〈 1. Perubahan 〉
Musim semi semakin dalam saat
mencapai penghujung april. Bahkan bunga sakura yang mekar dengan indahnya
sekarang jadi mengotori jalanan layaknya sampah, dan saat waktu terus berlalu,
cuaca yang dulunya dingin sekarang menjadi tipe panas yang tidak bisa disebut
cukup hangat untuk dikatakan panas. Dengan kata lain, ini adalah kondisi
optimal untuk bermain diluar.
Dan mana mungkin dunia akan mengalir
dengan indahnya. Karena sekolah bahkan tidak dikecualikan ketika tidak ingin
melihat orang-orang bersenang-senang di waktu-waktu seperti ini sehingga konsep
‘tes pencapaian murid di pertengahan semester’ dibuat untuk menyiksa para murid.
Yah, karena para guru akan
mengakhiri kelas lebih awal saat periode ujian agar kami lebih bisa
berkonsentrasi dalam belaja, aku senang karena itu artinya aku punya lebih
banyak waktu luang. Aku punya lebih banyak waktu untuk fokus dalam
penelitianku. Oleh karena itu rasanya seperti mereka menaruh kereta di depan
kuda karena sekolah-sekolah, yang merupakan fasilitas belajar mengajar, merendahkan
waktu belajar-mengajar mereka agar para muridnya bisa belajar sendiri untuk
ujian.
Bagaimanapun juga, berbeda dariku
yang dilimpahi waktu luang, kemungkinan besar ini adalah waktu yang memberatkan
bagi kebanyakan murid lainnya. Keseluruhan waktu yang telah mereka habiskan
untuk mengantuk dan tidur di kelas akan kembali menggigit mereka saat periode
ujian. Dan Saeyeon yang merupakan murid unggulan dalam hal tidur dan
main-main······.
“Uu······. Uuuuu······!”
······Yah, dia seperti ini.
Tengah malam. Duduk di hadapanku di
sisi lain meja kecil yang kusiapkan di tengah kamarku, Saeyeon membeku di
tempat sambil memegang pensil mekanik dan menatap pertanyaan yang kuberikan
padanya. Wajahnya hampir berjarak 5cm dari pertanyaan itu sendiri.
Di postur itu, rambut panjang dan
lurusnya yang terdapat pin bunga mengalir lembut seperti sutera dan menutupi
leher langsingnya dan wajah dengan mata besar dan bibir lembut. Karena fakta
dia merendahakan tubuh bagian atasnya, payudara berukuran sempurnanya yang
tersembunyi di dalam piyamanya, berubah bentuk saat menekan meja. Memang, ini
pemandangan mantap. Tapi······.
“Uuuu······! Uuuuuuuuuuuuuuuuuuu!”
Haruskah kubilang saat ini lucu?
Atau harus kubilang menyedihkan?
Bagaimanapun aku melihatnya, aku
hanya bisa khawatir bahwa uap akan mulai menyembul dari kepalanya karena
kelebihan beban. Karena ini Saeyeon, maka mungkin itu bisa saja mulai terjadi.
Walaupun begitu aku bisa langsung tahu seberapa keras dia berpikir karena mata
dan erangan seriusnya······.
“······Udah 10 menit kau tetap di
pertanyaan yang sama lho?”
“Uu, uuk······.”
Saeyeon pasti menerima kata-kataku
sebagai himbauan karena ujung pensil mekaniknya mulai berkedut dan bergerak,
tapi langsung berhenti sekali lagi. Aku hanya bisa menghela napas.
Meski aku tidak berpikir ada alasan
untuk tiba-tiba mengataknnya, nilai Saeyeon buruk. Lebih jujurnya lagi,
sangatlah buruk. Kalau sesuatu seperti gagal masih ada, maka dia mungkin masih
berada di nilai yang sama.
Alasan aku dipanggil ke ruang guru
sejak SD ya karena nilai Saeyeon. Saeyeon tidak sadar, tapi ada alasan kenapa
aku selalu di kelas yang sama dengannya setiap tahun. Mereka pada dasarnya
menyuruhku untuk bertanggung jawab.
“······Waktu habis. Berhenti.”
Itu sebabnya segini tidaklah terlalu
banyak masalah. Masih di dalam ranah prediksiku.
Saat aku mengulurkan tanganku
setelah mengonfirmasi jarum panjang jam melewati waktu yang ditentukan, Saeyeon
cepat-cepat mengangkat kepalanya dan berteriak.
“A-aku bisa menyelesaikan ini kalau
dikasih lebih banyak waktu.”
“Fakta bahwa kau berpikir selama 10
menit aja udah jadi masalah.”
Itu pertanyaan dasa, lho.
“Uu, uu······. T-Tapi······.”
“Nggak apa-apa, berikan sini. Coba
lihat······.”
Setelah mengambil lembar pertanyaan
dari tangan Saeyeon, aku membetulkan kacamataku dan mengonfirmasi satu
pertanyaan yang dengan sungguh-sungguh coba dia selesaikan. Dengan tenang
sambil mencari tahu bagian persamaan mana yang menjadi kelemahannya.
Lalu, denhan segera, aku sekali lagi
tersadar.
“······Apa kau betulan anak kelas 2
SMA?”
Tidak ada gunanya mencari tahu titik
kelemahannya.
“O-Orang bisa sedikit buruk dalam
belajar!”
Meskipun Saeyeon teriak dengan
perccaya diri walaupun matanya berair
karena tatapan kasihanku······.
“Tidak, ini udah nggak setingkat
itu.”
Aku merasa berduka saat melihat
lembar pertanyaan yang dikotori dengan tanda merah. Sampai-sampai aku lupa soal
ketakutanku akan kebotakan dan mulai menggaruk bagian belakang kepalaku.
Aku memukul bibirku dan karena
Saeyeon tahu bahwa ini sesuai yang akan aku lakukan saat aku kesulitan, dia
menurunkan bahunya.
“Apa, seburuk itu······?”
Aku orang jujur, jadi kujawab tanpa
menyembunyikan apapun.
“Yah, aku bahkan nggak tahu mulai
dari mana aku harus mengajarimu.”
“Auu······.”
Tidak akan ada yang berubah meskipun
kau mengerang imut seperti itu. Begitu aku menghela napas kecil, Saeyeon pasti
tidak puas karena dia menggembungkan pipinya.
“T-Tapi, aku bisa menyelesaikannya
kalau punya lebih banyak waktu untuk berpikir!”
“Tidak, itu mustahil karena kau
bahkan nggak tau konsep faktorisasi.”
“Uu, uuk······.”
Saeyeon, yang berteriak sambil
melakukan yang terbaik agar terdengar kuat, karam sekali lagi. Walau aku berasa
sedikit tidak enak, tapi kenapa gadis ini memasuki jurusan ilmu pengetahuan
alam? Harusnya kubentikan dia saat dia bilang dia akan mengikutiku memasuki
jurusan IPA. Aku harus dengan sungguh-sungguh mencoba menghentikannya.
“Uu······. Ini memalukan······. Ini
sebabnya aku nggak mau belajar······.”
“Jadi kau tahu ini memalukan.
Setidaknya kau punya sedikit kesadaran diri.”
“O-Oh benar! Aku nggak perlu masuk
kuliah atau kerja karena aku akan menikah dengan Jjaro dan jadi istri······.
Ow!”
Kutarik lagi itu. Apa kau nggak
punya kesadaran diri? Setelah menjentik dahi Saeyeon karena dia masih tidak
paham akan situasinya, Saeyeon mengelur dahinya.
“Uuu······. Tapi belajar, nggak
menyenangkan.”
Saeyeon terus merengek. Tampaknya
dia benar-benar tidak mau belajar karena dia sekarang menggembungkan mulutnya.
Betul deh, gadis ini.
Bagaimana pula kau harus membuatnya
diap mengahdapi UTS? Cuma ada seminggu lagi waktu tersisa. Bukankah lebih baik
kalau aku mulai mengajarinya lebih cepat? Apa aku terlalu optimis ketika aku
berpikir jumlah yang pas bisa tercapai kalau kami menjejalkan segalanya dalam
beberapa hari?
“Ibu, jangan khawatir! Semuanya
salah ayah sekarang!”
“······Aku kau mempertanyakan cara
mengajarku?”
Saat aku menunjukkan gigiku dan
berbalik untuk menatap suara yang ada di belakangku, Jaim sudah melompat dari
tempat tidur dan mebatap balik sambil memijat bahu Saeyeon. Bocah ini.
“Ini hasil metode belajar ayah,
kan?”
Sebuah wajah menggemaskan yang
terlihat seperti gabungan ciri wajah Saeyeon dan wajahku. Aku tidak bilang aku
menggemaskan, jadi jangan salah paham. Aku mengangkan kertas pertanyaan dengan
tanda merah di segala tempat ke arah Jaim yang memiliki mata besar dan pipi
lembut yang sempurna untuk ditarik, dan menyeringai lebar, sehingga membuat
ekspresinya mengisut.
“Nak, bisa bilang itu setelah
melihat ini?”
Jaim dengan bijaksananya mengalihkan
pandangannya dari lembaran dan bicara. Dia punya bakat yang cukup hebat.
“Apa aku salah? Bagi ayah, menjaga
ibu itu cuma ‘pekerjaan’mu, kan? Selain itu, bukannya tanggung jawab ayah kemampuan akademik ibu tetap seperti ini?”
“Ack.”
Itu argumen yang cukup beralasan.
Ini sedikit menusuk.
“······A, Aku pasti buruk di mata
Jaim······.”
Meskipun tampaknya Saeyeon jadi
semakin tertekan karena itu.
“T-Tapi, Saeyeon nggak paham berapa
kalipun aku mengajarinya! Bahkan aku mampu mengajari informasi dasar semacam
ini dengan baik!”
“Udah kubilang, itu artinya kau
buruk dalam mengajar, ayah. Kalau kau mengajari Ibu dengan baik, maka nggak
mungkin Ibu masih tetap bodoh setelah kau ajarin.”
Bocah ini munya ekspektasi aneh pada
Saeyeon. Apa kau tidak melihat bahwa komentarmu barusan semakin membuat Saeyeon
menurunkan bahuny? Jaim meletakkan tangannya ke dahinya dan menggeleng.
“Sungguh, kalau bakalan begini lebih
baik kalau aku yang ngajarin Ibu.”
“······Hoh, baiklah kalau gitu.”
Sekarang waktunya untuk mengajari
bocah ini seberapa horornya Saeyeon.
“Majulah dan ajarin dia.”
Seberapa banyakpun ekspektasi yang
Jaim miliki pada Saeyeon, dia mungkin akan menurunkan ekornya begitu dia
mengalaminya sendiri. Dan ketika itu terjadi, aku akan membalasnya dua kali
lebih keras. Namun, Jaim menggembungkan dadanya sebagai respon dari kata-kataku
dan bicara dengan bangga.
“Kalau ayah akan mengatakan
kuranganya kemampuannya dan memohon seperti ini, maka tak ada lagi yang tak
bisa kulakukan! Akan kuajari ibu!”
Berani sekali. Yah,
kepercayaandirinya bagus tapi aku memberikannya senyum terbesarku dan berbicara
dengan licik.
“Walaupun Saeyeon buruk dalam
belajar, bagaimana anak SD akan mengajarinya?”
Pertama, Saeyeon itu murid SMA. Aku
tahu bahwa bocah ini lebih cerdas ketimbang sebayanya, tapi mengajari Saeyeon
terlalu berlebihan untuknya. Terlebih lagi, bahkan aku tak tahu bagaimana
mengajarinya.
Mengabaikan kata-kataku, Jaim
melambai seolah memberitahuku agar menyingkir. Baik, aku kan pindah. Begitu aku
pindah ke tempat tidur Jaim berdehem dan melihan Saeyeon dengan wajah serius.
“Ehem, bu. Karena itu, aku akan
mengajarimu. Diajari sama anakmu mungkin memalukan, tapi malu nggak bakalan membantu
apapun. Kalau kau mengikuti instruksiku dengan baik, maka ayah pasti nggak
bakalan bisa menertawaimu.”
Garis besarnya terlihat. Saeyeon
mengangguk seolah menetapkan hatinya.
“Oke, ayo mulai. Aku akan mulai
dasar-dasarnya, jadi dengar baik-baik ya bu.”
Aku bicara dengan dingin ke arah
Jaim yang bicara sambil menyingkirkan lembar kerja, meletakkan sebuah buku di
meja, dan membukanya.
“Kalau kau bermaksud mengajari
Saeyeon pendidikan sex, maka lebih baik berhenti saja sekarang.”
“······Tsk.”
Jaim mendecakkan lidahnya saat dia
menutup buku ekonomi rumah tangga. Aku mengeluarkan helaan napas kecil.
“Yah, bukankah seharusnya kau
pura-pura nggak tahu pada awalnya dan meneriakkan sesuatu seperti ‘Oke, sudah
cukup!’ setelahnya?”
“Aku mampu belajar, nak. Kau salah
kau berpikir aku akan termakan trikmu selamanya.”
Aku bisa melihat proses berpikirnya
sesaat setelah dia mengeluarkan buku ekonomi rumah tangga.
“Itu benar, Jaim. Juga, UTS nggak
ada ngujikan ekonomi rumah tangga.”
Apa itu yang kau pedulikan? Jaim
memalingkan kepalanya dengan menyesal sebagai respon bujukan menenangkan
Saeyeon.
“······Tapi mengajari hal-hal yang
dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari seseorang adalah pendidikan yang
sebenarnya.”
“Pola pikirmu itu bagus.”
Oleh karenanya, karena kami tidak
bermain-main lagi, tampaknya giliranku sekarang. Setelah mengatakannya pada
Jaim yang mengeluh, Saeyeon melihat ke Jaim dan tersenyum saat aku akan
berdiri.
“Juga, aku sudah selesai mempelajari
segala yang ada di buku itu.”
······.
“······Apa?”
Apa yang baru saja Saeyon
katakan······?
“Bu?”
Sebagai respon atas pertanyaan Jaim
yang ditanyakannya dengan mata terbuka lebar, Saeyeon terkikik dan menggeledah
tas punggungnya sebelum dengan bangganya mempersembahkan buku ekonomi rumah
tangganya.
“Lihat, lihat! Aku sudah belajar
keras sendiri!”
Dia sudah membuka buku ke sebuah
bagian yang terdapan penanda agar bisa diakses dengan mudah. Di bagian yang dia
buka, ada garis dan lingkaran merah di sana sini dengan catatan yang tertulis
hampir di keseluruhan halaman yang terdapat referensi gambar menditail alat
kelamin laki-laki dan perempuan.
Sambil menatapu yang mulutnya ternganga,
Saeyeon bicara seolah-olah dia bangga terhadap dirinya.
“Aku belajar sambil mencar-cari di
kamus! Itu sebabnya, ini seks yang Jjaro bicarakan sebelumnya, kan? Laki-laki
dan perempuan melepas semua dan mulai dengan ciuman······.”
“A-Apa yang kau pelajari!? Jangan
lihat! Kubilang berhenti melihat! Kya!”
B-Bagaimana seorang gadis mengatakan
kata-kata semacam itu!? Apa kau nggak punya malu!? Darah mengalir deras ke
wajahku dan begitu aku cepat-cepat mengambil buku darinya, Saeyeon terlihat
jengkel.
“Aku belajar sendiri karena Jjaro
tidak mau mengajariku. Aku hebat, kan? Sekarang kau nggak bisa mengejekku lagi,
kan, Jjaro?”
“Itu hal yang salah itu
disombongkan! Apa kau anak laki-laki yang mengalami tahun kedua SMPnya?! Kenapa
kau bahkan menggaris bawahi banyak hal dengan pensil merah?”
“Tapi Jjaro akan belajar sendiri di
depan komputer. Aku bahkan melihat video-video yang kau punya di komputermu,
Jjaro.”
“Kenapai kai melihatnya!?”
Tunggu, itu artinya itu juga? Apa
dia melihat itu juga?
“Tunggu dulu, ayah! Tenang! Hidup
adalah sesuatu yang harus kau hargai!”
“Diam! Aku bakalan mati! Martabatku
udah hancur, wajahku remuk, aku nggak bisa hidup di kenyataan semacam ini
lagi!”
Sambil berusaha melawan Jaim yang
kelihatannya lupa bahwa meskipun aku lompat dari jendela kecil kamarku, aku
hanya akan berakhir di lorong komplek apartemen, Saeyeon bicara sambil
tersenyum.
“Tapi aku lega. Seperti harapanku,
Jjaro lebih suka payudara kayak puny······. Ow!”
Setelah memukul kepala Saeyeon untuk
mencegahnya mengatakan apapun lagi, aku balik menghadap Jaim, yang mendesaknya
berteriak panik.
“T-Tunggu, yah! A-Aku tidak tahu
soal ini!”
“Jangan buat aku ketawa! Walau kau
tidak menghasutnya, itu karena kau terus membuat candaan cabul sampai-sampai
Saeyeon menjadi seperti ini!”
“Uu······ Jjaro pasti bilang bahwa
itu bagaimana kau membuat anak······.”
“I-Itu benar! Ibu tidak berkembang
cepat atau apalah! Kalaupun ada, dia berada di sisi lambat! Yeah! Ibu, sekarang
kau sudah belajar dasar-dasarnya, akan kuajari kau latihan mendalam soal
metoubububububu!”
“Sudah kuduga, kaulah masalah
terbesar di sini, bocah! Kalau kau mencoba mengajari Saeyeon hal aneh lagi,
maka akan kubuat kau mengalami latihan penyesalan.”
“T-Tapi kalian tidak akan melakukan
penyatuan kalau aku terus ububububu!”
“Tidak! Jjaro! Harus aku dulu······.
Ow!”
“Ayo hidup dengan lebih banyak akal
sehat, oke? Lebih banyak akal sehat!”
Sungguh, apa yang harus kulakukan
dengan dua anak ini? Aku ingin menangis. Malah, aku ingin mati. Kenapa aku
tidak menghapus mereka? Kenapa aku berpikir akan sia-sia kalau menghapusnya?
Tidak, pasti bakalan sia-sia, tapi aku adakalanya membuang hal semacam itu
kapanpun aku memasuki mode orang bijak. Aku harus membuangnya. Aku harus
menghapus semuanya. Aku harus punya penghancur diri.
Saat aku meringankan amarahku, yang
dengan sengaja kuberikan pada diriku sendiri, dan dengan tergesa-gesa menarik
pipi Jaim yang seperti kue beras, mulut Jaimterlihat ingin mengatakan sesuatu
jadi kulepaskan dia.
“Ada apa? Kalau kau punya alasan,
maka akan kudengar.”
Jaim menjawab sambil mengusap pipi
merahnya.
“Tidak, aku penasaran kenapa kau
tiba-tiba ingin melihat ibu belajra.”
“Yeah. Jjaro, kau selalu bilang
padaku untuk belajar sendiri sampai sekarang.”
“Eck.”
Ini pasti juga ada dalam pikiran
Saeyeon, karena dia berhenti mengusap dahinya dan berbalik melihat ke arahku
dengan mata besarnya. Aku memalingkan kepala dengan terpaksa.
“A-aku cuma berpikir kalau dibiarkan
begini tidak akan bagus!”
Setelah mendingingkan wajahku yang
terbakar dengan menggeleng, aku berbalik ke arah Saeyeon dan bicara.
“Berapa lamau kau berniat untuk
terus berada di tingkat pendidikan anak SD aku tidak bilang belajar itu
segalanya dalam hidup, tapi bukankah kau setidaknya sedikit saja punya
pengetahuan sebagai murid? Aku terus bilang padamu untuk belajar sendiri, tapi
ujung-ujungnya begini.”
“Uu, uuh······.”
Bukannya membalas, Saeyeon malah
semakin muram. Entah kenapa Jaim juga melihatku dengan tatapan menuduh.
“T-Tidak, aku nggak bilang itu
salahmu······.”
Kalaupun ada, akulah yang jahat kalau
kami harus mengacungkan jari.
Sebenarnya, jadi tanggung jawabku
karena membiarkan dia seperti ini walalupun sudah diberi peran untuk menjaga
Saeyeon dari dulu sampai sekarang. Sudah telat, tapi aku harus bertanggung
jawab.
“Kalau gitu, ikuti ajaranku dengan
baik. Sekarang, aku akan mulai menjelaskan masalah. Jadi bagian ini······.”
Ada ketukan pintu sesaat aku membawa
masalah yang ada di lembaran dan hambir mulai menjelaskan.
“Bagaimana belajarnya?”
“Ah, ibu!”
Begitu Saeyeon melihat ibunya membuka
pintu dan masuk kamar, dia segera tersenyum. Dia benar-benar bangkit dengan
cepat.
“Kurasa aku harus mengecek kalian
saat aku pulang kerja.”
Ibu Saeyeon bicara sambil melihat
kami.
Jika wajah Saeyeon memberikan
perasaan imut, maka ibunya berwajah tegas yang tidak mirip dengan Saeyeon.
Rambut dan seragam pendeknya benar-benar menegaskan aura orang bisnis.
Ibu Saeyeon, yang menyeringai cerah,
duduk di antara diriku dan Saeyeon. Aku nggak yakin apakah dia melupakan Jaim,
yang menatapku sambil mengusap pipi merahnya, atau dia hanya tidak
memperhatikannya. Orang ini sulit untuk ditangani.
“Aku penuh harap saat dalam
perjalanan, tapi kalian benar-benar belajar keras ya. Atau karena ada Jaim di
sini? Haruskah kubawa dia?”
“······.”
Terlebih dia bersikap seperti ini.
Tampaknya dia menikmati wajah kesulitanku karena ibu Saeyeon mengangkat dagunya
yang berada di atas tangan yang saling menggenggam dan bicara setelah terkikik.
“Yah, kesampingkan candaannya, apa
belajarnya lancar? Walaupun aku nggak khawatir karena Jaro denganmu.”
“Kau nggak perlu terus khawatir.
Selama aku yang bertugas, aku pasti akan······.”
“Ayah buruk dalam mengajar, nek!”
······Bocah ini. Jaim, yang
menyerukan itu sambil nyengir lebar, kemudian berteriak.
“Aku hampir mengajarin ibu karena
ayah nggak mau!”
“J-Jaim!”
“Astaga, apa Jaim mengajari ibu?”
Begitu Jaim, yang mengusap pipinya,
meneriakkan itu dengan nada polos dan malu-malu serta ekspresi yang dia
tunjukkan ke orang-orang kuciali diriku, Saeyeon dan ibu Saeyeon membuka mulut
mereka secara bersamaan. Saeyon melakukannya seolah dia malu, dan ibu Saeyeon
seolah dia bangga.
“Bukan gitu, bu! Maksudku, aku tidak
diajari oleh Jaim, tapi······.”
“Nagpain malu? Kalau kau nggak tau
sesuatu, maka kau bisa belajar dari putrimu. Jadi, Jaim, apa yang kau ajarin ke
Saeyeon?”
Dengan hangat, pandangan ibu Saeyeon
seolah berkata bahwa cucunya membanggakan. Namun, pandangan Jaim······. Ah,
akutahu pola ini.
“Aku mau ngajarin ibu soal
pendidikan seks!”
Dengan seringai cerah tanpa masalah
dan sebuah pernyataan mengejutkan.
“Kerja bagus, Jaim!”
“Kenapa kau malah ngacungin
jempol?!”
Ibu Saeyeon sedikit menggembungkan
pipinya karena keluhanku dan menjadi gelisah. Tidak, itu nggak imut walaupun
wanita tua melakukan itu.
“Tapi~ bukankah Jaro sedikit lemah saat
mengajari Saeyeon soal hal-hal semacam ini? Pendidikan sebenarnya adalah saat
kau mengajari hal-hal yang dibutuhkan untuk kehidupan nyata☆!
Itu lebih pending dibanding persamaan matematika!”
Wanita ini, maksudku, orang ini
benar-benar······. Setelah terkikik karena aku memegang kepalaku yang berdenyut
lagi, ibu Saeyeon berdiri dan bicara.
“Oh ya, memang bagus belajar keras,
tapi kalian harus lanjut setelah istirahat. Aku sudah ngupasin buah di luar,
jadi lanjut setelah makan buahnya ya.”
“Wow! Kau yang terbaik, bu! Jjaro,
ayo istirahat sembentar, ya?”
······Seriusan, gadis ini bangkit
terlalu cepat. Aku menggeleng ke arah Saeyeon yang matanya bersinar cerah.
“Tidak. Kalau begini terus, bakal
ada halangan direncana kita. Jangan bernah berpikir untuk istirahat saat kau
melum menyelesaikan lembar kerjamu.”
“K-Kalau aku istirahat atau makan
sesuatu, maka aku akan jadi bisa lebih konsentrasi!”
Gadis ini, dia beneran nggak punya
niat buat belajar······. Yah, dari dulu memang dia nggak punya.
“Ayah, nenek udah ngupasin buah,
jadi ayo lanjut sehabis makan, oke?”
“Itu benar, Jaro. Kau mungkin juga
lelah, jadi istirahatlah sebentar.”
“Jjaro······.”
Aku hanya bisa mengeluarkan helaan
napas kecil saat mereka balik melihatku dan bicara satu per satu.
“······Cuma 10 menit.”
Sangat merepotkan karena aku jadi
orang baik sekarang.
Ã…
Ã… Ã…
Sudah 2 bulan sejak Jaim tiba.
Satu bulan sejak insiden sebelumnya
dan satu bulan telah berlalu setelah kepulangan orang tua Saeyeon dari
perjalanan mereka. Selama dua bulan tersebut, hidupku berubah dengan cepat. Ke
arah yang tidak kuingin.
Pada keesokan harinya, ada anak yang
tertidur seperti kayu di antara dirku dan Saeyeon.
Walau kami harusnya cuma tidur
sambil pegangan tangan.
Jin Jaim. Putriku dan Saeyeon yang
datang dari masa depan.
Meskipun aku ingin menambahkan
‘ngaku-ngaku’ di depannya, sepertinya bukan begitu sehingga jadi makin
menakutkan.
Walaupun perjalanan waktu adalah
hasil dari sesuatu yang tidak realistik, hal yang dia inginkan terlalu
sederhana. Karena Saeyeon dan aku cekcok di masa depan, yang membuat Saeyeon
pergi dan memaksa Jaim untuk tumbuh di rumah tangga tanpa ibu, Jaim ke masa
lalu dengan membawa ‘Perencanaan Keluarga Bahagia’, sebuah rencana yang
tujuannya untuk memperbaiki hubunganku dengan Saeyeon dan, sebagai hasil,
menciptakan keluarga bahagia.
Meskipun metode untuk mencapai ini
hanya dengan membuatku dan Saeyeon bersatu di usia muda dan memaksa kami di
antara tempat berbatu dan keras.
Meskipun begitu, di titik itu, aku
sudah tidak menyukai Saeyeon. Aku tidak menyukainya. Malahan aku membencinya.
Karena aku membenci keluarga. Karena
aku tidak butuh sesuatu semacam itu.
Berbeda denganku saat itu, Saeyeon
memiliki keluarga bahagia.
Ibu Saeyeon yang mencintai Saeyeon
telah meninggal saat dia masih kecil. Meskipun Saeyeon hanya menjadi putri
pasangan nikah kedua, ibu Saeyeon masih mencintainya seolah-olah dia adalah
anak kandunganya sendiri. Dan Saeyeon, yang menyukaiku dan telah menerima cinta
itu saat dia tumbuh dengan polosnya.
Aku tidak menyukainya. Aku tidak
membutuhkan itu. Itu sebabnya aku merusak Saeyeon. Kubuat dia hanya
mendengarkanku dan membuatnya tetap seperti anak kecil yang bahkan tidak tahu
apa arti kata ‘cinta’.
Setelah semuanya terbuka dan sebagai
hasil dari kata-kata ‘aku tidak pernah melihatmu sebagai seorang wanita.’
dikatakan, Jaim terinfeksi ‘kontaminasi informasi’ yang merupakan penyakit akibat perjalanan
waktu.
Jaim ditempatkan pada situasi di
mana dia menderita dari delusi bahwa Saeyeon dan aku merajut kasih di usia muda
walaupun kami tidak ingin, dan kami sering bertengkat, membencinya karena telah
menciptakan hubungan kami tersebut, mengabaikannya, dan menyiksanya. Jaim akan
kembali ke masa depan dengan kondisi tersebut. Aku ingin segaralanya berakhir
seperti itu.
Namun, aku tidak bisa meninggakan
putriku yang terlukan dengan cara yang sama sepertiku, yang akan terlukan
seperti itu karenaku, sendirian.
Yah, karena alasan tersebut,
kira-kira sudah sebulan semenjak aku berdiskusi dengan agen waktu yang di sini
untuk mengamati Jaim dan membawanya ke masa depan jika ada masalah yang
terjadi, melakukan apa yang kubisa untuk mengobati kontaminasi informasi Jaim,
dan, sambil melakukannya, memperiapkan dokumen agar Jaim bisa tinggal di sini.
Dan orang tuan Saeyeon kemudian
kembali dari perjalanan mereka ke Eropa.
Jujur saja, itu gunung setelah
gunung, aku bahkan siap untuk mati.
Tapi······.
“Jaim, ah~.”
“Aaah~.”
“Oh, kau imut kali♡! Apa rasanya
enak?”
“Yeah! Enak!”
“······.”
Meskipun sebulan telah berlalu, aku
masih tidak tahu mau berkata apa kapanpun aku menyaksikan ini. Pertama,
kepalaku terus berdenyut. Migrainku jadi makin parah akhir-akhir ini.
Pikirkanlah.
Kau puya putri menggemaskan. Kau
membesarkan putrimu yang baik, polos, dan bak malaikat dengan cinta dan kasih
sayang, dan karena kesempatan bagus muncul, kau kenahan kekhawatiranmu dan
meninggalkan putrimu dengan tetangga terpercaya untuk melakukan perjalanan ke
luar negeri selama sebuban, perjalanan ke Eropa tepatnya.
Dan kemudian bayangkan diperkenalkan
pada cucumu sementara putrimu bergandengan tangan dengan anak laki-laki
tetangga sesaat kau pulang ke rumah.
Bukannya itu jadi situasi di mana
tidaklah aneh untuk mengambil kepala anak laki-laki tersebut dan meneriakkan
‘aku sudah membunuh pencuri putriku!”.
Tapi.
Ibu Saeyeon tersenyum hangat pada
pemandangan Jaim yang mengisi pipi elastisnya dengan apel dan mengunyahnya
dengan bahagia.
“Beneran deh, Jaro dan Saeyeon
memang cakap. Bisa membuat putri sebesar itu dan menggemaskan dalam sebulan.”
······Akhir-akhir ini aku kepikiran,
tapi ini mungkin edek manipulator ingatan atau teknologi masa depan lainnya. Bahkan
aku menjelaskannya padanya terakhir kali.
“Udah kubilangin, dia bukan putri
kami tapi saudara tiri yang dimiliki orang tua gilaku. Alasan dia memanggil
Saeyeon dan aku ibu dan ayah itu karena aku memutuskan untuk membesarkannya
seperti orang tua karena aku tidak ingin dia mengalami hal yang sama seperti
aku dengan orangtuaku.”
“Oh yah.”
Apa ini masalah yang bisa
diselesaikan cuma dengan ‘Oh yah’?
Ibu Saeyeon menjawab dingin pada
kata-kataku dengan sebuah helaan napas. Jujur saja, mungkin bukan cuma salahku
Saeyeon tumbuh menjadi sepolos ini.
Ibu Saeyeon tersenyum saat dai
melihat Saeyeon memberi makan Jaim pir dengan garpunya.
“Kalau begitu, syukurlah Jaro juga
punya perasaan pada Saeyeon. Jujur saja, nona tua ini bersorak untuk Saeyeon
yang akur dengan Jaro yang sangat dia sukai, tapi aku juga ragu.”
Dia masih tajam pada hal-hal aneh
semacam ini. Tapi,
“Udah kubilang bukan bagitu.
Pertama, aku······.”
Aku membeku dan berpaling sesaat
kata-kata itu keluar dari mulutku, seperti dugaanku, Saeyeon terlihat takut
sementara Jaim melihatku seolah dia tidak akan membiarkanku kalau aku tidak
hati-hati dengan kata-kataku. Ehem, mm.
“······Yah, memang benar aku bilang
aku butuh Saeyeon······.”
“Yeah. Itu sebabnya akan kuberikan
putriku pernikahan tanpa rasa khawatir.”
“Sungguh, bu······.”
“Dia kesini bykan untuk menikah,
tahu? Dia cuma tinggal samaku, tahu?”
“Apalagi yang bisa diperbuat kalau
nggak dinikahkan? Atau haruskah kusebut ini sebagai salah satu adat tradisional
kita, minmyeonuri?”
(Catatan : Minmyeonuri — Seorang gadis yang dibawa oleh keluarga calon
suami)
“Kaulah yang mengirimnya dengan
sewenang-wenang! Aku juga dipecat karena itu!”
Begitu aku meneriakkannya sebagai
respon pada ibu Saeyeon yang tersenyum bahagia, ibu Saeyeon bicara seolah dia
tidak tahu pada apa yang kubicarakan.
“Kau bahkan melamar Saeyeon dengan
berkata bahwa kau membutuhkannya, Jaro. Kau punya putri yang imut juga, jadi
keluarga harus tinggal sebagai keluarga, kan? Tapi kau tidak mungkin menganggap
tindakan tinggal dengan keluargamu sebagai pekerjaan, kan? Kesimpulanya sudah
bulat. Yah, walaupun kami mungkin akan menunggu sampai kalian dua jadi dewasa
untuk upacara pernikahannya.”
“Udah kubilang······.”
“Atau, apa? Kau nggak mau tinggal
sama Saeyeon, Jaro?”
Karena wajah tersenyum ibu Saeyeon
berubah menjadi dingin.
“Jangan bilang kau meletakkan tanganmu
ke Saeyeon kami dan membuat putri seperti ini tanpa ada niat bertanggung
jawab?”
“Uu, i-itu······.”
Sementara aku ragu karena tekanan
sorot matanya, ibu Saeyeon bicara dengan suara dingin yang tak ada bandingannya
dengan sebelumnya.
“Karena aku mempercayai Jaro yang
Saeyeon sukai, aku ingin kau tidak bilang bahwa kau sudah meletakkan tanganmu
pada Saeyeon kami tanpa berpikir ketetapan hati······. Jadi, Jaro?”
Aku benar-benar akan mati kalau
memberikan jawaban yang salah.
“U-Udah kubilang, terlalu cepat buat
tinggal sama, yah······.”
“Astagaa, apa itu maksudmu? Wanita
tua ini masti sudah salah paham.”
Pasti jawabnnya tepat karena ibu
Saeyeon tersenyum cerah sekali lagi. Itu menakutku sampai mati······.
“Tapi, seperti yang kupikirkan,
kalian harus tinggal bersama mulai saat ini agar kalian bia mengalami rintangan
hidup bersama-sama, kan? Terlebih, tidak ada banyak perbedaan, ya kan? Kita
tinggal sebelahan, dan kalian berdua sudah sering makan dan tidur bersama. Ah,
kurasa akan sedikit berbeda sekarang karena kalian punya putri.”
“Aku suka tinggal sama ibu dan ayah,
nek!”
“Lihat? Jaim juga setuju.”
Tentu saja si bocah itu akan
setuju······. Aku hampir menggeretakkan gigiku, tapi aku malah menghela napas.
Yeah. Sudah sebulan. Sudah sebulan
sejak Saeyeon dan Jaim mulai tinggal di rumahku.
Orang tua Saeyeon, yang mengakui
keberadaan Jaim dengan sangat mudahnya, menyarakan bahwa keluarga harus dengan
alami tinggal bersama, jadi setelah mengakhiri bahwa Saeyeon akan tinggal
denganku mulai dari sekarang, mereka benar-benar mengirimnya kerumahku setelah
mengemas pakaian sederhana.
Karena ini. Aku di penghujung
kebangkrutan. Tidak hanya setengah pendapatanku terporong, tapi juga setengah
pendapatanku yang lain berkurang karena royaltiku tidak akan terjual, dan
jumlah yang dikonsumsi dalam rumah tanggaku meningkat kerena jumlah mulut yang
harus kunafkahi bertambah dua.
“Sekarang, karena aku tahu bahwa
Saeyeon dan Jaim akan baik-baik saja, kurasa aku akan ke rumah sekarang.
Saeyeon, Jaim, ayo ngobrol antar cewek aja lain kali juga. Kalau gitu, aku
pergi~.”
Saat aku memikirkan itu, ibu Saeyeon
mengucapkan selamat tinggal pada semuanya kecuali aku dan menghilang melalui
pintu depan. Kalau orang lain ada di sini, maka mereka mengira bahwa dia akan
pergi ke tempat jauh. Padahal cuma butuh lima langkah melewati gang apartermen
untuk sampai ke rumahnya.
Oh ya, istirahat kami selesai.
“Sekarang, waktunya belajar lago.
Ayo balik ke kamarku.”
“Aku ngantuk······.”
“Jangan buat aku ketawa! Katamu kau
bakalan bisa makin berkonsentrasi kalau kau makan sesuatu!”
“Tapi······. Udah larut malam······.”
Dengan mata yang sudah setengah
tertutup, Saeyeon bicara sambil melihat jam yang menggantung di dinding dekat
meja makan. Sekarang jam 9:13 malam. Pasti, dalam standar Saeyeon, ini sudah
larut malam karena dia biasanya udah siap untuk tidur jam 9.
“Selama aku bertugas terhadap
belajarmu, aku tidak akan melakukannya setengah hati atau membiarkanmu berhenti
dengan mudah! Sekarang, pergi dan cuci mukamu!”
Meskipun aku sengaja bicara dengan
suara keras dan menepuk tanganku untuk membangunkannya, Saeyeon hanya menggosok
matanya dan melihatku dengan kasihan. Gadis ini, dia masih bersikap seperti
anak bandel.
“Ayah, jangan gitu dan lanjut besok
aja ya? Bagaimana kalau membetulkan Multi samaku malam ini? Aku nggak lelah. Kau
lebih memilih itu juga kan?”
“Tidak. Kau melihatnya juga, kan?
Fakta bahwa Saeyeon berada dalam kondisi berbahaya. Aku mengucapkan selamat
tinggal pada Multi sampai ujian. Kalau kau punya cukup waktu untuk
mengkhawatirkan itu, maka kau harus kerjasama juga.”
“Seperti yang kupikir, kau serius
kahwatir soal ibu, yah······. Uub!”
Setelah menutup mulut yang
mengatakan omong kosong, aku menarik Saeyeon saat dia menggosok matanya dan
menyeretnya dan Jaim ke kamarku.
Tidak ada yang belum berubah. Tidak
apa. Itu fakta yang jelas.
Masalanya adalah aku harus merasa
bagaimana soal ini.
We Should Have Slept While Only Holding Hands, And Yet?! Jilid 2 Bab 1 - Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Yuuki van Core