Tuesday, January 22, 2019

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 23 Bahasa Indonesia







Chapter 23 – Darah Naga Merah


Jari teriris sewaktu memasak memang kerap kali terjadi,

tapi sebisa mungkin, aku lebih suka kalau itu tak terjadi.



            Darg menggenggam tinggi-tinggi pedang karangnya sembari perlahan menghampiriku.

            Mengangkatkan kaki kiri depanku sebagai tameng, aku menghembuskan napas.

            "Huuu!"

            Tepat seusai kumenghembuskan napas, dia mengayunkan pedangnya ke bawah.

            Serangannya sama sekali tak membuatku sakit.

            "Ka-Kau enggak kenapa-napa, Bang?!"

            "Ya. Seranganmu barusan hebat sekali."

            Merobekkan salah satu sisik yang diserangnya, aku merasa lega melihat darah yang mulai merembes keluar.

            Sejujurnya, justru Darg lah yang terlihat menderita, dilihat dari tampangnya sewaktu dia bergegas menghampiriku.

            Baik itu legenda yang diagungkan sepanjang zaman di barat atau timur, darah naga selalu dianggap sebagai panasea, obat serbaguna.

            Dalam syair epos Jerman [Lagu Nibelung], seorang pahlawan bernama Siegfried memperoleh tubuh abadi seusai bermandikan darah naga yang bernamakan Fafnir. Di China, konon, bahwa gumpalan darah naga atau Qilin merupakan obat tradisional yang kerap kali dipercaya orang.

            Maka dari itulah, aku mencurigai bahwa darahku juga mungkin sama.

            "Eng, kalau begitu, aku akan…"

            "Tidak, tunggu sebentar, Nina. Kalau bisa, kelinci."

            "Nn."

            Menghentikan Ai yang mulai menjilati lukaku dengan lidahnya, aku bicara pada Nina. Mengiringi anggukannya, hutan tiba-tiba mulai bergemeresik dan seekor kelinci pun muncul dari sana.

            Rasanya, hutan sudah menjadi salah satu mesin penjual otomatis besar baginya.

            "Kami tak bisa tiba-tiba menyuruhmu mencobanya, Ai."

            Menempatkan mulut kelinci di hadapan kakiku, kupaksa dia meminum darah.

            Efeknya instan dan sangat besar.

            "Pi—!"

            Mengeluarkan pekikan, asap keluar dari berbagai bagian tubuh kelinci itu.

            Sementara itu, si kelinci mulai berjuang keras dan berhasil lepas dari cengkramanku. Setelah dua hingga tiga lompatan, kulit putih berbulunya terbakar, membuatnya menggeliat-geliut di tanah. Tak lama berselang, kelinci itu berhenti bergerak sepenuhnya.

            Terlepas dari kejadian tak terduga yang menyebabkan keheningan aneh ini, Nina tiba-tiba mengangkat kelinci itu dengan salah satu kakinya dan menggigitnya.

            "!!... Enak…!"

            Matanya terbelalak.

            "Langsung dimasak dari dalam, jadi cairannya masih benar-benar tertutup di dalam…! Dan ini masih cukup panas. Bahkan kulitnya saja renyah, jadi sama sekali tak perlu mengurusinya!"

            "Gagal, ya…"

            Kita kebetulan berhasil menemukan cara yang bagus untuk memasak kelinci, tapi tidak ada cara yang bagus untuk Ai. Jadi cara ini tak berhasil juga, ya…?

            "Kalau begitu, hari ini aku akan menggunakan sihir padamu."

            "Baik."

            Memberi isyarat pada Ai untuk mendekat, kutempatkan cakarku di kepalanya.

            "Yang merangkak melalui kegelapan, yang berjalan di jurang dunia, yang membinasakan napas dan berupaya menyembunyikan semua cahaya, yang menyambar dari langit, tepi dunia, tujuan akhir kehidupan. Lepaskan dirimu dari orang ini, lenyaplah!"

            Itu adalah mantra sihir untuk memperpanjang umur yang kugunakan selama mencari sebuah solusi.

            Kami sudah memastikan bahwa itu aman untuk digunakan, tapi sayangnya, kami juga tak yakin dengan keefektifan sejatinya. Aku sudah mengujinya pada serangga dan hewan-hewan kecil lainnya yang berumur singkat, tapi aku tak melihat banyak hasilnya. Kalau pun ada, paling itu hanya akan mempermudah mereka mati.

            —Aku ingin memperpanjang umurnya dan bersama selamanya.

            Ai sendiri terlihat tak mencemaskan soal keegoisan sepihakku ini, sih.

            Merasa sedikit panik, aku menjelaskan kerugian dan kekhawatiran lainnya mempunyai umur panjang.

            Bosan hidup, melihat orang yang kau cintai mati satu per satu, serta tak bisa mati sekali pun kau menginginkannya kalau cara yang digunakan tak mengizinkannya.

[Jadi, itu artinya Mentor harus mengalami semua hal mengerikan itu juga?]

            Dari semua balasan yang sudah kusiapkan, satu kalimat itu menyudahi pembcairaan ini.

            Namun, biarpun aku sudah mendapatkan izin darinya untuk melakukan hal-hal ini, aku belum melakukan kemajuan besar apa pun.

            Mengesampingkan cara biasa untuk hidup lebih lama, aku juga sudah mencoba berbagai cara lainnya, tapi ujung-ujungnya selalu tak berpengaruh. Bahkan dengan cara darah naga ini pun pada akhirnya tak bisa digunakan, padahal aku sudah berahap banyak dari cara ini.

            "Tidak berjalan dengan baik, ya."

            Itu adalah Nina, yang masih melahap kelinci itu dan menjilati cairan daging yang bercucuran di jarinya.

            "Oh iya, Nina, berapa umurmu?"

Penampilannya hampir tak berubah sama sekali semenjak kami bertemu.

            Dia masih terlihat berumur belasan tahun.

            Tidak terlalu ada banyak permasalahan karena sudah benar-benar cantik, tapi apa dia akan membesar?

            "Hm? Berapa, ya… aku tidak terlalu mengingatnya, tapi kira-kira sekitar seratus tiga puluh, kurasa?"

            Tidak mungkin, dia lebih tua dariku?

            Aku meninggal di usia delapan puluh sembilan, jadi dia masih lebih tua dariku meski menggabungkan umurku itu juga.

            "Nina, kau sudah setua itu?"

            "Orang bertelinga panjang hidupnya memang panjaaang, ya."

            Sama-sama tak mengetahui umurnya juga, mata Ai dan Darg terbelalak.

            "… Hanya memastikan, apa ada rahasia atau semacamnya untuk berumur panjang?"

            "Mungkin, aku juga tidak tahu, sih."

            Ah-ha!

            Sekalipun itu hanya secerah harapan, aku tak boleh melepaskannya.

            "Aku ingin bertanya pada Elf lainnya soal itu. Nina, apa kau tahu di mana mereka?"

            Segera setelah aku menanyakan itu, bayangan menyelimuti wajah Nina.

            "… Aku tidak thau. Sudah lama sekali semenjak aku, eng, meninggalkan hutan, jadi…"

            Dia selalu bicara terus terang, tapi kini, anehnya, dia berbicara dengan kurang jelas.

            "Kalau itu soal tempat tinggalnya orang bertelinga panjang, aku tahu tempatnya, Bang."

            Di saat itulah Darg mengangkat tangannya.

            Oh, benar juga, dia bisa bicara dalam bahasa Elf.

            Itu artinya, sudah sewajarnya kalau dia pernah bertemu Elf.

            "Bisa kau antar aku ke sana?"

            "Tentu saja. Tempatnya tidak terlalu jauh. Sekitar setengah hari dengan berjalan kaki."

            "Kalau begitu, harusnya kita bisa pulang pergi hari ini juga kalau kau naik ke punggungku."

            Darg bahkan lebih berat dari kelihatannya. Aku harus tahan terhadapnya, hal-hal seperti ini memang memerlukan pengorbanan.

            "Tunggu."

            Nina menghentikan kami saat hendak pergi.

            "… Aku juga ikut."

            Dia terlihat mencemaskan sesuatu saat berkata begitu.

***

            "Tepat di belah sana. Aku bertemu dengan orang bertelinga panjang di hutan itu."

            Kami berada jauh dari desanya Darg dan tempat lainnya yang pernah ditinggali.

            Dengan terbang pelan memerlukan waktu sekitar satu jam.

            "… Apa kau baik-baik saja, Bang?"

            "Y-Ya, mungkin…"

            Balasku pada pertanyaan Darg saat terengah-engah.

            "Maaf, mungkin lebih baik kalau aku tak ikut, ya?"

            "Tidak… tidak apa, kok. Itu bukan salahmu, Ai."

            Ujung-ujungnya, Nina bersikeras ingin ikut bersama Darg, sehingga Ai pun ingin ikut juga. Kami berempat berangkat ke desa elf, dan menyerahkan urusan desa pada Ken dan murid-muridku yang lainnya selama kami pergi.

            Namun, jaraknya cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, sehingga membuatku bertanya-tanya, apakah kita semua bisa terbang ke sana dengan menggunakan sihir.

            Sudah jelas, itu merupakan pemikiran yang salah.

Darg berada di punggungku, Ai ada dalam genggaman tanganku, sedangkan Nina berpegangan pada ujung ekorku.

Aku sempat memikirkan ini: tidak bisakah Ai dan Nina terbang meski dalam posisi aneh begitu karena mereka bisa menggunakan sihir terbang? Di satu sisi, aku memang ada benarnya, tapi di sisi lain, aku juga salah.

Sejujurnya, malah aku merasa lebih ringan dari biasanya berkat kerja sama Ai.

            Masalahnya ada di penempatan posisi kami.

            Merasakan tubuh lembutnya Ai yang berada dalam genggaman tanganku, membuatku bertanya-tanya, apakah dia benar-benar makhluk yang sama dengan Darg.

            Meski yang terpenting dari pemikiran nakal itu adalah, aku takut terlalu banyak menggunakan kekuatan, sehingga bisa meremukkannya tanpa sengaja. Jadi, aku belum bisa merasa nyaman selama satu jam terakhir ini.

            "Apa kau baik-baik saja, Nina?"

            "Nn. Tidak apa."

            Angguk Nina, hanya menjawab sesingkat mungkin sewaktu aku berbalik untuk bertanya padanya seusai mendarat.

            Aku cemas karena tak bisa mengawasinya selama dalam perjalanan ke sini, tapi sepertinya dia baik-baik saja.

            Dia terlihat agak pucat, tapi mungkin bukan karena penerbangan.

            "Nina. Kau bisa menunggu di sini kalau mau."

            Sewaktu kuberkata begitu, dia hanya menggelengkan kepalanya tanpa kata.

            "Kakak bilang dia baik-baik saja, jadi pasti begitu. Ayo pergi, Bang."

            "Ya…"

            Sedikit merasa cemas karena kurangnya tanggapan dari dirinya, aku pun memutuskan untuk memasuki hutan bersama Darg.

            Di saat aku mengambil satu langkah, bulu kudukku terasa merinding.

            Tapi aku tak punya bulu sih, jadi mungkin lebih tepat kalau dibilang sisikku terasa merinding…?

            "… Kita sedang diawasi."

            Ai menyandarkan tubuhnya ke arahku dan berbisik dengan lirih.

            Dia mungkin juga merasakan hal yang sama denganku.

[Hei, Telinga panjang! Keluar sini!]

            Sementara itu, entah Darg tak menyadari mereka atau memang hanya tak memedulikannya saja. Dia hanya menendang pohon terdekat dan berteriak dalam bahasa Elf.

[Selalu saja berisik, Monyet Beruang.]

            Orang yang muncul tanpa menimbulkan suara adalah orang yang kelewat cantik.

Dari tampilannya, tingginya sekitar seratus tujuh puluh sentimeter.

            Dengan perawakan tingginya, tubuhnya ramping. Wajahnya mempunyai raut muka yang amat menakutkan.

            Bukan wajah, melainkan rupa muka. Aku ingin kesanku terhadapnya bisa dipahami, jadi aku mengatakannya seperti itu.

            Biarpun Nina juga cantik, kecantikannya masih seperti anak kecil.

            Walaupun dadanya tepos, aku bahkan tak bisa memastikan jenis kelaminnya. Tapi yang jelas, elf ini… dia kelewat cantik.

[Sungguh kumpulan aneh kalian ini. Monyet Beruang, Kadal, dan Anak Monyet. Juga… aah. Si Guron, ya?]

            Elf itu mengangkat alisnya dengan berlebihan.

[Si Guron?]

            Sahutku, yang tanpa sadar mengulangi perkataannya.

            Monyet Beruang, mestinya itu Darg. Dia memang benar-benar cocok dengan kata itu, sebutan itu benar-benar pantas untuk dirinya.

            Kadal pastinya ditujukan padaku. Tak ada hal lain lagi selain itu karena hingga sekarang, aku sudah sering dipanggil begitu.

            Dan untuk Anak Monyet, itu pasti Ai. Itu benar-benar membuatku jengkel, tapi aku harus sabar.

            Dengan begini, aku tahu siapa Si Guron yang dimaksud setelah menilai satu per satu.

[… Lama tidak bertemu, Ultramarine.]

            Si jenius kita ini, tak di sangka… ternyata Si Guron?

⟵Back         Main          Next⟶






Related Posts

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 23 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh