah, tapi bibi dan pamanku akan marah kalau aku tidak sekolah.

            Dia suka merenung.
            Dia lain dari orang-orang di sekitarnya, namun di sekolah, perbedaan kecil saja bisa diperlakukan sebagai penyeleweng. Bisa dibilang itu nasib buruk, karena di sekolah enggak ada seorang pun yang memahami Eina.
            Jadi begitu, ya.
            Dia selalu sendiri.
            Kucengkram erat smartphone-ku hingga bekertak.
            Aku ingin menemuinya dan memeluknya.
            Tapi enggak bisa. Ada jarak lima tahun yang memisahkan kami.
            Tapi seenggaknya, aku bisa membuatnya mengerti.
            "Aku akan selalu mendukungmu selamanya."

Hiks! Terima kasih!

            Dia nangis lagi.
            Dia bear-benar banyak nangis.
            Tapi… membiarkannya menangis mungkin adalah yang terbaik. Enggak ada salahnya buat menangis saat kau bahagia, ‘kan?
            Aku ingat dia pernah bilang, ‘Bagaimana kalau aku mati setelah lima tahun?’
            Eina paham betul kalau enggak bakalan ada yang tahu kapan kebahagiaanmu akan hancur.
            Makanya, hargailah kebahagiaan yang kau miliki.

*

Eng, Shuu-san?

            Bisik Eina padaku yang sudah berhenti menangis.    
            "Ya?"

Soal naskahnya.

            "Oh iya, kita lagi bicarain itu."

Boleh.... aku menulis mengenaimu?

            "Eh?"

Dengan menggunakan kebahagianku atas apa yang kamu katakan serta betapa menyenangkan rasanya mengobrol sebagai inspirasi, kurasa aku akan bisa menulisnya sekarang.

            "Baiklah. Akan kusuruh yang lainnya untuk menunggu sedikit lebih lama lagi."
            "Jangan memaksakan diri, ya? Kalau ada masalah, jangan sungkan untuk membicarakannya denganku."

Tidak ada, kok.

            Aku enggak bisa melihat wajahnya.
            Namun, rasanya aku bisa melihat senyumannya.
           
3

            Waktu kubangun paginya, aku mendapatkan pesan dari Eina.
            Pesan tersebut berisikan naskahnya.
            Sekujur tubuhku memerah karena bersemangat.

Shuu : Makasih, sekarang dramanya sudah mulai bisa disiapkan. Maaf sudah memburu-buru.
Eina : Aku hanya tak bisa berhenti begitu aku mulai menulis!
Shuu : Eina, kau benar-benar punya bakat menulis.

            Anehnya, aku enggak merasa cemburu. Malah, aku senang bisa membaca apa yang ditulisnya.
            Kulangsung pindahkan berkas itu ke laptopku dan mencetak salinannya. Membaca di kertas bisa jauh lebih fokus. Kutaruh naskahnya pada tasku, dan lekas berangkat ke sekolah. Sesampainya di kelas, aku langsung duduk di kursiku, dan segera membacanya.
            Saat teman-teman sekelasku tiba, mereka mengucapkan salam dan mulai mengobrol. Namun, suara mereka berasa terdengar dari kejauhan.
            Naskahnya menarik.
            Mungkin karena dia sadar naskahnya buat drama, jadi genrenya benar-benar fantasi, atau juga bisa dibilang dongeng.

            Sang protagonis ialah seorang gadis remaja yang ditindas oleh ibu dan tetehnya, tidak punya teman, dan hidup dalam keputusasaan. Putus asa akan hidupnya sendiri, dia pun ingin mengakhirinya.
            Namun, di hadapannya tiba-tiba muncul seorang iblis yang terluka. Iblis tersebut dianiaya oleh manusia, dan si gadis yang baik hati itu pun hatinya tergerak untuk menyembuhkannya.
            Si iblis berkata akan mengabulkan permintaannya sebagai rasa terima kasihnya, namun harus melewati tiga cobaan.
            Cobaan pertama, pergi sendirian ke suatu gua di pegunungan dan membawa balik peti harta karun.
            Cobaan kedua, mencuri kunci di kamar ibunya yang menakutkan.
            Dan cobaan terakhir, gunakan belati di peti harta karun tersebut dan menyerahkan tumbal pada para dewa.
            Saat itu, si iblis menawarkan hidupnya sendiri demi mengabulkan keinginan si gadis, dan berkata :

            "Aku akan selalu mendukungmu selamanya."

            Dan menempatkan belati di tangannya. Namun, si gadis menolak.
            "Aku tak sanggup membayangkan hidup tanpa dirimu. Aku ingin bersamamu."
            "Kalau begitu, tak ada pilihan lain."
            Dengan menggunakan sihir, si iblis pun mengendalikan tangan si gadis supaya menikam dadanya.
            Si gadis yang meratap pun berpikir untuk menghidupkan kembali si iblis. Andai kata dia berhasil menghidupkannya kembali, maka hidupnya akan sama seperti sebelumnya. Tidak, mungkin hidupnya malah semakin buruk, tapi biarpun begitu… si gadis tetap memilih untuk menghidupkan kembali si iblis. Begitu si iblis bangkit dari kematiannya, dia pun berubah jadi manusia.
            Sejatinya dia adalah seorang pangeran terkutuk, dan kebaikan hati serta perasaan keduanya telah membuat keajaiban hingga bisa merusak kutukan tersebut.
            Keduanya pun bersumpah untuk saling mencintai selamanya, dan saling bertukar ciuman…

            ".... Yagi."
            "Ya?"
            Kuangkat kepalaku dan guru bahasa Inggris menatapku. Aku sama sekali enggak menyadarinya mendekat.
            Aku bisa dengar murid-murid lainnya tertawa, rupanya pelajaran sudah dimulai.
            "Tidak ada salahnya mengerjakan pekerjaan klubmu, tapi perhatikan juga pelajaranmu."
            "Maafkan aku!"
            Dengan terburu-buru kukeluarkan bukuku. Tapi, apa yang harus kulakukan?
            "Halaman sembilan puluh, terjemahkan baris kedua," Terdengar suara di sampingku.
            Itu adalah Ketua. Dia agak memelototiku dengan tampang dingin. Aku menggigil dan membuka buku pelajaran.
            Untungnya, aku bisa menerjemahkannya karena bahasa Inggris enggak susah-susah amat. Guru pun beralih ke murid berikutnya, dan aku kembali ke naskahnya Eina. Kali ini dengan pulpen merah buat mengoreksinya.
            Alhasil, aku seenggaknya sudah membaca dua kali.
            "Ahem."
            Waktu kuangkat kepalaku, aku bersabung mata dengan guru matematika di jam ketiga.
            "Yagi, apa pekerjaan sampinganmu itu sudah selesai? Kalau sudah, jawab pertanyaan ini."
            Seisi kelas pun larut dalam gelak tawa.

            "Dasar, kau ini memang tipe orang yang asik sendiri, ya?"
            "Aku?"
            Tanya balikku.
            "Kau tidak menyadarinya?" Sakai mengangkat bahu.
            "Kau tidak sadar yang lain menyapamu pagi ini? Mereka ada yang bilang ‘hebat, jadi ini naskahnya!’ atau ‘kita harus berterima kasih sama Eina’. Dan kau hanya mengabaikan mereka semua."
            "Eh, beneran? Aku harus minta maaf nanti...."
            "Tidak usah, yang lainnya juga tahu kau lagi membaca naskahnya dengan serius."
            Selagi kami mengobrol, perwakilan kelas muncul di depan meja guru, dan perundingan kelas pun dimulai. Naskahnya sudah ada, sehingga kami mulai betul-betul mempersiapkan dramanya. Saat istirahat makan siang nanti akan kucetak naskahnya dan membagikannya pada yang lainnya.
            Hari ini kami akan merundingkan pembagian tugas-tugasnya. Tentu saja itu juga termasuk pada tokoh-tokohnya, tapi bakalan ada juga yang ditugaskan buat kostum, peralatan pentas, dan penyetelan. Semuanya harus punya tugas masing-masing. Memberikan tanggung jawab tetaplah penting, jadi orang-orang yang masih nganggur bakalan ikut membantu beberapa hal yang belum beres.
            Para murid akan mengutarakan pendapatnya masing-masing, dan peranannya pun akan diputuskan. Yang bertugas buat kostum, peralatan pentas, penyetelan, hingga pemeran pembantu pun semuanya sudah ditentukan.
            Aku kebagian membantu bagian penyetelan. Aku enggak terlalu mahir dengan pekerjaan semacam itu, tapi aku masih bisa bantu pekerjaan fisik.
            Yang tersisa tinggal pemeran utama dan lawannya, si pangeran iblis.
            Mungkin karena adanya hubungan asmara dalam naskahnya, semuanya merasa malu dan enggak mau melakukannya. Bahkan ada adegan ciuman. Jelas mereka enggak ingin melakukannya beneran.
.
            Lalu, aku mendengar suara derikkan kursi yang dipundurkan di sebelahku.
            Ketua berdiri tegak dan dia pun berkata.

            "Kalau tak ada yang mau, aku akan memainkan pemeran utamanya."

            Seisi kelas pun mulai ribut.
            "Ketua memainkan pemeran utama...."
            "Dia sangat cocok,’kan?"
            "Bagus, tuh!"
            Sarannya pun disetujui. Kurasa dia memang cocok, kesan seorang gadis fana sangat cocok dengan kecantikannya.
            "Tapi ada syaratnya," Tuntutnya, sebelum mengatakan sesuatu yang mengejutkan, "Aku mengusulkan Klub Literatur untuk pemeran pangerannya."

            Seisi kelas pun mulai gempar.
            "Yagi jadi lawannya?"
            "Kenapa?"
            "Apa dia punya pengalaman berakting?"
            Terdengar celotehan dari seluruh ruangan. Aku sadar semuanya menatapku, dan aku terkejut sampai-sampai enggak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
            "Dialah satu-satunya orang yang berbicara dengan si penulis, jadi di kelas ini dialah yang paling memahami dramanya. Makanya, peran pangeran harus dimainkan olehnya," Ucap Ketua yang menatapku dengan mata dingin. Nyaris seperti bilang kalau itu adalah tugasku.
            "Ya sudah, kenapa tidak?"
            "Apa yang dikatakannya memang masuk akal."
            "Berjuanglah, Yagi-kun!"
            Seisi kelas mulai seiya-sekata dengan pendapatnya, sedangkan aku hanya bisa mengangguk tanpa bisa menolaknya.

4

            "Yo, Casanova."
            Sakai menepuk punggungku sewaktu kami berjalan keluar gerbang sekolah.
            "… Hentikan."
            Sakai berjingkrak, sedangkan aku berjalan dengan lesu.
            "Tapi memang benar ‘kan Ketua sendiri yang mengusulkanmu?"
            "Apa sih yang dipikirkannya?"
            Ucapku, sebelum menghela napas lelah.
            "Seperti apa katanya, dia itu ‘kan tipe orang yang bicara apa adanya."
            "Ya, dia selalu punya argumen yang adil."
            Itulah yang kukhawatirkan, karena enggak semua orang bisa menerimanya.
            "Aku sih khawatir kau dimanfaatkan untuk membuat orang lain cemburu."
            "Jangan lebay, deh."
            "Bukannya lebay, tapi dia itu orang yang paling populer di sekolah kita, ‘kan?"
            "Eh, dia paling populer?"
            Memang sih dia itu cantik, tapi aku enggak nyangka dia sepopuler itu.
            "Wajar sih kalau kau tidak tahu, lagian kau ini bukan tipe orang yang menilai gadis-gadis," Ujarnya sembari tersenyum kambing, "Selain tampangnya, menjadi Ketua OSIS saja sudah cukup membuatnya populer. Kalau kita mengadakan kontes kecantikan, dia pasti akan memenangkannya dengan mudah."
            "Tapi dia agak menakutkan, iya ‘kan?"
            "Iya sih, kebanyakan orang, apalagi yang sok keren saja pernah bilang kalau keterusterangannya itu memang menakutkan, tapi secara keseluruhan kupikir orang-orang memandangnya dengan iri."
            Aku malah semakin tertekan. Andai aktingku benar-benar jelek, maka berakhir sudahlah kehidupan sekolahku…
            "Pokoknya, berjuanglah.  Aku mendukungmu, kok. Dan kau juga punya sesuatu padanya, ‘kan?"
            "Enyah kau."
            Kuharap mukaku yang memanas ini cuman perasaanku saja.
           
            Sesampainya di rumah, kukirim pesan pada Eina soal kejadian hari ini. Soal bagaimana naskahnya yang diterima, dan soal bagaimana aku yang bisa mendapatkan peran pangeran…

Eina : Kamu yang jadi pangerannya! Uwaaah, itu cocok banget!

            Dari teksnya saja aku bisa tahu kalau dia kegirangan, tapi aku gagal paham dengan apa yang dimaksudnya.

Shuu : Tapi aku ini cuman anak SMA biasa?
Eina : Tetep cocok, kok. Maksudku, aku membuat pangeran berdasarkan dirimu, jadi aku sangat senang karena yang memerankannya adalah orang yang sebenarnya.

            Kalau Eina sampai segitunya, aku akan berjuang, deh, pikirku.
            Segera kukeluarkan naskahnya dan membacanya dengan lantang. Aku menggunakan ponselku untuk merekamnya agar tahu apa aku ini melakukannya dengan benar atau enggak.
            Usai membacanya, kuperiksa rekamannya…
            "Ini… parah banget."
            Aku kelewat jelek sampai enggak pantas dibilang pemain sandiwara yang jelek.
            "Aku akan pergi membeli buku akting."
            Aku bersepeda ke toko buku yang masih buka di malam itu.
           
            Besoknya, kami melakukan latihan pertama seusai jam sekolah. Belajarku sia-sia dan aktingku masih menyedihkan. Sebenarnya, masih selevel dengan peran pendukung, jadi rasanya wajar buat seseorang tanpa pengalaman.
            Tapi yang kuperankan ini peran utama, jadinya ini parah banget.
            "Masih ada waktu, kau pasti bisa mengatasinya, ‘kan? Ucap Sakai padaku, tapi itu enggak menghibur.
            Ketua enggak hadir karena harus mengurusi beberapa pekerjaan buat festival budaya. Aku pun pergi ke ruang Klub Literatur dengan rasa kecewa. Sudah hampir waktunya buat pulang, tapi aku masih ingin mengerjakan persiapan buat Klub Literatur. Rencananya kami akan membukakan ruangan dan mendistribusikan buku pada hari H, jadi aku harus mendekorasi ruangannya.
            Namun, aku terus kepikiran soal akting  dan enggak bisa berbuat banyak.
            Lalu.
            "Klub Literatur." Aku terkejut karena tiba-tiba ada yang bicara.
            Ketua berdiri di depan pintu.
            "Maaf, aku akan pulang sekarang."
            Aku minta maaf secara spontan. Jam sekolah sudah lama berakhir.
            "Apa aku memang semenakutkan itu," Keluh Ketua. Dia tampak murung, dan aku merasa agak bersalah.
            "Enggak, aku hanya takut kehilangan ruangan kami lagi."
            "Yang seperti ini masih bisa kuabaikan. Aku tak mentaati peraturan sampai segitunya. Aku tahu kau sudah mengerjakan persiapan untuk kelas dan klubmu."
            "Memang."
            Mungkin aku sudah salah paham akan orang macam apa dia ini.
            "Hei, Klub Literatur. Kalau ada waktu, maukah kau berlatih bersamaku sebentar sekarang?"

5

Gimana, nih?
            Berjalan berduaan bersama Ketua di kala senja, kami pergi ke taman terdekat karena enggak bisa berlama-lama di sekolah.
            Kami enggak banyak mengobrol karena dia hanya mengatakan apa yang ingin diucapkannya saja.
            Rasanya amat kurang nyaman.
            Sekilas kulirik dia, dan masih merengut seperti biasanya. Dia beneran hebat masih bisa tetap terlihat cantik meski dengan ekspresi begitu.
            Dengan suasana yang begini emangnya kita bakalan bisa latihan?
            Ibarat dilemparkan sebuah pelampung penolong, ponselku bergetar karena pesan dari Eina sewaktu kami tiba di taman.

Eina : Sore, bagaimana persiapan festival budayanya?
Shuu : Kebetulan banget! Kalau kamu lagi senggang, kutelepon, ya?
Eina : Boleh, tapi kenapa?
Shuu : Sebenarnya, aku mau latihan sama Ketua, tapi… rasanya kurang nyaman.
Eina : Kurang nyaman? Kenapa?
Shuu : Soalnya, Ketua kayak membenciku.
Eina : Kau latihan bersamanya meski dia membencimu?
Shuu : Iya. Aku enggak jago berakting, dan dia sibuk dengan pekerjaan OSIS-nya. Dia juga bukan tipe orang yang mencampuradukkan perasaan pribadi dengan urusannya.
Eina : Kedengarannya seperti orang yang serius.
Shuu : Memang, tapi dia enggak bisa menyembunyikan suasana hatinya yang buruk, jadi kami bakalan terbantu kalau kau mau mendengarkan kami berlatih dan memberikan komentar.
Eina : Baiklah!

            "Klub Literatur, sedang apa kau?"
            "Aku lagi bicara sama si penulis, dia mau mendengarkan latihan kita. Hanya lewat telepon sih, enggak apa, ‘kan?
            "Ya, aku juga ingin mendengar pendapat objektifnya."
            Kutelepon Eina dan memasangkannya pada mode speaker.

Selamat malam. Salam kenal, Ketua.

            "Salam kenal juga, Eina-san. Kurasa itu berfungsi?"

Ya! Kuharap kita bisa akrab!

            Kutaruh barang bawaan dan ponselku di bangku, dan menghadap Ketua dengan naskah di tangan.
            "Kita mulai dari atas saja, pertama adalah penampilan si gadis…"
            Tiba-tiba, ekspresinya berubah.

            "Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Mungkin akan lebih baik kalau aku mati…"

            Ekspresinya berubah menjadi seseorang yang masygul. Dia seolah mau menangis, namun dengan putus asa menahan air matanya.
            Dia nampak sedih dan mengucapkan kalimatnya dengan terhenti-henti, namun kesedihan dan penderitaannya benar-benar tersampaikan.

Kali ini giliranmu, Shuu-san.

            Suara Eina dari telepon menyadarkanku kembali.
            "Ah, maaf. Nona muda, boleh kuminta sedikit bantuanmu? Maukah kau pinjami aku lenganmu? Kakiku terluka dan aku tak mampu berdiri."


            Seberesnya adegan itu, Ketua menatapku dengan teguh.
            "Enggak usah bilang, yang tadi itu memang parah."

Tidak, malah kupikir itu bagus! Berasa kamu sekali!

            Kebaikan Eina malah terasa lebih menyakitkan.
            "Kerja bagus. Kau sudah mempelajari kalimat tersebut dengan baik, begitu pula dengan pemikiranmu soal gesturnya. Sekarang hanya tinggal berlatih dan diperhalus lagi."
            Perkataan Ketua sedikit membuatku tenang.

Tapi kau memang hebat, Ketua.

            "Apa kau punya pengalaman berakting?" Tanyaku, tapi dia menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu, apa kau ini jenius?"
            "… Aku hanya sering berlatih saja."
            Dia membuang muka.
            Apa dia begadang semalaman? Jelang festival budaya, dia pasti sangat sibuk.
            "Mari kita bahas setiap adegannya. Aku akan memberimu contoh, jadi pergunakanlah sebagai referensi."

            Satu jam kemudian.
            "Kita istirahat dulu," Saranku, "Aku mau beli minuman, kau mau apa?"
            "Cola," Jawabnya dengan lirih.
            "Oke."
            Kutinggalkan ponselku di bangku, dan pergi ke toko terdekat. Karena sudah waktunya makan malam, kasirnya pun ramai sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dari yang kukira. Sehabis membelinya, aku pun langsung kembali ke taman dengan berlari.
            Ketua duduk di bangku sambil mengobrol dengan ponselku.
            "Aku tahu dia bukan orang yang buruk. Dia itu orangnya pekerja keras, jadi aku hanya gugup saja saat berbicara dengannya."
            Berbeda dari biasanya yang selalu berwibawa, ini pertama kalinya aku melihat Ketua yang nampak seperti gadis biasa.

Nah, Shuu-san. Aku mesti pergi sekarang.
            "Latihannya enggak dilanjut?"

Maaf, ada urusan mendesak. Maafkan aku! Pastikan kamu antar pulang Ketua, ya?

            "Eh?"
            Tunggu sebentar, pulang bareng? Sama Ketua?
            Bukannya itu sangat enggak mengenakkan? Tapi Eina sudah menutup teleponnya.
            "Gimana nih, Ketua? Masih mau lanjut?"
            "Aku juga harus pulang. Aku punya jam malam."
            "Baiklah."
            "Apa kau benar-benar akan mengantarku pulang?"
            "Ya, lagian ini sudah larut."
            "… Terima kasih," Gumamnya.
            Lantas kami pun pergi sambil meminum minuman dari kaleng kami sendiri.
            "Apa yang kau bicarakan dengan Eina?"
            "Sekolah dan macam-macam."
            "Begitu, ya."
            Kami pun terdiam.
            Sial, ini memang sangat enggak nyaman.
            Aku enggak tahu apa yang harus dibicarakan, dan seperti biasa, dia pun enggak terlihat bakalan segera bicara padaku.
            Kenapa Eina menyuruhku untuk mengantarnya pulang. Kami ini bukan pacar atau apa pun. Percakapan kami selanjutnya berakhir sewaktu kami tiba di rumahnya.
            "Huh, ini…"
            Aku enggak bisa menahan diri untuk bertanya.
            Kami tiba di suatu panti asuhan. Itu adalah bangunan kecil yang depannya nampak seperti sekolahan kecil.
            "Apa kau terkejut?" Tanyanya.
            "Sedikit."
            "Jangan membuat wajah seperti itu." Wajah seperti apa yang kubuat? "Ini pilihanku sendiri. Aku punya masalah di rumah. Aku lebih suka dengan gaya hidup ini. Bohong sih kalau tak ada yang tak kusukai, tapi masih lebih baik ketimbang sebelumnya."
            "Terus soal universitas nanti gimana?"
            "Rencananya aku mau mengambil ujian universitas terdekat. Semisalnya aku lulus, maka aku bisa terbebas dari biaya sekolah karena pendapatan rumah tangga, aku juga harus bisa mendapatkan beasiswa. Berhubung universitas punya asrama, harusnya aku bisa mengatasi biaya hidup. Aku akan bekerja untuk menutupinya dan berusaha hingga lulus. Memang akan sulit untuk menggantinya, tapi aku benar-benar ingin masuk universitas."
            Ucap Ketua selagi melihat ke arah panti asuhan. Wajahnya menunjukkan ketegasan, kewibawaan, dan yang paling utama, cantik.
            Aku sama sekali enggak tahu apa pun soalnya.
            "Klub Literatur, berjuanglah saat festival nanti," Ujar Ketua, dengan wajah yang lebih lemah lembut dari biasanya.
            "Tentu saja."
            "Dan… terima kasih, sudah mengantarku pulang."





            Ketua pun memasuki pintu.
            Kata-kata terakhirnya nyaris enggak kedengar.
            Aku tersenyum selagi berpikir ingin tahu lebih banyak soalnya.

6

            Seberes makan dan mandi malamnya, ada pesan dari Eina sewaktu aku lagi bersantai di kamarku.

Eina : Shuu-san,  kamu tahu tidak? Fufufu…
Shuu : Soal apa?
Eina : Soal Ketua yang sebenarnya tak membencimu?
Shuu : Huh?
Eina : Kami membicarakan banyak hal sewaktu kamu pergi membeli minuman, tapi kelihatannya Ketua bersikap kasar padamu itu karena dia gugup. Haha, jadi populer memang sulit, ya!

            Wajahku memerah.

Eina : Ini adegan pernyataan cinta! Sewaktu kamu pulang dari festival atau semacamnya! Itu sangat bagus, bukan? Berasa seperti terikat takdir dengan lawan mainmu.

            Perasaan apa ini
            Aku mulai panik dan bingung sewaktu dikasih tahu kalau sebenarnya Ketua mungkin enggak membenciku, tapi mungkin menyukaiku.
            Lalu kusadar kalau aku panik bilamana Eina menyalah pahami perasaanku. Mungkin dipikirnya aku ini menyukai Ketua dan dengan tulus mendukungku.
            Tapi buatku itu malah terlihat kesepian.
            Aku terkejut, mengapa aku berpikir begitu? Melihat wajahnya saja bahkan aku belum pernah, dan dia pun hidup di lima tahun silam, sehingga kami bahkan enggak bisa bertemu…

Shuu : Aku cuman mengagumi Ketua saja. Memang sih dia cantik, tapi kurasa aku enggak menyukainya, jadi aku enggak bakalan menyatakan cinta.
Eina : Eh? Be-Begitu, ya… baguslah.
Shuu : Bagus?
Eina : Ah, bukan apa-apa, kok.

            Untuk sesaat, kami berdua pun berhenti mengirim pesan.

Shuu : Mending kita tidur saja.
Eina : Ya, benar. Selamat malam.
Shuu : Malam.

7

            Dua minggu pun berlalu. Aku berangkat ke sekolah pagi-pagi buat latihan drama.
            Di sepanjang pelajaran aku setengah tidur, dan kami pun berlatih lagi sehabis jam sekolah. Di saat kami berlatih, teman-teman sekelas kami membuat peralatan buat pentas dan kostum-kostumnya.
            Tiba-tiba, terdengar suara benturan keras bersamaan dengan suara kaca pecah. Kelompok suara tengah memilih musk dan efek-efek suaranya.
            Bahkan ada orang yang membuat lampu sorot dengan lampu senter dan kertas kaca.
            Kegaduhan semacam ini terjadi di seluruh sekolah karena semuanya sudah mulai mempersiapkan festival budaya.
            Perkataan umumnya mah, mereka sedang memuaskan hari-harinya.
            Entah kenapa, rasanya ada yang kurang.
            Aku enggak tahu alasannya, tapi aku merasa kurang senang, seperti ada lubang kecil terbuka di hatiku.
            Namun, banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan membuatku enggak punya waktu buat memikirkannya. Waktu luangku dipakai menjilid buku-buku Klub Literatur.
            Dan hari jumat pun tiba, sehari sebelum festival berlangsung.
            Seusai jam sekolah, kurasa aku bisa pergi sebentar ke ruang klub untuk mendekorasi ruangannya. Di luar sudah benar-benar gelap, namun para guru memberikan pengecualian hanya untuk hari ini saja kami bisa berada di sekolah hingga larut.
            Sewaktu aku tiba, Ruka-senpai sudah berada di sana.
            "Kebetulan sekali! Shuu-kun, bisa kau pasangkan ini?"
            Dia ada di atas meja, berusaha menggantungkan dekorasi pada papan tulis, namun enggak kejangkau. Dia sudah berusaha sekuat mungkin hingga terlihat seperti bakalan jatuh.
            "Serahkan saja padaku, Senpai."
            Aku bertukar tempat dengannya dan menggantungkan dekorasinya.
            "Dua orang lainnya mana?"
            "Mereka sudah pergi. Mereka ada sekolah persiapan. Kuharap sekolah persiapannya bisa baca suasana, sih."
            "Apa boleh buat, ujian enggak bakalan nunggu. Senpai sendiri bagaimana?"
            "Eng, sebenarnya sebentar lagi aku juga ada sekolah persiapan."
            "Ya sudah, pergi saja. Sisanya serahkan saja padaku."
            "Kau yakin? Aku boleh pergi…"
            "Enggak apa, lagian hanya tinggal dekorasi saja."
            Dia enggak terlihat senang, mungkin dia mengharapkan aku memberinya dalih untuk pergi.
            "Ya, makasih. Oh, iya. Besok aku pasti akan nonton dramanya! Semoga berhasil!"
            "Terima kasih, tapi di sini nantinya bagaimana?"
            "Aku akan meminta Kobayashi-sensei untuk menggantikannya, lagian dia penasehat kita, jadi tidak akan ada masalah! Sampai jumpa!"
            Ruka-senpai pun pergi dengan menjatuhkan langkah kakinya.
            "Nah, sekarang mari cepat-cepat bereskan."
            Yang lainnya sudah hampi beres, hanya tinggal membuat tempatnya.
            Kusatukan beberapa meja hingga seperti sebuah bar, memasangkan kain di atas mejanya, dan menata buku-buku yang sudah di jilid di atasnya.
            Enggak hanya sebatas buku-buku buat festival saja, kami juga mengeluarkan buku-buku lama buat siapa pun yang minat.
            Begitu sudah beres, aku menghela napas panjang dan melihat keluar jendela.
            Sekolah sudah makin sepi, kebanyakan murid mungkin sudah pulang.
            Langit gelap gulita dihiasi dengan bintang-bintang.
            Apa Eina juga melihat bintang yang sama, pikirku dengan santai.
            Eina yang kubicarakan ini adalah Eina dari lima tahun silam, jadi mana mungkin dia bisa melihat bintang-bintang ini. Tapi… bagaimana dengan Eina yang ada di masa kini?
            Apa dia, di planet yang sama dan di waktu yang sama pula, sedang menatap bintang-bintang ini.
            Kukeluarkan ponselku. Enggak ada pesan satu pun. Aku sangat sibuk saat ini dan enggak bisa sering balas, sehingga belakangan ini kami enggak banyak bicara. Kugulirkan jariku pada layar sentuh, dan meneleponnya.
            Ponselnya berbunyi sekali dan dia mengangkatnya.

Halo, ini Eina.

            "Ini Shuu."

Selamat malam. Besok hari H-nya, apa kamu sudah pulang?

            "Belum, aku masih di sekolah."

Wah, pasti sulit.

            "Yah, aku baru mau pulang."

Kedengarannya seperti memuaskan kehidupan sekolah!

            Eina memang benar. Belakangan ini, herannya hidupku terasa memuaskan.
            "Ya, benar. Latihan drama dan mempersiapkan Klub Literatur terasa menyenangkan tapi," Usai mendengar suara Eina, aku tahu mengapa aku agak merasa sedih, "Pasti bakal lebih menyenangkan kalau kau juga ada di sini."

            Eina enggak ada di sini. Aku enggak tau wajahnya, namanya, atau bahkan umurnya, tapi aku tetap merasa dia harusnya ada di sampingku. Aku ingin bertemu dengannya.
            Karena dia hidup di lima tahun silam…
            Andai kita hanya terpisahkan oleh jarak yang jauh, kita masih bisa bertemu. Aku bisa menaiki kereta, atau bahkan pesawat.
            Tapi terpisahkan oleh waktu enggak bisa diatasi.

… Kalau bisa, aku juga ingin bertemu denganmu,soprannya yang jelas memasuki telingaku, tenang dan kesepian, Aku ingin mempersiapkan festival budaya dan berlatih bersamamu.

            Mungkin Eina juga merasakan hal yang sama denganku, dan dengan tenang kudekap suaranya di hatiku.
            "Terima kasih, Eina."

Tidak masalah.

            Kami terdiam untuk beberapa saat,  benar-benar terdiam tanpa kata. Tapi hatiku terasa tenang, mungkin karena aku tau sedang terhubung dengannya lewat ponselku.
            Dia memang enggak ada di sampingku, tapi sedikit pun aku enggak merasa sendirian.
            "Begini."

Umm…Kami bicara bersamaan sebelum kembali terdiam untuk menunggu pihak lain melanjutkan.
            "Kau duluan."

Eng, kapan ulang tahunmu?

            "Sabtu depan."

Eh, sebentar lagi, dong?! Gimana, nih…

            "Gimana?"

Eng, ah, aku hanya bicara sendiri. Ah, benar juga, kita pergi bersama saja Sabtu depan?

            "Pergi bersama?"
            Aku enggak paham apa yang dimaksudnya.

Kita memang tidak akan bisa bertemu. Tapi kalau kita pergi ke tempat yang sama, berasa seperti kita pergi bersama.

            "Ah, ayo kita lakukan."
            Kuperiksa jamku.
            Aku benar-benar harus segera pulang.
            "Teleponnya kututup, ya, aku harus pulang."

Baik.

            "…"

… Eng, kamu tidak menutupnya.

            "Aku nunggu kamu."
            Kami berdua tertawa.

Kalau begitu, dalam hitungan ketiga?

            "Tiga."

Satu.

            "Dua."

"Tiga."

            Suara kami berbaur dengan nada elektronik saat kami menutup teleponnya. Bahkan setelah menutupnya pun, sejenak pandanganku masih tertuju pada ponselku.

8

            Di hari berlangsungnya festival, aku mengerjakan beberapa persiapan klub dan segera menuju ke kelas.
            Ruang kelas diriuhi suara orang-orang yang sibuk melakukan tata rias, yang menyiapkan kostum-kostum, dan yang mengatur tata cahaya.
            Aku enggak bisa menemukan Ketua, padahal masih ada beberapa hal yang ingin kubahas sekali lagi.
            "Apa Ketua masih bersama OSIS" Tanyaku pada Sakai.
            Enggak biasanya dia membuat wajah serius saat menjawab.
            "Dia masih belum datang ke sekolah. Aku juga sudah tanya ke anggota OSIS, tapi mereka juga belum melihatnya."
            Aku merasa kaget sekaligus was-was.
            "Bukannya dia sudah menghubungimu? Tanyanya.
            "Enggak, aku enggak punya nomornya…"
            Aku jatuh lemas.
            Lalu.
            "Ketua! Kau sedikit telat!"
            Teriak seorang gadis dari pintu. Aku melihat Ketua yang memasuki ruangan dengan lamban. Tapi dia hanya melirik gadis itu dan enggak menjawab.
            Enggak, dia menjawab, mulutnya bergerak.
            Namun, suaranya enggak menjangkauku. Aku punya firasat buruk, nih.
            "Ketua, apa kau baik-baik saja?"
            "Ya, aku baik-baik saja."
            Dia mendekat dan suaranya nyaris enggak terdengar.
            Itu bukanlah suara soprannya yang jelas, suaranya serak, dan kalau saja aku enggak melihatnya bicara, mungkin aku enggak bakalan tahu suara siapa itu.
            Matanya sembap dan pipinya merah. Sudah jelas kalau dia demam. Bahkan cara berjalannya saja terlihat diseret.
            "Baik-baik saja apanya."
            "Maaf, aku lelah dan tidak tidur semalam. Aku juga sepertinya pilek," Ungkapnya.
            "Kau tidak tidur, kenapa?"
            "Aku gugup sewaktu memikirkan pementasan hari ini."
            "Jadi kau juga gugup…"
            "Kau pikir aku ini robot apa?"
            Merasa enggak senang, dia mengerutkan dahinya, dan mengembungkan pipinya.
            "Enggak, hanya saja kau selalu tenang bicara pada semua orang selama perkumpulan dan semacamnya."
            "Aku bisa karena selalu berusaha sebaik mungkin," Dia berhasil mengucapkannya, sebelum terbatuk kering lagi.
            Gimana, nih? Dia kelihatannya enggak bisa bicara, tapi bakalan sulit berakting dengan suaranya yang begitu.
            "Kita harus menggantinya. Apa ada yang…" Saat kumulai bicara, semua gadis langsung membuang muka, "Oi, ini darurat."
            "Sudah jelas tak ada yang mau," Salah seorang gadis melangkah maju mewakili yang lainnya, "Salah satu dari kami harus menggantikan Ketua? Semua orang datang untuk melihatnya, iya, ‘kan? Seandainya salah satu dari kami yang maju, mereka akan berkata ‘apaa-apaan dengan pemeran jelek ini’ atau semacamnya, jadi tidak mungkin."
            "Benar, tuh! Orang-orang hanya akan menyoraki kita kalau gadis lain yang memerankannya!"
            Tambah Sakai.
            Seketika itu pun dia langsung digusur oleh gadis-gadis tersebut.
            "Mau tak mau kita harus membuatmu melakukannya, tapi dengan suara seperti itu pasti sulit."
            "Hei, Klub Literatur, bisa kau hubungi Eina-san?" Tanya Ketua dengan suara serak.
            "Karena hari ini Sabtu, jadi harusnya sih bisa."
            "Kalau begitu, tolong."
            Kutelepon Eina seperti yang dimintanya.

Halo, ini Eina.

            "Eina-san?"

… Siapa ini?

            "Itu Ketua," Ujarku padanya.

Ehh?!Teriaknya dengan bingung. Suaramu kenapa?!

            "Aku pilek. Jadi, aku punya permintaan…"

Selama aku bisa, beritahu saja!

            Kata-kata Eina seolah membuat Ketua tenang.
            Lalu :

            "Terima kasih. Kalau begitu, maukah kau menyuarakan peran utamanya?"

            Ucapnya dengan ekspresi tenang.

Ehh?

            "Huh?"
            Kata kami dengan serempak.
            "Tunggu sebentar, maksudmu dia melakukannya lewat ponsel?"
            "Begitulah."
            "Bukannya sudah jelas bakal ketahuan?"
            "Tidak apa. Buat begini saja, si protagonisnya bisu karena terluka, jadi si iblis menggunakan sihir supaya kita bisa mendengarnya?"

Kalau memang seperti itu, kurasa terdengar masuk akal…

            Kalau penulis aslinya bilang begitu, maka dalam fiksi mungkin bisa.
            "Terima kasih. Kalau begitu, kita akan buat narator mengatakannya nanti."

Benar juga, bukan itu masalahnya! Aku tidak bisa berakting!

            "Bukannya sewaktu di taman dengan Klub Literatur sudah kusuruh untuk mencoba berlatih juga?"

Iya sih, tapi aku benar-benar tidak mahir…

            "Kau pasti bisa, kok. Malah, hanya kaulah yang bisa melakukannya. Protagonisnya adalah kau, ‘kan? Kau tidak usah berakting, cukup mengucapkan kata-katanya saja."

Tapi… nantinya aku malah bicara dengan monoton…

            "Tidak apa. Si gadis dalam ceritanya memang kurang dalam perasaan dan kesengsaraan. Aku yakin kau pasti bisa," Ujar Ketua, sebelum mulai tersedak.
            "Eina, kau bisa dengar sendiri kondisinya, ‘kan? Jadi mau, ya?"

Baiklah, aku akan berusaha!


            "Nah, sudah beres. Kau terlihat keren, Yagi-kun."
            Gadis yang bertanggung jawab atas kostum dan tata rias menampar bahuku.
            "… Makasih."
            "Kau gugup?"
            "Ya iyalah."
            "Dasar, contoh Ketua, tuh."
            Kulirik ke samping padanya.
            Dia didandani layaknya gadis lusuh dan nampak fana, seakan bisa lenyap kapan pun.
            Meski mengenakan pakaian robek sekali pun, dia masih memikat.
            Dengan mata yang terpaku pada naskah, dia melakukan pemeriksaan terakhir dengan tenang.
            "Eina, sebentar lagi mulai, apa kau siap?"
            Ucapku pada ponselku yang dipasangkan dalam sistem suara.
           
Ya! Serahkan padaku!

            Dia penuh semangat kembali tanpa merasa gugup sedikit pun.
            Aku enggak boleh jadi satu-satunya orang yang gugup.
            Kutegakkan tubuhku dan tarik napas dalam-dalam.
            "Nah, sekarang giliran kita! Seru perwakilan kelas sewaktu Ketua pergi ke atas panggung.
            Sorakan menyambutnya di atas panggung.
            Perkataan Eina bergema di seluruh aula.

Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Mungkin akan lebih baik kalau aku mati…

            Suaranya masih tetap indah sekali pun lewat sistem suara.
            Sopran yang teramat jelas nan indah yang enak di dengar.
            Lalu aku menuju ke atas panggung.
            Ruangan kelas sudah ditata ulang menjadi aula dan sudah terisi sepenuhnya, sehingga aku kewalahan oleh banyaknya penonton dari yang kukira.
            "Nona muda, boleh kuminta sedikit bantuanmu? Maukah kau pinjami aku lenganmu? Kakiku terluka dan aku tak mampu berdiri."
            Aku pun berada di atas panggung selama sisa dramanya.
            Di sepanjang cobaan pertama dan kedua, Kami memainkan peran kami… tanpa adanya kesalahan besar.
            Dan terakhir, adalah cobaan ketiga.
            "Aku akan selalu mendukungmu selamanya."
            Saat kuucapkan dialogku, kuserahkan belati bohongan pada si gadis, yakni Ketua.
            Mulutnya Ketua terbuka.
            Namun, aku enggak bisa dengar suaranya Eina.
            Seisi aula pun terhening.
            Kulirik ke bagian sisi panggung, dan teman sekelas kami pun panik.
            Para penonton sepertinya belum menyadari adanya kesalahan.
            Ada apa, Eina? Kenapa kau diam saja…?
            Aku mau bicara begitu tapi langsung menyerah. Bukan perasaan Eina lah yang harusnya kupikirkan, melainkan perasaan tokoh di panggung.
            Apa yang akan dipikirkan si gadis?
            Dia akan bahagia, bukan? Akan perasaan cintanya.
            Lalu ia pun bersatu. Saking bahagianya, dia sampai enggak bisa meluapkan perasaannya.

            "Aku… mendukungmu."

            Enggak lama setelah kuulangi dialog itu, mata Ketua berlinangkan air mata. Air mata tersebut mungkin hanya sekedar perasaanku saja, seolah Eina berada di depanku, berdiri bersamaku di atas panggung.
            Aku merasa bersalah pada Ketua karena sudah berkata begitu, tapi aku melihat Ketua sebagai Eina.

Aku tak sanggup membayangkan hidup tanpa dirimu. Aku ingin bersamamu.

            Kini kami pun langsung menuju akhir yang bahagia.           

            "Oi, tadi itu keren sekali."
            Seberesnya drama, Sakai melompat dari sisi panggung.
            "Yang bener?"
            "Ya, para penonton juga sangat menyukainya. Oh iya, nih rekamannya."
            Sakai memberikan kartu SD.
            "Makasih, kau memang penyelamat."
            Sakai merekam drama tersebut dengan ponselnya. Karena sebagai reporter Klub Surat Kabar dia harus menontonnya sendiri, aku pun menyuruh dia untuk sekalian merekamnya.
            "Oh iya, kenapa tidak kau suruh Eina-chan datang saja? Akan lebih bagus kalau dilakukan sendiri, ‘kan?" Tanya Sakai. Dia mungkin menanyakan pertanyaan yang sangat penting begitu karena ingin tahu siapa orangnya.
            "Entahlah."
            "Mulutmu memang rapat seperti biasanya, ya."
            "Ya iyalah."
            Sekalipun aku mau, aku enggak tahu apa-apa soal dia.
            "Aku mau pergi dulu ke Klub Literatur," Ucapku dan meninggalkan Sakai.
            Aku pun bergegas ke ruang klub untuk menghilangkan kesepian yang memilukan hati.
            Di jalan, aku mengirim rekamannya ke Eina.
            Usai beberapa saat, aku mendapat balasan.

Eina : Itu mengagumkan, aku sangat terkesan! Rasanya sulit dipercaya bisa melihat sesuatu yang kutulis dipentaskan! Aku sedikit malu karena suaraku juga ada, sih…
Shuu : Apa itu enggak persis dengan yang kau bayangkan?
EIna : Persis, kok! Tidak, malahan lebih bagus! Karena…
Shuu : Karena?
Eina : Aku bisa melihat rupamu.

            Benar, ini pertama kalinya dia melihat rupaku.

Shuu : Apa aku menghancurkan kesanmu?
Eina : Tidak, kok! Malah… terasa seperti… persis seperti yang kukira!

            Mendengar komentarnya Eina, hatiku terasa hangat.

*

            Hari terakhir festival.
Di sekolah kami ada acara pra-festival yang hanya diperuntukkan para siswa-siswi saja. Mereka menggunakan panggung gimnasium, menampilkan band sukwan dan pertunjukkan gulat profesional di aula.
            Aku bukan tipe orang yang suka berpesta, jadi hanya menyesap minuman saja di aula tanpa menyaksikan perayaan. Ada banyak orang juga yang berbuat begitu, jadi aku enggak merasa terasingkan.
            "Klub Literatur," Seseorang menepuk bahuku, itu adakah Ketua.
            "Enggak apa nih, bukannya OSIS yang mengurus ini?"
            "Bukan berarti aku melakukan semua pekerjaan," Balasnya sekeras mungkin. Aku merasa kasihan padanya karena suara band menggelera di seluruh aula.
            Kuberi isyarat untuk pergi keluar dengan lirikan, dan dia pun mengangguk. Lantas kami pun pergi keluar ke belakang aula.
            Angin malam terasa menyejukkan.
            "Maafkan aku," Ketua duluan bicara selagi kami berjalan, "Harusnya aku menjaga kesehatanku dengan lebih baik."
            "Enggak usah khawatir, lagian kau ini sibuk. Selain itu, kau berhasil memerankan dramanya meski dalam kondisi begitu, kau memang hebat."
            Ketua tampil dua kali, pagi dan sore. Saat tampil kedua kalinya, suaranya makin membaik, jadi dialognya pun diucapkan sendiri olehnya.
            "A-Aku…?"
            "Ya. Kau enggak nyusahin siapa pun, dan bahkan Eina juga merasa senang."
            Bagi Ketua mungkin itu enggak adil, tapi aku senang bisa berpartisipasi dalam festival budaya bersama Eina, dan dia juga turut senang. Itu adalah keberuntungan kami. Tentunya aku enggak bilang begitu pada Ketua, mana mungkin aku bisa bilang bahwa aku bersyukur dia terkena pilek, dan bakal berasa enggak sopan juga terhadap aktingnya. Tapi aku sungguh ingin dia tahu bahwa dia enggak membuat masalah apa pun.
            "Terima kasih buat aktingmu yang mengagumkan, kau benar-benar memerankannya dengan baik," Ujarku, dan dia membuang muka, wajahnya sedikit merah.
            "Kau juga sama. Apa kau juga akan berterima kasih pada Eina? Aku akan pergi sekarang!"
            Ketua pergi begitu saja seolah menyembunyikan wajahnya.
            Dia terkadang manis juga, pikirku.
            Aku enggak balik ke aula dan malah berdiri di angin malam untuk sejenak.





⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Hoshizora ni Shita, Kimi no Koe dake wo Dakishimeru Chapter 2 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh

1 komentar: