Chapter 07 – Asal Muasal Sihir
Saat Tuhan berkata, “Jadilah terang”,
dan di sana pun jadilah terang.
—Kitab Kejadian 1:3
"Bagaimana
cara kau melakukannya?!"
"A-Aku
tidak tahu."
Saat aku yang kegirangan
menggerakkan kepalaku ke atasnya Ai, dia menatapku dan tubuhnya membeku seakan
dia ketakutan.
"Hei,
tenanglah."
Tandukku tiba-tiba ditarik oleh
Nina, aku pun kembali tenang.
"Maaf.
Apa aku membuatmu takut?"
"Tidak......"
Ai menempatkan tangannya pada
jantungnya, seakan berusaha mencegahnya supaya tidak membeludak keluar dari
dadanya.
Sekalipun dia sudah terbiasa
denganku, aku benar-benar terlihat seperti naga yang mengerikan.
Tentunya dia akan bereaksi seperti
itu saat aku tiba-tiba mendekatinya.
Aku lupa soal hal itu karena aku
tak bisa melihat diriku sendiri, tapi aku harus berhati-hati.
"Tidak
apa-apa, mari kita jalani saja satu per satu, ya? Apa kau bisa
menghentikannya?"
"Ya."
Menuruti tanggapan Ai, daun yang
menari di lengannya pun berhenti bergerak.
"Bisa
kau melakukannya sekali lagi?"
"Eng....
apa ini, benar?"
"Hebat.......!"
Melihat daun yang mulai bergerak
lagi, aku pun mendesah kagum.
"Hei!
Bukannya sudah kubilang soal apimu itu?!"
"Aduh,
maaf."
"Ayolah!
Apa kau mau mencoba membakar rumah yang sudah susah payah kita buat ini?!"
"Tidak,
sungguh, maafkan aku."
Aku meminta maaf pada Nina, yang tengah
berdiri di sana dan memarahiku dengan tangan di pinggulnya.
"Tapi
Nina, ini merupakan langkah besar dalam sejarah sihir. Mana mungkin aku tak
bersemangat."
"Bicara
apa kamu ini? Bukannya aku juga bisa melakukannya?"
Mengangkat lengannya, suatu ranting
pohon pun masuk lewat jendela, sembari membuat suara gemeresik.
"Ai,
bisakah kau melakukannya juga?"
"Akan,
kucoba."
Mengerutkan alisnya saat dia
memusatkan perhatiannya, Ai melakukan gestur yang terlihat seperti sedang
berdoa. Dengan begitu, ranting yang Nina kendalikan ke dalam pun mulai bergerak
secara perlahan dengan canggung.
Seperti yang diduga, ada perbedaan
yang jelas antara Ai dan Nina yang lebih berpengalaman.
"Apa
kau bisa menjelaskannya padaku bagaimana cara kau melakukannya?"
Ai terlihat kesusahan saat aku
melontarkan pertanyaan tersebut padanya.
"Eng....
seperti ini......"
Usai menggerakkan tangannya seperti ingin
mempertunjukkan sesuatu, dia pun menjatuhkan bahunya.
"Aku
tidak bisa, bagaimana mengatakannya, ya....."
"Aku
juga tak bisa menjelaskan bagaimana cara melakukannya, jadi tidak usah
khawatir, ya?"
Mencoba menjelaskan sensasi di balik penggunaan
sihir serupa dengan menyeruh seseorang untuk menjelaskan bagaimana cara mereka
menggerakkan tangan mereka. Itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk
dimasukkan ke dalam kata-kata, dan merupakan sesuatu yang harus kau rasakan
dengan tubuhmu sendiri.
Kalaupun saat ini aku belum memahami bagaimana cara
penggunaannya, hanya dengan mengetahui bahwa hal itu bisa dilakukan dengan
mudah sudah merupakan langkah yang sangat penting dalam arah yang benar.
"Nah
Ai, sekarang bagaimana dengan yang satu ini?"
Aku mengangkat satu jari, dan dengan hati-hati
mengeluarkan api dari ujung jari.
Bukan dari mulutku, melainkan dari ujung jariku.
"Eh?
Kapan kau bisa melakukan itu?"
"Barusan."
Aku tiba-tiba kepikiran : kalau kemampuanku untuk
menghasilkan api adalah karena sihir, bukankah itu artinya tidak harus
dikeluarkan dari dalam tenggorokanku juga?
Tentunya, kalau itu bukan sihir dan aku hanya
terlahir dengan semacam kantung gas yang bisa kubakar dalam tubuhku kapan pun
aku mau, aku seharusnya tidak bisa melakukan hal semacam ini.
Biar begitu, dunia sihir ini benar-benar ajaib. Ini
sangat serupa dengan reaksi pembakaran di duniaku sebelumnya. Kalau begitu,
bukankah seharusnya aku bisa menghasilkan api dari tempat lain selain mulutku?
Berpikir demikian, aku pun memutuskan untuk
mencobanya. Ternyata jauh lebih kecil ketimbang saat aku mengeluarkannya dari
mulutku, tapi faktanya aku bisa mengeluarkan api dari jariku.
"Mmm~....."
Mengerutkan alisnya sekali lagi, Ai pun terus
menatap ujung jarinya.
Nina dan aku memperhatikannya dengan penuh minat
saat kami menanti-nantinya dengan menelan air ludah kami, tapi bahkan setelah
satu, lima, hingga sepuluh menit berlalu pun tak ada percikan api yang muncul.
"Maaf....."
"Tidak,
tidak, tidak. Tidak usah khawatir. Api dan pepohonan sangatlah berbeda, jadi
tidak mungkin bisa dilakukan sebegitu mudahnya."
Merosotkan bahunya, aku pun menghibur Ai dengan nada
selembut yang kubisa.
Sebenarnya aku ingin menepuk pundaknya, tapi
tanganku yang bercakar ini mungkin hanya akan membuatnya takut lagi. Punya
tubuh naga memang sulit.
"Hei,
yang satu itu apa?"
Tiba-tiba, Nina melontarkan pertanyaan padaku.
"Maksdumu,
yang mana?"
Matanya menatap pada lenganku.
"Itu,
yang api. Itu bagian darimu, jadi apa itu makhluk hidup? Atau apa itu
material?"
"Oh,
itu.... itu energi"
Bagaimana aku harus menjelaskannya, ya?
Memikirkannya, aku pun mencoba menjelaskan pada
mereka tanpa terlalu banyak memutarbalikkan fakta.
"Energi....."
"Ener, gi....."
Itu merupakan kata pinjaman dari bahasa Inggris,
mereka pun mengucapkan kembali kata tersebut.
Aku berpikir untuk tetap menggunakan bahasa Jepang
dengan menggunakan kata-kata seperti daya, kerja, atau tenaga, tapi akhirnya
aku menyerah usai menyadari bahwa cepat atau lambat akan menemui jalan buntu.
Mungkin aku akan mencoba mengajari mereka alfabet lainnya, tapi tak ada pilihan
lain selain melakukannya.
"Energi
bukanlah makhluk hidup ataupun material..... itu tak berbentuk, daya diperlukan
untuk melakukan suatu tindakan. Untuk contohnya....."
Aku meletakkan tanganku di bawah ketiaknya Nina, dan
dengan hati-hati mengangkatnya supaya cakarku tak menggoresnya.
"Apa
yang kupergunakan untuk mengangkat Nina barusan adalah dengan menggunakan daya....
dan dia turun kembali saat aku melepaskannya adalah karena tanah selalu
mempergunakan dayanya untuk menarik kita ke arahnya."
"Jangan
hanya langsung melakukannya dan menggunakanku sebagai penjelasan tanpa minta
izin..... meski aku sama sekali tak keberatan, sih."
Nina pun mengembungkan pipinya saat turun kembali
dengan tenang layaknya seekor kucing.
Aku sudah melihat dia melompat turun dari beberapa tempat
yang sangat tinggi, apa dia bisa melakukannya karena para Elf tinggal di
pepohonan, atau apa ada variasi lainnya dari sihir? Dia juga kelihatannya
menyukai tempat-tempat yang tinggi, dia bahkan tak kelihatan marah meski aku
menggunakannya sebagai bahan pengajaran.
"Daya.....
energi....."
"Untuk
api, energinya berupa cahaya dan panas. Itu menyala dan terasa panas, ya?
Keduanya itu merupakan bentuk dari energi, dan itulah apa yang kita sebut api
saat keduanya terjadi bersamaan?"
Aku sedikit kurang senang dengan penjelasan yang
kuberikan. Sekalipun yang kuajarkan ini kurang cukup sebagai penjelasan, Ai
memperhatikannya dengan penuh minat. Keahlian pembelajaranku adalah okultisme,
aku hanya mempelajari sains dasar-dasarnya saja. Aku tidak yakin bisa menjelaskannya
lebih jauh dari ini.
"Energi....."
Tapi untungnya, Ai tak melanjutkan topik pembicaraan
tersebut dan memejamkan matanya sembari menggumamkan kembali kata itu.
"Ai?
Apa yang kau....."
Itu terjadi saat aku menyadari sesuatu mengenai
tindakannya, dan menunduk ke arah wajahnya.
"Wow!"
"Gyaah!"
Nina dan aku pun serentak berteriak saat melihat api
yang berkedap-kedip dari telapak tangannya.
Rumah yang kami bangun cukup besar buat kutinggali,
bahkan dengan tubuh besarku yang tingginya sekitar 4 meter. Api tersebut cukup
besar hingga mencapai langit-langit rumah kami.
"Ai,
matikan! Cepat!"
"Eh,
b-ba-bagaimana—"
"Uhh,
seperti ini!"
Glomp.
Kami bertiga panik, dan aku pun bertindak secara
spontan untuk memadamkan api yang dibuat oleh Ai.
Karena tubuhku sangat tahan terhadap panas, jadi
setidaknya, kurasa api takkan menyebar kalau aku memasukkannya ke dalam
mulutku.
"Apa....
kau baik-baik saja?"
Tanya Nina dengan suara gemetaran.
Kelihatannya aku mampu memadamkan apinya, syukurlah.
"Aku
baik-baik saja.... atau lebih tepatnya......"
Apa maksudnya ini?
"Kau
tak kesakitan? Apa kau yakin tidak terluka?"
Aku penasaran, seberapa anehnya ekspresiku saat ini.
Setidaknya cukup aneh karena hanya dengan melihatku saja, Nina terlihat hampir
menangis. Saat kumelihat Ai, dia juga gemetaran dengan wajahnya yang pucat.
"Aku
sungguh baik-baik saja, kok. Tidak ada yang salah padaku, jadi tidak usah
khawatir."
Saat aku menempatkan ujung jariku dengan hati-hati
pada masing-masing bahu kedua gadis itu, mereka berdua pun menghela napas dan
kelihatan tenang kembali.
"Ai,
bisakah kau coba membuat api itu lagi?"
"T-Tapi....."
"Tidak
apa-apa. Aku akan memakannya lagi kalau ada masalah."
Melihat Ai yang mengangguk, kelihatannya aku
mengatakannya dengan nada yang lembut sehingga berhasil meyakinkannya bahwa itu
akan baik-baik saja.
Lalu, dia pun memejamkan matanya seperti sebelumnya,
dan memunculkan api di atas telapak tangannya.
Anehnya, itu adalah bola api yang begitu menarik
ketimbang yang sebelumnya. Aku penasaran, apa itu karena kali ini dia
berhati-hati?
".....
Jadi, bagaimana pun juga memang seperti itu, ya?"
Melihat apinya lagi, aku yakin akan hal itu.
"Nina,
coba sentuh apinya."
"Apa?!"
"Tidak
apa-apa. Itu tidak terlalu panas, kok."
Aku menempatkan kaki depanku ke dalam apinya Ai.
"Itu
karena kau naga api!"
"E-Eng....
tidak, panas. Sungguh."
Ucap Ai dengan terbata-bata. Dia orang yang mengeluarkan
api di atas telapak tangannya, jadi dia juga menyadari bahwa itu tidak panas.
"Lihat?....
bahkan dedaunan ini saja tidak terbakar."
Aku memotong-motong ranting yang sebelumnya Nina
gerakkan ke dalam, dan menempatkannya pada api. Api terus berkedap-kedip, namun
tak menyebar ke dedaunannya.
"....
Benar. Biarpun tidak.... dingin, ini hangat."
Nina yang terlihat penasaran pun dengan takut
menempatkan tangannya ke dalam api.
Tubuhku takkan terbakar oleh api, tapi bukan berarti
aku tak merasakan panas. Malah sebaliknya, rasanya aku bisa mengetahui seberapa
panasnya sesuatu atau lebih akurat ketimbang saat aku masih jadi manusia.
Seperti yang kubilang, api yang dibuat oleh Ai
sangat dingin. Sekitaran suhu air pada suhu kamar.
"Begitu,
ya. Sedikit-sedikit, aku mulai paham...."
Aku tak memberitahukan Ai sesuatu yang penting
sebelumnya saat aku menjelaskan apa itu api.
Itu adalah.... pembakaran.
Alasan kenapa aku tidak menjelaskannya adalah karena
aku tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk bisa menjelaskannya secara
sederhana, tapi alhasil, api yang dibuat oleh Ai hanyalah sebundelan cahaya dan
panas yang tak benar-benar terbakar.... singkatnya, itu berubah menjadi
[Sesuatu yang Hanya Terlihat Seperti Api].
Dengan kata lain, hal-hal yang ditimbulkan oleh
sihir sangat bergantung pada persepsi orang yang menciptakannya.
Jadi, maksudnya itu untuk mempersepsikan?
"Bisakah
kalian berdua menggerakkan pohon itu ke sana?"
Aku menunjuk pada pohon yang berbeda.
Meskipun mereka berdua memiringkan kepalanya karena
bingung, Ai dan Nina menggerakkan tangan mereka ke arah pohon tersebut—
Dan hanya ranting yang ditunjuk oleh tangan Nina lah
yang bergerak, membuktikan pemikiranku.
"Ai,
biar kuajarkan kau sesuatu yang lain."
Aku memikirkan bagaimana cara untuk mengatakannya. Nama
yang satu ini tidak ada dalam bahasa Jepang. Namun beruntungnya, kata itu ada
dalam bahasa Elf.
"Jenis
pohon ini disebut fuggi"
"Fuggi....."
Saat Ai mengucapkan kata itu, ranting yang
ditunjuknya pun bergemetar.
Ini adalah bukti bahwa, barusan, wawasannya
bertambah.
—Ya.
Sihir di dunia ini terdiri dari nama-nama.
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 07 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia