Chapter 13 – Trance Labyrinth ①
Terdapat
dua dewi di dunia ini. Akan tetapi, mereka saling berseteru.
Dewi
Claria. Dewi hebat yang disembah oleh seluruh umat manusia. Disanjung akan
kecantikannya selama berabad-abad, dikabarkan kalau dia adalah wanita mengagumkan
yang penuh kasih sayang.
Lalu
ada dewi yang bertentangan terhadap dewi tersebut.
Namanya
ialah Messiah. Perwujudan dari kejahatan, dia mengendalikan para demon. Menyebabkan berbagai macam
kekejaman, dia menyerang kota-kota dan merenggutnya demi kepentingannya
sendiri. Dikabarkan kalau dia tak menyisakan satu korban pun yang selamat.
Pertikaian
kedua dewi tersebut melibatkan seluruh dunia dalam perseteruan mereka.
Claria,
demi melindungi rakyatnya. Messiah, demi menguasai dunia.
Kekuatan
mereka hampir seimbang, namun keseimbangan tersebut tiba-tiba berubah drastis
karena adanya keberadaan tertentu.
Keberadaan
itu ialah Pahlawan Terias.
Seusai
menerima karunia sucinya Claria, ia memperolehkemampuan yang kuat dan menggunakannya
untuk mengalahkan setiap demon yang
diutus Messiah padanya.
Lalu,
pada akhirnya, Claria dan Pahlawan pun berhasil menyegel Messiah.
Rostalgia
pun mengalami perdamaian sekali lagi—
***
"—Phew....."
Kututup
buku yang kubaca.
Aku
memperoleh pengetahuan yang kuinginkan dengan buku sejarah dunia ini.
Kini
kuberada di lantai empat perpustakaan kerajaan, bagian dari wilayah sejarah.
Ada
sesuatu yang ingin kulakukan sebelum kami pergi ke dungeon selanjutnya, jadi aku masih berada di Wrystonia.
Untuk
tempat tinggal, kami memesan tiga kamar di sebuah penginapan. Untuk
membayarnya, kugadaikan permata miliknya Leadred.
Keuangan
seorang Penjaga sungguh berbeda, ya.
Memasuki
perpustakaan kerajaan juga memerlukan biaya masuk, dan aku mendapatkannya juga
dari Leadred.
Apa
pun yang budak miliki adalah milik majikannya juga. Aku seharusnya tak
memedulikannya. Aku seharusnya tak memedulikanya.... sama sekali.....
Saat
aku membaca dan berusaha menentang pertentangan mengenai harga diriku sebagai seorang
lelaki, seseorang datang dari belakangku dan berbicara.
"Daichi. Semuanya sudah
siap"
Nama
gadis itu ialah Hamakaze Shuri. Budak pertamaku.
Kelihatannya
dia sudah menyelesaikan tugas yang dia tentukan sendiri.
"Beneran sudah?"
Kuletakkan
buku pada tumpukan buku di sebelahku dan meraih tangannya.
"Kalau begitu, beritahu aku"
"Tentu! Dengan senang
hati"
Hamakaze
mendekap di dekatku.
......
Terasa nyaman, jadinya aku tak mengatakan apa pun.... meski tak perlu dikatakan
lagi kalau kami terlihat membuat orang lain iri.
Apa
yang Hamakaze maksud adalah imbalan yang kujanjikan padanya sebelumnya.
Dia
tak mengenakan pakaian petualang biasanya. Belakangan ini, dia mengenakan
pakaian pelayan. Sama halnya dengan Leadred.
Saat
kutanya kenapa mereka mengenekan itu, Hamakaze menjawab dengan berkata kalau
dia dengar laki-laki menyukai hal semacam itu.
Sama
sekali tak jauh berbeda dengan perbuhan sikap yang dia lakukan saat di dungeon.
"Kau punya selera yang aneh, ya?
Ingin bersama lelaki sepertiku....."
Untuk
imbalannya, Hamakaze memutuskan untuk meminta supaya kami bersama untuk
seharian. Dengan kata lain, dia ingin bersamaku.
"Jahatnya"
"Memangnya kenapa?"
"Kau seharusnya tahu
perasaanku"
".... Aku tak tahu"
Belakangan
ini, sikap Hamakaze mulai lebih agresif. Aku tahu kenapa. Aku juga tahu apa
yang dirasakannya.
Dia
berada dalam posisi di mana dia bisa dibuang kapan pun.
Pemikiran
itu pasti memenuhi pikirannya. Bahkan dulu aku juga pernah seperti itu.
Bertingkah
konyol supaya kau takkan dibenci. Mengenakan banyak topeng yang kau perlukan.
Kontak
fisik ini hanyalah bagian dari hal tersebut. Makanya, aku tak mengharapkan
sesuatu yang aneh. Saat ini, Hamakaze sendirilah yang paling menderita.
Walaupun
benar, masalahnya adalah aku tak bisa melepaskan Hamakaze dari rantainya—dariku.
Tak
ada lagi yang bisa kulakukan selain menemaninya seperti ini.
"Jadi, apa yang akan kita
lakukan? Tak perlu menahan diri, hari ini aku adalah milikmu"
"Benar.... umm"
Dia
terhenti sejenak. Akan tetapi, dia melanjutkannya sembari sesekali melirik padaku.
"Terus terang saja, aku cuma
ingin pergi ke satu tempat. Aku ingin pergi ke sana bersamamu sepanjang waktu
ini"
"Kenapa tidak minta saja dengan
imbalanmu"
"Tidak, kalau seperti itu aku
rugi"
"Kau cukup tak tahu malu,
ya?"
"Kurasa itu salahmu juga,
Daichi"
Mungkin
benar, jadinya aku tak bisa mengatakan apa pun untuk menanggapinya.
"Kalau begitu, kau ingin pergi
ke mana?"
".... Tolong jangan bilang
tidak, ya?"
"Aku takkan ikar janji, katakan
saja"
"Baiklah. Tempat yang ingin
kukunjungi adalah......"
Setelah
terhenti sejenak, senyumannya Hamakaze terlihat kesepian sebelum memberitahuku
tempatnya.
"—Istana Kerajaan"
Semenjak
datang ke sini, semua yang kudapati hanyalah hal-hal aneh. Berjuang sendirian,
menderita, dibuang, dan dimakan.
Itulah
tempat segalanya berawal.
Istana
Kerajaan Wrystonia.
"Wow, masih terlihat besar, ya?"
Mungkin
dibentengi untuk melawan serangan yang datang, gerbangnya cukup besar.
Aku
tak mendengar tanggapan apa pun. Tak ada orang lain di sekitar kami. Tempat ini
sunyi.
"........"
Dia
terus menatap ke satu tempat.
Aku
tak tahu apa yang spesial dari tempat itu, tapi kurasa itu bukan sesuatu yang
perlu kuketahui.
"........"
Dia
tetap berdiri membisu, menatap tempat itu.
Bagaikan
boneka. Seperti sudah kehilangan jiwanya.
Air
mata menetes jatuh pada pipinya.
Aku
penasaran apa yang dipikirkannya?
Biasanya,
taklah aneh baginya untuk berada di sini. Dari apa yang kupahami, dia jadi
rekanku di dungeon karena hanya takut
mati.
Sama
halnya dengan balas dendam dan niat baiknya padaku, dia mungkin berbuat begitu
hanya untuk terus bertahan hidup.
Jadi
saat dia bilang ingin pergi ke sini, semua yang bisa kurasakan hanyalah
perasaan dingin.
"......."
Dadaku
terasa sakit.
Hanya
sesaat saja, tapi rasanya butuh waktu yang lama saat dia berbalik padaku.
".... Daichi"
"Apa?"
"..... Aku senang bisa kembali
ke sini"
"Kenapa?"
——Karena
aku bisa melihat yang lainnya lagi.
Hanya
itu perkataan selanjutnya yang bisa kubayangkan.
Tapi
perkiraanku ternyata salah.
"—Karena kutahu kalau perasaanku
ini nyata"
Hamakaze
tersenyum.
Dia
berlari menghampiriku, yang terdiam di sana dengan keheranan, dan memelukku.
Pikiranku
pun akhirnya berjalan kembali.
"Hamakaze?"
"Aku melihat Samejima dari
sini"
"..... Jadi kau ingin bilang
kalau perasaanmu padanya itu nyata?"
Saat
kuberkata begitu, Hamakaze nampak terkejut.
"Bukan begitu..... tunggu, apa
kau cemburu?"
Meski
dia segera kembali tersenyum, senyumannya seolah menggodaku.
Tidak,
hanya saja, yah, itu. Aku hanya ingin
memastikan kalau perasaannya itu apa memang benar untukku atau bukan, supaya
tak menjadi kesalahpahaman yang mengerikan seperti yang kulakukan dulu. Aku
hanya ingin memastikannya!
"Pokoknya, kalau memang bukan
begitu, lalu untuk siapa?"
"Kau ini cukup berputar-putar
ya, Daichi"
"Meski kau juga sudah tahu,
ya?"
"Ya. Tapi, Katsuragi.... itulah
yang kusuka darimu"
"——"
Sebuah
pengakuan yang mengejutkan.
Pikiranku
terhenti lagi.
"Aku tahu kalau aku ini egois,
tapi tolong dengarkanlah aku"
Dia
menatap mataku.
"Katsuragi, aku suka kau yang
tetap baik padaku meski aku banyak mengeluh dan berkata hal-hal buruk"
"Itu cuma perasaanmu saja. Kau
masih bisa menarik kembali ucapanmu itu"
"Katsuragi, aku suka kau yang
selalu berjuang untuk menjadi lebih kuat supaya aku takkan mati"
"A-Aku cuma ingin mempunyai alat
yang kuat saja. Aku sama sekali tak memikirkanmu"
"Demi itu, kau bahkan mengalami
peranan yang megerikan. Katsuragi, aku suka karena kau memberikanku alasan
untuk hidup"
"T-Tidak....
aku cuma......"
Dia
menutup mulutku dengan jarinya.
"Katsuragi, tak peduli apa yang
kau katakan atau pikirkan, itu tak masalah. Perasaanku padamu takkan
berubah"
Dia
mendekatkan wajahnya pada wajahku.
.....
Tak peduli berapa kali kumenatapnya, dia begitu cantik.
Pipinya
agak berwarna merah muda, matanya basah akan air mata. Rambut hitamnya yang
terkirai-kirai, bibir merah mudanya yang halus.
Tatapannya
mulai memanas. Pada jarak di mana kubisa mendengar napasnya, hidungnya
menyentuh bibirku.
Bibir
kami saling bersentuhan.
"Aku mencintaimu,
Katsuragi"
Ciuman
keduaku dari dirinya terasa manis.
"Hamakaze, kau....."
Haruskah
aku mempercayainya?
Tidak,
bukan begitu. Berpikir begitu taklah baik.
Apa
yang kulakukan sekarang adalah meragukan seseorang yang sudah banyak
menunjukkan niat baiknya padaku?
"...... Maukah kau menerimaku?"
Itu
adalah pertanyaan serupa yang dia tanyakan sebelumnya.
Kali
ini, aku tak bisa menjawabnya setengah-setengah.
Dia
menginginkanku. Inilah pertama kalinya aku diinginkan oleh seseorang.
—Tidak,
bukan begitu. Berhentilah mencoba mencari alasan. Aku sudah tahu, ‘kan?
Tepat
di sini.... di sini adalah gadis yang mungkin akan menjadi orang yang spesial
bagiku.
"Shuri"
Kutepuk
kepalanya. Lalu, kugerakkan tanganku ke bawah melalui rambut dan menuju
bahunya.
Aku
bisa merasakan dia gemetar lewat jariku. Dia gugup. Atau mungkin aku yang
gemetaran?
"......."
Hamakaze
memejamkan matanya. Aku tahu apa maksudnya.
Dia
sedang menunggu.
Untukku..
"..... Shuri"
"....... Nn"
Kali
ini, akulah orang yang menciumnya. Aku mendekatkan wajahku—
The Forsaken Hero - Volume 01 - Chapter 13 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia