Cerita
Sampingan – Hamakaze Shuri Tak Menyembunyikan Cintanya
Hubungan
antara Shuri dan aku adalah sebagai budak dan tuannya.
Namun,
hubungan kami ini sungguh berbeda dari yang kau bayangkan.
Menganiaya,
yang dianiaya.
Sama
sekali enggak ada.
Aku
tadinya menghidupkannya lagi supaya bisa memanfaatkannya, tapi kini dia adalah
seorang rekan balas dendam seperjuanganku.
Aku
sudah menjelajahi Rigal Den
bersamanya.
Sewaktu
kami menjelajahinya, aku membuat janji dengan Shuri.
Aku
bilang akan melakukan satu hal apa pun yang dipintanya.
Apa
yang dipintanya adalah sesuatu yang kelewat menggemaskan—yaitu menghabiskan
sepanjang hari bersamanya.
Tentunya,
enggak ada alasan buatku untuk menolaknya.
Pergi
ke istana kerajaan, perasaan di antara kami semakin dalam, menikmati kencan
pertama sepanjang hidupku, dan diakhiri dengan kembali ke penginapan.
Yang
membawaku ke keadaan saat ini, dengan kepalaku di pangkuannya.
Ya.
Kepalaku, berada di pangkuannya.
"Fufu,
apa kamu menyukainya, Daichi?"
"Y-Ya.
Mantap jiwa."
Ngomong
apaan sih gua ini?
Pikiranku
malah jadi begini dan kalau keadaannya tambah memalukan, mesti gimana aku coba?
Untuk
mengetahui kenapa kejadiannya malah jadi seperti ini, mari kita kembali ke awal
sebentar.
***
Memanfaatkan
titahnya Ginger, kami mempersiapkan rencana untuk balas dendam pada teman-teman
sekelasku.
Masing-masing
dari kami memulihkan kembali tenaga dan menghabiskan waktu dengan cara kami
tersendiri.
Leadred
tengah memoles pedang perangnya di pojok ruangan.
Sedangkan
aku sedang meminum teh yang dibuat Shuri.
"Bagaimana
rasanya, Daichi?"
"Nikmat,
nikmat banget."
"Syukurlah."
Jujur,
kalau menyangkut soal teh, aku enggak terlalu bisa membedakan seberapa dalam
rasanya—bahkan aku enggak tahu betul soal berbagai jenisnya.
Tapi
berhubung dia sudah begitu banyak mencurahkan cinta pada tehnya, kuyakin tehnya
pasti nikmat.
Seenggaknya,
kerja kerasnya bisa kulihat hanya dari senyum cemerlang di wajahnya.
"Sekarang
apa yang harus kita lakukan?"
"Apa,
ya…"
Kuletakkan
kembali cangkir tehnya dan menatap Shuri, berpura-pura memikirkannya.
Alasannya
karena ini semua adalah bagian dari satu permintaannya.
Kupikir
bakalan berakhir hanya dengan kencan saja, tapi nyatanya dia memutuskan untuk
melanjutkan sepenuhnya.
"Hari
ini kamu berjanji untuk menghabiskan sepanjang waktu bersamaku. Jadi ada banyak
hal yang ingin kulakukan bersamamu, Daichi!"
Dia
menunjukkan perasaan—yah, sejujurnya, senang.
Aku
‘ngerti kalau semua yang kulakukan untuk Shuri ini bukan suatu layanan yang
sudah diperhitungkan.
Tapi
tetap saja, kalau harus kubilang…
Melakukan
semua ini berulang, berulang, berulang kali, melelahkan.
Tapi,
mustahil juga untuk menolaknya.
Alasannya
kenapa, yah… karena Shuri sangat senang sampai-sampai matanya berkilauan.
Harapan
seorang gadis adalah hal yang berat.
Berbahaya,
risiko dan ganjarannya pun tinggi.
"Shuri,
sebenarnya ada yang kau ingin aku lakukan untukmu, ‘kan?"
"Buatku?"
"Ya.
Aku kehabisan ide, jadi bagaimana kalau kau saja yang pikirkan?"
Sewaktu
kutanyai, dia hanya tersipu dan mulai menggeliat-geliut, wajahnya perlahan
merona merah.
Dia
menatapku dengan nafsu tertentu di matanya.
"…
Aku ingin, eng… melakukan itu…
lagi…"
"Tunggu—maksudku,
bukankah suasana atau semacamnya itu penting?"
"…
Daichi, kamu tidak mau?"
"…!"
Kutarik
kembali apa yang benar-benar ingin kulakukan… nyaris enggak.
Tatapan
mata anak anjing itu curang!
Hanya
dengan saling menatap saja, suasana di antara kami sudah terasa mulai menuju ke sana.
Namun,
keanehan itu langsung hilang lewat suara sergahan.
"…
Kalian lupa aku ada di sini, ya?"
"Eh—tentu
saja tidaklah, Leadred!"
Pfft,
bohong. Aku yakin dia pasti lupa kalau Leadred ada di sini.
Bukannya
aku juga pantas bicara sih, aku juga terbawa suasana.
Berkat
Leadred, aku entah bagaimana bisa melarikan diri dari kemalangan, tapi aku masih
berada dalam masalah besar.
Jujur,
saking malunya aku sampai ingin bersembunyi di tempat tidur.
…
Bagamana bisa aku mencoba mengalihkan persoalan?
"Aku
tidak terlalu peduli kalau kalian mau bermesraan, tapi setidaknya pakai sedikit
sopan-santun. Serius, deh."
"Ba-Baik,
maaf…"
"Dan
aku juga punya saran, kalian mau mendengarkannya?"
"Ya,
apa itu?"
"Kamu
tahu apa yang dilakukan Shuri untukmu saat di dungeon, Pahlawan? Mengapa tidak melakukannya lagi saja? Dia
mungkin akan tepar kalau kamu melakukannya, dan aku tak harus berurusan dengan
kemesraan kalian berdua yang memuakkan."
Saat
Leadred berkata begitu, kupalingkan segera kepalaku ke arah Shuri karena merasa
putus asa.
Melihat
reaksinya, aku sadar kalau mendengar Leadred adalah suatu kesalahan.
Aku
sudah sangat terlambat.
***
Begitulah
kejadiannya.
Ini
mungkin hanya sekedar pendapat pribadiku, tapi kurasa diberi bantal pangkuan
adalah idaman semua lelaki.
Bahkan
aku enggak bisa mengungkapkannya ke dalam kata-kata.
"Daichi?
Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aku pernah memberimu bantal pangkuan, deh."
"Aneh.
Aku juga sama."
"Apa
kamu tidak menyukainya?"
"…
Aku enggak bilang begitu."
Menanggapinya,
Shuri pun tersenyum sekali lagi.
Lalu
dia membelai rambutku dengan tangannya.
"Akan
kutanya lagi… kamu menyukai bantal pangkuanku?"
Ditanya
lagi olehnya, mari balas lagi saja—di pikiranku kali ini.
Mantap
jiwa.
Itulah
yang bisa kuungkapkan dalam kata-kata.
Di
saat aku membaringkan kepalaku, aku merasa seolah akan tertidur saja. Rasanya
melegakan.
Begitu
kumenempatkan berat kepalaku ke pangkuannya, kepalaku terasa terbenam ke dalam
pahanya.
Elastisitas
dan kelembutan dari pahanya sungguh sempurna, semacam perasaan yang persis
memancarkan masa muda.
Serkta
kasih sayang yang sungguh lemah lembut.
Namun,
rasanya aku akan terpesona olehnya kalau berkata apa adanya, jadi kupilih
kata-kataku dengan hati-hati.
"Rasanya
enak sampai-sampai aku ingin tertidur."
"Aku
tidak keberatan kalau kamu tertidur, lo?"
Ujarnya
dengan menunjukkan senyum nakal di sudut bibirnya.
Sewaktu
kumencoba menatap matanya, rambut indahnya menggelitik wajahku.
Tapi
yang terpenting, aku menerima suntikan yang menghilangkan semua rasa letihku.
Payudaranya…!
Payudaranya
‘makin mendekat?!
Dia
mencondongkan tubuhnya ke depan, sehingga buah yang melimpahnya menghampiriku.
Kampret!
‘Makin
tambah dekat!
Payudaranya…
sangat… kuat…!
"Shu-Shuri!
Ke-Kedeketan!"
"Enggak…
boleh, ya?"
"Eh?"
"Aku
menyadarinya, lo. Daichi, tiap kali aku memberimu bantal pangkuan, kamu selalu
saja menatap payudaraku."
"A-Aku
enggak tahu apa yang kau bicarakan…"
Jendela
saja akan terasa lebih sulit dilihat ketimbang kebohonganku.
Maksudku,
sekarang ini aku sama sekali enggak bisa berpikir jernih!
Namun,
Shuri hanya tetap tersenyum.
"Kamu
tahu… aku tidak keberetan, kok."
"Enggak
keberatan… apa?"
"Lanjutkan…
ke…"
Shuri
mendekatkan wajahnya—
"OH AYOLAH, bukannya sudah kubilang
untuk berhenti menganggap aku tidak ada di sini?!"
Tepat
sebelum bibir kami saling bersentuhan, Shuri terjatuh dengan bunyi keras.
Di
belakangnya berdiri Leadred, yang jelas-jelas baru saja memukulnya menggunakan
pinggiran pedangnya.
Melihatnya
yang menempatkan kekuatan yang cukup untuk menjatuhkannya, aku merasakan hawa
dingin yang mengalir di punggungku.
"Serius,
deh… Pahlawan."
"Ap-Apa?"
"Lain
kali pastikan untuk memerhatikan tempat, ya?"
"Ba-Baik!"
"…
Baguslah. Kalau begitu, aku tidak punya keluhan."
Aku
yakin aura iblis yang bisa kurasakan di belakangnya Leadred sudah hilang, dan
dia pun kembali tersenyum.
Marti
pastikan untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu bersama Shuri saat berada di
sekitarnya.
Jadi
aku pun bersumpah.
…
Aku enggak tahu berapa lama bisa menepatinya, sih.
"Kurasa
aku akan membaringkan Shuri di tempat tidur…?"
Omong-omong,
bahkan setelah itu kami tetap saja enggak memedulikan peringatannya dan juga
enggak peduli soal pengawasan Leadred, tapi itu cerita untuk lain kali.
The Forsaken Hero - Volume 01 - Cerita Sampingan Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia