Wednesday, January 30, 2019

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 24 Bahasa Indonesia






Chapter 24 – Putri Elf


Mereka adalah makhluk yang amat elegan dan tak menua,

semakin bersinar terang seiring tahun berlalu.

Pun ada seorang putri tertentu mereka… hah.

"Apa kamu mengeluh?"



            [Kamu ini tidak tahu malu, ya, kembali ke sini?]

            [Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.]

            Tanggap Nina pada Elf yang dipanggilnya Ultramarine—yang menanggapi dengan ekspresi yang terlihat mulai emosi—dengan nada yang nyaris tak ada minat, seakan tak peduli dengan komentar tersebut.

            [Kupikir, kau pasti mengetahui jawabannya karena kau memanggilku Si Guron.]

            [Hmph. Tentu saja. Tak ada yang tidak kuketahui.]

            Ultramarine membusungkan dadanya dengan tinggi hati.

            [Apa penyebab dari hidup kita yang lebih lama dari kelinci, rusa, dan yang satu ini?]

            Nina melirik Ai dan Darg saat dia mengajukan pertanyaan.

            [Hah.]

            Ultramarine menertawakannya.

            [… Kenapa juga aku mesti repot-repot mengajarimu soal itu?]

           Dia mengalihkan pandangannya saat berucap begitu. Setetes keringat menggelongsor di wajahnya.





            Ya, dia tidak mengetahuinya.

            "Kelihatannya dia tidak tahu…"

            "Tidak tahu…"

            Sepemikiran denganku, Ai dan Darg pun bergumam pelan dengan serentak.

            [Yah, kelihatannya kau juga tidak tahu.]

            [Tahu, kok! Aku tahu, aku hanya tidak pengin memberi tahu kalian saja!]

            [Gadis ini adalah Ultramarine. Dia memang agak bodoh, tapi bukan orang jahat. Dia juga menyapa kita.]

            [Siapa yang bodoh?!]

            Nina berpaling dan bicara pada kami, mengabaikan keluhan Ultramarine.

            "Aku tahu jalan masuknya, ayo kita pergi."

            [Hei, bilang apa kamu barusan?!]

            Ultramarine mengejar Nina, yang mulai berjalan cepat.

            [Dengarkan saat ada lagi orang yang bicara! Kamu tak bermaksud mencoba menemui Tetua, ‘kan? Beliau bukan orang yang bisa kamu temui begitu saja! Kamu dengar tidak, sih?!]

            Ultramarine terus-terusan mencoba menghentikan Nina, tapi diabaikan.

            [… Eh? Apa dia benar-benar tak bisa mendengarku? Heeeei!... Jangan-jangan, dia juga tidak bisa melihatku? Ap-Apa aku ini tembus pandang?]

            Salah paham karena Nina benar-benar mengabaikannya, Ultramarine mulai menari dengan cara yang terlihat menggelikan. Sebenarnya, nyaris terlihat menyedihkan.

            Namun, meski tak melihat seorang pun, rasanya kami sedang dipandangi orang. Kelihatannya ada cukup banyak Elf yang tinggal di hutan ini.

            Kupikir para Elf itu memang hidup dengan mengasingkan diri, tapi sepertinya Nina memang pengecualian.

            Nina terus berjalan sembari mengabaikan ocehan Ultramarine. Tak lama berselang, kami pun melihat pohon raksaksa.

            Pohon terbesar di Bumi adalah pohon baobab, yang berdiameter sekitar sepuluh meter, kalau aku tak salah. Tapi pohon ini, diameternya melebihi seratus meter. Aku bahkan takbisa menebak seberapa tingginya.

            Buah-buahan tumbuh bertandan di sepanjang dahannya, terdapat rongga besar yang menganga pada tengah-tengah batang pohonnya, sehingga membuatnya sangat mirip dengan kuil.

            Itu adalah pohon yang mengagumkan. Kalau harus kuungkapkan kesanku tentangnya, terasa seperti perpaduan antara taman buah dan tempat tinggal. Aku ingin tahu berapa banyak orang yang bisa hidup tentram hanya di salah satu pepohonan itu. Mungkin memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh, aku juga penasaran, bisakah aku membuat mereka memberikanku bibitnya?

            Nina tanpa ragu menaiki tangga selagi aku memikirkan hal tersebut.

            [Ayolah, berhenti! Monyet Beruang, hentikan Si Guron!]

            Teriak Ultramarine, yang terlihat tak ada niat untuk lanjut dan memasuki pohon itu sendiri. Teriakannya terus terdengar saat kami melangkah maju menuju pohon raksaksa tersebut.

            "Ini… mengagumkan."

            Aku terkagum saat melihat sekeliling.

            Rongga pohon tersebut dipenuhi dengan cahaya yang turun dari langit. Permukaan putih kayu yang dipoles secara menyeluruh, memantulkan sinar matahari yang mengarahkan ke suasana yang kelewat mistis.

            Di dalam cahaya yang bergelimang itu, ada seorang Elf yang janggutnya sepanjang ketuaannya. Dilihat dari jenggot putihnya yang cukup panjang untuk menutupi seluruh tubuhnya, Elf itu pastinya sudah lansia. Biar begitu, sosoknya tak memperlihatkan tanda-tanda sudah dimakan usia. Hanya saja, tubuhnya menyimpan aura ketat, serupa dengan pohon ini atau beberapa gunung keramat.

            "Aku sudah mendengar kisahmu."

            Mataku terbelalak sewaktu mendengar Elf yang rupanya dipanggil sebagai Tetua tersebut bicara.

            Karena dia berbicara dalam bahasa Jepang.

            "Anda bisa berbicara bahasa kami?"

            "Tetumbuhan ada dimana pun dan dimana saja, wahai anak naga."

            Apa maksudnya selama ada tetumbuhan, dia bisa mengamati daerah tersebut?

            Sejujurnya, aku lebih suka menganggap itu hanya sebagai gertakan belaka, tapi setidaknya, dia terlihat sudah memahami apa yang telah kami lakukan hingga batas tertentu.

            "Intinya—aku tahu beberapa cara untuk bisa memperpanjang hidup yang kauinginkan."

            "Benarkah?!"

            Mendengarnya berbicara tanpa bertele-tele, aku secara spontan melompat.

            "Kumohon, tolong beritahu aku! Aku akan melakukan apa pun!"

            "Tidak usah. Aku sudah berhutang budi padamu."

            "Berhutang… budi padaku?"

            Mendengar sesuatu yang sama sekali takbisa kupahami, aku memiringkan kepalaku.

            Aku pernah membakar hutan dengan sinar sebelumnya, tapi aku tak ada ingat pernah melakukan apa pun yang akan membuat para Elf berterimakasih.

            "Tak hanya menyelamatkan tuan putri kami, kau bahkan sampai mengantar pulangnya juga."

            Semua tatapan kami langsung tertuju pada Nina, yang membuatnya merasa kurang nyaman.

            "Nina, kau seorang putri?"

            "… Begitulah."

            Angguknya dengan tampang kurang menyenangkan.

            Sepertinya itu hal yang tak ingin dibicarakannya.

            "Antarkan dia."

            Sewaktu Tetua itu tiba-tiba mengangkat tangannya, Elf lain datang untuk membawa kami pergi.

            Aku pun mulai mengikutinya, tapi aku berbalik.

            Karena Nina belum mengikuti kami.

            "Nina?"

            "Di—Di sinilah kita berpisah."




            "Ingat? Aku ini sudah kabur."

            Tetua tadi ada bilang, bahwa dia berhutang budi padaku karena sudah memulangkannya… waduh.

            Apa dia pulang supaya bisa mengabulkan keinginanku?

            Sikap tenang yang dibuatnya hingga terlihat pucat, apa itu karena dia tak mau melakukan ini?

            "Jangan menatapku seperti itu. Bukan berarti kita tidak akan bertemu lagi."

            Ucap Nina, menebak pikiranku.

            Namun, bertentangan dengan kata-katanya, dia terlihat agak menderita.

            "Tapi Nina—"

            "Sudah, cepat pergi sana!"

            Teriaknya, dengan suara yang terdengar lebih seperti tangisan, membuatku tersentak.

            Pernahkah dia meninggikan suaranya seperti itu selama kumengenalnya?

            "Selamat tinggal. Sepuluh tahun yang kuhabiskan bersamamu… menyenangkan."

            Lanjutnya dengan tersenyum.

            Namun, senyumannya itu rapuh, layaknya seseorang yang tertawa meski menderita.

            [Lewat sini.]

            Sebelum aku bisa mengucapkan apa pun, Elf pemandu itu mendesak kami maju dengan nada yang terdengar tak memberikan kami kesempatan untuk menolak.

            Nina melambaikan tangan kecilnya pada punggung kami, saat kami beranjak dari ruangan pohon besar itu.

            Begitu kami meninggalkan gua itu, aku melihat seseorang menatapi kami dengan rasa benci. Itu adalah Ultramarine.

            Di terlihat ingin mengatakan sesuatu padaku, menatapiku dengan serius.

            Tapi dia malah pergi ke dalam belukar, yang pada akhirnya tak mengucapkan apa pun padaku.

            "Mentor… apa benar-benar tak apa? Meninggalkan Nina?"

            Aku tak mampu menjawab pertanyaan Ai.

            Dia adalah seorang tuan putri, jadi kemungkinan, dia juga mempunyai tugas untuk melayani himpunan ini.

            Bila dia tak mengerjakan tugasnya itu, pemukiman Elf itu sendiri mungkin akan bermasalah.

            Kalau itu tak sesuai dengan yang diinginkannya… aku tak tahu harus menudukung pihak mana.

            [Silahkan tunggu di sini. Aku akan menyiapkan obatnya.]

            Setibanya di pohon yang mirip dengan yang sebelumnya, Elf pemandu itu menyuruh kami menunggu di luar saat dia masuk ke dalam. Pohonnya memang mirip, tapi yang satu ini cukup kecil bila dibandingkan dengan pohonnya Tetua. Walau begitu, pohon ini masih terhitung besar dengan diameter sekitar sepuluh meter. Sepertinya, para Elf memang suka membuat gua pada pohon yang masih hidup untuk ditinggali.

            [Obatnya sudah selesai. Silahkan ditelan.]

            Tak lama berselang, Elf itu keluar dengan membawakan semangkuk kayu.

            Terdapat obat bubuk di dalam mangkuknya.

            Obat bubuk itu terlihat agak berbeda dengan yang ditumbuk pada mortar untuk membuatnya.

            Yang satu ini ditumbuk hingga menjadi butiran-butiran halus, tapi ada beberapa warna yang tercampur menjadi satu.

            [Terbuat dari apa ini?]

            [Ekor laba-laba gurun, akar bunga musim semi putih, hati ikan gada, serta beberapa jenis jamur.]

            Bukan itu yang ingin kutahu.

            Maksudku, apa ada efek sampinya, tapi aku tak tahu kata Elf untuk kata tersebut. Selain itu, aku juga agak sungkan untuk menanyakan efek buruknya pada pembuatnya itu sendiri.

            "Kalau begitu, aku akan mengambilnya."

            Menempatkan mulutnya pada mangkuk, Ai menarik kepalanya ke belakang.

            Tepat sebelum bubuk itu mencapai bibirnya, aku menyingkirkan itu dari tangannya.

            [Ada apa?]

            "Mentor?"

            Si Elf dan Ai sama-sama terkejut dengan tindakan tiba-tibaku.

            [Ikan Gada itu, apa yang seperti ini?]

            Kuambil ranting pohon dan menggambarnya di tanah. Aku kepikiran sesuatu tepat sebelum Ai meminum obat itu.

            Tidak, mungkin lebih tepat kalau dibilang, aku teringat sesuatu?

            [Anda mengetahuinya?]

            Ikan itu benar-benar terlihat seperti gada.

            Sebelum itu menggembung.

            [Obat ini, apa hanya memperpanjang umur saja? Apa ada efek lainnya?]

            [Ada. Selain memperpanjang rentang hidup seseorang, orang yang meminumnya juga akan menjadi pendiam dan penurut.]

            Elf itu menjawab seolah itu adalah hal yang wajar.

            Jadi memang itu, ya. Aku tahu nama obat ini.

            Di Bumi, efeknya itu bukan memperpanjang hidup, tapi namanya membuatku mengingatnya.

            Nama obatnya… adalah Serbuk Zombi.

⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 24 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh