〈 2. Campur Tangan 〉
“Kerja
bagus atas UTSnya. Beristirahatlah selama akhir minggu dan sampai jumpa minggu
depan.”
Begitu
guru homeroom kami selesai memberikan kata-kata terakhirnya yang
mengumumkan akhir UTS, kelas kami, yang mencapai titik kritis, langsung
meledak.
“Hey,
ujian udah siap, ayo ke warnet.”
“Ayo
ke karaoke duluan. Aku mau jerit-jerit.”
“Kita
jumpa di stasiun jam 2 siang, sesuai janji, kan?”
“Hey,
apa kau nggak dengar rumor itu? Yeah, yang itu.”
Bla
bla bla bla.
Suasana kelas langsung menjadi ramai. Sementara teman sekelasku berkumpus di
sana sini di ruang kelas saling berbagi
betapa senangnya mereka menanai akhir ujian dan rencana menggairahkan mereka
untuk musim Semi, aku menghantamkan kepalaku ke meja, bang. Begitu aku
bicara dengan mulutku yang menempel di meja, mejanya bergetar.
“Hey,
Ja Saeyeon, kau masih hidup?”
“······Yup,
aku······. Masih······ hidup······.”
Tak
ada ke kuatan dalam suaranya. Yah, ini sudah diduga.
Seminggu
belakangan······. Tidak, sejak periode ujian menekan, sekitar dua minggu.
Saeyeon, yang kelelahan karena sesi mentoring 1:1 denganku di saat itu, berada
dalam keadaan terhuyung-huyung sejak kemarin.
“Sekarang,
selesai······.”
Dan
aku sudah dalam keadaan terhuyung-huyunh sejak kemarin lusa. Karena aku tidak
punya lagi kekuatan untuk mengangkat kepalaku, aku bicara sambil menahan
getaran menyebalkan yang beresonansi dari mejaku kapanpun aku bicara.
“Ini
sebabnya, lain kali, belajarlah dulu. Sekarang kau pahamkan mencoba belajar
semuanya yang mencakup pelajaran setengah semester itu hampir mustahil, kan?”
“Yeh······.
Itu sulit······.”
Yah,
kami akhirnya mempelajari segalanya dari SMP dan tidak hanya setengah semester,
jadi kepalaku terasa akan meledak gara-gara itu. Karena yang mengajari perlau
lebih banyak tahu dibanding yang diajari. Belum lagi, dia seperti ini di setiap
pelajaran.
Mau
itu aku ilmuan terhebat abad zaman ini atau bukan, itu hanya berada di bidang
keteknikan, jadi akupun kesulitan saat berada di area yang tidak berhubungan
dengan keteknikan. Aku tidak kenal siapa si Jeong Cheol ini, tapi dengan
perasaanku sekarang, aku ingin membunuhnya. Kalau kau anak SMA, maka kau
kemungkinan besar merasakan hal yang sama.
(Catatan : Jeong Cheol adalah politisi yang hidup selama masa Dinasti Joseon. Kebanyakan anak SMA korea yang berada di tahun terakhir masa SMA mereka tahu karya terkenalnya yang begitu kompleks dan sulit untuk diketahui bahwa dia jadi terkenal karena itu. Banyak orang yang bahkan berkata kalau mereka bisa ke masa lalu, maka mereka akan menghabisinya duluan.)
(Catatan : Jeong Cheol adalah politisi yang hidup selama masa Dinasti Joseon. Kebanyakan anak SMA korea yang berada di tahun terakhir masa SMA mereka tahu karya terkenalnya yang begitu kompleks dan sulit untuk diketahui bahwa dia jadi terkenal karena itu. Banyak orang yang bahkan berkata kalau mereka bisa ke masa lalu, maka mereka akan menghabisinya duluan.)
“Ah,
tapi kurasa nilaiku bakalan naik karena Jjaro menolongku.”
Namun,
tampaknya dia mendapatkan sedikit kekuatannya karena Saeyeon memutar kepalnya
walau masih tumbang di atas mejanya. Aku melihat ke arahnya juga dan belakukan
yang terbaik untuk menyeringai.
“Tentu
saja. Diriku yang hebat inilah yang mengajarimu siang dan malam.”
Meski
demikian, mengajarinya entah kenapa berbuah manis.
Yah,
begitu kami pulang dan mengecek hasilnya, nilainya benar-benar cuma meningkat
sedikit, tapi mempertimbangkan nilai Saeyeon yang biasanya, ini pencapaian yang
baik sekali. Di sisi lain, nilaiku sedikit turun, tapi aku sduah berada di
peringkat atas. Apa itu mengejutkan? Menurutmu kenapa sekolah mentolerir
kelakukanku?
“Dan······.”
“Hm?
Apa ada yang mau kau katakan?”
Aku
penasaran apa karena dia lelah, tapi matanya setengah terbuka. Keraguannya
jelas terlihat, namun tampaknya dia mampu mengumpulkan keberanian saat bibirnya
yang berkedut sekarang bergerak.
“Sampai
sekarang, aku menghindari belajar denganmu karena aku nggak mau nunjuki
seberapa buruknya aku, Jjaro······.”
Tidak,
aku sudah tau ini. Kau pikir aku nggak tahu? Sesaat aku akan mengatakan padanya
itu, Saeyeon, yang dengan anehnya menghindari mataku, bertemu tatapanku dan
terkikih.
“······Belajar
bersama, lebih menyenangkan dari yang kupikirkan. Aku senang bisa belajar sama
Jjaro.”
“······Dan
akulah yang kesulitan mengajarimu.”
Ekspresinya
terlihat seolah kebahagiaan itu mulai keluar. Pipinya yang sedikit merah
megendur dan ujung mulutnya naik, menciptakan lengkungan seperti pelangi.
Sekarang giliranku yang kesulitan untuk kontak mata dengannya, jadi aku
memalingkan pandanganku.
“Ajari
aku lain kali juga, oke?”
“······Bakal
kupertimbangkan.”
Sekalipun,
jika mungkin, kuharap dia bisa belajar sendiri tanpa bantuanku.
Wajahku
juga menjadi merah sehingga membuatku menoleh.
“Oh,
apa ini? Apa kau malu, Jaro?”
“Seperti
dugaanku, kau jadi sedikit berubah sejak kalian berdua mulai tinggal bersama~.”
“Bukankah
itu karena mereka punya anak?”
“Tapi
mengajarinya siang dan malam······. Jaro ngeri ya~.”
“······Kenapa
kalian semua menguping seperti itu hal yang biasa, massa tak terpelajar?”
Gara-gara
iru, aku bertemu tatapan mereka. Sungguh, orang tak berpendidikan ini.
Kelompok
tiga orang dengan jenis kelamin campur-campur, yang melihat ke sini dan ngobrol
satu sama lain, menyeringai sebagai respon kata-kata kasarku dan menjawab.
“Emang
kenapa? Jangan pedulikan kami dan lanjutkan.”
“Yeah,
yeh. Ini cuma setingkat radio lokal.”
“Peri
ke sana dan lakukan siaran lokal kalian. Menguping itu bukan hal baik.”
“Menguping?
Semua yang kami lakukan cuma mendengarkan sekitar kami. Kan?”
“Kami
nggak bisa dengar dengan baik karena kelas terlalu ribur. Kan?”
Mereka
mencoba pura-pura tidak tahu. Kelompok itu pindah sedikit dan mulai ngobrol
lagi seolah-olah mereka dengan serius pura-pura seolah tidak dengar apa-apa.
Tentu saja, sambil sering curi pandang pada kami. Jadi gitu cara main kalian
ya?
“Oh
ya kalau dipikir-pikir, Saeyeon. Taemin memintaku untuk memperbaiki laptopnya,
tapi hard drive-nya terbakar saat aku memperbaikinya. Bagaimana caranya
kukasih berita ini sama dia?”
“Hei!
Bagaimana bisa kau membakar hard drive-ku?! Apa kau tahu berapa banyak
vieo MILF, yang nggak bisa kau dapatkan lagi, di sana?!”
“Endasmu
nggak bisa dengar! Bakalan kubakar beneran sekarang!”
Begitu
aku teriak balik pada Taemin yang langsung memalingkan kepalnya untuk berteriak
kepadaku, dia sadar dia sudah ditipu dan sedikit panik. Idiot sekali.
“······MILF?
Apa yang kau maksud soal MILF?”
Lagipula,
ada gadis tepat di sebelahnya. Aku paham perasaannya, tapi. Taemin, yang panik
menerima tatapan dingin Sooah, menggertakkan giginya.
“Jin
Jaro······. Awas kau ya······.”
“Bayar
dulu biaya perbaikannya. Aku lagi kesulitan biaya hidup akhir-akhir ini.”
Sementara
aku menjawab ketus dengan seringai, Jiseon menusuk pinggangku.
“Cukup,
Jaro, mau seberapa jauh kalian melakukannya?”
“Unit
3.”
“······Sungguh,
candaanmu.”
“Kau
tidak semengesankan itu walalupun kau itu gadis yang menanyakan sesuatu semacam
itu secara blak-blakan.”
Apa
yang sebebarnya dia tanyakan padaku? Anak-anak jaman sekarang. Namun, aku
mendengar erangan dan tawa sebagai reaksi atas jawabnku. Apa?
“Lihat.
Kubilang nggak akan terjadi apa-apa.”
“Tapi
sudah sebulan sejak mereka mulai tinggal bersama, jadi kupikir perlahan mereka
akan melakukannya.”
“Sesuai
dugaanku, bukankah akan lebih cepat kalau Saeyeon lompat ke Jaro waktu dia tidur?”
“Kalau
gitu, seribu won. Bayar. Sekarang, sisi yang memilih ‘mereka tidak akan
melakukan apa-apa’, datang dan terima kemenangan kalian!”
“Dasar
bangsat, apa yang kalian pertaruhkan?!”
Juga,
hampir seisi kelas ambil bagian! Sebagai respon atas teriakanku, sisa teman
sekelasku memberikan respon mereka masing-masing.
“Jaro,
fakta nggak ada yang terjadi walaupun sudah tinggal bersama selama sebulan itu
benar-benar buruk. Kau melakukan nikah tembak beberapa waktu lalu tapi ada apa
denganmu sekarang?”
“Bukankah
itu karena dia udah terbiasa melakukannya?”
“Itu
masalah terbesarnya······. Pasti karena anunya Jaro udah nggak bisa berdiri
lagi. Aku jadi penasaran dia itu kasim atau aseksual?”
“Hei,
Jaro, apa anumu udah nggak bisa berdiri? Mau kupinjamin sesuatu yang bagus. Ada
aktris yang mirip Saeyeon dalam koleksiku.”
“Kalian
semua diam!”
Seriusan,
massa tak terpelajar ini······. Begitu aku memutar kepalaku sambil
menggertakkan gigiku, aku melihat Saeyeon menutup mulutnya saat dia tertawa.
Bagaimana kau bisa tertawa di situasi semacam ini?
“Tidak,
rasanya kau jadi makin akur sama ana-anak lain akhir-akhir ini, Jjaro.”
“Saeyeon,
apa ini kelihatan akur bagimu?”
“Tapi
Jjaro, kau ingat nama teman sekelasmu sekarang, kan? Padahal kau tidak pernah
ingat siapapun selain aku dan Nanda tahun semalam.”
······Dia
bagus untuk menyadari hal-hal semacam ini. Cuma hal-hal aneh.
“Jin
Jaro si nggak bisa berdiri! Kau punya tamu!”
“Bisakah
kau diam?”
Begitu
aku berteriak dan memamlingkan wajah pada orang yang memanggilku di pintu, aku
melihat Nanda melambai padaku dengan seringai di wajahnya. Nanda memasuki kelas
kami dengan langkah besar dan bicara.
“Yo,
Jjaro. Apa ujianmu lancar? Dan bagaimana denganmu, Saeyeon?”
“Ah,
Nanda, selamat datang!”
“Nanda,
kenapa kau nggak nongkrong sama kawan sekelasmu? Kau selalu main-main di kelas
kami. Apa kau mungkin dibully?”
Kami
di kelas yang sama tahun semalam, tapi meskipun kami berpisah kelas dan
terpisah dengan jurusan seni liberal dan ilmu pengetahuan alam tahun ini, dia
akan selalu datang ke kelas kami kapanpun dia punya kesempatan.
Mempertimbangkan jaringan pertemanannya, pasti ada banyak orang yang mau
nongkrong dengannya. Nanda terkikih.
“Itu
kasar, Jjaro. Barusan, aku datang setelah menolak ajakan nongkrong sama cewek-cewek.”
Aku
mungkin tidak melihatnya karena aku sadar beberapa orang mendecakkan lidah
sebagai respon atas kata-kata Nanda. Dia menonjol, tapi si pria yang cukup
tampan ini bukanlah tidak populer. Meskipun dia biasanya menolak mereka. Atau begitu
ya? Apa aku dalam bahaya? Haruskah aku tidak mengambilkan sabun buat orang ini?
“Jangan
lihat aku seperti itu. Hei, itu jahat. Aku cuma bilang aku tidak tertarik
karena aku punya mimpi saat ini. Yah, akan berbeda kalau ada cewek yang mau
mengerti situasiku dan menungguku.”
“Kau
pikir cewek baik begitu bakalan ada di dunia? Untuk cewek yang mencintaimu
walaupun kau nggak berbuat apa-apa, apa itu masuk akal?”
“······.”
“Ow!
Ow! Kenapa kalian tiba-tiba ngelemparin aku?!”
“Diam!
Seharusnya kaulah yang tidak mengatakan itu!”
Nanda
mengeluarkan helaan napas besar atas pemandangan teman sekelasku yang melempari
barang-barang dan memakiku sesaat setelah aku mengatakan itu. Ada apa dengannya
sekarang?
“Oh
ya, Jjaro, Saeyeon, apa kalian punya rencana sekarang karena ujian udah
selesai?”
Sebagai
respon atas pertanyaannya, yang dia tanyakan sambile melihatku dan Saeyeon,
Saeyeon dan aku saling pandang, mengangguk, dan menjawab.
“Kami
mau tidur.”
“······Apa
periode ujian seberat itu buat kalian?”
Saeyeon
menjawab pertanyaan nanda dengan ekspresi lelah di wajahya.
“Karena
Jjaro tidak membiarkanku tidur dan terus membuatku belajar······. Itu
berat······.”
“Akulah
yang kesulitan. Aku harus mulai dari tabel perkalian lagi saat mengajarinya
matematika.”
“Entah
siapa yang membuat matematika. Padahal itu nggak membantu sama sekali······.”
“······Bagi
Saeyeon yang mengatakan kalimat normal tersebut, pasti sulit. Aku mau nanya apa
kalian mau karaokean karena ujian udah selesai······.”
“Karaokean?”
Nanda
mengangguk pada Saeyeon yang cepat-cepat menoleh.
“Yup.
Pasti sulit buat kalian berdua karena periode ujian, tapi Jaim pasti kebosanan
juga karena nggak ada yang main sama dia, kan? Kupikir kita semua pergi
karaokean dan meringankan stress. Ah, kita bisa mengajak Senior Nabom juga.”
“Nggak
mungkin kau bisa meringankan stress cuma dengan teria-teria di tempat karaoke.
Kita cuma menghabiskan staminan yang sudah memang kurang.”
Terlebih
lagi, itu terlalu melelahkan. Kepala Saeyeon menoleh ke arahku sesaat aku
mengatakan itu.
“Jjaro······.
Apa kau nggak ikut karaokean······?”
“Yup.
Nggak.”
Pertama-tama,
itu adalah tempat yang tidak kusukai dan itu adalah tempat bermain massa tak
terpelajar. Kalau aku punya energi untuk pergi ke sana, maka aku lebih memilih
memperbaiki Multi-chan di rumah dan meneliti lebih jauh mengenai robot pelayan.
“Sungguh······.
Apa kau, nggak ikut······?”
Saeyeon
terlihat seolah dia benar-benar kesal.
“Kalau
kau pengen kali, maka kau bisa pergi.”
“······Mm,
nggak. Aku bakalan di rumah aja denganmu, Jjaro.”
Tanpa
mmembuang wajah kecewanya, Saeyeon menggeleng. Nanda diam-diam berbisik ke
telingaku.
“Hei,
jangan gitulah dan datang sama kami. Kau tahu, kan? Saeyeon pasti nggak mau
pergi dengan cowok lain kalau kau nggak ada samanya.”
······Yeah,
itu benar. Itu sebabnya, meskipun ada banyak pria yang tertarik dengan Saeyeon,
nggak ada yang mengajaknya nongkrong.
Begitu
aku memandangnya sedikit, Saeyeon balik memandangku sambil setengah hati
mengemasi tas punggungnya. Pandangannya diisi dengan dengan luapan untuk
bermain bersama. Aku jujur saja merasa tertekan.
“Jangan
gitu dan ayo pergi sama-sama, Ayah. Ayo main sama-sama! Oke?”
“······Nak,
kapan kau kemari?”
Begitu
aku menoleh ke arah suara tersebut dan sedikit merasakan seseorang menarik
lengan bajuku, Jaim, yang muncul sebelum aku mengetahuinya, menyeringai lebar.
“Ah,
Jaim, senang bertemu denganmu!”
“Hai,
Jaim! Kelihatannya kau akur dengan ayahmu hari ini juga, huh?”
“Yup!
Hai, kak!”
Aku
cuma mendecakkan lidahku pada pemandangan dia menyembunyikan sifat aslinya
dengan dengan polosnya melambai balik pada orang lain dengan berseri-seri.
Seriusan, nih anak, berakting polos di depan orang lain······.
Setelah
insiden sebelumnya, bocah ini mulai pergi ke sekolah kami.
Awalnya,
aku bermaksud setidaknya bisa menikmati kebebasanku di sekolah dengan
membuatkannya kartu keluarga dan melemparkannya ke SD untuk memastikan dia
menerima pendidikan wajib, tapi petugas penjaga pasti telah memakan sesuatu
yang buruk karena mereka menyampaikan catatan yang mengatakan ‘Anak ini
membutuhkan kasih sayang. Akan lebih baik jika dia bersama penjaganya.’
Sehingga ingi menjadi kasus spesial.
Yah,
dia tidak melakukan apapun ketika dia datang ke sekolah, dan dengan normal, dia
dengan patuh akan duduk di sudut kelas atau pergi bermain dengan perawat tua di
UKS. Meski demikian, karena anak kecil imut berkeluyuran di sekolah, banyak
orang yang menjadi tertarik dengannya dan beberapa bahkan memperlakukannya
seperti maskot.
“Selain
itu, Yah, ujian sudah selesai jadi ayo main, oke? Aku sudah kebosanan karena
aku bermain sendirian akibat ujian. Lihatlah seberapa inginnya ibu untuk pergi
juga. Hm? Hm?”
“······Niat
aslimu?”
“Tentu
saja, itu karena aku ingin karaokean sama Nanda Oppa!”
Jawaban
langsung tanpa peduli sekitar. Yah, bukannya aku tak mampu untuk memahaminya.
Jujur
saja, dia sulit dipercaya, tapi menurut anak ini, Nanda akan menjadi penyanyi
bintang tingkat dunia di masa depan. Anak ini rupanya penggemarnya juga. Bahkan
sekarang, matanya berkilauan dengan harapan bahwa dia akan bisa karaokean
dengan Nanda.
“Haha,
tidak ada banyak orang saat ini yang sangat menyukai artis trot sampai
segininya. Terima kasih, nona kecil.”
“ehehe.”
Itu
alasan kenapa terasa tidak ada kepercayaan. Untuk trot booming di masa
depan. Tren mungkin suatu hal yang berubah secara konstan, tapi bukankah itu
terlalu mengerikan?
“Bkankah
kau populer, Nanda? Bagaimana perasaanmu, Jaro? Apa kau tidak akan meneriakkan
sesuatu seperti ‘Selama aku hidup!?”
“daripada
itu, Jaim punya preferensi yang cukup tua······. Sampai menyukain trot······.”
Sementara
massa tak berpendidikan mengatakan hal-hal yang menggangguku, Jaim pasti tidak
memperhatikan mereka karena dia menarik lengan baju Saeyeon.
“Bu,
kau mau karaokean juga, kan?”
“Tenty······.
Mm······. kalau itu sama Jjaro, aku mau······. Sudah sangat lama, sejak kita
terakhir kali karaokean······.”
Dengan
ragu, sambil mengintip padaku, Saeyeon menggerakkan mulutnya dengan hati-hati.
Seberapa banyakpun kau melihatnya, dia sangat ingin pergi, tapi jika kubilang
aku tidak mau, maka dia tidak akan bisa pergi juga. Yah, tampaknya ini yang
dikhawatirkannya.
“······Mau
bagaimana lagi. Kita cuma harus pergi, kan?”
Itu
sebabnya kau mengeluarkan helaan napas kecil dan menjawab seolah bergumam.
“S-Sungguh?
Kau ikut, Jjaro?.”
Seriusan,
kau bangkitnya terlalu cepat, Saeyeon. Sambil memalingkan pandanganku dari
Saeyeon yang matanya berkilauan sampai-sampai aku tidak tahu di mana
keraguannya barusan menghilang, aku lanjut bicara.
“Yah,
kalau semuanya mau pergi, maka kita bisa tidur setelahnya. Aku jugi ingin bisa
tidur lebih baik kalau aku melepaskan sisa energiku.”
Aku
tidak pergi karena tak bisa dihindari atau lainnya. Ini pemikiran bijak. Aku
tidak memalingkan pandanganku karena aku malu. Aku cuma ingin melihat jauh
saja.
“Tapi
kita cuma pergi ke sana selama sejam. Begitu sejam habis, kita akan langsung
pergi——”
“Kubilang
itu pelayan betulan! Aku nggak bohong!”
“——Pelayan?”
Aku
pasti mendengar sesuatu yang sangat mengena barusan.
“Oh,
memang masih Jjaro, kau bereaksi pada hal semacam itu.”
Nanda
terkikik begitu melihatkun memalingkan kepala dengan ganas.
“Kalau
rumor ini ada di sekitaran kelasmu juga, maka mungkin bukan cuma sekedar
rumor.”
“Apa
maksudmu?”
“Hei!
Apa yang kalian bicarakan tadi?”
Saat
aku menanyai nanda yang terdengar seolah dia tahu apa yang terjadi, Saeyeon
berdiri dan berteriak ke anak-anak yang ada di sisi lain ruang kelas. Gah,
jangan lakukan itu. Sekarang terlihat seperti kau bertanya buatku karena
kelihatannya aku tertarik.
“Hm?
Kau tertarik sama ini juga, Saeyeon?”
“Tidak,
tapi Jjaro······.”
“A-Aku
sama sekali nggak tertarik! Jadi, apa yang kalian bicarakan?”
Begitu
aku menanyakn itu secara natural, dengan nada tak tertarik juga terdengar
sedikit penasaran, teman sekelas kami melihat-lihat sebentar sebelum menjawab.
“Bukan
sesuatu yang mengesankan, cuma rumor······.”
“Nggak,
aku sebenarnya melihatnya!”
“Orang-orang
bilang seorang cewek make seragam pelayan terlihat di likungan sini akhir-akhir
ini.”
“Bukan
seragam yang biasanya kau lihat di manga, tapi seragam pelayan dengan
rumbai-rumbai. Terlebih, mereka bilang dia sangat cantik.”
“Beberapa
orang di kelasku bekata bahwa mereka sudah melihatnya juga. Bukankah kau suka
cerita semacam ini, Jjaro?”
Dan
di sini ku jadi bergairah. Aku mendengus pada kata-kata Nanda yang diucapkannya
sambil menyodok pinggangku dengan sikunya sebelum bicara.
“Aku
nggak seterpesona itu sampai-sampai jatuh ke cerita tak tercaya begitu. Hal-hal
semacam itu cuma delusi.”
“Tidak,
aku seriusan melihatnya!”
“Pikirlah
secara logika. Tidak mungkin sesuatu seperti pelayan ada di masyarakat zaman
sekarang. Kalau kau merasa bahwa delusimu itu kenyataan, maka kau mungkin akan
dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Satu-satunya alasan yang mungkin ya karena ada
kafe pelayan yang melakukan event grand opening atau toko yang
menjual hal-hal semacam itu buat event cosplay.”
Pikirkanlah
soal ini sekarang, tidaklah mungkin kafe pelayan akan ada di lingkungan seperti
ini, jadi kemungkinan lebih besarnya toko yang jual hal-hal buat event
cosplay. Aku tiba-tiba merasa sedih karena masih menjadi minoritas.
“Kau
nggak punya nafsu.”
“Nggak,
kalau kau mempertimbangkan idenya soal kafe pelayan, maka dia sangat bernafsu.”
“Tapi
apa itu kafe pelayan?”
“Oh
ya, Jjaro, idemu cabul······.”
“’Menjual
hal-hal semacam itu’, aku tidak pernah melihatmu seperti itu······.”
“Diam!
Diriku yang hebat ini masih belum sukses membuat robot pelayan, jadi tidak
mungkin pelayan berkeluyuran di jalanan!”
“······Ah,
tentu.”
······Reaksi
terakhir mengenaiku paling keras. Perasaan jarak antara diriku dan teman
sekelasku, yang sudah menjadi lebih kecil, tumbuh menjauh sekali lagi pasti
cuma imajinasiku. Walau melihat bagaimana mereka mengambil langkah mundur,
jarak fisik diantara kami semakin menjauh.
Namun,
sesuatu terasa tidak pada tempatnya karena anak ini terus menutup mulutnya. Apa
dia pura-pura? Tidak mungkin dia akan lupa untuk mengejekku pada situasi
semacam ini.
“Ah,
sekarang kalau kupikir-pikir, Jaim, apa dia kenalanmu?”
“Hm?
Apa yang tiba-tiba kau katakan?”
Begitu
aku mennyakan itu pada pria yang menanyakan itu pada Jaim seolah dia biaru
mengingat sesuatu, pria delusional yang mengklaim telah melihat pelayan
menjawab.
“Tidak,
hanya saja, kalau kupikir-pikir, pelayan itu mencari gadis kecil dengan jepitan
baju di rambutnya······.”
“······Oi,
nak.”
“Ack······.”
Jaim
cepat-cepat menoleh sebai respon. Ketika aku mendekat untuk membaca
ekspresinya, Jaim menggeliat dan melakukan yang terbaik untuk menyembunyikan
wajahnya dengan menggerakkan tubuhnya.
“······Nak,
apa yang kau ketahui?”
“A-Apa
yang kau katakan, Yah? A-Aku tidak tahu apa-apa.”
Walaupun
aku dengan paksa memegang kepalanya agar tetap diam dan menatapnya, Jaim hanya
menggerakkan matanya dan menghindari tatapanku. Meski begitu, aku masih bisa
melihat ujung mata dan sudut mulutnya berkedut. Sambil menarik pipi lembut
yaang mencoba untuk bersiul, aku dengan paksa membuatnya bertemu tatapanku.
“Kalau
kau beritahu aku, maka aku akan memaafkanmu.”
“A-Aku
tidak tahu. Aku tidak melakukan apapun.”
“······Beneran?”
“B-Beneran.
S-Seriusan, itu benar.”
Bocah
ini, membuat permainan kata dengan nama kami.
Dengan
ragu, dia melihat reaksiku dan memalingkan tatapannya kapanpun dia tahu bahwa
aku masih melihatinya. Mulutnya menggeliat seolah berdebat apakah harus
mengeluarkan alasan atau tidak. Fakta bahwa dia tidak bereaksi meskipun aku
menari pipinya, dan fakta dia bicara secara formal padaku, semua hal itu tentu
mencurigakan······. Rasanya seperti ada sesuatu, tapi······.
“······M-maksudku······.”
“Baiklah.
Kali ini aku akan mempercayaimu.”
“Ayah?”
Tapi
yah, sumuanya sudah dipertimbangkan, tidak mungkin gadis ini bisa tahu orang
berpakaian seragam pelayan yang kewarasanya dipertanyakan. Tidaklah
mungkin dia tahu soal jaim dan tertarik
padanya juga.
Terlebih,
untuk seorang pelayan ada di masyarakat saat ini, aku ingin melihtnya sekali
saja meskipun itu cuma delusi. Jujur saja itu sedikit disesalkan.
Ã… Ã… Ã…
“Baiklah,
ayo pergi.”
“······Kau
patuh kali.”
Nanda
pergi mengambil tasnya dan aku menyuruh Saeyeon dan Jaim menunggu kami di
gerbang sekolah sementara aku mengajak Senior Nabom karena akulah orang yang
paling dekat dengannya, tapi aku tidak menyangka dia setuju dengan mudah. Aku
berharap dia menolak undangannya, jadi aku datang ke sini hanya sebagai rasa
hormat.
Senior
Nabom tersenyum lembut atas kata-kataku dengan tatapan mengantuknya, yang
merupakan karakteristiknya yang paling jelas.
Ha
Nabim. Satu-satunya anggota ‘Klub Ilmu Pengetahuan Kreatif’.
“Bukankah
sudah kubilang padamu bahwa aku punya banyak ketertarikan terhadap budaya dan produk
masa lalu? Aku ingin pergi ke segala tempat semacam itu, namun Junior Jin Jaro
belum membawaku kemanapun, jadi aku hanya bisa berterima kasih pada kesempatan
semacam ini.”
Dan
dia juga merupakan yagen yang telah melakukan perjalanan waktu dari masa depan
guna untuk memperhatikan Jaim.
“Terlebih
lagi, aku tidak punya rencana setelah ujian tengah semester. Tapi Junior Jin
Jaro telah datang padaku terlebih dahulu dan mengusulkan sesuatu. Bukankah ini
artinya kau akhirnya berharap untuk membuka isi DLC yang pernah aku sebutkan
sebelumnya? Bisa saja ini ada hubungannya?”
“Tidak
mungkin Ayah perge kearaokean dengan wanita aneh, kan?”
Terima
kasis atas jawaban cepatnya. Sebelum aku bisa memberikan ucapan apapun, Jaim,
yang terlihat telah menangkap angin dari percakapanku dengan Senior Nabom
sambil menggenggam lenganku.
“Astagaa,
apa kau cemburu, nak? Apa kau gemetaran hanya karena pemikiran kakak ini akan
bermain dengan ayahmu?”
“Diam,
wanita tua! Berhenti ngegoda ayahku!”
Seperti
yang kupikrikan, mereka berdua tidak akur. Yah, mau bagaimana lagi karena
rencana Senior Nabom-lah Jaim hampir dikirim ke masa depan. Sebelum aku
mengetahuinya, Saeyeon menyelip di antara Nabom yang menjawab ketus dan Jaim
yang menggeram dan bicara setelah menggandengkan lengannya denganku.
“Kak
Nabom, kalau tidak masalah buatmu, maka kau bisa keraokean denganku kapanpun
kau mau!”
“Begitu.
Ada juga metode itu. Kalau gitu aku akan menghubungimu saat kesempatan lain
hadir.”
“Oke!”
Saeyeon
tersenyum cerah. Secara pribadi, rasanya sedikit aneh karena aku akan
mengatakan ‘akan kuhubungi kau nanti’ kapanpun aku kesulitan menolak seseorang.
Oh
ya, kami berjalan bersama dengan mood seperti itu mengelilingi kami.
Sekolah
kami adalah pusat komplek apartemen. Kaalau kau berjalan sekitar 5 menit dari
sekolah, maka jalan besar dengan bangunan komplek lain yang mengelilinginya
akan muncul. Dan ada distik perbelanjaan di jalan itu. Yah, bukan seseuatu yang
menakjubkan karena cuma jalanan perbelanjaan biasa.
“······sesuai
dugaanku, sudah ramai.”
Tentu
saja, bukan hanya satu dua orang yang akan terburu-buru keluar sekolah setelah
ujian selesai.
Karena
ini hari jumat sore, biasanya tidak akan sibuk, tapi karena fakta bahwa ujian
berakhir hari ini, ada banyak kelompok yang bermain-main karena perasaan bebas
mereka.
“Jadi
kemana kita pergi untuk melihat pelayan itu?”
“Apa
benar-benar ada pelayan? Kau yakin nggak bohongan?”
Rumor
itu benar-benar cepat menyebar. Biasanya, hanya mengatakan kata ‘pelayan’ kau
akan menerima respon menyedihkan seperti ‘Jadi kau tertarik sama
gituan······.’, tapi bahkan orang-orang yang kelihatannya tidak memiliki
hubngan dengan hal-hal semacam itu melewati kami sambil membicarakan itu. Apa toko
semacam itu benar-benar buka di sekitar sini? Kalau aku menemukannya, haruskah
aku diam-diam pergi ke sana dengan mata tuaku?
“Tetap
saja, syukurlah masih ada ruang kosong. Kupikir kita akan mengendarai bus dan
pergi ke lingkungan lain.”
Aku
berhenti berpikir akibat kata-kata Saeyeon. Yang lebih penting, kau benar-benar
ingin karaokean, ya? Kau bahkan berencana menaiki bus ke lingkungan lain.
Yah,
berkat Nanda lah kami dapat ruangan.
Sementara
kami mencari ruang kosong karena ruang karaoke di sisi jalan semuanya dipenuhi
oleh murid-murid yang sudah masuk sejak periode ujian selesai, Nanda berkata
pada kami bahwa ada tempat yang dia ketahui dan menyeret kami ke gang.
Itu
adalah ruang karaoke gelap dengan suasana sedikit lusuh. Mesin di dekat pintu
masuk ruangan, dan sofa yang berbentuk setengah persegi berbaris di tembok
dengan meja di tengahnya. Ini ruang yang cukup standar. Lusuh.
“Senior
Nabom, kalau dipikir-pikir, kau bilang ini pertama kalinya kau pergi
karaokean?”
Begitu
aku balik menanyai Senior Nabom buat jaga-jaga kalau aku haeus menjelaskan
semuanya padanya, Senior Nabom sedikit menggeleng.
“Aku
ingat pernah ke tempat karaoke waktu masih kecil. Aku tidak terbiasa.”
“Tidak,
kau bisa mengocok itu saat musiknya mulai.”
Melihat
bagaimana dia mengocok tamborin dengan mata mengantuk namun penasaran, dia
pasti senang. Itu membuatnya telihat imut. Faktanya kelakuannya saat ini sangat
tidak cocok dengan penampilannya.
“Jjaro,
aku harus nyanyi apa? Hm?”
“Pilih
sendiri. Dan kalau bisa, jangan lagu anak-anak.”
“Di
waktu beginian, kau harusnya milih lagu duet, Ayah.”
Jaimlah
yang menjawab perkataan yang kuberikan pada Saeyeon saat dia menarik tubuhnya
mendekatiku dan memegang buku nomor lagu ke arahku. Apa aku terlihat seperti
orang seperti itu, bocah? Tepat pada saat aku hampir merepetinya, pintu
terbuka.
“Maaf
kalau tempatnya sedikit lusuh. Aku sering mamaki tempat ini sebagai pengganti
ruang latihan, jadi kupikir bahwa aku bisa mendapat tempat bila bicara sama
pemiliknya. Karena ini tempat kecil di gang jadi tidak ada pelanggan saat ini.”
Nanda
memasuki ruangan sambil memegang minuman di lengannya sambil menyeringai. Fakta
bahwa Nanda hanya membawa minuman olahraga dan air karena Saeyeon tidak tahan
dengan sensasi minuman bersoda menunjukkkan seberapa baiknya dia, tapi······.
“Semuanya
baik-baik saja, tapi bisakah kau pindah?”
Begitu
aku mengatakan itu pada Nanda yang duduk di antara Saeyeon dan Jaim, Nanda
bahu. Akan merepotkan meskipun Saeyeon duduk di antaranya.
“Ei,
jangan seperti itu, Jjaro. Kita bisa menemukan tempat ini karna aku, kan? Ruang
karaoke lain dipenuhi pelanggan.”
“Tidak,
bukan itu yang aku······.”
“Itu
benar, Ayah! Kita bisa mendapatkan ruangan karena Nanda Oppa! Terima kasih
banyak, Nanda Oppa. Harusnya kita nggak bisa dapat tempat ini kalau bukan
karnamu.”
“Yang
kubicarakan itu soal selera pakaian Nanda!”
“Hm? Pakaianku
kenapa!”
“Pergi
ke kamar mandi sekarang dan bercerminlah. Kalau kamu masih nggak paham, maka
pergi keluar dan tanyakan orang-orang di jalanan. Itupun kalau nggak ada yang
lari.”
Aku
mungkin hidup sesuka hariku, tapi kau terlalu jauh, tahu?”
Nanda
berkedip beberapa kali sebelum melihat pakaiannya dan bicara.
“Apa
itu aneh? Emang buruknya apa?”
Rambutnya
disisir ke belakang dan dia memakai kacamata gelap besar yang sudah lama tidak
ngetren lagi sejak dulu sekali di matanya. Mereka bukanlah kacamata hitam. Itu
‘kacamata gelap’. Kalau kau ingin tahu bagaimana perbedaanya, maka perhatikan
gambar 7080. Dia memakai seragam sekolah di bawahnya, tapi dia telah melepaskan
blazernya dan memakai pakaian malam berkilap yang sama memalukannya dengan yang
kami lihat terakhir kali. Yah, ini sangatlah memalukan, tapi······.
(Catatan : ‘Kacamata gelap’ itu kayak gini - https://i.imgur.com/OJMNK1E.png)
(Catatan : ‘Kacamata gelap’ itu kayak gini - https://i.imgur.com/OJMNK1E.png)
“Siapa
juga yang mengangin stereo di bahu mereka di zaman modern sekarang ini?”
Apa
ini Harlem? Apa kau mau Harlem? Bukan harem, ini beda dari harem.
Harlem itu tempat di mana abang-abang hitam keren berkeliling dengan kacamata
dan pemutar kaset seperti itu, dengan kata lain, boombox. Karena sudah
kusebutkan, ini benar-benar seperti Harlem.
Bukannya
mengeluarkan pistor dari kantongnya, Nanda mengeluarkan sisir dan menyisir
rambutnya yang sudah memalukan semakin ke belakang dan bicara.
“Tidak,
haruskah kubilang bahwa rasanya tidak pas memainkan trot dari mp3 player,
atau haruskah kubilang bahwa analog lebih cocok? Ini cuma kebanggaan semacam
itu?”
Kenapa
malah jadi pertanyaan? Apa kau tidak melihat bahwa Saeyeon yang baik saja
menampakkan senyuman sulit di wajahnya?
Aku
mengulurkan tanganku dan mengacak-acak rambutku, mengembalikannya ke bentuk
normal.
“Kupikir
aku harus menaruh usaha lebih pada hal ini karena kita karaokean.”
“Aku
bisa dengan percaya diri menyatakan bahwa metode ‘menaruh usaha lebih’-mu itu
sangatlah salah.”
“Tak
apa, Nanda Oppa! Itu cocok samamu! Ayah cuma tidak paham karena dia tidak punya
selera berpakaian!”
Dan
kau butuh kacamata, bocah. Bukannya mengatakan itu, aku hanya menghela napas
kecil.
“Jjaro
benar-benar kekurangan selera berpakaian. Dia selalu memakai tali pinggang alat
itu.”
“Aku
nggak mau dengar itu darimu.”
Tali
pinggang alat masih lebih rasional! Yah, relatifnya.
“Aku
juga punya alasan kenapa aku membawa ini.”
Nanda
bicara sampil meletakkan sistem audionya ke atas meja.
“Inilah
yang akan menjadi temanku.”
“Apa
kau bawa musikmu sendiri?”
“Sebagai
seseorang yang bermimpi menjadi penyanyi trot profesional, semenakjubkan apapun
lagu Sunhyeon, aku tidak bisa cuma menyanyikannya.”
Dia
setidaknya punya pola pikir profesional. Begitu Nanda menepuk tangannya untuk
menarik perhatian orang-orang, Saeyeon dan Senior Nabom melepaskan tatapan
mereka dari buku nomor.
“Ehem,
maaf melakukan ini sebelum ada yang bisa meletakan satu lagupun, tapi aku ingin
nyanyi duluan. Apa itu tidak masalah? Kita tidak bisa menjeda begitu kita mulai
meletakkan lagu.”
“Tak
apa. Butuh waktu untuk menemukan lagunya.”
“Tak
apa, Nanda. Sudah lama sejak terakhir kali kami mendengar kau bernyanyi, jadi
aku ingin mendengarnya lagi.”
“Aaah······.
Bisa mendengar nyanyian Nanda Oppa, secara langsung······.”
Tampaknya
Nanda percaya bahwa dia telah menerima persetujuan karena dia menyeringai dan
menunduk. Hai, tunggu. Aku masih belum ngasih oke. Ada juga lagi yang mau
kunyanyikan. Apa kau mau mengapaikanku? Hei, kau.
Yah,
melihat kilauan mata anak kecil ini membuatku sulit mengatakannya kuat-kuat
jadi aku hanya menggumamkannya dalam pikiranku. Aku menjadi terlalu baik
akhir-akhir ini.
Ah,
kalau dipikir-pikir.
Aku
menoleh ke arah Senior Nabom yang masih menggoyang tamborin dan bicara.
“Kalau
dipikir-pikir, apa trot jadi tren besar di masa depan, maka kau juga
penggemarnya Nanda, Senior Nabom?”
Kalau
dia punya sekitar satu miliar penggemar di seluruh dunia, maka ada kemungkinan
bahwa dia salah satunya. Namun, gadis ini tidak terlalu menunjukkan
ketertarikan secara terbuka. Bagitu aku menanyakan itu dengan suara yang tidak
bisa didengat oleh Saeyeon, yang duduk disebelahnya, nafasku pasti menggelitik
Senior Nabom karena dia mulai gemetar sedikit sebelum bicara sambil mengangkat
alis. Berkat itu dadanya lebih bergetar dibanding saat dia menggoyang tamborin.
Seperti yang diharapkan dari sistem pemicu gravitasi universal. Entah karena
aku dekat dengannya, tapi dia memiliki aroma yang mengenakkan.
“Apa
yang kau katakan, Junior Jin Jaro? Trot adalah sesuatu yang hanya digemari oleh
gadis kecil. Wanita dewasa seperti diriku lebih suka mendengarkan melodi yang
lebih tua dan bermartabat seperti musik idol.”
“······Huh,
oke.”
Masa
depan benar-benar tempat yang misterius. Tren datang dan pergi, tapi, Nanda
menepuk mik seolah-olah dia menginginkan perhatian kami sebelum memberikan pose
elegan dan bicara.
“Semuanya,
mulai dari sini, kuharap kalian menikmata nyayian Shin Nanda.”
“Wow!
Kau menakjubkan, Nanda Oppa!”
Begitu.
Apa ini akan menjadi suasana seperti itu? Aku mampu memahaminyanya berkat
contoh yang dengan antusisnya ditunjukkan gadis kecil ini. Nanda bicara dengan
bahagia saat dia melihat Jaim dan Saeyeon memberinya tepuk tangan.
“Sekarang,
Shin Nanda si pria sepenarnya akan bernyanyi dengan sepenuh hatinya.”
Seriusan,
dia suka berlebihan. Tanpa lupa menyeringai pada Jaim dan Saeyeon yang
kesenangan, dan juga Senior Nabom yang duduk di sebelah mereka dengan melipat
lengannya, Nanda menekan tombol play.
Pada
saat itu, Senior Nabom menyodok pinggangku jadi aku menoleh padanya.
“Tapi
Junior Jin Jaro, dari apa yang pernah kau dengar, Junior Jin Jaro, bagaimana
menurutmu kemampuan bernyayi Junior Shin Nanda?”
“Apa
maksudmu?”
“Maksudku,
apakah Junior Shin Nanda akan benar-benar menjadi bintang top di masa depan,
sebagai temannya, Junior Jin Jaro, apa yang kau pikirkan tentang ini? Tidak ada
bukti juga.”
Tentu
saja, mungkin sulit dipercaya bahwa bintang terkenal dekat denganku. Meski
begitu, aku tidak percaya bahwa ada banyak penyanyi yang memiliki nama itu,
tapi jika dia menginginkan pendapatku.
“Siapa
tahu? Aku nggak yakin apakah itu cukup untuk menjadi bintang top di masa depan,
tapi······.”
Aku
disela saat Nanda mulai bernyanyi.
Terlebih,
begitu kau mendengar ini, siapapun akan mengerti apa yang akan aku katakan.
——Yah,
kemampuan menyanyi orang ini sudah pasti yang terbaik.
“Engkaauu~
tak tahuuuu~!”
Meskipun
sedikit penuh semangat dan metode unik menyayikan trotnya yang kuat dan penuh
gertakan agak kurang pas, bakatnya yang membuatnya bisa bernyanyi dengan kuat
dan kemampuatnya meletakkan seluruh emosi ke dalam nyanyiannya termasuk di
dalamnya.
Terkadang
riang, terkadang semangat, terkadang bergairah, dia mengeluarkan seluruh emosi
yang dia miliki dalam satu lagu. Bahkan aku menemukan diriku tenggelam dalam
lagunya pada saat aku mendapatkan kembali kesadaranku ketika aku karaokean
dengannya dulu, meskipun pada awalnya aku mengejeknya.
Aku
menggeleng dan dengan paksa menarik diriku agar tidak tenggelam dalam
nyanyiannya lagi. Aku tahu bahwa tidaklah sopan melihat ke tempat lain saat
seseorang yang memegang mik bernyanyi dengan sungguh-sungguh, tapi aku
penasaran bagaimana reaksi bocah itu.
“Kyaa!
Nanda Oppa! Kya kya! Bawa aku! Nanda Oppaaaa!”
······Wow,
aku sudah menyangkanya, tapi ini sudah terlalu berlebihan.
Duduk
di sebelahku Saeyeon, yang bertepuk tangan bersamaan dengan nada dan tersenyum
seolah-olah dia terpesona, Jaim, yang berada pada puncak gerakannya, bersorak
sambil melambaikan kedua lengannya dan menggeleng-geleng. Hei, ini trot lho?
Dia
membuka lebar-lebar mata berkilauannya seolah tidak ingin kehilangan momen
apapun. Sudut mulutnya hampir mencapai telingannya. Apa gadis ini pernah
tersenyum secerah ini sebelumnya? Saat dia menggerakkan lengannya maju mundur
bersamaan dengan kepalanya, rambutnya yang dikucir dengan jepit pakaiannya
bergoyang-goyang. Haruskah kubilang ini adalah puncak kebahagiaannya? Dia
terlihat seolah berada di Surga.
Setelah
terkikik pada penggemar yang bertemu bintang besar yang diidolaknnya dan orang
yang bertemu penggemar nomor satu yang mengakuinya, aku menoleh ke arah Senior
Nabom dan bicara.
“Jadi,
bagaimana menurutmu······.”
Namun,
pada saat itu, aku kehilangan kata-kata karena pemandangan tak dapat dipercaya
di hadapanku.
“······.”
Senior
Nabom. Terpesona······?
Seolah-olah
dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya, Senior Nabom membuka lebar-lebar
mata ngantuk yang bisanya setengah terbuka. Sudut matanya bergetar besama
dengan pupilnya dan mulutnya yang bergetar perlahan terbuka.
“······hk.”
D-Dia
menangis? Senior Nabom sangat terpesona sampai-sampai dia menangis?
Air
mata mulai menetes sesekali akibat getaran di sudut matanya. Itu bukan air mata
kesedihan. Eh, bagaimana kua mengataknnya? Haruskah kukatakan itu air mata
tulus······?
“——······.”
Tak
aada suara keluar dari mulutnya dan, seolah memblok suara apapun yang bisa
keluar, Senior Nabom menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Bahunya yang
bergetar kemungkinan besar hasil dari rasa terpesona tanpa suaranya.
“Uhm,
Senior Nabom?”
“Ah,
hk, ah, tidak ada······. Sungguh, sungguh, uhk, tidak······.”
Senior
Nabom merespon sampil menggeleng, tapi tatapannya masih berada pada nyanyian
Nanda.
“A-Aku
sungguh, tidak tergerak······. Karena fakta itu, aku mendengar, nanyian Shin
Nanda Oppa, di sini, seperti ini, sangat dekat······. Hk, A-aku tidak tergerak,
sampai mengeluarkan air mata! Sungguh!”
“······Uh,
yah, oke, aku paham.”
Yang
lebih penting lagi, apa kau akan seperti ini juga?
Kalau
begini terus, untuk Senior Nabom memiliki sisi feminim seperti ini. Sedikit
mengejutkan. Fakta bahwa ini tidak cocok dengan pesona normalnya membuatnya
jadi sedikit imut.
Lagu
Nanda menuju akhir sementara aku tersesat dalam pikiranku dan kami kemudian
menghidupkan mesin karaoke. Dengan katalain, artinya seseorang memulai lagu.
“Oh?
Saeyeon, apa kau tahu lagu seperti ini?”
Begitu
aku menanyai Saeyeon itu setelah mendengar melodi sebuah lagu terkenal dan
menyadari bahwa dialah yang berdiri dengan mikropon di tangannya, Saeyeon pasti
merasa diserang oleh itu karena dia bicara sambil menggembungkan pipinya.
“Apa?
Aku tidak selalu nyanyi lagu anak-anak, hmph. Aku bahkan tahu lagu-lagu dari
artis yang lagi tren, hmph. Aku nggak selalu anak-anak, hmph.”
Kalau
dia tidak menambahkan ‘hmph’ tidak kali, maka dia tidak akan terlihat seperti
anak-anak. Saat ini terjadi, Senior Nabom juga mengambil mik dan berdiri. Dia
cepat pulih juga. Dia bertingkah normal sekarang.
“Kalau
lagu Miss Mary maka aku tahu. Bisa aku nyanyi bersamamu?”
“Sebagai
duet? Oke! Ehehe.”
Ini
dua yang agak sulit untuk dilihat. Saeyeon dan Senior Nabom maju ke depan area
yang sedikit terbuka di depan mesin karaoke dan mulai menyanyikan lagu Idol
bersama-sama. Saeyeon bernyanyi seperti artis polos sambil menggerakkan tubuhnya
dengan penuh semangat dan Senior Nabom masuk ke dalam lagi hingga dia mulai
menunjukkan gerakan tariannya. Aku penasaran apakah dia terbawa suasana? Dia
biasanya tidak akan seperti ini. Meskipun terasa mantap melihat hal tertentu
banyak goyang.
Begitu
lagi, yang mengenakkan mata dan telinga, dari dua gadis cantik selesai, intro
ke lagi selanjutnya pun mulai.
“Huh?
Lagu siapa ini?”
“Ini
lagu asing. Satu-satunya orang yang akan menyanyikan ini······.”
“Itu
benar. Itu aku!”
Aku
mengambil mikropon sambil membuat pose yang menerikan ‘YES! I AM!’ dan
berdiri.
“Musik
kalian hambar! Musik itu soal hard rock! Death metal! Apa gunanya
karaokean kalau kalian nggak teriak!”
“Tidak,
tapi kau bilang kau tidak mau datang ke sini, Ayah······.”
“Aku
nggak peduli. Dengarin laguku!”
Aku
sebenarnya tidak mau ke sini, tapi karena aku sudah berada di sini, aku mungkin
juga akan benyanyi sungguh-sungguh! Lagu favoritku, People=SHIT!
“······Ayah,
kau terlalu kuat.”
“Ini
membuat telingaku sakit, bisa berhenti enggak?”
“Selain
itu, tingkat buta natanya terlalu parah.”
“J-Jjaro,
lakukan yang terbaik!”
······Ini
sebabnya kau harus pergi karaokean dengan orang yang memahamimu.
Sementara
aku merasa tertekan di sudut akibat skor parah dan evaluasimengerikan, mesin
karaoke mulai memainkan irama polos dan hidup yang berbeda dari lagu
sebelumnya.
“Oh,
apa kau mau nyanyi lagu anak-anak, nona cilik? Itu imut.”
“Ehehe.”
Jaim
tersenyum cerah sebagai respon dari kata-kata Nanda sebelum dia mulai
menggoyang tubuhnya mengikuti irama sambil
memegang mikropon di kedua tangannya. Untuknya menyanyikan lagu anak-anak
meskipun tidak cocok dengannya. Tentu saja, tidaklah mungkin lagu-lagu yang
gadis ini ketahui bisa ada di ruang karaoke zaman sekarang. Bagaimanapun, lagu
ini lagi? Saeyeon suka lagu ini.
Jaim
mulai bernyanyi sesuai irama.
“Tidak
beruang di rumah~ Ayah beruang~ Ibu beruang~ Bayi beruang~.”
Sambil
melakukan yang dia bisa untuk bertingkah imut yang mana tidak cocok dengan
sikap normalnya, Jaim terus bernyati. Dua sedikit imut ketika seperti ini. Aku
menyeringai.
“Ayah
beruang botak~.”
“Kau
ngajak gelud, bocah?!”
Aku
mengambil mikropon lain dan berteriak sekuatnya.
Ã… Ã… Ã…
“Tenggorokanku
sakit~.”
“Sebagian
besar yang kau nyanyikan iyu lagu anak-anak dan musk trot.”
Jaim
yang sedang peregangan menatapku saat aku mengatakan itu. Apa maumu? Akulah
yang tenggorokannya sakit karena terlalu banyak teriak.
“Itu
lebih menyenangkan dari apa yang aku duga. Akan lebih baik kalau kita punya
kesempatan untuk melakukan ini juga.”
“Bersama
dengan Nanda, kan?”
“Junior
Jin Jaro, tolong lupakan apa yang kau lihat barusan. Aku tidak melakukan itu
karena nyanyian Shin Nanda Opp-, Junior Shin Nanda······.”
“Aku
tidak tahu Kak Nabom pandai nyanyi. Ayo lain kali karoean sama-sama! Cuma kita
berdu! Tolong ajari aku sedikit!”
“Baguslah
pemiliknya memberi kita bonus waktu sehingga semuanya terlihat bisa bernyanyi
sesukanya.”
Dia
memang memberi bonus banyak. Dia memberi kami bonus 2 jam meskipun cuma mesan
satu jam. Apa karaoke itu baik-baik saja secara keuangan?
“Jadi
Saeyeon, apa stesmu berkurang?”
Sebagai
respon atas pertanyaanku, Saeyeon tersenyum cerah.
“Yup!
Aku senang bisa nyanyi sama Jjaro!”
“Tidak,
kau nggak nyanyi samaku lho.”
Jangan
coba-coba mengarang dengan mudahnya. Titik afeksiku tidak naik sebanyak itu.
“Oh
ya, sekarang sudah selesai, kota bisa pulang dan tidur, kan?”
Saeyeon
dan Jaim segera menoleh padaku.
“Jjaro,
apa kau mau langsung ke rumah padahal kita sudah berada di luar?”
“Ayah,
jangan gitulah dan main sama kami, oke? Ujiannya udah selesai.”
“Aku
sudah kelamaan bermain sama kalian, kan? Ayo pulang dan istirahat.”
Di
sekolah, Saeyeon bilang bahwa dia akan pergi ke rumah dan tidur juga, tapi
kenapa dia enerjik sekali sekarang? Aku mulai mencapai batasku. Semantara aku
menguap dan mensuplai oksigen ke otakku, aku menyadari sesuatu di sudut
pandanganku.
“······Hm?”
Aku
melepas kacamataku. Ku lap lensanya dengan kaos. Karena sudah kulepas, aku
memutuskan memijat batang hidungku. Aku pakai kembali kacamataku dan melihat
sekali lagi. Aku melakukan ini karena berapa kalipun aku melihatnya, rasanya
tidak seperti aku melihat yang aneh-aneh.
“Permisi.
Bisa minta waktunya sebentar?”
Di
sisi lain jalan, seseorang berada di persimpangan dan mencoba memanggil
orang-orang dengan kalimat yang bisa digengar. Orang yang melakukan yang
terbaik untuk menemukan seseorang yang akan mendengarkan mereka di antara
orang-orang yang mengabaikan mereka.
“Maaf.
Bisa minta waktunya sebentar.”
“Hei,
Jjaro, orang itu······.”
“······Tidak,
mata kita mungkin memainkan trik sama kita.”
Meskipun
itu terasa menyedihkan.
“Aku
bukan orang mencurigakan. Tolong, dengarkan······.”
Apa
dia setinggi Saeyeon? Aku merasa dia seumuran juga. Jika dia datang padaku,
maka kepalanya mungkin akan mencapai mataku. Rambut hitamnya menerima cahaya
matahai dan memancarkan warna keemasan sementara pupil birunya sungguh-sungguh
memperhatikan orang-orang yang lewat dengan menyedihkan.
“······Ah.”
Si
bocah terus menggeliat. Kau tahu sesuatu, kan? Tapi aku akan menginterogasinya
nanti. Sekarang, aku······. Ah, bangsat. Bakalan sia-sia.
Tetapi,
dia nyata betulan. Rasanya gila, tapi dia nyata.
Seragam
pelayan tradisional dengan rumbai dengan warna hitam putih dan cookie cream.
Rok pendek, garter belt, dan ikat kepalanya sesuai dengan preferensiku.
Di seberang jalan, ada seorang gadis yang berpaikan di era yang salah, tidak,
dimensi yang salah. Sebuah esistensi yang disajikan oleh fantasiku. Tidak,
mimpiku adalah robot pelayan. Bukan hanya pelayan. Keduanya mirip tapi beda.
Sementara
aku berpikir yang bukan-pukan karena rasa terkejut dan panikku, aku mendengar
suara jelas di telingaku.
“Ah,
murid di sebelah sana! Apa kau mungkin melihat gadis kecil yang setinggi ini
dan memakai jepit pakaian di rambutnya?”
······Jangan
lari ke kami dan menanayakn itu. Akupun nggak kenal siapa kau.
Aku
memegang si bocah dan berbalik sehingga aku tidak bisa melihat si pelayan, tapi
suara langkah kaki memberitahuku bahwa dia mentekati kami. Aku cepat-cepat
mengambil jepit pakaian di rambut Jaim. Berkat hal itu, rambut depannya jatuh.
Aku diam-diam berbalik ke arah Nanda dan Senior Nabom sebelum mengangkat jari
telunjuk ke mulutku. Seseorang yang tidak mengetahui ini mungkin tidaklah ada.
“Ah,
ya! Kami ada!”
“······.”
Aku
tidak menyangka Saeyeon lah yang mengataknnya, tapi bukankah ini terlalu
berlebihan?
“Sungguh?!
Di mana kau melihatnya?”
Jaim
menarik lengan baju Saeyeon sedkiti. Sia menggeleng kuat. Bahkan Saeyeon
seharusnya bisa memahami ini.
“Dia
ada di sini. Tapi apa ada sesuatu?”
“I-Ibu!
Jangan bilangin!”
“Tapi
dia mencari dengan sunggu-sungguh. Ibu berkata padaku untuk membantu orang yang
kesulitan!”
Meskupun
kau mengatakannyadengan gagah berani······.
Sebelum
aku mengetahuinya, si gadis aneh telah datang ke sebelah Jaim yang paik dan
Saeyeon memiringkan kepalanya seolah dia tidak tahu apa masalahnya. Sekarang
dia berdiri di depan kami, dia benar-benar mengenakan seragam pelayan. Aku
paham bahwa dunia luas dan diisi gadis-gadis dengan bunga di kepala mereka.
Meskipun gadis ini tidak memiliki bunga.
“Ini······?
Ah, maksudmu······?”
“Tidak
ada apa-apa di sini. Yeh. Aku tidak tahu siapa kau dan aku tidak tahu soal anak
dengan jepit pakaian di kepalanya, tapi anak ini jelas-jelas bukan······.”
Namun,
sebelum aku bisa membuat-buat alasan, si gadis aneh sudah memegang bahu Jaim.
Jaim menggeliat dan menyusut.
Aku
tidak tahu apa yang terjadi, tapi ini tidaklah baik. Sebelum diselimuti oleh
sesuatu yang merepotkan, si bocah sangat tidak menyukai apa yang terjadi. Aku
tidak tahui siapa gadis ini. Pertama-tama, karena aku sudah membuang buktinya,
aku akan menginterogasi anak ini saat kami samapi di rumah.
“Permisi,
aku tidak tahu siapa kau, tapi······.”
“Apa
kau mungkin, Miss Jim Jaim······?”
“······Miss?”
Aku pada
akhirnya tanpa sengaja melihat Jaim karena kata-kata itu. Tidak, julukan yang
dia berikan menggangguku juga, tapi lebih penting lagi, bagaimana dia tahu nama
si bocah ini?
Si
gadis pelayan menatap wajah Jaim yang berada di sebelahku. Pupil birunya yang
sejelas lensa kamera hanya diisi dengan wajah Saim. Bulu matanya panjang.
Malahan, kenapa wajahnya, agak familiar······?
“Siapa
ka······.”
“Aku
akhirnya bisa menemukanmu, Miss Jin Jaim!”
Namun,
sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, si gadis berseragam pelayan memeluk
Jaim dan berteriak.
“······Jin
Jaim.”
“······Miss?”
Tidak
mungkin aku salah dengar pada suara kuat itu. Saeyeon melihat ke si pelayan
dengan ekspresi tak tahu menahu di wajahnya dan mata Nanda terbuka lebar. Aku
bahkan tidak harus mengatakan reaksiku. Sementara aku kehilangan kata-kata karena
julukan yang dia berikan kepada Jaim dan fakta bahwa dia tahu nama Jaim,
pelayan yang memberikan pelukan kuat pada Jaim dengan mata berkaca-kaca seolah
baru menemukan orang yang sangat dikhawatirkannya sejak lama.
“Apa
kau tidak tahu sudah berapa lama aku mencarimu?! Aku sangat khawatir karena kau
pergi tanpa sepatah katapun······. Syukurlah, aku menemukanmu······!”
“······Haah.”
Dan
ekspresi Jaim saat menerima pelukan itu, daripada gemira, lebih dekat jika
dibilang kesulitan. Setelah mengangkat rambutnya dan memakaikan jepit rambut
seolah tidak ada pilihan lagi, Kaim, yang menghantamkan bibirnya dan hanya
menatap langit, terlihat mengingat sesuatu karena dia dengan hati-hati
mengintip ke wajahku.
“Uhm,
maaf, tapi siapa kau?”
Saeyeon
menanyakan itu sementara masih bingung, tapi dia bertanya seolah-olah dia
setidaknya tahu apa jawab dari pertanyaan itu. Namun, Senior Nabom mengangkat
tangan dan menghentikan Saeyeon sebelum melirik-lirik kami dan bicara.
“Ada
banyak orang yang melihat.”
Aku
menjadi sadar pada sekeliling kami karena kata-kata senior Nabom. Kami masih
belum mencapai are dengan banyak orang, tapi orang-orang lewat sambil melirik
gadis yang memakai kostum unik dan gadis kecil yang dipeluk dan sipanggil
dengan ‘Miss’. Beberapa dari mereka mencoba menemukan gadis pelayan yang
dirumorkan karena mereka bahkan mengeluarkan kamera mereka untuk mengambil
gambar.
Apa
yang harus kami lakukan di situasi seperti ini? Begitu aku menoleh ke arah
Senioe Nabom yang paling bisa kuajak berkomunikasi di sini, Senior Nabim
menoleh padaku juga. Aku mulai terbiasa pada tatapan itu. Aku mengangguk
sebelum memegang tangan Jaim dan gadis pelayan dan menarik mereka. Meskipun si
gadis pelayan terkejut akibat tindakanku, akulah yang panik sekarang.
“Jjaro?”
“K-Kalau
gitu, kami duluan!”
“Hati-hati,
Junior Jin Jaro.”
Sementara
mengabaikan pertanyaan Saeyeon yang ditanyakan sambil melihat ke arah sini dan
suara Senior Nabom yang tenang bahkan pada situasi seperti ini, aku lari ke ku
lari ke sisi lain gang dengan gadis pelayan dan Jaim.
Ã… Ã… Ã…
We Should Have Slept While Only Holding Hands, And Yet?! Jilid 2 Bab 2 - Bahasa Indonesia (Bag. 1)
4/
5
Oleh
Yuuki van Core