Chapter
22 – Sebuah Jam yang Tak Sepadan
"Dibandingkan
diriku, hidupmu itu bagaikan jarum detik sebuah jam."
"Lantas,
apakah Mentor jarum jamnya?"
"Bukan… aku
jamnya itu sendiri."
Hari
itu adalah musim penghujan di musim gugur.
Kami
berada di suatu bukit kecil, yang tak dirimbuni pepohonan kecil.
"Kau yang kuat, bijaksana, dan perkasa."
Suara
kami saling tumpang-tindih sewaktu merapalkan mantra perlahan-lahan.
Di
hadapan semua orang yang telah berkumpul di sana, kuberdoa.
"Kumohon, beristirahatlah dengan tenang."
—Ini
adalah upacara kematiannya Guy.
Tubuhnya
dibaringkan dengan hati-hati ke dalam lubang yang sudah kami gali di bukit.
Para
penduduk desa yang berkabung pun melemparkan bunga ke dalam lubang untuk menyertainya.
Dengan
kepekaan sederhananya, para penduduk desa telah menetapkan adat tersebut
sebagai hal yang wajar.
"… Mentor."
"Ya."
Anggukku,
pada Ai yang memanggil namaku dengan air mata di matanya.
Lalu,
kutarik napas dalam-dalam—dan menghembuskannya ke arah Guy.
Sekalipun
tanpa menggunakan mantra, itu adalah api dengan suhu yang cukup tinggi untuk
meladeni beruang berzirah.
"Tanah, telanlah orang ini ke dalam dirimu."
Sewaktu
Nina merapalkan mantra dengan khidmat, abunya dikuburkan ke dalam tanah.
"Lantas tunaskanlah lagi."
Tunas
yang amat kecil pun tumbuh dengan cepat dari tanah. Tak lama berselang, tunas
itu pun tumbuh hingga seukuran dengan pepohonan di sekitarnya.
Aku memutuskan untuk mengkremasinya guna mencegah
kemungkinan adanya penularan penyakit, tapi tak disangka itu bisa diterima oleh
semua orang. Kurasa alasan mereka bukan hanya sekedar percaya pada apiku sih,
tapi aku percaya itu juga dikarenakan sihir yang barusan Nina gunakan.
"Mentor."
Panggil
Ai padaku sekali lagi sembari menatap pohon kecil itu.
"Apakah dunia setelah kematian itu memang benar
ada?"
Tidak, tapi kurasa aku
tak semestinya menjawab begitu.
Terwujudnya Jack Frost kemungkinan besar disebabkan
karena kebohonganku yang menjadi kenyataan melalui Ai. Akibat dia memanggil
Jack Frost tiap harinya, pikiran dan emosinya pun kian menumpuk, lalu berubah
menjadi suatu massa yang signifikan… yang akhirnya menjadi roh.
Mungkin
akhirat juga bisa dibuat melalui cara yang serupa.
"Ya, ada."
Karenanya,
kujawab begitu.
"Dunia setelah kematian itu memang ada. Jadi tidak
usah khawatir, Guy bisa menghabiskan waktunya di sana dengan tenang."
***
Di
suatu tempat di sebelah utara dari desa yang kami tinggali, yang bisa ditempuh
dengan terbang beberapa menit saja.
Mungkin
hanya beberapa menit dikarenakan sayap naga, tapi jaraknya itu sekitar dua hingga
tiga puluh kilometer.
Di
sanalah tempat kelahiranku, yang letaknya ada di sebuah gua dekat kaldera. Inilah
kali pertamanya aku pulang setelah beberapa tahun lamanya.
Itu
adalah gua, tapi bukan gua yang terbentuk secara alami.
Tidak
ada stalaktif atau pun stalagmit yang terlihat, dan jalur kecilnya pun
merupakan jalur lurus melingkar yang indah.
Dulu
aku sempat penasaran bagaimana caranya gua ini dibuat, tapi kini kutahu. Beliau
melelehkannya menggunakan napasnya.
Sama
halnya dengan caraku membuat lubang ventilasi pada gunung waktu itu.
Sesampainya
di ujung jalur kecil itu, aku tiba di ruangan besar yang luas. Seketika itu
juga, di sebelahku ada genangan magma yang mendidih, suhu di sini mungkin
kelewat tinggi untuk bisa ditahan oleh manusia biasa. Bahkan, aku saja tak bisa
membawa Ai ke sini untuk memberitahukan soal pernikahan kami… yah, aku juga
tidak memberitahunya, sih. Andai kubilang padanya sesuatu seperti aku menikahi seorang manusia, mungkin
beliau meragukan kewarasanku.
"Oh? Selamat datang."
"Aku pulang, bu."
Apa
yang awalnya nampak seperti tembok raksaksa merah, sebenarnya adalah ibuku di
kehidupanku saat ini.
Satu
sayapnya yang terbentang saja bahkan lebih besar ketimbang seluruh tubuhku.
"Aku baru saja mau makan, kamu mau makan juga?"
Ibu
mendorong beberapa kaki makhluk raksaksa ke dalam magma—terasa aneh, karena itu
mirip dengan mencelupkan gorengan ke dalam mangkuk.
"Nah, saatnya makan."
Menirunya,
aku juga menempatkan daging ke dalam magma sebelum memakannya. Beginilah caraku
memakan makanan sewaktu tinggal di sini.
"Ya, enak."
Kurasa
hanya naga merah sajalah yang akan merasa masakan itu benar-benar enak, sih.
Aku
ada dengar bahwa rasa pedas itu hanyalah perasaan panas dan sakit pada lidah.
Aku
tak tahu pasti apakah hal itu juga berlaku untuk naga, tapi menempatkan magma
langsung ke lidah naga merah pasti sangatlah panas. Terasa seperti di sengat.
Bagi
naga, magma itu adalah kepedasan.
Namun.
Aku
mampu menahan diri saat mengunyah daging bersebelahan dengannya.
Biarpun
ini adalah pertama kalinya aku pulang setelah beberapa tahun, perilaku beliau
sama seperti biasanya.
Entah
apakah itu karena pada dasarnya naga adalah penyabar atau apakah itu karena ibu
saja yang tidak tergesa-gesa, aku merasa kesulitan.
"Boleh kutanya sesuatu, bu?"
"Soal apa?"
Ibu
mencondongkan kepala raksaksanya ke bawah hingga membuat jarak di antara kami
hanya terpaut sekitar panjangnya ekorku.
"Berapa umurmu, bu?"
"Dua puluh enam!"
Aku
menahan diri untuk tidak terlalu berlebihan membalasnya supaya beliau tak
menyembunyikan usianya.
"Bagaimana bisa? Sekarang saja umurku sudah sekitar
dua puluh."
"Dua puluh?... oh, kamu menghitungnya berdasarkan
musim?"
Ibu
menutup mulutnya agak lama, dan menghembuskan api tipis yang panjang ke tanah.
Bebatuan keras pun dibuat leleh dengan mudahnya, lalu beliau menggambar sebuah
gambar yang terperinci. Baik itu dari segi panas atau pun pengendaliannya, beliau
jauh melampauiku.
"Ini adalah matahari yang bersinar di langit. Dan ini adalah planet tempat di mana kita
hidup."
Itu
adalah gambar mengenai planet kita yang mengitari matahari dalam orbit elips.
"Begitu siklus pagi dan malam terulang empat ratus
dua puluh kali, kurang lebih planet ini kembali ke posisi semula. Namun,
orbitnya tidak sepenuhnya benar-benar ada di sana, elips itu sendiri bergerak
sedikit demi sedikit."
Seperti daun mahkota, elips
berputar mengelilingi matahari saat memutarinya.
"Jadi, setelah sembilan puluh delapan kali, kurang
lebih itu akan kembali ke orbit aslinya. Itulah satu tahun."
Mulutku
ternganga karena terkejut.
Jangankan
teori Copernicus dan pemahamannya mengenai konsep lintasan orbital, aku dibuat
terkejut akan kenyataan usianya yang sudah hampir dua ribu enam ratus tahun. Tidak,
karena siklus revolusinya sendiri lebih panjang ketimbang Bumi, maka usianya
sudah lebih dari dua ribu delapan ratus tahun di Bumi.
Dari
sudut pandangnya, mungkin beliau akan melihat manusia sebagai makhluk yang rapuh
nan lemah, yang tidak cakap dalam bahasanya sendiri, dan yang mengandalkan peralatan-peralatan
batu yang tak lebih baik dari semut. Sekali lagi, aku dibuat terpukau oleh
perbedaan besar antara manusia dan naga.
"… Sejauh yang ibu ketahui… siapakah naga
tertua?"
"Siapa, ya… kurasa umur kakekmu lebih dari dua
ratus?"
Dua
ratus… sembilan puluh delapan kali.
Bahkan
di dunia yang tahunnya lama ini, itu sembilan belas ribu, enam ratus tahun.
Bukannya itu sama saja dengan abadi?
"… Ibu melahirkanku cukup muda, ya."
Hanya
itu sajalah yang bisa kuucapkan.
***
"Selamat datang kembali, Mentor!"
Ai
berlari menghampiriku setibanya aku di desa.
"Aku pulang. Maaf, kau pasti kesepian."
"Tidak, aku baik-baik saja, kok."
Ai
memeluk erat kaki depanku, tertawa dengan senyuman di wajahnya.
Bisakah
aku terus hidup selama ratusan, ribuan tahun setelah kehilangannya?
Tidak.
Aku takkan pernah bisa.
Tapi
aku juga tidak punya keberanian untuk mengakhiri hidupku bersamanya.
Kalau
begini, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.
Awet
muda.
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 22 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia