Monday, August 20, 2018

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 21 Bahasa Indonesia







Chapter 21 – Pelepasan


Ini bertolak belakang dari dongeng-dongeng itu.

Dikarenakan, gender dan bahkan urutan keseluruhannya.



            "Kenapa?!"

Teriakku yang geram pada diri sendiri.

            "Kenapa... kenapa esnya tidak meleleh?!"

Biarpun kami sudah membunuh Jack Frost, Ai masih tetap membeku.

            "Si Jack Frost itu seharusnya sudah tiada sekarang....."

Bahkan Nina pun mengerutkan dahinya dengan nada suara yang tegang.

            "Memang, dia harusnya sudah tiada."

Menurut Nina, reaksinya Jack Frost sedikit lenyap sehabis kumakan. Bahkan, tak ada respon usai Nina melepaskan sihir lagi pada es yang menyelimuti Ai, dan di sekitaran sini pun sudah tak ada lagi salju yang turun.

Ketimbang meyakini Jack Frost sudah membuat suatu tindakan pencegahan terhadap sihir deteksi, mending anggap saja kalau efek sihirnya takkan berhenti sekali pun ia sudah tiada.

Tapi apabila memang begitu, apa yang mesti kita lakukan?

            "Mentor."

Orang yang datang ke tempat Ai membeku, adalah Guy yang merasa khawatir.

            "Guy.... maaf. Karenaku, Ai...."

            "Tidak, Mentor, keliru."

Guy menggelengkan kepalanya selagi dia berbicara dengan agak kesusahan.

            "Tapi...."

            "Mentor."

Panggil Guy yang menyebut namaku saat kumenggelengkan kepalaku, aku merasa seperti ingin lenyap saja.

            "Aku, tidak tahu, sihir. Aku, tak mahir, kata-kata, juga."

Seperti yang dikatakannya, bahasa Jepangnya masih belum mahir.

Tapi aku paham apa yang ingin disampaikannya, dan menatap matanya.

            "Tapi, aku hanya, tahu Ai, sedikit."

Dia mengalihkan tatapannya pada Ai, menyentuh pilar itu dengan lemah lembut.

            "Kurasa, Ai berbuat begini, atas kemauannya, sendiri."

            "Kemauannya sendiri? Kenapa dia...."

            "Supaya bersama Mentor, selamanya."

Aku tertegun atas pernyataan singkat Guy yang serius.

Semuanya terasa masuk akal.

            "Yang lebih kukuh ketimbang batu, namun tak nampak layaknya angin. Yang menjemukan layaknya bayangan, namun mempesona layaknya cahaya, penuhilah panggilanku!"

Aku melantunkan mantra.

Bukan pada Ai, melainkan pada es yang ada di dalam rumah es.

            "Mohon ajarilah aku.  Ajari apa yang engkau dengar dan kata-kata yang engkau simpan."

Pada saat itu, kata-kata yang tak terhitung jumlahnya mengalir padaku.

Akhirnya, aku memahami semuanya.

Di dunia ini, hanya aku dan Ai lah yang tahu seperti apa Jack Frost itu.

Kami berdua mengunjungi gunung bersalju itu.

Sudah berulang kali dia menggunakan sihir dingin di dalam rumah es itu.

Sudah bisa dipahami bahwa adanya perwujudan Jack Frost karena sihirnya Ai. Akan tetapi, aku heran apakah itu dikarenakan efek samping dari sihirnya atau akibat ketidaksengajaan karena terlalu banyak menggunakan sihir.

Namun aku salah.

Ai adalah anak yang sangat penyabar.

Sekali pun aku belum pernah melihatnya mengeluh atau tak puas di hadapan siapa pun.

Namun bukan berarti dia tak mempunyai keluhan apa pun.

Sudah jelas, bahwa aku sama sekali tak menyadarinya.

Semua keluh kesahnya itu berada di dalam rumah es dalam waktu yang lama, mendengarkan pemikiran sejatinya Ai.

Dan saat dia paham bahwa aku takkan menerimanya, ia pun menunjukkan diri.

Jack Frost taklah melarikan diri.

Ia mencoba mewujudkan keinginannya Ai dengan caranya sendiri.

            ".... Ai."

Kuberbalik pada Ai yang membeku dan menempatkan telapak kakiku pada pilar es itu.

Tinggi Ai sekitar seratus enam puluh sentimeter.

Biarpun tinggiku sekitaran dua meter, sudah cukup buatku untuk menatap lurus matanya karena posisi kepalaku berada sedikit lebih rendah di ujung leherku.

Ya.

Selama ini, sudut pandang gadis muda ini selalu tertuju pada kaki depanku, namun kini sudah sama tingginya denganku.

Sementara itu, aku belum tumbuh sama sekali.

Bukan berarti aku takkan bisa tumbuh lagi—banyak yang bisa dilihat dari ibu.

Ukurannya lebih dari sepuluh kali lipat ketimbang ukuranku saat ini.

Umurku panjang. Sangat panjang.

Biarpun Ai kini adalah seorang wanita dewasa, aku masih belum beranjak dari masa remajaku sejauh yang berhubungan dengan naga.

Karenanya, dalam sekejap mata Ai akan menyusulku, dan berlanjut ke tempat yang jauh.

Pemikiran tersebut membuatku takut. Makanya, aku terus menjauhinya.

Dengan ikhlas aku berpura-pura tak menyadari bahwa dia mendambakanku.

Apa, apanya yang aku ingin dia bahagia?

Aku hanya melarikan diri saja.

Ai paham bahwa kami ini sangat berbeda, namun tetap memilih untuk bersamaku.... hingga dirinya membeku.

            "..... Aku tak mau itu."

Perasaan sejatiku lepas.

Tapi sihirnya kuat, cukup kuat hingga hanya dia sendirilah yang mungkin bisa melepaskannya.

Kalau begini, sihir ini takkan pernah bisa dilepaskan.

..... Tidak.

Ada satu cara, hanya satu.

Serupa dengan cara Ken yang menyeruku dan memanggil apiku, aku hanya perlu menyeru Ai dan menggunakan sihirnya.

            "..... Ai."

Caraku berbicara untuk memanggil berbagai objek mengikuti teori mantra yang kupikirkan.

Biarpun begitu, aku sama sekali mengabaikan cara tersebut dan hal pertama yang keluar dari mulutku adalah namanya. Aku memeras otakku, mencoba memikirkan langkah selanjutnya.

            "Aku.... aku tak mau bersamamu selamanya selagi kau membeku."  

Aku masih terus berbicara layaknya anak kecil yang rewel.

            "Ikan yang aku makan bersamamu itu.... benar-benar lezat."

Tak mampu memikirkan mantra yang bagus, aku malah hanya bisa mengingat ingatan kami bersama.

            "Aku sungguh senang tinggal seatap denganmu dan Nina.... biarpun mandi bersama terasa memalukan."

Oh, jadi begitu?

Tiba-tiba aku menyadarinya.

            "Berkatmu lah semuanya bisa hidup dengan makmur sekarang. Berkatmu, yang sudah bersamaku sepanjang waktu ini."

Hingga saat ini, aku belum memahami apa itu sihir.

            "Besok, minggu depan, tahun depan, bahkan lebih dari itu."

Mengapa sihir itu semakin kuat saat mantra semakin meningkat?

            "Aku.... aku akan selalu ingin melihat senyummu selamanya."

Itu karena kau mengisi senyummu dengan pikiran dan hatimu.

            "Kumohon, keluarlah. Ai."

Aku memeluk pilar es itu.

            "A—Aku mencintaimu."

Pada saat itu.

Tiba-tiba pilar es kehilangan kekerasannya dan roboh seperti air.




            "Aku juga, mencintaimu—"

Suaranya gemetar, Ai menatapku dengan mata berkaca-kaca.

            "Aku mencintamu, Mentor"

            "Ai!"

Menahan nafsu utuk memeluknya seerat mungkin, dengan pelan kutempatkan cakarku pada pundaknya.

Lalu, dia pun melompat ke arahku dan memeluk kepalaku erat-erat, mencium alisku.

Sentuhan lembutnya, dan aroma yang lembut menggelitik hidungku.

            "Selamat, Abang!"

Kegembiraan yang kurasakan langsung menenggelamkan suaranya Darg.

Yang membuatku teringat.

Aku terlena dan lupa soal mereka, tapi Darg, Nina, Ken, dan Guy, semuanya menyaksikannya.

Malahan, matahari sudah terbit dan banyak penduduk desa berkumpul di sekitar kami.

            "Yah, aku sudah menduga suatu hari nanti mereka akan bisa bersama, dan akhirnya kejadian."

            "Sekarang, aku bisa, lega."

            "Sungguh, kupikir akan memerlukan waktu beberapa tahun lagi."

            "Tapi Mentor sudah berusaha keras, ya?"

            "Sampai bisa bilang aku mencintaimu di depan banyak orang....."

            "Biar begitu, ini merupakan hal yang bagus."

            "Ya, tapi sayang sekali buat Nina."

            "Sudahlah, aku akan menghiburnya."

            "Tidak ah, Nina mah keteposan."

            "Dia akan memukulmu, lo."

Para penduduk bersorak dan saling mengolok-olok.

Pada saat inilah aku senang dilahirkan sebagai naga merah.

Bagaimanapun juga, bukan berarti wajahku bisa memerah lagi.

⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 21 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh

4 komentar

September 1, 2018 at 9:00 AM delete

Hah.... Udah lama gak mampir ke sini...

Komen dulu ah...

Reply
avatar
September 12, 2018 at 8:17 PM delete

gara2 isekai smaartphone dan magi craft meister dihapus, jadi bosan ke blog ini.

Reply
avatar