Chapter 17 – Bimbing Kami, Pahlawan ②
Setelah
beberapa jam berburu sehabis bergabung kembali dengan Mahara dan Minamoto, kami
pun berhasil mencapai lantai 20.
Bisa
dibilang sejauh ini berjalan dengan baik.
Para
demon yang kami temui adalah Wight
dan Wight Lancers.
Wight
adalah monster yang awalnya mayat yang berubah menjadi kerangka. Wight Lancers,
seperti namanya, Wights yang memegang tombak.
Biarpun
resistance yang mereka punya sedikit
lebih tinggi ketimbang monster-monster lainnya, bagian yang merepotkan dari
mereka adalah serangannya yang mempunyai efek tambahan racun. Bahkan suatu
goresan pun akan bisa mengalahkanmu.
Karena
itu akan membuatmu teracuni, kau harus meminum obat yang bisa menyembuhkannya.
Minamoto
terkena salah satu serangan tersebut, dan sekarang tengah diobati. Kelelahannya
sudah sampai tak bisa menghindari tombak tepat waktu, membuatnya terkena
serangan.
"Minamoto,
ini, tolong minumlah."
Hayase
memberikan Minamoto obat khusus yang dibuat untuk menangkal racun, Daun Yanu
rebus. Minamoto pun langsung mengambilnya, dan meminumnya.
Begitu
dia meminumnya, corak kulitnya pun langsung membaik dengan cepat. Nampak
seolah racun tersebut langsung dinetralkan.
Biarpun
begitu.
"Kau mengagumkan, Hayase."
"Benarkan?"
Orang
yang menanggapinya adalah Tamaki. Mahara yang berada di belakangnya, kelihatan
sangat tak puas.
Laki-laki
itu, serius deh.
"Hayase banyak membaca
dokumen-dokumen soal obat di isatana, jadi dia tak pernah salah dengan
dosisnya. Makanya, kita bisa tetap bertarung tanpa harus khawatir soal
gejala-gejala khusus."
Tamaki
melakukan pose dengan mengacungkan jarinya ke udara. Nampak seperti seseorang yang begitu bersemangat.
Tapi
Hayase kelihatannya lebih berharga dari yang kukira.
Perawatan
medis di dunia ini masih belum maju. Ada ramuan-ramuan untuk hal-hal seperti
pemulihan stamina dan mana, tapi ada banyak item yang masih
belum bisa mengobati gejala-gejala lainnya.
Kalau
menggunakan Daun Yanu sebagai contohnya, sekalipun efektif untuk mengobati
racun, daun tersebut akan mempunyai efek berbahaya pada tubuh kalau diminum
dalam dosis yang terlalu besar, dan malah menjadi racun untuk tubuh. Seperti
itulah risikonya.
Karena
itulah orang tak punya pilihan selain meminumnya pada saat itu juga.
"Oh? Hayase adalah orang yang
cukup penting untuk party ini."
"Te-Terima kasih banyak."
Hayase
yang mendapatkan pujian dariku terlihat malu. Atau mungkin karena memang dia
pemalu?
"Minamoto, apa sekarang kau
baik-baik saja."
"Ya, aku baik-baik saja."
Dia
berdiri dan bergerak untuk meregangkan tubuhnya dan memeriksa indranya, tapi
kelihatanya tidak ada yang aneh.
"Anda harus meminum ramuan ini
juga supaya aman. Ini, tangkap."
Kulemparkan
botol kecil mirip tabung reaksi yang berisikan ramuan pada Minamoto. Dia pun
menangkap dengan kedua tangannya.
"Kau adalah pengawal kami, jadi
jangan mengharapkan terima kasih."
Hanya
membalas begitu, Minamoto pun pergi.
"He-Hei! Hadeh..... Tamaki,
Hayase, ayo kita juga pergi. Kita tidak boleh membiarkannya pergi
sendirian."
"Baik!"
Hayase
pun berdiri, dan dengan cepat mulai mengemasi barang-barangnya. Tamaki kurang
menanggapinya karena dia ditarik oleh Mahara.
Dengan
begitu, formasi kami pun langsung berubah menjadi Minamoto di baris depan,
Mahara dan Tamaki di tengah, lalu Hayase dan aku mengikuti dari belakang.
Tetap
mengawasi Minamoto dalam jarak pandangku, aku tetap menjaga jarak di belakang
yang lainnya, dan berbicara dengan Hayase.
"Yuuji, mengapa kau menjadi
seorang petualang? Maksudku, para petualang ‘kan harus melawan monster....."
"Hmm, saya benar-benar tidak
pernah memikirkannya. Mungkin hanya karena orangtua saya juga seorang
petualang, jadi saya melakukannya juga."
"Ka-Kamu melakukan sesuatu yang
sangat menakutkan hanya karena alasan itu?!"
"Saya tak berbakat dalam berbagai
hal lainnya, jadi bukan seperti saya bisa berhenti. Selain itu, setelah
terbiasa rasanya tidak terlalu buruk juga...... Tunggu, Apa mungkin Anda takut?"
Tubuhnya
sedikit gemetaran saat dia menatapku seolah dia akan menangis.
Tepat
sasaran, ya. Malah, cukup mudah untuk diketahui.
".... Ya. Maksudku, aku tidak
mempunyai kemampuan apa pun untuk bertarung seperti kalian. Aku hanya mengikuti
yang lainnya. Dan aku merasa akan segera mati tiap kali kita diserang oleh
monster. Mati itu.... menakutkan."
Mati
menakutkan.
Semua
orang juga berpikir begitu.
Aku
juga begitu. Sekalipun aku masih bisa dihidupkan kembali, aku masih harus
merasakan rasa sakit, kesuraman aneh dalam pikiranku, dan wanita aneh dalam mimpiku.
Mungkin
juga ada batasan untuk kemampuan tersebut, jadi bukan berarti aku akan selalu
bisa dihidupkan kembali. Ada banyak hal yang masih belum bisa kupahami.
Tapi
takkan ada yang berubah kalau aku tetap takut. Aku mengetahuinya dari
pengalaman.
"A-Aku tahu itu bukan hal yang
bagus. Bagi seorang pahlawan sepertiku untuk menjadi begitu lemah...... maafkan
aku, tolong lupakan saja apa yang kukatakan barusan."
"Saya sama sekali tak berpikir
begitu."
Kuletakkan
tanganku ke atas kepalanya Hayase dan menepuknya.
"Yu-Yuuji?"
"Semuanya juga sama, memulai dari
awal. Hal-hal yang menakutkan memang menakutkan. Tidak adak yang bisa menahan
perasaan tersebut. Itu bukti bahwa kita hidup."
"..... Be—..... Benarkah?"
"Ya. Hayase, semuanya akan
baik-baik saja. Mulai sekarang, lakukanlah sebaik mungkin. Mungkin terdengar
murahan, tapi usaha Anda takkanlah sia-sia. Teruslah melangkah maju sesuai
dengan kecepatan Anda sendiri. Kalau Anda terus melakukannya, suatu saat nanti
Anda akan bisa menjadi seorang pahlawan yang hebat. Saya yakin."
"Yuuji......"
Dia
memikirkan sesuatu, mengusap matanya, dan menepuk jubahnya. Lalu dia mengangkat
kepalanya, perasaan yang dikeluarkan Hayase sama sekali berbeda dari Hayase
Fuuko yang sebelumnya.
"Terima kasih, sungguh. Rasanya
aku seperti punya keberanian sekarang."
"Itu hebat."
"Yuuji, ini semua berkatmu.
Jadi, eng....."
Gadis
itu mulai memainkan jari-jemarinya. Mengepalkan tangannya, lalu dia menepuk
pipinya untuk memberanikan diri dan meraih tanganku.
"U-Umm!"
"Hm? Ada apa?"
"Yuuji..... eng, apa kamu sudah
punya pacar?"
Apa
yang terlintas dalam benakku adalah Shuri dan senyumannya. Kupikir hubungan
kami seperti itu, tapi untuk mengatakannya rasanya memalukan karena seperti aku
ingin bersamanya saja.
"Belum."
Jadi
kujawab saja belum. Saat kuberkata begitu, wajah gadis itu bersemangat dengan
senyuman yang sangat tidak biasa baginya; senyumannya serupa dengan bunga
matahari yang mekar di musim panas.
"Ka-Kalau begitu.... saat aku
menjadi seorang pahlawan! Bi-Bisakah kita—"
"Kalian berdua cukup mesra, ya
di sana!!"
Usai
mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari genggamannya Mahara, Tamaki pun
memanfaatkan suasana kami.
Dia
berbicara dengan keras supaya niatnya untuk bergabung dalam percakapan kami bisa
sangat dimengerti.
"Ap-Ap-Apa—?! Tamaki, bicara
apa kamu ini?! Ini bukan seperti yang kau maksud! A-Aku hanya—!"
Hayase
sangat tersipu, menggoyangkan tangan di depan kepalanya untuk menyangkalnya.
.....
..... Oh.
Maaf,
tapi aku bukan protagonis bermuka tebal. Aku sudah paham, aku hanya memutuskan
untuk tidak menyadarinya.
"Jadi, menurutmu gimana, Yuuji?
Gimana rasanya punya gadis manis seperti itu yang tertarik padamu?"
Dia
mendesakku dengan sikunya. Ayolah.
"Aku sangat cemburu, Hayase.
Yuuji memperlakukanmu dengan sangat baik, aku juga ingin diperlakukan begitu
olehnya~"
Tamaki
mengambil lenganku dengan lengannya untuk menunjukkan apa yang dia maksud.
Ini
sama sekali tak membuatku senang.
Aku
paham apa yang direncanakannya, dia sama sekali tidak punya niatan baik
terhadapku. Dia bahkan tak membuat hatiku cenat-cenut.
Selain
itu, semuanya akan berakhir dengan sedikit bencana tertentu.
"...... Hei, pengawal."
Ah,
ini dia.
Waktunya
tepat. Sudah waktunya untuk melakukan itu.
Mari
manfaatkan emosi lelaki ini saat kita melakukannya.
"Menjauh dari Tamaki, itu
memuakkan."
Matanya
Mahara mulai jadi gelap. Apa ini yang dinamakan cinta membuatmu buta?
"Ya, baik. Saya mengerti."
"Kau cepat tanggap. Kalau
begitu cepatlah dan—"
"Anda ini memuakkan."
"Apa......?!"
Mahara
memelototiku seperti iblis. Aku yang dulu mungkin akan ketakutan, tapi setelah aku
melihat iblis sungguhan, sekarang aku sama sekali tak takut padanya.
"Coba pikirkanlah. Seperti apa Tamaki saat dia mendengarkan Anda bicara, dan bagaimana saat dia bersama
kami."
"Hah? Jelas dia lebih senang
saat denganku. Benarkan, Tamaki?"
"Ahaha, hah....."
Tamaki
tersenyum paksa dan memalingkan mukanya, menghindari matanya.
Memahami
maksudnya, wajah Mahara menjadi merah karena marah.
"..... Dasar bajingan!"
Kenapa
malah aku yang dimarahi?
Kurasa
dia mengira kalau aku mencuri Tamaki darinya. Pemahaman yang sangat tidak adil
dan egois.
Suasananya
jadi menegang.
Minamoto
yang kembali pun berteriak pada pertikaian kami yang membuntu.
"Hei! Aku menemukan tangga! Ada
Rumah Monster juga di sini!"
"""—?!"""
Rumah Monster.
Dari
semua kemungkinan yang terjadi, ini mungkin salah satu hal terburuk yang
didengar ketiga orang tersebut.
Masing-masing
dari mereka bereaksi dengan cara mereka tersendiri, tapi Mahara lah yang
pertama bereaksi.
"Lihat saja, Tamaki! Aku akan
mengalahkan si bajingan itu!"
"Eh—he-hei?!"
Maharan
pun lari, mengabaikan Tamaki yang memanggilnya.
Kurasa
dia putus asa untuk berlagak padanya. Baguslah dia sangat mudah dipahami.
Berkat itu, aku bahkan tak perlu melakukan apa pun.
"Kalian berdua tunggu! Saya
akan pergi menyelamatkan mereka!"
"A-Aku juga—"
"Tidak! Saya tidak akan bisa
melindungi Anda di dalam Rumah Monster dan mengeluarkan mereka. Selain itu,
Anda mempunyai tugas penting untuk mengobati luka mereka. Jadi, tunggulah di
sini."
"Tamaki, tetaplah di sini dan
lindungi Hayase. Kalian berdua seharusnya baik-baik saja jika tetap berada di
sini."
"Ba-Baik."
"Aku mengandalkanmu."
Mempertegaskan
tugas pentingnya, aku pergi menyusul mereka.
Akan
merepotkan kalau Tamaki dan Hayase mati. Aku belum mempekerjakan mereka sekeras
yang kubisa.
Saat
kumenambah kecepatan untuk menyusul mereka, aku melihat Minamoto dan Mahara
yang berhenti di depan pintu.
Pundak
Mahara naik turun, jadi kurasa dia juga baru sampai.
"Lihat pola ini? Kalau tidak
salah, ini sama seperti yang saat itu."
Apa
yang diucapkan Minamoto memang benar.
Itu
benar-benar formasi sihir yang sama dengan yang kita temui di Rumah Monster Rigal Den.
Itu
bukanlah sesuatu yang bisa dibentuk oleh siapa saja.
Tidak,
kecuali bila kau adalah penguasa dungeon,
yang itu.
"Apa yang harus kita lakukan?
Masuk ke dalam?"
"Tentu saja. Rumah Monster
tidaklah menakutkan jika sebelumnya kau sudah mengetahuinya."
Mahara
berdiri dengan sihirnya, dan mendengarkannya, Minamoto pun mengeluarkan
senjatanya.
"Hei, kau sebaiknya jangan ikut
campur. Bantu saja kalau menurutmu bahaya."
Mahara
memberikan peringatan.
"Tentu. Biarkan saya melihat
Anda kesulitan saat Anda berusaha dan berlagak pada Tamaki."
"Cih....! Minamoto, ayo
pergi!"
"Aku tahu, aku tahu. jangan memerintahku."
Dengan
begitu, keduanya pun menjadi kaku.
"Eh?"
"Hah?"
Apa
yang mereka lihat ialah sesuatu yang sangat berbeda dari yang mereka bayangkan.
Manusia
lemah terhadap perubahan mendadak dan kejadian tak terduga.
Ketidaksabaran,
ketidaktegasan, keraguan.
Hal-hal
tersebut mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan.
Jadi
dari belakang kudorong mereka ke dalam ruangan.
"Ah—"
"Ap—"
Dengan
begitu, mereka pun berada di dalam ruangan.
Berada
dalam jangkauan membunuh sang iblis merah.
Di
sana tak ada banyak monster.
Hanya
ada satu iblis.
"—Bunuh mereka, Leadred."
Si
iblis pun tersenyum jahat usai mendengar perintahku dan menjawab.
"—Dengan senang hati."
The Forsaken Hero - Volume 01 - Chapter 17 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
4 komentar
Tasdest :v
ReplyBadas!!
ReplyMantap lanjutttt,
ReplyBtw thanks min
bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh,bunuh!
Reply