Saturday, January 5, 2019

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 22 Bahasa Indonesia





Chapter 22 – Sebuah Jam yang Tak Sepadan




"Dibandingkan diriku, hidupmu itu bagaikan jarum detik sebuah jam."

"Lantas, apakah Mentor jarum jamnya?"

"Bukan… aku jamnya itu sendiri."




Hari itu adalah musim penghujan di musim gugur.

Kami berada di suatu bukit kecil, yang tak dirimbuni pepohonan kecil.

            "Kau yang kuat, bijaksana, dan perkasa."

Suara kami saling tumpang-tindih sewaktu merapalkan mantra perlahan-lahan.

Di hadapan semua orang yang telah berkumpul di sana, kuberdoa.

            "Kumohon, beristirahatlah dengan tenang."

—Ini adalah upacara kematiannya Guy.

Tubuhnya dibaringkan dengan hati-hati ke dalam lubang yang sudah kami gali di bukit.

Para penduduk desa yang berkabung pun melemparkan bunga ke dalam lubang untuk menyertainya.

Dengan kepekaan sederhananya, para penduduk desa telah menetapkan adat tersebut sebagai hal yang wajar.

            "… Mentor."

            "Ya."

Anggukku, pada Ai yang memanggil namaku dengan air mata di matanya.

Lalu, kutarik napas dalam-dalam—dan menghembuskannya ke arah Guy.

Sekalipun tanpa menggunakan mantra, itu adalah api dengan suhu yang cukup tinggi untuk meladeni beruang berzirah.

            "Tanah, telanlah orang ini ke dalam dirimu."

Sewaktu Nina merapalkan mantra dengan khidmat, abunya dikuburkan ke dalam tanah.

            "Lantas tunaskanlah lagi."

Tunas yang amat kecil pun tumbuh dengan cepat dari tanah. Tak lama berselang, tunas itu pun tumbuh hingga seukuran dengan pepohonan di sekitarnya.

Aku memutuskan untuk mengkremasinya guna mencegah kemungkinan adanya penularan penyakit, tapi tak disangka itu bisa diterima oleh semua orang. Kurasa alasan mereka bukan hanya sekedar percaya pada apiku sih, tapi aku percaya itu juga dikarenakan sihir yang barusan Nina gunakan.

            "Mentor."

Panggil Ai padaku sekali lagi sembari menatap pohon kecil itu.

            "Apakah dunia setelah kematian itu memang benar ada?"

Tidak, tapi kurasa aku tak semestinya menjawab begitu.

Terwujudnya Jack Frost kemungkinan besar disebabkan karena kebohonganku yang menjadi kenyataan melalui Ai. Akibat dia memanggil Jack Frost tiap harinya, pikiran dan emosinya pun kian menumpuk, lalu berubah menjadi suatu massa yang signifikan… yang akhirnya menjadi roh.

Mungkin akhirat juga bisa dibuat melalui cara yang serupa.

            "Ya, ada."

Karenanya, kujawab begitu.

"Dunia setelah kematian itu memang ada. Jadi tidak usah khawatir, Guy bisa menghabiskan waktunya di sana dengan tenang."

***

Di suatu tempat di sebelah utara dari desa yang kami tinggali, yang bisa ditempuh dengan terbang beberapa menit saja.

Mungkin hanya beberapa menit dikarenakan sayap naga, tapi jaraknya itu sekitar dua hingga tiga puluh kilometer.

Di sanalah tempat kelahiranku, yang letaknya ada di sebuah gua dekat kaldera. Inilah kali pertamanya aku pulang setelah beberapa tahun lamanya.

Itu adalah gua, tapi bukan gua yang terbentuk secara alami.

Tidak ada stalaktif atau pun stalagmit yang terlihat, dan jalur kecilnya pun merupakan jalur lurus melingkar yang indah.

Dulu aku sempat penasaran bagaimana caranya gua ini dibuat, tapi kini kutahu. Beliau melelehkannya menggunakan napasnya.

Sama halnya dengan caraku membuat lubang ventilasi pada gunung waktu itu.

Sesampainya di ujung jalur kecil itu, aku tiba di ruangan besar yang luas. Seketika itu juga, di sebelahku ada genangan magma yang mendidih, suhu di sini mungkin kelewat tinggi untuk bisa ditahan oleh manusia biasa. Bahkan, aku saja tak bisa membawa Ai ke sini untuk memberitahukan soal pernikahan kami… yah, aku juga tidak memberitahunya, sih. Andai kubilang padanya sesuatu seperti aku menikahi seorang manusia, mungkin beliau meragukan kewarasanku.

            "Oh? Selamat datang."

            "Aku pulang, bu."

Apa yang awalnya nampak seperti tembok raksaksa merah, sebenarnya adalah ibuku di kehidupanku saat ini.

Satu sayapnya yang terbentang saja bahkan lebih besar ketimbang seluruh tubuhku.

            "Aku baru saja mau makan, kamu mau makan juga?"

Ibu mendorong beberapa kaki makhluk raksaksa ke dalam magma—terasa aneh, karena itu mirip dengan mencelupkan gorengan ke dalam mangkuk.

            "Nah, saatnya makan."

Menirunya, aku juga menempatkan daging ke dalam magma sebelum memakannya. Beginilah caraku memakan makanan sewaktu tinggal di sini.

            "Ya, enak."

Kurasa hanya naga merah sajalah yang akan merasa masakan itu benar-benar enak, sih.

Aku ada dengar bahwa rasa pedas itu hanyalah perasaan panas dan sakit pada lidah.

Aku tak tahu pasti apakah hal itu juga berlaku untuk naga, tapi menempatkan magma langsung ke lidah naga merah pasti sangatlah panas. Terasa seperti di sengat.

Bagi naga, magma itu adalah kepedasan.

Namun.

Aku mampu menahan diri saat mengunyah daging bersebelahan dengannya.

Biarpun ini adalah pertama kalinya aku pulang setelah beberapa tahun, perilaku beliau sama seperti biasanya.

Entah apakah itu karena pada dasarnya naga adalah penyabar atau apakah itu karena ibu saja yang tidak tergesa-gesa, aku merasa kesulitan.

            "Boleh kutanya sesuatu, bu?"

            "Soal apa?"

Ibu mencondongkan kepala raksaksanya ke bawah hingga membuat jarak di antara kami hanya terpaut sekitar panjangnya ekorku.

            "Berapa umurmu, bu?"

            "Dua puluh enam!"

Aku menahan diri untuk tidak terlalu berlebihan membalasnya supaya beliau tak menyembunyikan usianya.

            "Bagaimana bisa? Sekarang saja umurku sudah sekitar dua puluh."

            "Dua puluh?... oh, kamu menghitungnya berdasarkan musim?"

Ibu menutup mulutnya agak lama, dan menghembuskan api tipis yang panjang ke tanah. Bebatuan keras pun dibuat leleh dengan mudahnya, lalu beliau menggambar sebuah gambar yang terperinci. Baik itu dari segi panas atau pun pengendaliannya, beliau jauh melampauiku.

"Ini adalah matahari yang bersinar di langit. Dan ini adalah planet tempat di mana kita hidup."

Itu adalah gambar mengenai planet kita yang mengitari matahari dalam orbit elips.

"Begitu siklus pagi dan malam terulang empat ratus dua puluh kali, kurang lebih planet ini kembali ke posisi semula. Namun, orbitnya tidak sepenuhnya benar-benar ada di sana, elips itu sendiri bergerak sedikit demi sedikit."

Seperti daun mahkota, elips berputar mengelilingi matahari saat memutarinya.

"Jadi, setelah sembilan puluh delapan kali, kurang lebih itu akan kembali ke orbit aslinya. Itulah satu tahun."

Mulutku ternganga karena terkejut.

Jangankan teori Copernicus dan pemahamannya mengenai konsep lintasan orbital, aku dibuat terkejut akan kenyataan usianya yang sudah hampir dua ribu enam ratus tahun. Tidak, karena siklus revolusinya sendiri lebih panjang ketimbang Bumi, maka usianya sudah lebih dari dua ribu delapan ratus tahun di Bumi.

Dari sudut pandangnya, mungkin beliau akan melihat manusia sebagai makhluk yang rapuh nan lemah, yang tidak cakap dalam bahasanya sendiri, dan yang mengandalkan peralatan-peralatan batu yang tak lebih baik dari semut. Sekali lagi, aku dibuat terpukau oleh perbedaan besar antara manusia dan naga.

            "… Sejauh yang ibu ketahui… siapakah naga tertua?"

            "Siapa, ya… kurasa umur kakekmu lebih dari dua ratus?"

Dua ratus… sembilan puluh delapan kali.

Bahkan di dunia yang tahunnya lama ini, itu sembilan belas ribu, enam ratus tahun. Bukannya itu sama saja dengan abadi?

            "… Ibu melahirkanku cukup muda, ya."

Hanya itu sajalah yang bisa kuucapkan.

***

            "Selamat datang kembali, Mentor!"

Ai berlari menghampiriku setibanya aku di desa.

            "Aku pulang. Maaf, kau pasti kesepian."

            "Tidak, aku baik-baik saja, kok."

Ai memeluk erat kaki depanku, tertawa dengan senyuman di wajahnya.

Bisakah aku terus hidup selama ratusan, ribuan tahun setelah kehilangannya?

Tidak. Aku takkan pernah bisa.

Tapi aku juga tidak punya keberanian untuk mengakhiri hidupku bersamanya.

Kalau begini, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.




Awet muda.

Aku tidak punya pilihan lain selain mewujudkan impian umat manusia di dunia ini.


⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 22 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh