Monday, May 11, 2020

We Should Have Slept While Only Holding Hands, And Yet?! Jilid 2 Bab 2 - Bahasa Indonesia (Bag. 1)


〈 2. Campur Tangan

Akan kukutip kata-kata orang terkenal dengan sedikit perubahan.

——UTS selesai. Aku bebas.

“Kerja bagus atas UTSnya. Beristirahatlah selama akhir minggu dan sampai jumpa minggu depan.”

Begitu guru homeroom kami selesai memberikan kata-kata terakhirnya yang mengumumkan akhir UTS, kelas kami, yang mencapai titik kritis, langsung meledak.

“Hey, ujian udah siap, ayo ke warnet.”

“Ayo ke karaoke duluan. Aku mau jerit-jerit.”

“Kita jumpa di stasiun jam 2 siang, sesuai janji, kan?”

“Hey, apa kau nggak dengar rumor itu? Yeah, yang itu.”

Bla bla bla bla. Suasana kelas langsung menjadi ramai. Sementara teman sekelasku berkumpus di sana sini di ruang kelas  saling berbagi betapa senangnya mereka menanai akhir ujian dan rencana menggairahkan mereka untuk musim Semi, aku menghantamkan kepalaku ke meja, bang. Begitu aku bicara dengan mulutku yang menempel di meja, mejanya bergetar.

“Hey, Ja Saeyeon, kau masih hidup?”

“······Yup, aku······. Masih······ hidup······.”

Tak ada ke kuatan dalam suaranya. Yah, ini sudah diduga.

Seminggu belakangan······. Tidak, sejak periode ujian menekan, sekitar dua minggu. Saeyeon, yang kelelahan karena sesi mentoring 1:1 denganku di saat itu, berada dalam keadaan terhuyung-huyung sejak kemarin.

“Sekarang, selesai······.”

Dan aku sudah dalam keadaan terhuyung-huyunh sejak kemarin lusa. Karena aku tidak punya lagi kekuatan untuk mengangkat kepalaku, aku bicara sambil menahan getaran menyebalkan yang beresonansi dari mejaku kapanpun aku bicara.

“Ini sebabnya, lain kali, belajarlah dulu. Sekarang kau pahamkan mencoba belajar semuanya yang mencakup pelajaran setengah semester itu hampir mustahil, kan?”

“Yeh······. Itu sulit······.”

Yah, kami akhirnya mempelajari segalanya dari SMP dan tidak hanya setengah semester, jadi kepalaku terasa akan meledak gara-gara itu. Karena yang mengajari perlau lebih banyak tahu dibanding yang diajari. Belum lagi, dia seperti ini di setiap pelajaran.

Mau itu aku ilmuan terhebat abad zaman ini atau bukan, itu hanya berada di bidang keteknikan, jadi akupun kesulitan saat berada di area yang tidak berhubungan dengan keteknikan. Aku tidak kenal siapa si Jeong Cheol ini, tapi dengan perasaanku sekarang, aku ingin membunuhnya. Kalau kau anak SMA, maka kau kemungkinan besar merasakan hal yang sama.
(Catatan : Jeong Cheol adalah politisi yang hidup selama masa Dinasti Joseon. Kebanyakan anak SMA korea yang berada di tahun terakhir masa SMA mereka tahu karya terkenalnya yang begitu kompleks dan sulit untuk diketahui bahwa dia jadi terkenal karena itu. Banyak orang yang bahkan berkata kalau mereka bisa ke masa lalu, maka mereka akan menghabisinya duluan.)

“Ah, tapi kurasa nilaiku bakalan naik karena Jjaro menolongku.”

Namun, tampaknya dia mendapatkan sedikit kekuatannya karena Saeyeon memutar kepalnya walau masih tumbang di atas mejanya. Aku melihat ke arahnya juga dan belakukan yang terbaik untuk menyeringai.

“Tentu saja. Diriku yang hebat inilah yang mengajarimu siang dan malam.”

Meski demikian, mengajarinya entah kenapa berbuah manis.

Yah, begitu kami pulang dan mengecek hasilnya, nilainya benar-benar cuma meningkat sedikit, tapi mempertimbangkan nilai Saeyeon yang biasanya, ini pencapaian yang baik sekali. Di sisi lain, nilaiku sedikit turun, tapi aku sduah berada di peringkat atas. Apa itu mengejutkan? Menurutmu kenapa sekolah mentolerir kelakukanku?

“Dan······.”

“Hm? Apa ada yang mau kau katakan?”

Aku penasaran apa karena dia lelah, tapi matanya setengah terbuka. Keraguannya jelas terlihat, namun tampaknya dia mampu mengumpulkan keberanian saat bibirnya yang berkedut sekarang bergerak.

“Sampai sekarang, aku menghindari belajar denganmu karena aku nggak mau nunjuki seberapa buruknya aku, Jjaro······.”

Tidak, aku sudah tau ini. Kau pikir aku nggak tahu? Sesaat aku akan mengatakan padanya itu, Saeyeon, yang dengan anehnya menghindari mataku, bertemu tatapanku dan terkikih.

“······Belajar bersama, lebih menyenangkan dari yang kupikirkan. Aku senang bisa belajar sama Jjaro.”

“······Dan akulah yang kesulitan mengajarimu.”

Ekspresinya terlihat seolah kebahagiaan itu mulai keluar. Pipinya yang sedikit merah megendur dan ujung mulutnya naik, menciptakan lengkungan seperti pelangi. Sekarang giliranku yang kesulitan untuk kontak mata dengannya, jadi aku memalingkan pandanganku.

“Ajari aku lain kali juga, oke?”

“······Bakal kupertimbangkan.”

Sekalipun, jika mungkin, kuharap dia bisa belajar sendiri tanpa bantuanku.

Wajahku juga menjadi merah sehingga membuatku menoleh.

“Oh, apa ini? Apa kau malu, Jaro?”

“Seperti dugaanku, kau jadi sedikit berubah sejak kalian berdua mulai tinggal bersama~.”

“Bukankah itu karena mereka punya anak?”

“Tapi mengajarinya siang dan malam······. Jaro ngeri ya~.”

“······Kenapa kalian semua menguping seperti itu hal yang biasa, massa tak terpelajar?”

Gara-gara iru, aku bertemu tatapan mereka. Sungguh, orang tak berpendidikan ini.

Kelompok tiga orang dengan jenis kelamin campur-campur, yang melihat ke sini dan ngobrol satu sama lain, menyeringai sebagai respon kata-kata kasarku dan menjawab.

“Emang kenapa? Jangan pedulikan kami dan lanjutkan.”

“Yeah, yeh. Ini cuma setingkat radio lokal.”

“Peri ke sana dan lakukan siaran lokal kalian. Menguping itu bukan hal baik.”

“Menguping? Semua yang kami lakukan cuma mendengarkan sekitar kami. Kan?”

“Kami nggak bisa dengar dengan baik karena kelas terlalu ribur. Kan?”

Mereka mencoba pura-pura tidak tahu. Kelompok itu pindah sedikit dan mulai ngobrol lagi seolah-olah mereka dengan serius pura-pura seolah tidak dengar apa-apa. Tentu saja, sambil sering curi pandang pada kami. Jadi gitu cara main kalian ya?

“Oh ya kalau dipikir-pikir, Saeyeon. Taemin memintaku untuk memperbaiki laptopnya, tapi hard drive-nya terbakar saat aku memperbaikinya. Bagaimana caranya kukasih berita ini sama dia?”

“Hei! Bagaimana bisa kau membakar hard drive-ku?! Apa kau tahu berapa banyak vieo MILF, yang nggak bisa kau dapatkan lagi, di sana?!”

Endasmu nggak bisa dengar! Bakalan kubakar beneran sekarang!”

Begitu aku teriak balik pada Taemin yang langsung memalingkan kepalnya untuk berteriak kepadaku, dia sadar dia sudah ditipu dan sedikit panik. Idiot sekali.

“······MILF? Apa yang kau maksud soal MILF?”

Lagipula, ada gadis tepat di sebelahnya. Aku paham perasaannya, tapi. Taemin, yang panik menerima tatapan dingin Sooah, menggertakkan giginya.

“Jin Jaro······. Awas kau ya······.”

“Bayar dulu biaya perbaikannya. Aku lagi kesulitan biaya hidup akhir-akhir ini.”

Sementara aku menjawab ketus dengan seringai, Jiseon menusuk pinggangku.

“Cukup, Jaro, mau seberapa jauh kalian melakukannya?”

“Unit 3.”

“······Sungguh, candaanmu.”

“Kau tidak semengesankan itu walalupun kau itu gadis yang menanyakan sesuatu semacam itu secara blak-blakan.”

Apa yang sebebarnya dia tanyakan padaku? Anak-anak jaman sekarang. Namun, aku mendengar erangan dan tawa sebagai reaksi atas jawabnku. Apa?

“Lihat. Kubilang nggak akan terjadi apa-apa.”

“Tapi sudah sebulan sejak mereka mulai tinggal bersama, jadi kupikir perlahan mereka akan melakukannya.”

“Sesuai dugaanku, bukankah akan lebih cepat kalau Saeyeon lompat ke Jaro waktu dia tidur?”

“Kalau gitu, seribu won. Bayar. Sekarang, sisi yang memilih ‘mereka tidak akan melakukan apa-apa’, datang dan terima kemenangan kalian!”

“Dasar bangsat, apa yang kalian pertaruhkan?!”

Juga, hampir seisi kelas ambil bagian! Sebagai respon atas teriakanku, sisa teman sekelasku memberikan respon mereka masing-masing.

“Jaro, fakta nggak ada yang terjadi walaupun sudah tinggal bersama selama sebulan itu benar-benar buruk. Kau melakukan nikah tembak beberapa waktu lalu tapi ada apa denganmu sekarang?”

“Bukankah itu karena dia udah terbiasa melakukannya?”

“Itu masalah terbesarnya······. Pasti karena anunya Jaro udah nggak bisa berdiri lagi. Aku jadi penasaran dia itu kasim atau aseksual?”

“Hei, Jaro, apa anumu udah nggak bisa berdiri? Mau kupinjamin sesuatu yang bagus. Ada aktris yang mirip Saeyeon dalam koleksiku.”

“Kalian semua diam!”

Seriusan, massa tak terpelajar ini······. Begitu aku memutar kepalaku sambil menggertakkan gigiku, aku melihat Saeyeon menutup mulutnya saat dia tertawa. Bagaimana kau bisa tertawa di situasi semacam ini?

“Tidak, rasanya kau jadi makin akur sama ana-anak lain akhir-akhir ini, Jjaro.”

“Saeyeon, apa ini kelihatan akur bagimu?”

“Tapi Jjaro, kau ingat nama teman sekelasmu sekarang, kan? Padahal kau tidak pernah ingat siapapun selain aku dan Nanda tahun semalam.”

······Dia bagus untuk menyadari hal-hal semacam ini. Cuma hal-hal aneh.

“Jin Jaro si nggak bisa berdiri! Kau punya tamu!”

“Bisakah kau diam?”

Begitu aku berteriak dan memamlingkan wajah pada orang yang memanggilku di pintu, aku melihat Nanda melambai padaku dengan seringai di wajahnya. Nanda memasuki kelas kami dengan langkah besar dan bicara.

“Yo, Jjaro. Apa ujianmu lancar? Dan bagaimana denganmu, Saeyeon?”

“Ah, Nanda, selamat datang!”

“Nanda, kenapa kau nggak nongkrong sama kawan sekelasmu? Kau selalu main-main di kelas kami. Apa kau mungkin dibully?”

Kami di kelas yang sama tahun semalam, tapi meskipun kami berpisah kelas dan terpisah dengan jurusan seni liberal dan ilmu pengetahuan alam tahun ini, dia akan selalu datang ke kelas kami kapanpun dia punya kesempatan. Mempertimbangkan jaringan pertemanannya, pasti ada banyak orang yang mau nongkrong dengannya. Nanda terkikih.

“Itu kasar, Jjaro. Barusan, aku datang setelah menolak ajakan nongkrong sama cewek-cewek.”

Aku mungkin tidak melihatnya karena aku sadar beberapa orang mendecakkan lidah sebagai respon atas kata-kata Nanda. Dia menonjol, tapi si pria yang cukup tampan ini bukanlah tidak populer. Meskipun dia biasanya menolak mereka. Atau begitu ya? Apa aku dalam bahaya? Haruskah aku tidak mengambilkan sabun buat orang ini?

“Jangan lihat aku seperti itu. Hei, itu jahat. Aku cuma bilang aku tidak tertarik karena aku punya mimpi saat ini. Yah, akan berbeda kalau ada cewek yang mau mengerti situasiku dan menungguku.”

“Kau pikir cewek baik begitu bakalan ada di dunia? Untuk cewek yang mencintaimu walaupun kau nggak berbuat apa-apa, apa itu masuk akal?”

“······.”

“Ow! Ow! Kenapa kalian tiba-tiba ngelemparin aku?!”

“Diam! Seharusnya kaulah yang tidak mengatakan itu!”

Nanda mengeluarkan helaan napas besar atas pemandangan teman sekelasku yang melempari barang-barang dan memakiku sesaat setelah aku mengatakan itu. Ada apa dengannya sekarang?

“Oh ya, Jjaro, Saeyeon, apa kalian punya rencana sekarang karena ujian udah selesai?”

Sebagai respon atas pertanyaannya, yang dia tanyakan sambile melihatku dan Saeyeon, Saeyeon dan aku saling pandang, mengangguk, dan menjawab.

“Kami mau tidur.”

“······Apa periode ujian seberat itu buat kalian?”

Saeyeon menjawab pertanyaan nanda dengan ekspresi lelah di wajahya.

“Karena Jjaro tidak membiarkanku tidur dan terus membuatku belajar······. Itu berat······.”

“Akulah yang kesulitan. Aku harus mulai dari tabel perkalian lagi saat mengajarinya matematika.”

“Entah siapa yang membuat matematika. Padahal itu nggak membantu sama sekali······.”

“······Bagi Saeyeon yang mengatakan kalimat normal tersebut, pasti sulit. Aku mau nanya apa kalian mau karaokean karena ujian udah selesai······.”

“Karaokean?”

Nanda mengangguk pada Saeyeon yang cepat-cepat menoleh.

“Yup. Pasti sulit buat kalian berdua karena periode ujian, tapi Jaim pasti kebosanan juga karena nggak ada yang main sama dia, kan? Kupikir kita semua pergi karaokean dan meringankan stress. Ah, kita bisa mengajak Senior Nabom juga.”

“Nggak mungkin kau bisa meringankan stress cuma dengan teria-teria di tempat karaoke. Kita cuma menghabiskan staminan yang sudah memang kurang.”

Terlebih lagi, itu terlalu melelahkan. Kepala Saeyeon menoleh ke arahku sesaat aku mengatakan itu.

“Jjaro······. Apa kau nggak ikut karaokean······?”

“Yup. Nggak.”

Pertama-tama, itu adalah tempat yang tidak kusukai dan itu adalah tempat bermain massa tak terpelajar. Kalau aku punya energi untuk pergi ke sana, maka aku lebih memilih memperbaiki Multi-chan di rumah dan meneliti lebih jauh mengenai robot pelayan.

“Sungguh······. Apa kau, nggak ikut······?”

Saeyeon terlihat seolah dia benar-benar kesal.

“Kalau kau pengen kali, maka kau bisa pergi.”

“······Mm, nggak. Aku bakalan di rumah aja denganmu, Jjaro.”

Tanpa mmembuang wajah kecewanya, Saeyeon menggeleng. Nanda diam-diam berbisik ke telingaku.

“Hei, jangan gitulah dan datang sama kami. Kau tahu, kan? Saeyeon pasti nggak mau pergi dengan cowok lain kalau kau nggak ada samanya.”

······Yeah, itu benar. Itu sebabnya, meskipun ada banyak pria yang tertarik dengan Saeyeon, nggak ada yang mengajaknya nongkrong.

Begitu aku memandangnya sedikit, Saeyeon balik memandangku sambil setengah hati mengemasi tas punggungnya. Pandangannya diisi dengan dengan luapan untuk bermain bersama. Aku jujur saja merasa tertekan.

“Jangan gitu dan ayo pergi sama-sama, Ayah. Ayo main sama-sama! Oke?”

“······Nak, kapan kau kemari?”

Begitu aku menoleh ke arah suara tersebut dan sedikit merasakan seseorang menarik lengan bajuku, Jaim, yang muncul sebelum aku mengetahuinya, menyeringai lebar.

“Ah, Jaim, senang bertemu denganmu!”

“Hai, Jaim! Kelihatannya kau akur dengan ayahmu hari ini juga, huh?”

“Yup! Hai, kak!”

Aku cuma mendecakkan lidahku pada pemandangan dia menyembunyikan sifat aslinya dengan dengan polosnya melambai balik pada orang lain dengan berseri-seri. Seriusan, nih anak, berakting polos di depan orang lain······.

Setelah insiden sebelumnya, bocah ini mulai pergi ke sekolah kami.

Awalnya, aku bermaksud setidaknya bisa menikmati kebebasanku di sekolah dengan membuatkannya kartu keluarga dan melemparkannya ke SD untuk memastikan dia menerima pendidikan wajib, tapi petugas penjaga pasti telah memakan sesuatu yang buruk karena mereka menyampaikan catatan yang mengatakan ‘Anak ini membutuhkan kasih sayang. Akan lebih baik jika dia bersama penjaganya.’ Sehingga ingi menjadi kasus spesial.

Yah, dia tidak melakukan apapun ketika dia datang ke sekolah, dan dengan normal, dia dengan patuh akan duduk di sudut kelas atau pergi bermain dengan perawat tua di UKS. Meski demikian, karena anak kecil imut berkeluyuran di sekolah, banyak orang yang menjadi tertarik dengannya dan beberapa bahkan memperlakukannya seperti maskot.

“Selain itu, Yah, ujian sudah selesai jadi ayo main, oke? Aku sudah kebosanan karena aku bermain sendirian akibat ujian. Lihatlah seberapa inginnya ibu untuk pergi juga. Hm? Hm?”

“······Niat aslimu?”

“Tentu saja, itu karena aku ingin karaokean sama Nanda Oppa!”

Jawaban langsung tanpa peduli sekitar. Yah, bukannya aku tak mampu untuk memahaminya.

Jujur saja, dia sulit dipercaya, tapi menurut anak ini, Nanda akan menjadi penyanyi bintang tingkat dunia di masa depan. Anak ini rupanya penggemarnya juga. Bahkan sekarang, matanya berkilauan dengan harapan bahwa dia akan bisa karaokean dengan Nanda.

“Haha, tidak ada banyak orang saat ini yang sangat menyukai artis trot sampai segininya. Terima kasih, nona kecil.”

“ehehe.”

Itu alasan kenapa terasa tidak ada kepercayaan. Untuk trot booming di masa depan. Tren mungkin suatu hal yang berubah secara konstan, tapi bukankah itu terlalu mengerikan?

“Bkankah kau populer, Nanda? Bagaimana perasaanmu, Jaro? Apa kau tidak akan meneriakkan sesuatu seperti ‘Selama aku hidup!?”

“daripada itu, Jaim punya preferensi yang cukup tua······. Sampai menyukain trot······.”

Sementara massa tak berpendidikan mengatakan hal-hal yang menggangguku, Jaim pasti tidak memperhatikan mereka karena dia menarik lengan baju Saeyeon.

“Bu, kau mau karaokean juga, kan?”

“Tenty······. Mm······. kalau itu sama Jjaro, aku mau······. Sudah sangat lama, sejak kita terakhir kali karaokean······.”

Dengan ragu, sambil mengintip padaku, Saeyeon menggerakkan mulutnya dengan hati-hati. Seberapa banyakpun kau melihatnya, dia sangat ingin pergi, tapi jika kubilang aku tidak mau, maka dia tidak akan bisa pergi juga. Yah, tampaknya ini yang dikhawatirkannya.

“······Mau bagaimana lagi. Kita cuma harus pergi, kan?”

Itu sebabnya kau mengeluarkan helaan napas kecil dan menjawab seolah bergumam.

“S-Sungguh? Kau ikut, Jjaro?.”

Seriusan, kau bangkitnya terlalu cepat, Saeyeon. Sambil memalingkan pandanganku dari Saeyeon yang matanya berkilauan sampai-sampai aku tidak tahu di mana keraguannya barusan menghilang, aku lanjut bicara.

“Yah, kalau semuanya mau pergi, maka kita bisa tidur setelahnya. Aku jugi ingin bisa tidur lebih baik kalau aku melepaskan sisa energiku.”

Aku tidak pergi karena tak bisa dihindari atau lainnya. Ini pemikiran bijak. Aku tidak memalingkan pandanganku karena aku malu. Aku cuma ingin melihat jauh saja.

“Tapi kita cuma pergi ke sana selama sejam. Begitu sejam habis, kita akan langsung pergi——”

“Kubilang itu pelayan betulan! Aku nggak bohong!”

“——Pelayan?”

Aku pasti mendengar sesuatu yang sangat mengena barusan.

“Oh, memang masih Jjaro, kau bereaksi pada hal semacam itu.”

Nanda terkikik begitu melihatkun memalingkan kepala dengan ganas.

“Kalau rumor ini ada di sekitaran kelasmu juga, maka mungkin bukan cuma sekedar rumor.”

“Apa maksudmu?”

“Hei! Apa yang kalian bicarakan tadi?”

Saat aku menanyai nanda yang terdengar seolah dia tahu apa yang terjadi, Saeyeon berdiri dan berteriak ke anak-anak yang ada di sisi lain ruang kelas. Gah, jangan lakukan itu. Sekarang terlihat seperti kau bertanya buatku karena kelihatannya aku tertarik.

“Hm? Kau tertarik sama ini juga, Saeyeon?”

“Tidak, tapi Jjaro······.”

“A-Aku sama sekali nggak tertarik! Jadi, apa yang kalian bicarakan?”

Begitu aku menanyakn itu secara natural, dengan nada tak tertarik juga terdengar sedikit penasaran, teman sekelas kami melihat-lihat sebentar sebelum menjawab.

“Bukan sesuatu yang mengesankan, cuma rumor······.”

“Nggak, aku sebenarnya melihatnya!”

“Orang-orang bilang seorang cewek make seragam pelayan terlihat di likungan sini akhir-akhir ini.”

“Bukan seragam yang biasanya kau lihat di manga, tapi seragam pelayan dengan rumbai-rumbai. Terlebih, mereka bilang dia sangat cantik.”

“Beberapa orang di kelasku bekata bahwa mereka sudah melihatnya juga. Bukankah kau suka cerita semacam ini, Jjaro?”

Dan di sini ku jadi bergairah. Aku mendengus pada kata-kata Nanda yang diucapkannya sambil menyodok pinggangku dengan sikunya sebelum bicara.

“Aku nggak seterpesona itu sampai-sampai jatuh ke cerita tak tercaya begitu. Hal-hal semacam itu cuma delusi.”

“Tidak, aku seriusan melihatnya!”

“Pikirlah secara logika. Tidak mungkin sesuatu seperti pelayan ada di masyarakat zaman sekarang. Kalau kau merasa bahwa delusimu itu kenyataan, maka kau mungkin akan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Satu-satunya alasan yang mungkin ya karena ada kafe pelayan yang melakukan event grand opening atau toko yang menjual hal-hal semacam itu buat event cosplay.”

Pikirkanlah soal ini sekarang, tidaklah mungkin kafe pelayan akan ada di lingkungan seperti ini, jadi kemungkinan lebih besarnya toko yang jual hal-hal buat event cosplay. Aku tiba-tiba merasa sedih karena masih menjadi minoritas.

“Kau nggak punya nafsu.”

“Nggak, kalau kau mempertimbangkan idenya soal kafe pelayan, maka dia sangat bernafsu.”

“Tapi apa itu kafe pelayan?”

“Oh ya, Jjaro, idemu cabul······.”

“’Menjual hal-hal semacam itu’, aku tidak pernah melihatmu seperti itu······.”

“Diam! Diriku yang hebat ini masih belum sukses membuat robot pelayan, jadi tidak mungkin pelayan berkeluyuran di jalanan!”

“······Ah, tentu.”

······Reaksi terakhir mengenaiku paling keras. Perasaan jarak antara diriku dan teman sekelasku, yang sudah menjadi lebih kecil, tumbuh menjauh sekali lagi pasti cuma imajinasiku. Walau melihat bagaimana mereka mengambil langkah mundur, jarak fisik diantara kami semakin menjauh.

Namun, sesuatu terasa tidak pada tempatnya karena anak ini terus menutup mulutnya. Apa dia pura-pura? Tidak mungkin dia akan lupa untuk mengejekku pada situasi semacam ini.

“Ah, sekarang kalau kupikir-pikir, Jaim, apa dia kenalanmu?”

“Hm? Apa yang tiba-tiba kau katakan?”

Begitu aku mennyakan itu pada pria yang menanyakan itu pada Jaim seolah dia biaru mengingat sesuatu, pria delusional yang mengklaim telah melihat pelayan menjawab.

“Tidak, hanya saja, kalau kupikir-pikir, pelayan itu mencari gadis kecil dengan jepitan baju di rambutnya······.”

“······Oi, nak.”

“Ack······.”

Jaim cepat-cepat menoleh sebai respon. Ketika aku mendekat untuk membaca ekspresinya, Jaim menggeliat dan melakukan yang terbaik untuk menyembunyikan wajahnya dengan menggerakkan tubuhnya.

“······Nak, apa yang kau ketahui?”

“A-Apa yang kau katakan, Yah? A-Aku tidak tahu apa-apa.”

Walaupun aku dengan paksa memegang kepalanya agar tetap diam dan menatapnya, Jaim hanya menggerakkan matanya dan menghindari tatapanku. Meski begitu, aku masih bisa melihat ujung mata dan sudut mulutnya berkedut. Sambil menarik pipi lembut yaang mencoba untuk bersiul, aku dengan paksa membuatnya bertemu tatapanku.

“Kalau kau beritahu aku, maka aku akan memaafkanmu.”

“A-Aku tidak tahu. Aku tidak melakukan apapun.”

“······Beneran?”

“B-Beneran. S-Seriusan, itu benar.”

Bocah ini, membuat permainan kata dengan nama kami.

Dengan ragu, dia melihat reaksiku dan memalingkan tatapannya kapanpun dia tahu bahwa aku masih melihatinya. Mulutnya menggeliat seolah berdebat apakah harus mengeluarkan alasan atau tidak. Fakta bahwa dia tidak bereaksi meskipun aku menari pipinya, dan fakta dia bicara secara formal padaku, semua hal itu tentu mencurigakan······. Rasanya seperti ada sesuatu, tapi······.

“······M-maksudku······.”

“Baiklah. Kali ini aku akan mempercayaimu.”

“Ayah?”

Tapi yah, sumuanya sudah dipertimbangkan, tidak mungkin gadis ini bisa tahu orang berpakaian seragam pelayan yang kewarasanya dipertanyakan. Tidaklah mungkin  dia tahu soal jaim dan tertarik padanya juga.

Terlebih, untuk seorang pelayan ada di masyarakat saat ini, aku ingin melihtnya sekali saja meskipun itu cuma delusi. Jujur saja itu sedikit disesalkan.

Ã…  Ã…  Ã…

“Baiklah, ayo pergi.”

“······Kau patuh kali.”

Nanda pergi mengambil tasnya dan aku menyuruh Saeyeon dan Jaim menunggu kami di gerbang sekolah sementara aku mengajak Senior Nabom karena akulah orang yang paling dekat dengannya, tapi aku tidak menyangka dia setuju dengan mudah. Aku berharap dia menolak undangannya, jadi aku datang ke sini hanya sebagai rasa hormat.

Senior Nabom tersenyum lembut atas kata-kataku dengan tatapan mengantuknya, yang merupakan karakteristiknya yang paling jelas.

Ha Nabim. Satu-satunya anggota ‘Klub Ilmu Pengetahuan Kreatif’.

“Bukankah sudah kubilang padamu bahwa aku punya banyak ketertarikan terhadap budaya dan produk masa lalu? Aku ingin pergi ke segala tempat semacam itu, namun Junior Jin Jaro belum membawaku kemanapun, jadi aku hanya bisa berterima kasih pada kesempatan semacam ini.”

Dan dia juga merupakan yagen yang telah melakukan perjalanan waktu dari masa depan guna untuk memperhatikan Jaim.

“Terlebih lagi, aku tidak punya rencana setelah ujian tengah semester. Tapi Junior Jin Jaro telah datang padaku terlebih dahulu dan mengusulkan sesuatu. Bukankah ini artinya kau akhirnya berharap untuk membuka isi DLC yang pernah aku sebutkan sebelumnya? Bisa saja ini ada hubungannya?”

“Tidak mungkin Ayah perge kearaokean dengan wanita aneh, kan?”

Terima kasis atas jawaban cepatnya. Sebelum aku bisa memberikan ucapan apapun, Jaim, yang terlihat telah menangkap angin dari percakapanku dengan Senior Nabom sambil menggenggam lenganku.

“Astagaa, apa kau cemburu, nak? Apa kau gemetaran hanya karena pemikiran kakak ini akan bermain dengan ayahmu?”

“Diam, wanita tua! Berhenti ngegoda ayahku!”

Seperti yang kupikrikan, mereka berdua tidak akur. Yah, mau bagaimana lagi karena rencana Senior Nabom-lah Jaim hampir dikirim ke masa depan. Sebelum aku mengetahuinya, Saeyeon menyelip di antara Nabom yang menjawab ketus dan Jaim yang menggeram dan bicara setelah menggandengkan lengannya denganku.

“Kak Nabom, kalau tidak masalah buatmu, maka kau bisa keraokean denganku kapanpun kau mau!”

“Begitu. Ada juga metode itu. Kalau gitu aku akan menghubungimu saat kesempatan lain hadir.”

“Oke!”

Saeyeon tersenyum cerah. Secara pribadi, rasanya sedikit aneh karena aku akan mengatakan ‘akan kuhubungi kau nanti’ kapanpun aku kesulitan menolak seseorang.

Oh ya, kami berjalan bersama dengan mood seperti itu mengelilingi kami.

Sekolah kami adalah pusat komplek apartemen. Kaalau kau berjalan sekitar 5 menit dari sekolah, maka jalan besar dengan bangunan komplek lain yang mengelilinginya akan muncul. Dan ada distik perbelanjaan di jalan itu. Yah, bukan seseuatu yang menakjubkan karena cuma jalanan perbelanjaan biasa.

“······sesuai dugaanku, sudah ramai.”

Tentu saja, bukan hanya satu dua orang yang akan terburu-buru keluar sekolah setelah ujian selesai.

Karena ini hari jumat sore, biasanya tidak akan sibuk, tapi karena fakta bahwa ujian berakhir hari ini, ada banyak kelompok yang bermain-main karena perasaan bebas mereka.

“Jadi kemana kita pergi untuk melihat pelayan itu?”

“Apa benar-benar ada pelayan? Kau yakin nggak bohongan?”

Rumor itu benar-benar cepat menyebar. Biasanya, hanya mengatakan kata ‘pelayan’ kau akan menerima respon menyedihkan seperti ‘Jadi kau tertarik sama gituan······.’, tapi bahkan orang-orang yang kelihatannya tidak memiliki hubngan dengan hal-hal semacam itu melewati kami sambil membicarakan itu. Apa toko semacam itu benar-benar buka di sekitar sini? Kalau aku menemukannya, haruskah aku diam-diam pergi ke sana dengan mata tuaku?

“Tetap saja, syukurlah masih ada ruang kosong. Kupikir kita akan mengendarai bus dan pergi ke lingkungan lain.”

Aku berhenti berpikir akibat kata-kata Saeyeon. Yang lebih penting, kau benar-benar ingin karaokean, ya? Kau bahkan berencana menaiki bus ke lingkungan lain.

Yah, berkat Nanda lah kami dapat ruangan.

Sementara kami mencari ruang kosong karena ruang karaoke di sisi jalan semuanya dipenuhi oleh murid-murid yang sudah masuk sejak periode ujian selesai, Nanda berkata pada kami bahwa ada tempat yang dia ketahui dan menyeret kami ke gang.

Itu adalah ruang karaoke gelap dengan suasana sedikit lusuh. Mesin di dekat pintu masuk ruangan, dan sofa yang berbentuk setengah persegi berbaris di tembok dengan meja di tengahnya. Ini ruang yang cukup standar. Lusuh.

“Senior Nabom, kalau dipikir-pikir, kau bilang ini pertama kalinya kau pergi karaokean?”

Begitu aku balik menanyai Senior Nabom buat jaga-jaga kalau aku haeus menjelaskan semuanya padanya, Senior Nabom sedikit menggeleng.

“Aku ingat pernah ke tempat karaoke waktu masih kecil. Aku tidak terbiasa.”

“Tidak, kau bisa mengocok itu saat musiknya mulai.”

Melihat bagaimana dia mengocok tamborin dengan mata mengantuk namun penasaran, dia pasti senang. Itu membuatnya telihat imut. Faktanya kelakuannya saat ini sangat tidak cocok dengan penampilannya.

“Jjaro, aku harus nyanyi apa? Hm?”

“Pilih sendiri. Dan kalau bisa, jangan lagu anak-anak.”

“Di waktu beginian, kau harusnya milih lagu duet, Ayah.”

Jaimlah yang menjawab perkataan yang kuberikan pada Saeyeon saat dia menarik tubuhnya mendekatiku dan memegang buku nomor lagu ke arahku. Apa aku terlihat seperti orang seperti itu, bocah? Tepat pada saat aku hampir merepetinya, pintu terbuka.

“Maaf kalau tempatnya sedikit lusuh. Aku sering mamaki tempat ini sebagai pengganti ruang latihan, jadi kupikir bahwa aku bisa mendapat tempat bila bicara sama pemiliknya. Karena ini tempat kecil di gang jadi tidak ada pelanggan saat ini.”

Nanda memasuki ruangan sambil memegang minuman di lengannya sambil menyeringai. Fakta bahwa Nanda hanya membawa minuman olahraga dan air karena Saeyeon tidak tahan dengan sensasi minuman bersoda menunjukkkan seberapa baiknya dia, tapi······.

“Semuanya baik-baik saja, tapi bisakah kau pindah?”

Begitu aku mengatakan itu pada Nanda yang duduk di antara Saeyeon dan Jaim, Nanda bahu. Akan merepotkan meskipun Saeyeon duduk di antaranya.

“Ei, jangan seperti itu, Jjaro. Kita bisa menemukan tempat ini karna aku, kan? Ruang karaoke lain dipenuhi pelanggan.”

“Tidak, bukan itu yang aku······.”

“Itu benar, Ayah! Kita bisa mendapatkan ruangan karena Nanda Oppa! Terima kasih banyak, Nanda Oppa. Harusnya kita nggak bisa dapat tempat ini kalau bukan karnamu.”

“Yang kubicarakan itu soal selera pakaian Nanda!”

“Hm? Pakaianku kenapa!”

“Pergi ke kamar mandi sekarang dan bercerminlah. Kalau kamu masih nggak paham, maka pergi keluar dan tanyakan orang-orang di jalanan. Itupun kalau nggak ada yang lari.”

Aku mungkin hidup sesuka hariku, tapi kau terlalu jauh, tahu?”

Nanda berkedip beberapa kali sebelum melihat pakaiannya dan bicara.

“Apa itu aneh? Emang buruknya apa?”

Rambutnya disisir ke belakang dan dia memakai kacamata gelap besar yang sudah lama tidak ngetren lagi sejak dulu sekali di matanya. Mereka bukanlah kacamata hitam. Itu ‘kacamata gelap’. Kalau kau ingin tahu bagaimana perbedaanya, maka perhatikan gambar 7080. Dia memakai seragam sekolah di bawahnya, tapi dia telah melepaskan blazernya dan memakai pakaian malam berkilap yang sama memalukannya dengan yang kami lihat terakhir kali. Yah, ini sangatlah memalukan, tapi······.
(Catatan : ‘Kacamata gelap’ itu kayak gini -
https://i.imgur.com/OJMNK1E.png)

“Siapa juga yang mengangin stereo di bahu mereka di zaman modern sekarang ini?”

Apa ini Harlem? Apa kau mau Harlem? Bukan harem, ini beda dari harem. Harlem itu tempat di mana abang-abang hitam keren berkeliling dengan kacamata dan pemutar kaset seperti itu, dengan kata lain, boombox. Karena sudah kusebutkan, ini benar-benar seperti Harlem.

Bukannya mengeluarkan pistor dari kantongnya, Nanda mengeluarkan sisir dan menyisir rambutnya yang sudah memalukan semakin ke belakang dan bicara.

“Tidak, haruskah kubilang bahwa rasanya tidak pas memainkan trot dari mp3 player, atau haruskah kubilang bahwa analog lebih cocok? Ini cuma kebanggaan semacam itu?”

Kenapa malah jadi pertanyaan? Apa kau tidak melihat bahwa Saeyeon yang baik saja menampakkan senyuman sulit di wajahnya?

Aku mengulurkan tanganku dan mengacak-acak rambutku, mengembalikannya ke bentuk normal.

“Kupikir aku harus menaruh usaha lebih pada hal ini karena kita karaokean.”

“Aku bisa dengan percaya diri menyatakan bahwa metode ‘menaruh usaha lebih’-mu itu sangatlah salah.”

“Tak apa, Nanda Oppa! Itu cocok samamu! Ayah cuma tidak paham karena dia tidak punya selera berpakaian!”

Dan kau butuh kacamata, bocah. Bukannya mengatakan itu, aku hanya menghela napas kecil.

“Jjaro benar-benar kekurangan selera berpakaian. Dia selalu memakai tali pinggang alat itu.”

“Aku nggak mau dengar itu darimu.”

Tali pinggang alat masih lebih rasional! Yah, relatifnya.

“Aku juga punya alasan kenapa aku membawa ini.”

Nanda bicara sampil meletakkan sistem audionya ke atas meja.

“Inilah yang akan menjadi temanku.”

“Apa kau bawa musikmu sendiri?”

“Sebagai seseorang yang bermimpi menjadi penyanyi trot profesional, semenakjubkan apapun lagu Sunhyeon, aku tidak bisa cuma menyanyikannya.”

Dia setidaknya punya pola pikir profesional. Begitu Nanda menepuk tangannya untuk menarik perhatian orang-orang, Saeyeon dan Senior Nabom melepaskan tatapan mereka dari buku nomor.

“Ehem, maaf melakukan ini sebelum ada yang bisa meletakan satu lagupun, tapi aku ingin nyanyi duluan. Apa itu tidak masalah? Kita tidak bisa menjeda begitu kita mulai meletakkan lagu.”

“Tak apa. Butuh waktu untuk menemukan lagunya.”

“Tak apa, Nanda. Sudah lama sejak terakhir kali kami mendengar kau bernyanyi, jadi aku ingin mendengarnya lagi.”

“Aaah······. Bisa mendengar nyanyian Nanda Oppa, secara langsung······.”

Tampaknya Nanda percaya bahwa dia telah menerima persetujuan karena dia menyeringai dan menunduk. Hai, tunggu. Aku masih belum ngasih oke. Ada juga lagi yang mau kunyanyikan. Apa kau mau mengapaikanku? Hei, kau.

Yah, melihat kilauan mata anak kecil ini membuatku sulit mengatakannya kuat-kuat jadi aku hanya menggumamkannya dalam pikiranku. Aku menjadi terlalu baik akhir-akhir ini.

Ah, kalau dipikir-pikir.

Aku menoleh ke arah Senior Nabom yang masih menggoyang tamborin dan bicara.

“Kalau dipikir-pikir, apa trot jadi tren besar di masa depan, maka kau juga penggemarnya Nanda, Senior Nabom?”

Kalau dia punya sekitar satu miliar penggemar di seluruh dunia, maka ada kemungkinan bahwa dia salah satunya. Namun, gadis ini tidak terlalu menunjukkan ketertarikan secara terbuka. Bagitu aku menanyakan itu dengan suara yang tidak bisa didengat oleh Saeyeon, yang duduk disebelahnya, nafasku pasti menggelitik Senior Nabom karena dia mulai gemetar sedikit sebelum bicara sambil mengangkat alis. Berkat itu dadanya lebih bergetar dibanding saat dia menggoyang tamborin. Seperti yang diharapkan dari sistem pemicu gravitasi universal. Entah karena aku dekat dengannya, tapi dia memiliki aroma yang mengenakkan.

“Apa yang kau katakan, Junior Jin Jaro? Trot adalah sesuatu yang hanya digemari oleh gadis kecil. Wanita dewasa seperti diriku lebih suka mendengarkan melodi yang lebih tua dan bermartabat seperti musik idol.”

“······Huh, oke.”

Masa depan benar-benar tempat yang misterius. Tren datang dan pergi, tapi, Nanda menepuk mik seolah-olah dia menginginkan perhatian kami sebelum memberikan pose elegan dan bicara.

“Semuanya, mulai dari sini, kuharap kalian menikmata nyayian Shin Nanda.”

“Wow! Kau menakjubkan, Nanda Oppa!”

Begitu. Apa ini akan menjadi suasana seperti itu? Aku mampu memahaminyanya berkat contoh yang dengan antusisnya ditunjukkan gadis kecil ini. Nanda bicara dengan bahagia saat dia melihat Jaim dan Saeyeon memberinya tepuk tangan.

“Sekarang, Shin Nanda si pria sepenarnya akan bernyanyi dengan sepenuh hatinya.”

Seriusan, dia suka berlebihan. Tanpa lupa menyeringai pada Jaim dan Saeyeon yang kesenangan, dan juga Senior Nabom yang duduk di sebelah mereka dengan melipat lengannya, Nanda menekan tombol play.

Pada saat itu, Senior Nabom menyodok pinggangku jadi aku menoleh padanya.



“Tapi Junior Jin Jaro, dari apa yang pernah kau dengar, Junior Jin Jaro, bagaimana menurutmu kemampuan bernyayi Junior Shin Nanda?”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, apakah Junior Shin Nanda akan benar-benar menjadi bintang top di masa depan, sebagai temannya, Junior Jin Jaro, apa yang kau pikirkan tentang ini? Tidak ada bukti juga.”

Tentu saja, mungkin sulit dipercaya bahwa bintang terkenal dekat denganku. Meski begitu, aku tidak percaya bahwa ada banyak penyanyi yang memiliki nama itu, tapi jika dia menginginkan pendapatku.

“Siapa tahu? Aku nggak yakin apakah itu cukup untuk menjadi bintang top di masa depan, tapi······.”

Aku disela saat Nanda mulai bernyanyi.

Terlebih, begitu kau mendengar ini, siapapun akan mengerti apa yang akan aku katakan.

——Yah, kemampuan menyanyi orang ini sudah pasti yang terbaik.

“Engkaauu~ tak tahuuuu~!”

Meskipun sedikit penuh semangat dan metode unik menyayikan trotnya yang kuat dan penuh gertakan agak kurang pas, bakatnya yang membuatnya bisa bernyanyi dengan kuat dan kemampuatnya meletakkan seluruh emosi ke dalam nyanyiannya termasuk di dalamnya.

Terkadang riang, terkadang semangat, terkadang bergairah, dia mengeluarkan seluruh emosi yang dia miliki dalam satu lagu. Bahkan aku menemukan diriku tenggelam dalam lagunya pada saat aku mendapatkan kembali kesadaranku ketika aku karaokean dengannya dulu, meskipun pada awalnya aku mengejeknya.

Aku menggeleng dan dengan paksa menarik diriku agar tidak tenggelam dalam nyanyiannya lagi. Aku tahu bahwa tidaklah sopan melihat ke tempat lain saat seseorang yang memegang mik bernyanyi dengan sungguh-sungguh, tapi aku penasaran bagaimana reaksi bocah itu.

“Kyaa! Nanda Oppa! Kya kya! Bawa aku! Nanda Oppaaaa!”

······Wow, aku sudah menyangkanya, tapi ini sudah terlalu berlebihan.

Duduk di sebelahku Saeyeon, yang bertepuk tangan bersamaan dengan nada dan tersenyum seolah-olah dia terpesona, Jaim, yang berada pada puncak gerakannya, bersorak sambil melambaikan kedua lengannya dan menggeleng-geleng. Hei, ini trot lho?

Dia membuka lebar-lebar mata berkilauannya seolah tidak ingin kehilangan momen apapun. Sudut mulutnya hampir mencapai telingannya. Apa gadis ini pernah tersenyum secerah ini sebelumnya? Saat dia menggerakkan lengannya maju mundur bersamaan dengan kepalanya, rambutnya yang dikucir dengan jepit pakaiannya bergoyang-goyang. Haruskah kubilang ini adalah puncak kebahagiaannya? Dia terlihat seolah berada di Surga.

Setelah terkikik pada penggemar yang bertemu bintang besar yang diidolaknnya dan orang yang bertemu penggemar nomor satu yang mengakuinya, aku menoleh ke arah Senior Nabom dan bicara.

“Jadi, bagaimana menurutmu······.”

Namun, pada saat itu, aku kehilangan kata-kata karena pemandangan tak dapat dipercaya di hadapanku.

“······.”

Senior Nabom. Terpesona······?

Seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya, Senior Nabom membuka lebar-lebar mata ngantuk yang bisanya setengah terbuka. Sudut matanya bergetar besama dengan pupilnya dan mulutnya yang bergetar perlahan terbuka.

“······hk.”

D-Dia menangis? Senior Nabom sangat terpesona sampai-sampai dia menangis?

Air mata mulai menetes sesekali akibat getaran di sudut matanya. Itu bukan air mata kesedihan. Eh, bagaimana kua mengataknnya? Haruskah kukatakan itu air mata tulus······?

“——······.”

Tak aada suara keluar dari mulutnya dan, seolah memblok suara apapun yang bisa keluar, Senior Nabom menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Bahunya yang bergetar kemungkinan besar hasil dari rasa terpesona tanpa suaranya.

“Uhm, Senior Nabom?”

“Ah, hk, ah, tidak ada······. Sungguh, sungguh, uhk, tidak······.”

Senior Nabom merespon sampil menggeleng, tapi tatapannya masih berada pada nyanyian Nanda.

“A-Aku sungguh, tidak tergerak······. Karena fakta itu, aku mendengar, nanyian Shin Nanda Oppa, di sini, seperti ini, sangat dekat······. Hk, A-aku tidak tergerak, sampai mengeluarkan air mata! Sungguh!”

“······Uh, yah, oke, aku paham.”

Yang lebih penting lagi, apa kau akan seperti ini juga?

Kalau begini terus, untuk Senior Nabom memiliki sisi feminim seperti ini. Sedikit mengejutkan. Fakta bahwa ini tidak cocok dengan pesona normalnya membuatnya jadi sedikit imut.

Lagu Nanda menuju akhir sementara aku tersesat dalam pikiranku dan kami kemudian menghidupkan mesin karaoke. Dengan katalain, artinya seseorang memulai lagu.

“Oh? Saeyeon, apa kau tahu lagu seperti ini?”

Begitu aku menanyai Saeyeon itu setelah mendengar melodi sebuah lagu terkenal dan menyadari bahwa dialah yang berdiri dengan mikropon di tangannya, Saeyeon pasti merasa diserang oleh itu karena dia bicara sambil menggembungkan pipinya.

“Apa? Aku tidak selalu nyanyi lagu anak-anak, hmph. Aku bahkan tahu lagu-lagu dari artis yang lagi tren, hmph. Aku nggak selalu anak-anak, hmph.”

Kalau dia tidak menambahkan ‘hmph’ tidak kali, maka dia tidak akan terlihat seperti anak-anak. Saat ini terjadi, Senior Nabom juga mengambil mik dan berdiri. Dia cepat pulih juga. Dia bertingkah normal sekarang.

“Kalau lagu Miss Mary maka aku tahu. Bisa aku nyanyi bersamamu?”

“Sebagai duet? Oke! Ehehe.”

Ini dua yang agak sulit untuk dilihat. Saeyeon dan Senior Nabom maju ke depan area yang sedikit terbuka di depan mesin karaoke dan mulai menyanyikan lagu Idol bersama-sama. Saeyeon bernyanyi seperti artis polos sambil menggerakkan tubuhnya dengan penuh semangat dan Senior Nabom masuk ke dalam lagi hingga dia mulai menunjukkan gerakan tariannya. Aku penasaran apakah dia terbawa suasana? Dia biasanya tidak akan seperti ini. Meskipun terasa mantap melihat hal tertentu banyak goyang.

Begitu lagi, yang mengenakkan mata dan telinga, dari dua gadis cantik selesai, intro ke lagi selanjutnya pun mulai.

“Huh? Lagu siapa ini?”

“Ini lagu asing. Satu-satunya orang yang akan menyanyikan ini······.”

“Itu benar. Itu aku!”

Aku mengambil mikropon sambil membuat pose yang menerikan ‘YES! I AM!’ dan berdiri.

“Musik kalian hambar! Musik itu soal hard rock! Death metal! Apa gunanya karaokean kalau kalian nggak teriak!”

“Tidak, tapi kau bilang kau tidak mau datang ke sini, Ayah······.”

“Aku nggak peduli. Dengarin laguku!”

Aku sebenarnya tidak mau ke sini, tapi karena aku sudah berada di sini, aku mungkin juga akan benyanyi sungguh-sungguh! Lagu favoritku, People=SHIT!

“······Ayah, kau terlalu kuat.”

“Ini membuat telingaku sakit, bisa berhenti enggak?”

“Selain itu, tingkat buta natanya terlalu parah.”

“J-Jjaro, lakukan yang terbaik!”

······Ini sebabnya kau harus pergi karaokean dengan orang yang memahamimu.

Sementara aku merasa tertekan di sudut akibat skor parah dan evaluasimengerikan, mesin karaoke mulai memainkan irama polos dan hidup yang berbeda dari lagu sebelumnya.

“Oh, apa kau mau nyanyi lagu anak-anak, nona cilik? Itu imut.”

“Ehehe.”

Jaim tersenyum cerah sebagai respon dari kata-kata Nanda sebelum dia mulai menggoyang tubuhnya  mengikuti irama sambil memegang mikropon di kedua tangannya. Untuknya menyanyikan lagu anak-anak meskipun tidak cocok dengannya. Tentu saja, tidaklah mungkin lagu-lagu yang gadis ini ketahui bisa ada di ruang karaoke zaman sekarang. Bagaimanapun, lagu ini lagi? Saeyeon suka lagu ini.

Jaim mulai bernyanyi sesuai irama.

“Tidak beruang di rumah~ Ayah beruang~ Ibu beruang~ Bayi beruang~.”

Sambil melakukan yang dia bisa untuk bertingkah imut yang mana tidak cocok dengan sikap normalnya, Jaim terus bernyati. Dua sedikit imut ketika seperti ini. Aku menyeringai.

“Ayah beruang botak~.”

“Kau ngajak gelud, bocah?!”

Aku mengambil mikropon lain dan berteriak sekuatnya.

Ã…  Ã…  Ã…

“Tenggorokanku sakit~.”

“Sebagian besar yang kau nyanyikan iyu lagu anak-anak dan musk trot.”

Jaim yang sedang peregangan menatapku saat aku mengatakan itu. Apa maumu? Akulah yang tenggorokannya sakit karena terlalu banyak teriak.

“Itu lebih menyenangkan dari apa yang aku duga. Akan lebih baik kalau kita punya kesempatan untuk melakukan ini juga.”

“Bersama dengan Nanda, kan?”

“Junior Jin Jaro, tolong lupakan apa yang kau lihat barusan. Aku tidak melakukan itu karena nyanyian Shin Nanda Opp-, Junior Shin Nanda······.”

“Aku tidak tahu Kak Nabom pandai nyanyi. Ayo lain kali karoean sama-sama! Cuma kita berdu! Tolong ajari aku sedikit!”

“Baguslah pemiliknya memberi kita bonus waktu sehingga semuanya terlihat bisa bernyanyi sesukanya.”

Dia memang memberi bonus banyak. Dia memberi kami bonus 2 jam meskipun cuma mesan satu jam. Apa karaoke itu baik-baik saja secara keuangan?

“Jadi Saeyeon, apa stesmu berkurang?”

Sebagai respon atas pertanyaanku, Saeyeon tersenyum cerah.

“Yup! Aku senang bisa nyanyi sama Jjaro!”

“Tidak, kau nggak nyanyi samaku lho.”

Jangan coba-coba mengarang dengan mudahnya. Titik afeksiku tidak naik sebanyak itu.

“Oh ya, sekarang sudah selesai, kota bisa pulang dan tidur, kan?”

Saeyeon dan Jaim segera menoleh padaku.

“Jjaro, apa kau mau langsung ke rumah padahal kita sudah berada di luar?”

“Ayah, jangan gitulah dan main sama kami, oke? Ujiannya udah selesai.”

“Aku sudah kelamaan bermain sama kalian, kan? Ayo pulang dan istirahat.”

Di sekolah, Saeyeon bilang bahwa dia akan pergi ke rumah dan tidur juga, tapi kenapa dia enerjik sekali sekarang? Aku mulai mencapai batasku. Semantara aku menguap dan mensuplai oksigen ke otakku, aku menyadari sesuatu di sudut pandanganku.

“······Hm?”

Aku melepas kacamataku. Ku lap lensanya dengan kaos. Karena sudah kulepas, aku memutuskan memijat batang hidungku. Aku pakai kembali kacamataku dan melihat sekali lagi. Aku melakukan ini karena berapa kalipun aku melihatnya, rasanya tidak seperti aku melihat yang aneh-aneh.

“Permisi. Bisa minta waktunya sebentar?”

Di sisi lain jalan, seseorang berada di persimpangan dan mencoba memanggil orang-orang dengan kalimat yang bisa digengar. Orang yang melakukan yang terbaik untuk menemukan seseorang yang akan mendengarkan mereka di antara orang-orang yang mengabaikan mereka.

“Maaf. Bisa minta waktunya sebentar.”

“Hei, Jjaro, orang itu······.”

“······Tidak, mata kita mungkin memainkan trik sama kita.”

Meskipun itu terasa menyedihkan.

“Aku bukan orang mencurigakan. Tolong, dengarkan······.”

Apa dia setinggi Saeyeon? Aku merasa dia seumuran juga. Jika dia datang padaku, maka kepalanya mungkin akan mencapai mataku. Rambut hitamnya menerima cahaya matahai dan memancarkan warna keemasan sementara pupil birunya sungguh-sungguh memperhatikan orang-orang yang lewat dengan menyedihkan.

“······Ah.”

Si bocah terus menggeliat. Kau tahu sesuatu, kan? Tapi aku akan menginterogasinya nanti. Sekarang, aku······. Ah, bangsat. Bakalan sia-sia.

Tetapi, dia nyata betulan. Rasanya gila, tapi dia nyata.

Seragam pelayan tradisional dengan rumbai dengan warna hitam putih dan cookie cream. Rok pendek, garter belt, dan ikat kepalanya sesuai dengan preferensiku. Di seberang jalan, ada seorang gadis yang berpaikan di era yang salah, tidak, dimensi yang salah. Sebuah esistensi yang disajikan oleh fantasiku. Tidak, mimpiku adalah robot pelayan. Bukan hanya pelayan. Keduanya mirip tapi beda.

Sementara aku berpikir yang bukan-pukan karena rasa terkejut dan panikku, aku mendengar suara jelas di telingaku.

“Ah, murid di sebelah sana! Apa kau mungkin melihat gadis kecil yang setinggi ini dan memakai jepit pakaian di rambutnya?”

······Jangan lari ke kami dan menanayakn itu. Akupun nggak kenal siapa kau.

Aku memegang si bocah dan berbalik sehingga aku tidak bisa melihat si pelayan, tapi suara langkah kaki memberitahuku bahwa dia mentekati kami. Aku cepat-cepat mengambil jepit pakaian di rambut Jaim. Berkat hal itu, rambut depannya jatuh. Aku diam-diam berbalik ke arah Nanda dan Senior Nabom sebelum mengangkat jari telunjuk ke mulutku. Seseorang yang tidak mengetahui ini mungkin tidaklah ada.

“Ah, ya! Kami ada!”

“······.”

Aku tidak menyangka Saeyeon lah yang mengataknnya, tapi bukankah ini terlalu berlebihan?

“Sungguh?! Di mana kau melihatnya?”

Jaim menarik lengan baju Saeyeon sedkiti. Sia menggeleng kuat. Bahkan Saeyeon seharusnya bisa memahami ini.

“Dia ada di sini. Tapi apa ada sesuatu?”

“I-Ibu! Jangan bilangin!”

“Tapi dia mencari dengan sunggu-sungguh. Ibu berkata padaku untuk membantu orang yang kesulitan!”

Meskupun kau mengatakannyadengan gagah berani······.

Sebelum aku mengetahuinya, si gadis aneh telah datang ke sebelah Jaim yang paik dan Saeyeon memiringkan kepalanya seolah dia tidak tahu apa masalahnya. Sekarang dia berdiri di depan kami, dia benar-benar mengenakan seragam pelayan. Aku paham bahwa dunia luas dan diisi gadis-gadis dengan bunga di kepala mereka. Meskipun gadis ini tidak memiliki bunga.

“Ini······? Ah, maksudmu······?”

“Tidak ada apa-apa di sini. Yeh. Aku tidak tahu siapa kau dan aku tidak tahu soal anak dengan jepit pakaian di kepalanya, tapi anak ini jelas-jelas bukan······.”

Namun, sebelum aku bisa membuat-buat alasan, si gadis aneh sudah memegang bahu Jaim. Jaim menggeliat dan menyusut.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi ini tidaklah baik. Sebelum diselimuti oleh sesuatu yang merepotkan, si bocah sangat tidak menyukai apa yang terjadi. Aku tidak tahui siapa gadis ini. Pertama-tama, karena aku sudah membuang buktinya, aku akan menginterogasi anak ini saat kami samapi di rumah.

“Permisi, aku tidak tahu siapa kau, tapi······.”

“Apa kau mungkin, Miss Jim Jaim······?”

“······Miss?

Aku pada akhirnya tanpa sengaja melihat Jaim karena kata-kata itu. Tidak, julukan yang dia berikan menggangguku juga, tapi lebih penting lagi, bagaimana dia tahu nama si bocah ini?

Si gadis pelayan menatap wajah Jaim yang berada di sebelahku. Pupil birunya yang sejelas lensa kamera hanya diisi dengan wajah Saim. Bulu matanya panjang. Malahan, kenapa wajahnya, agak familiar······?

“Siapa ka······.”

“Aku akhirnya bisa menemukanmu, Miss Jin Jaim!”

Namun, sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, si gadis berseragam pelayan memeluk Jaim dan berteriak.

“······Jin Jaim.”

“······Miss?”

Tidak mungkin aku salah dengar pada suara kuat itu. Saeyeon melihat ke si pelayan dengan ekspresi tak tahu menahu di wajahnya dan mata Nanda terbuka lebar. Aku bahkan tidak harus mengatakan reaksiku. Sementara aku kehilangan kata-kata karena julukan yang dia berikan kepada Jaim dan fakta bahwa dia tahu nama Jaim, pelayan yang memberikan pelukan kuat pada Jaim dengan mata berkaca-kaca seolah baru menemukan orang yang sangat dikhawatirkannya sejak lama.

“Apa kau tidak tahu sudah berapa lama aku mencarimu?! Aku sangat khawatir karena kau pergi tanpa sepatah katapun······. Syukurlah, aku menemukanmu······!”

“······Haah.”

Dan ekspresi Jaim saat menerima pelukan itu, daripada gemira, lebih dekat jika dibilang kesulitan. Setelah mengangkat rambutnya dan memakaikan jepit rambut seolah tidak ada pilihan lagi, Kaim, yang menghantamkan bibirnya dan hanya menatap langit, terlihat mengingat sesuatu karena dia dengan hati-hati mengintip ke wajahku.

“Uhm, maaf, tapi siapa kau?”

Saeyeon menanyakan itu sementara masih bingung, tapi dia bertanya seolah-olah dia setidaknya tahu apa jawab dari pertanyaan itu. Namun, Senior Nabom mengangkat tangan dan menghentikan Saeyeon sebelum melirik-lirik kami dan bicara.

“Ada banyak orang yang melihat.”

Aku menjadi sadar pada sekeliling kami karena kata-kata senior Nabom. Kami masih belum mencapai are dengan banyak orang, tapi orang-orang lewat sambil melirik gadis yang memakai kostum unik dan gadis kecil yang dipeluk dan sipanggil dengan ‘Miss’. Beberapa dari mereka mencoba menemukan gadis pelayan yang dirumorkan karena mereka bahkan mengeluarkan kamera mereka untuk mengambil gambar.

Apa yang harus kami lakukan di situasi seperti ini? Begitu aku menoleh ke arah Senioe Nabom yang paling bisa kuajak berkomunikasi di sini, Senior Nabim menoleh padaku juga. Aku mulai terbiasa pada tatapan itu. Aku mengangguk sebelum memegang tangan Jaim dan gadis pelayan dan menarik mereka. Meskipun si gadis pelayan terkejut akibat tindakanku, akulah yang panik sekarang.

“Jjaro?”

“K-Kalau gitu, kami duluan!”

“Hati-hati, Junior Jin Jaro.”

Sementara mengabaikan pertanyaan Saeyeon yang ditanyakan sambil melihat ke arah sini dan suara Senior Nabom yang tenang bahkan pada situasi seperti ini, aku lari ke ku lari ke sisi lain gang dengan gadis pelayan dan Jaim.

Ã…  Ã…  Ã…

Related Posts

We Should Have Slept While Only Holding Hands, And Yet?! Jilid 2 Bab 2 - Bahasa Indonesia (Bag. 1)
4/ 5
Oleh