Chapter 03 – Awal Dari Segalanya
Kala kusadar bahwa saat itu adalah takdir,
sudah sangat lama sekali waktu berlalu.
—Ahli Sihir Pemula, Ai.
"Nina,
apa kau pernah bertemu manusia?"
"Apa
itu manusia?"
Nina, gadis yang kuselamatkan dari beruang berzirah
memiringkan kepalanya begitu mendengar pertanyaanku yang mendadak.
Tanggapannya cukup masuk akal. Aku mengucapkan kata manusia dalam bahasa Jepang, sisanya
dalam bahasa apa pun yang ia gunakan.
Beberapa bulan sudah berlalu semenjak kubertemu
dengan Nina. Semenjak saat itu, entah bagaimana kami sudah sampai tinggal
bersama, kami bahkan bisa saling berkomunikasi dengan cukup mudah.
Nampaknya bukan hanya kekuatannya saja yang lebih
kuat, namun naga juga pembelajar yang jauh lebih cepat ketimbang manusia.
Saat perangkat kerasku berubah, demikian pula dengan
perangkat lunakku, yang membuatku bisa dengan sangat cepat berbicara dalam
bahasanya.
"Mereka terlihat serupa
denganmu, tapi telinganya pendek dan bundar.... dan kemungkinan mereka juga
tinggal di rumah yang terbuat dari kayu atau bebatuan"
Perasaan ingin melihat manusia semakin meningkat
semenjak kubertemu dengan Nina. Hidup sebagai naga taklah begitu buruk, tapi
aku tak bisa membuang kemanusiaanku.
"Aku
tahu apa yang kau bicarakan.... mungkin?"
Karenanya, aku nyaris saja melayang ke langit saat
Nina berkata begitu.
"Bisa
kau antarkan aku?"
Dia mengangguk saat kubertanya padanya, lalu kusuruh
dia untuk menaiki punggungku dan mengepakkan sayapku.
***
"Di
sebelah sana. Itu ‘kan yang kau bicarakan?"
Kulihat ke arah yang ditunjukkan Nina, dan terkejut.
"Itu.....
manusia?"
"Mereka
terlihat sepertiku, punya telinga bundar, dan tinggal di sarang batu. Apa itu
mereka?"
Dengan bangga mengkedutkan telinga runcingnya, Nina
membusungkan dada ratanya.
Yah, dia tidak salah, sih.
"......
Kesampingkan dulu apa mereka terlihat sepertimu atau tidak, apa di sana ada
manusia yang hidup sepertimu?"
"Bukannya
aku tahu banyak soal mereka, tapi cara mereka hidup kurang lebih sama
sepertiku"
Jadi begitu, ya..... yah, biarlah.
Kulihat kembali ke tempat yang ditunjukkan Nina.
Apa yang kulihat dari atas bukit kecil adalah sebuah
gua terbuka yang berada di sisi gunung.
Ada beberapa pria yang keluar dari gua dengan
membawa tombak, kelihatannya mereka akan pergi berburu. Masing-masing dari
tombaknya terbuat dari tongkat panjang dengan sebuah batu yang diikatkan pada
ujungnya. Baik mereka dan sekelompok wanita yang mengantarkan kepergian mereka
tak mengenakan apa pun selain bulu binatang. Mungkin hanya ada belasan orang
yang tinggal di sana. Sekelompok manusia primitif rasanya kurang pantas untuk
disebut pemukiman, apalagi desa.
"Apa
yang......"
Terdapat sihir, para peri, naga yang terbang tinggi
di langit, dan misteri-misteri yang menyelimuti dunia.
Ini adalah dunia yang hanya ada dalam sebuah
dongeng, jadi secara tak sadar kumulai berpikir bahwa tingkat peradaban di sini
serupa dengan Abad Pertengahan Eropa.
Tapi aku sungguh keliru.
Kalau dipikir-pikir dengan saksama, satu-satunya
alasan kuberpikir begitu karena dalam dongeng biasanya ceritanya begitu..... ini
juga merupakan setting yang cukup
umum dalam novel ringan.
Malah, aku harusnya bersyukur karena di sini bahkan
ada makhluk humanoid yang bisa kuajak berbicara. Seandainya ini adalah dunia
yang hanya dipenuhi dengan slime, aku
pasti akan cukup depresi.
Namun.....
Tak begitu memikirkannya, aku pun menghela napas.
"Woah—hei,
hentikan! Apa kau mencoba membunuhku?!"
Nina melompat mundur cukup jauh sembari mengangkat
kedua tangannya untuk melindungi kepalanya.
"Oh,
maaf"
Kututup mulutku dengan terburu-buru.
Hal tersulit dalam menghabiskan waktu bersamanya
adalah napasku.
Tanpa memikirkannya pun api tetap keluar dari
mulutku, jadi kalau aku menghela napas seperti itu kemungkinan akan membakar
segalanya.
"Mungkin
aku harus mencoba berbicara dengan mereka.....?"
"Eh,
kau mau pergi? Orang-orang itu tak berbicara, dan juga cukup agresif"
Saat kumencoba tenang dan bergumam begitu, Nina
memperingatiku.
"Yah,
pasti begitu..... mungkin. Nina, tunggu di sini, ya?"
Berkata begitu dan melebarkan sayapku, aku pun
melompat ke langit.
Aku berada sekitar dua atau tiga kilometer dari gua
para manusia tersebut.
Aku belum terlalu percaya diri dalam merasakan jarak
atau waktu semenjak tubuhku berubah jadi begini, tapi bahkan tak sampai satu
menit buatku untuk bisa sampai di depan gua.
Seorang gadis kecil baru saja keluar dari pintu
masuk saat aku tiba, dan menengadah padaku sebelum berteriak dan terjatuh.
"Tenanghlah,
gadis kecil. Tenang, ya? Aku ini naga yang baik. Aku takkan memakan—"
[Musuh!]
Tombak-tombak pun menghujaniku dari berbagai arah
dan menghentikanku.
Begitu, ya. Dia memang benar saat menyebut mereka
agresif.
Kutatap mereka saat tombak-tombak mereka tepentalkan
oleh sisik-sisikku.
"Aku
tak memusuhi kalian. Bisakah kalian berhenti menyerangku?"
[Lari!]
Aku berbicara dengan begitu pelan, tapi salah satu
pria yang melontarkan tombak meneriakkan sesuatu. Para wanita pun melarikan
diri ke dalam gua sembari menyeret anak-anaknya.
Hmm, ini merepotkan.
"Aku.
Bukan. Musuh. Mengerti?"
Sebisa mungkin berbicara supaya tak mengeluarkan
napas, kugunakan ujung moncongku untuk mendorong tombak yang mereka lontarkan padaku
ke seberang mereka. Akan bagus kalau senadainya ini bisa membuat mereka paham
kalau aku ini bukanlah musuh.
Para pria saling memandang satu sama lain dengan
bingung, tapi dengan dipenuhi rasa takut, mereka tetap maju untuk mengambil
tombak-tombak mereka.
"Kalian
semua masih belum mempunyai bahasa, ya....."
Itulah yang kuyakini usai mengenalisa situasinya.
Mereka hanya menggunakan kata-kata pendek semacam perintah. Seperti serang itu dan lari. Mereka masih belum mempunyai bahasa yang bisa dipergunakan
untuk bertukar konsep yang lebih rumit.
Terlebih lagi, mereka menyerangku hanya dengan
melontarkan tombak batu. Setidaknya, mereka kelihatannya tak mempunyai orang
yang bisa menggunakan sihir seperti Elf.
"Maaf
karena membuat kalian semua takut"
Memahami kalau kita takkan mampu berkomunikasi, aku
pun sekali lagi terbang ke langit usai meninggalkan mereka dengan beberapa patah
kata.
***
"Bagaimana?"
"Percuma.
Mereka sama sekali tak bisa memahamiku"
"Sudah
kubilang begitu"
Melihatku yang menggelengkan kepala, entah kenapa
Nina tersenyum.
"Padahal
kupikir akhirnya aku bisa bertemu dengan manusia....."
"Hei,
jangan mengarahkannya padaku!"
Ah, aduh. Aku menghela napas lagi.
"Maaf.
Aku hanya bernapas biasa saja......"
"Kau
tak boleh membakar habis hutan hanya karena kecerobohan"
Ucap Nina dengan meletakkan tangan pada pinggulnya.
"Biarpun
kau tak bisa bertemu dengan mereka...... apa aku saja belum cukup"
Gumam Nina dengan cemberut.
Suaranya memelan hingga nyaris jadi bisikan, tapi
naga mempunyai pendengaran yang baik. Aku bisa mendengarnya dengan sangat
jelas.
"Yah,
rasanya seperti tidak akan mungkin kalau hanya bersamamu, Nina....."
Aku sungguh tak mempunyai rasa percaya diri saat
berkomunikasi dengan sekelompok primitif yang bahkan tak mempunyai bahasa. Akan
tetapi, saat kuberkata begitu meski sedikit merasa murung, suasana hati Nina
terlihat membaik.
"Matahari
sudah terbenam, kita sudahi dulu dan berisitirahat"
Berkata begitu dan mengulurkan lengannya, secara
spontan pohon pun menurunkan dahannya. Sihir Elf.
Nina menanggalkan bajunya dan melemparkannya ke
sebatang pohon sebelum berbaring di tempat tidur dari daun yang baru saja
dibuatnya.
"Sudah
kubilang itu tidak sopan"
Berbaring dan sama sekali tak tertutupi, kulit putih
terangnya mempesona mataku. Tubuhnya ideal meski masih muda, dia berada pada
usia yang menyusahkanku harus melihat ke arah mana.
"Dan
aku selalu bertanya : tidak sopan itu
apa?"
Seperti biasa, aku selalu bingung bagaimana
menjawabnya.
Bahasa yang digunakan Nina tak mempunyai konsep
ketidaksopanan. Maksduku, ras-nya bahkan tak mempunyai kata-kata malu. Arti
pakaian hanyalah untuk melindungi mereka dari kedinginan, jadi mereka sama
sekali tak merasa kalau telanjang itu adalah hal yang memalukan.
"Ayo,
cepat"
"Iya,
iya...."
Dia mengulurkan tanganya ke arahku dan memberi
isyarat padaku. Berusaha sebaik mungkin untuk tak melihat tubuhnya, aku menghampirinya
dan mengitari tempat tidurnya dengan melingkarkan tubuhku ke sekelilingnya.
Sebagai naga api, tubuhku hangat. Menurutnya, dengan
begini membuatnya sangat nyaman. Aku agak cemas karena mungkin saja aku
mengeluarkan desahan besar saat aku sedang tidur.
Namun, aku menyadari sesuatu saat mencoba bertemu
manusia-manusia itu.
Gaya hidup seorang Elf tak jauh berbeda dengan cara
hidup mereka. Aku bisa dengan mudah mengiranya karena mereka adalah makhluk ras
hutan, tapi biasanya mereka tak membangun rumah, hanya tidur dengan selimut
sederhana, dan hidup dari binatang-binatang, kacang-kacangan, dan buah
beri-berian. Kalau terdesak mereka juga akan berburu dan memakan apa saja. Kalau
begitu, bukankah mereka juga sama primitif-nya?
Tentunya, mereka masih bisa terus bertahan hidup
walaupun dengan gaya hidup seperti itu. Dengan kemampuan mereka untuk
memanipulasi pepohonan menggunakan sihir dan mendengarkan suara untuk menemukan
makanan, mereka mampu hidup selama hutan masih ada. Meski kurasa kalau itulah
yang benar-benar menghambat perkembangan budaya. Karena mampu hidup dengan
mudah, mereka tak perlu memajukan atau mengembangkan sesuatu yang baru. Kurasa
pada akhirnya mereka akan bisa dikalahkan oleh umat manusia dan hancur.
Itu juga berkalu padaku. Naga begitu kuat hingga bukan
merupakan makhluk yang normal. Kami tak punya masalah dengan berburu mangsa,
juga tak mempunyai predator alami. Kami mungkin berada dalam puncak rantai
makanan. Tapi mata pencaharian kami hanya didukung dengan berburu. Sama sekali
bukan sesuatu yang bisa disebut peradaban.
Aku bahkan ragu kalau peradaban itu sendiri ada di
dunia ini.
Ini adalah dunia yang masih berada dalam era
primitif.
Biarpun aku mempunyai pengetahuan mengenai dunia
yang sangat, sangat jauh di masa depan ketimbang dengan dunia yang satu ini,
semua itu sama sekali tak ada gunanya tanpa adanya dasar peradaban dan
infrastruktur yang bisa dimanfaatkan. Bahkan ras manusia saat ini hampir tak
bisa menggunakan kata-kata, apalagi bahasa..... jadinya menyampaikan
pengetahuanku pada orang lain lewat buku adalah hal yang mustahil.
Ini kesendirian yang mengerikan.
Tak ada yang mengetahuiku, dan mereka juga tak bisa
memahamiku. Kita bahkan tak mampu berkomunikasi.
Aku memang bisa berbicara dengan Nina, tapi dia
mempunyai pandangan asing terhadap apa yang baru saja dibicarakan dengannya,
yang membuatku tersadar kalau dia adalah makhluk yang begitu berbeda dariku.
Dengan demikian, aku pun akhirnya menyadari : tak
peduli misteri seperti apa yang ada, tak peduli seberapa luar biasanya penemuan
yang kutemukan, tak ada gunanya tanpa seseorang yang bisa kubagi.
Apa sekali lagi, aku takkan mampu memahami apa pun,
takkan meninggalkan apa pun..... dan menjalani hidupku dengan sia-sia?
—Seperti kehidupanku sebelumnya.
Saat kumencela diriku dengan kecewa, sebuah ide pun
terlintas dalam benakku layaknya mendapatkan wahyu.
"Akademi!"
"A-Ada
apa?!"
Karena kesenangan, tiba-tiba aku mengucapkan
kata-kata yang seharusnya tetap tersimpan dalam benakku, yang membuat Nina
melompat terkejut.
"Akademi, Nina. Aku akan membangun akademi!"
Tentunya, Elf tak mempunyai kata-kata akademi, tapi
aku memberitahukan apa yang kupikirkan.
Kalau tidak ada, tinggal buat saja.
Kalau tak ada tempat untuk mengajar orang lain, aku
hanya perlu membuatnya.
—Tempat di mana aku bisa mengajarkan semuanya.
Inilah awal dari cerita yang sangat, sangat
panjang—hingga sampai menjadi—cerita konyol.
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 03 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia