Tuesday, January 8, 2019

The Forsaken Hero - Volume 01 - Cerita Sampingan Bahasa Indonesia



Cerita Sampingan – Hamakaze Shuri Tak Menyembunyikan Cintanya


            Hubungan antara Shuri dan aku adalah sebagai budak dan tuannya.

            Namun, hubungan kami ini sungguh berbeda dari yang kau bayangkan.

            Menganiaya, yang dianiaya.

            Sama sekali enggak ada.

            Aku tadinya menghidupkannya lagi supaya bisa memanfaatkannya, tapi kini dia adalah seorang rekan balas dendam seperjuanganku.

            Aku sudah menjelajahi Rigal Den bersamanya.

            Sewaktu kami menjelajahinya, aku membuat janji dengan Shuri.

            Aku bilang akan melakukan satu hal apa pun yang dipintanya.

            Apa yang dipintanya adalah sesuatu yang kelewat menggemaskan—yaitu menghabiskan sepanjang hari bersamanya.

            Tentunya, enggak ada alasan buatku untuk menolaknya.

            Pergi ke istana kerajaan, perasaan di antara kami semakin dalam, menikmati kencan pertama sepanjang hidupku, dan diakhiri dengan kembali ke penginapan.

            Yang membawaku ke keadaan saat ini, dengan kepalaku di pangkuannya.

            Ya. Kepalaku, berada di pangkuannya.

            "Fufu, apa kamu menyukainya, Daichi?"

            "Y-Ya. Mantap jiwa."

            Ngomong apaan sih gua ini?

            Pikiranku malah jadi begini dan kalau keadaannya tambah memalukan, mesti gimana aku coba?

            Untuk mengetahui kenapa kejadiannya malah jadi seperti ini, mari kita kembali ke awal sebentar.

***

            Memanfaatkan titahnya Ginger, kami mempersiapkan rencana untuk balas dendam pada teman-teman sekelasku.

            Masing-masing dari kami memulihkan kembali tenaga dan menghabiskan waktu dengan cara kami tersendiri.

            Leadred tengah memoles pedang perangnya di pojok ruangan.

            Sedangkan aku sedang meminum teh yang dibuat Shuri.

            "Bagaimana rasanya, Daichi?"

            "Nikmat, nikmat banget."

            "Syukurlah."

            Jujur, kalau menyangkut soal teh, aku enggak terlalu bisa membedakan seberapa dalam rasanya—bahkan aku enggak tahu betul soal berbagai jenisnya.

            Tapi berhubung dia sudah begitu banyak mencurahkan cinta pada tehnya, kuyakin tehnya pasti nikmat.

            Seenggaknya, kerja kerasnya bisa kulihat hanya dari senyum cemerlang di wajahnya.

            "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"

            "Apa, ya…"

            Kuletakkan kembali cangkir tehnya dan menatap Shuri, berpura-pura memikirkannya.

            Alasannya karena ini semua adalah bagian dari satu permintaannya.

            Kupikir bakalan berakhir hanya dengan kencan saja, tapi nyatanya dia memutuskan untuk melanjutkan sepenuhnya.

            "Hari ini kamu berjanji untuk menghabiskan sepanjang waktu bersamaku. Jadi ada banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu, Daichi!"

            Dia menunjukkan perasaan—yah, sejujurnya, senang.

            Aku ‘ngerti kalau semua yang kulakukan untuk Shuri ini bukan suatu layanan yang sudah diperhitungkan.

            Tapi tetap saja, kalau harus kubilang…

            Melakukan semua ini berulang, berulang, berulang kali, melelahkan.

            Tapi, mustahil juga untuk menolaknya.

            Alasannya kenapa, yah… karena Shuri sangat senang sampai-sampai matanya berkilauan.

            Harapan seorang gadis adalah hal yang berat.

            Berbahaya, risiko dan ganjarannya pun tinggi.

            "Shuri, sebenarnya ada yang kau ingin aku lakukan untukmu, ‘kan?"

            "Buatku?"

            "Ya. Aku kehabisan ide, jadi bagaimana kalau kau saja yang pikirkan?"

            Sewaktu kutanyai, dia hanya tersipu dan mulai menggeliat-geliut, wajahnya perlahan merona merah.

            Dia menatapku dengan nafsu tertentu di matanya.

            "… Aku ingin, eng… melakukan itu… lagi…"

            "Tunggu—maksudku, bukankah suasana atau semacamnya itu penting?"

            "… Daichi, kamu tidak mau?"

            "…!"

            Kutarik kembali apa yang benar-benar ingin kulakukan… nyaris enggak.

            Tatapan mata anak anjing itu curang!

            Hanya dengan saling menatap saja, suasana di antara kami sudah terasa mulai menuju ke sana.

            Namun, keanehan itu langsung hilang lewat suara sergahan.

            "… Kalian lupa aku ada di sini, ya?"

            "Eh—tentu saja tidaklah, Leadred!"

            Pfft, bohong. Aku yakin dia pasti lupa kalau Leadred ada di sini.

            Bukannya aku juga pantas bicara sih, aku juga terbawa suasana.

            Berkat Leadred, aku entah bagaimana bisa melarikan diri dari kemalangan, tapi aku masih berada dalam masalah besar.

            Jujur, saking malunya aku sampai ingin bersembunyi di tempat tidur.

            … Bagamana bisa aku mencoba mengalihkan persoalan?

            "Aku tidak terlalu peduli kalau kalian mau bermesraan, tapi setidaknya pakai sedikit sopan-santun. Serius, deh."

            "Ba-Baik, maaf…"

            "Dan aku juga punya saran, kalian mau mendengarkannya?"

            "Ya, apa itu?"

            "Kamu tahu apa yang dilakukan Shuri untukmu saat di dungeon, Pahlawan? Mengapa tidak melakukannya lagi saja? Dia mungkin akan tepar kalau kamu melakukannya, dan aku tak harus berurusan dengan kemesraan kalian berdua yang memuakkan."

            Saat Leadred berkata begitu, kupalingkan segera kepalaku ke arah Shuri karena merasa putus asa.

            Melihat reaksinya, aku sadar kalau mendengar Leadred adalah suatu kesalahan.

            Aku sudah sangat terlambat.

***

            Begitulah kejadiannya.

            Ini mungkin hanya sekedar pendapat pribadiku, tapi kurasa diberi bantal pangkuan adalah idaman semua lelaki.

            Bahkan aku enggak bisa mengungkapkannya ke dalam kata-kata.

            "Daichi? Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aku pernah memberimu bantal pangkuan, deh."

            "Aneh. Aku juga sama."

            "Apa kamu tidak menyukainya?"

            "… Aku enggak bilang begitu."

            Menanggapinya, Shuri pun tersenyum sekali lagi.

            Lalu dia membelai rambutku dengan tangannya.

            "Akan kutanya lagi… kamu menyukai bantal pangkuanku?"

            Ditanya lagi olehnya, mari balas lagi saja—di pikiranku kali ini.

            Mantap jiwa.

            Itulah yang bisa kuungkapkan dalam kata-kata.

            Di saat aku membaringkan kepalaku, aku merasa seolah akan tertidur saja. Rasanya melegakan.

            Begitu kumenempatkan berat kepalaku ke pangkuannya, kepalaku terasa terbenam ke dalam pahanya.

            Elastisitas dan kelembutan dari pahanya sungguh sempurna, semacam perasaan yang persis memancarkan masa muda.

            Serkta kasih sayang yang sungguh lemah lembut.

            Namun, rasanya aku akan terpesona olehnya kalau berkata apa adanya, jadi kupilih kata-kataku dengan hati-hati.

            "Rasanya enak sampai-sampai aku ingin tertidur."

            "Aku tidak keberatan kalau kamu tertidur, lo?"

            Ujarnya dengan menunjukkan senyum nakal di sudut bibirnya.

            Sewaktu kumencoba menatap matanya, rambut indahnya menggelitik wajahku.

            Tapi yang terpenting, aku menerima suntikan yang menghilangkan semua rasa letihku.

            Payudaranya…!

            Payudaranya ‘makin mendekat?!

            Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, sehingga buah yang melimpahnya menghampiriku.
            Kampret!

            ‘Makin tambah dekat!

            Payudaranya… sangat… kuat…!

            "Shu-Shuri! Ke-Kedeketan!"

            "Enggak… boleh, ya?"

            "Eh?"

            "Aku menyadarinya, lo. Daichi, tiap kali aku memberimu bantal pangkuan, kamu selalu saja menatap payudaraku."

            "A-Aku enggak tahu apa yang kau bicarakan…"

            Jendela saja akan terasa lebih sulit dilihat ketimbang kebohonganku.

            Maksudku, sekarang ini aku sama sekali enggak bisa berpikir jernih!

            Namun, Shuri hanya tetap tersenyum.

            "Kamu tahu… aku tidak keberetan, kok."

            "Enggak keberatan… apa?"

            "Lanjutkan… ke…"

            Shuri mendekatkan wajahnya—

            "OH AYOLAH, bukannya sudah kubilang untuk berhenti menganggap aku tidak ada di sini?!"

            Tepat sebelum bibir kami saling bersentuhan, Shuri terjatuh dengan bunyi keras.

            Di belakangnya berdiri Leadred, yang jelas-jelas baru saja memukulnya menggunakan pinggiran pedangnya.

            Melihatnya yang menempatkan kekuatan yang cukup untuk menjatuhkannya, aku merasakan hawa dingin yang mengalir di punggungku.

            "Serius, deh… Pahlawan."

            "Ap-Apa?"

            "Lain kali pastikan untuk memerhatikan tempat, ya?"

            "Ba-Baik!"

            "… Baguslah. Kalau begitu, aku tidak punya keluhan."

            Aku yakin aura iblis yang bisa kurasakan di belakangnya Leadred sudah hilang, dan dia pun kembali tersenyum.

            Marti pastikan untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu bersama Shuri saat berada di sekitarnya.

            Jadi aku pun bersumpah.

            … Aku enggak tahu berapa lama bisa menepatinya, sih.

            "Kurasa aku akan membaringkan Shuri di tempat tidur…?"




            Omong-omong, bahkan setelah itu kami tetap saja enggak memedulikan peringatannya dan juga enggak peduli soal pengawasan Leadred, tapi itu cerita untuk lain kali.


⟵Back         Main          Next⟶



Related Posts

The Forsaken Hero - Volume 01 - Cerita Sampingan Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh