Monday, April 16, 2018

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 06 Bahasa Indonesia



Chapter 06 – Murid Pertamanya





Satu langkah kecil bagi manusia,

satu lompatan besar bagi umat manusia.

—Neil Amstrong.



            "Selamat datang, kembali. Mentor."

Ai berlari menghampiriku saat aku mendarat di pintu masuk hutan dengan wajah penuh senyumnya.

            "Aku pulang. Tapi Ai, kau seharusnya tidak boleh meninggalkan hutan."

            "Tapi kau tidak bilang bahwa dia tidak boleh menyambutmu. Selain itu, dia juga baru sampai, jadi tidak apa-apa."

Keluh Nina yang muncul dari belakang Ai.

Dunia ini dipenuhi dengan berbagai binatang berbahaya.

Biarpun tidak ada banyak binatang buas seperti Beruang Berzirah, masih ada banyak binatang yang bisa membahyakan seorang gadis kecil seperti Ai, baik itu di hutan ataupun di padang rerumputan di luar hutan.

Selama ada Nina, mereka bisa bertahan dari bahaya kalau berada di dalam hutan, tapi aku khawatir saat mereka berada di perbatasan hutan seperti sekarang ini. Tapi biarpun aku khawatir—

            "Mentor.... apa aku, berbuat salah.....?"

            "Tidak, kau berbuat baik, kok. Terima kasih sudah datang menyambutku."

Aku pun memaafkannya karena tak kuasa untuk memarahinya setelah melihat Ai yang begitu sedih.

..... yang mana membuat wajahnya tersenyum cerah saat dia memeluk moncongku.

            "Apa ini yang disebut...... [Kasih Sayang Orang Bodoh]?"

Nina mendengus saat dia menertawakanku.

Aku hanya mengatakan istilah itu satu kali..... kerja bagus bisa mengingatnya.

Apa yang dia ucapkan dan kuajarkan pada Ai bukanlah bahasa Elf, melainkan bahasa Jepang.

Aku sedikit kesusahan untuk mengajarkan bahasa apa pada Ai.

Kalau aku mengajarkannya bahasa Jepang, aku mesti mengajarkannya juga pada Nina.

Tapi kuputuskan untuk mengajarinya bahasa Jepang, meskipun sudah memperhitungkan kerugiannya.

Maksudku, karena ada perbedaan yang begitu besar dalam jumlah kosakata antara bahasa Elf dan bahasa Jepang.

Bahasa Elf mengungkapkan sesuatu dengan cara yang sederhana dan sangat membatasi persoalan-persoalan yang rumit.

Contohnya, tidak ada kata yang bermakna [Kata]. Bahkan, tidak ada bahasa lainnya. Tidak mempunyai kata [Sihir]  atau [Akademi], dan bahkan tidak ada kata-kata [Elf] dan [Manusia].

Aku tidak akan bisa menjalankan akademi dengan banyaknya keterbatasan tersebut.

Aku baru saja mengganti kata-kata dalam bahasa Jepang ke dalam bahasa Elf untuk kata-kata yang tidak ada dalam bahasa Elf, tapi rasanya akan lebih cepat kalau dia mempelajari bahasa Jepang itu sendiri.

Maka dari itu, aku pun mengajarkan mereka berdua bahasa Jepang. Mereka masih sedikit gelagapan saat berbicara, tapi mereka sudah sampai bisa melakukan percakapan sehari-hari tanpa kesusahan. Itu tidak terjadi dalam beberapa hari sebagaimana aku mempelajari bahasa Jepang, tapi setelah beberapa bulan semenjak aku mulai mengajarinya. Mengejutkannya, mereka berdua ternyata pembelajar yang cepat.

            "Nina. Mentor, bukan orang bodoh."

Ai yang marah mulai mengembungkan pipinya.

Gadis yang menggigil ketakutan saat melihatku, kini sudah begitu dekat denganku beberapa bulan terakhir ini.

            "Tidak, maksudku dia itu sangat hebat dalam hal itu."

Sementara itu, Nina sama seperti biasanya.

Namun, rasanya dia juga seperti semakin dekat denganku.

            "Apa maksudmu, hal itu?"

            "Sudahlah kalian berdua, berhenti berselisih. Bagaimana kalau kita makan siang?"

Berkata begitu, aku pun menggenggam keranjang ikan yang kubawa dengan kaki depanku.

Sekalipun kaki depan naga begitu tangkas, tapi tidak bisa sampai menenun keranjang.

Keranjang itu dibuat oleh Nina.

            "Mari kita pulang ke rumah."

Ya, rumah. Era di mana kita hidup dengan dahan pohon sebagai atap sudah lama berakhir.

Tidak begitu menarik, tapi kami mempunyai rumah.

Letaknya tidak jauh dari pintu masuk hutan, dan dikerumuni oleh beberapa pepohonan yang letaknya sporadis.

Kami membuat rumahnya dari kayu, jadinya sederhana, tapi kokoh. Bahkan saat kumasuki rumahnya pun tidak rusak.

Yah, biarpun rumahnya cukup besar hingga aku mampu bergerak di dalamnya tanpa merasa terganggu, mungkin cepat atau lambat aku takkan bisa muat lagi, mengingat ukuran ibu yang terus tumbuh, dan aku yang sudah lebih besar ketimbang kuda.

Tapi bukan hanya itu saja. Sekalipun rumahnya terbuat dari kayu, kami mempunyai furnitur juga.

Nina mengeluarkan pot tanpa glasir, sementara Ai menyiapkan piring-piringnya di atas meja.

Sungguh pemandangan yang beradab.

Ini lompatan kemajuan yang luar biasa ketimbang saat kami makan daging panggang rusa di luar.

            "Nah, pangganglah. "

            "Ya."

Kutiupkan sedikit api kecil pada ikan yang sudah ditusukkan pada penusuk. Pada awalnya, aku sudah cukup sering membuat dagingnya terbakar, dan bahkan nyaris membakar rumah kami saat itu, tapi sekarang aku sudah terbiasa.

Ikannya pun terpanggang dalam sekejap mata, dan aromanya menyebar ke seluruh rumah.

Selesainya dipanggang, Nina mulai menaburkan sedikit garam yang diambilnya dari pot ke semua ikannya.

            "Nah, kalau begitu,"

            "Yah."

            "Ya."

            """Selamat makan!"""

Suara kami saling tumpang tindih.

Mengambil setusuk ikan dengan ujung jari-jari kakiku dan menempatkannya di lidahku, aku melemparkannya ke mulutku dan memakannya sekaligus. Rasa umami-nya yang tak tertahankan menyebar ke seluruh mulutku saat minyak dan garamnya tercampur bersama.

            "Enaknya!"

            "Hei! Hati-hati!"

            "Aduh, maaf."

Teriak Nina saat melihatku yang tak sengaja mengeluarkan api pada mulut.

Aku sudah hampir bisa mengendalikan apinya, tapi terkadang masih keluar saat aku bersemangat.

            "Itu artinya ikan yang kau garami begitu enak hingga apiku juga menginginkannya."




            "Heh, sungguh tak bertanggung jawab."

Nina mengembungkan pipinya.

Melihat kami seperti itu, Ai cekikikan.

            "Ngomong-ngomong, Ai. Apa ada yang menyusahkanmu dalam kehidupan sehari-hari?"

            "Menyu..... sahkan....?"

Aduh, aku belum mengajarkannya kata itu, ya?

            "Maaf, maksudku—apa ada sesuatu yang merepotkan atau sulit kau lakukan?"

Bagaimana pun juga, dia hidup terpisah dari orangtuanya meski masih sangat muda.

Setidaknya, pasti ada satu atau dua hal yang menyulitkannya.

            "Tidak, tidak ada."

Tapi biar begitu, dia hanya menggelengkan kepalanya.

            "Mentor, aku, eng......"

Dia mulai mencoba mengucapkan sesuatu, tapi mungkin dia masih belum mempunyai kosakata untuk mengucapkan apa yang ingin dikatakannya.

            "Eng, eng....."

Dia terus berusaha mencari kata-kata untuk diucapkan.

            "Aku mengerti. Beri tahu saja aku kalau ada yang menyulitkanmu, ya?"

            "Ya!"

Ai pun mengangguk dengan gembira. Sungguh anak yang baik.

Tapi karena itulah aku harus lebih berhati-hati.

            "Oh iya, bagaimana dengan latihan sihirmu?"

Kutanyai Ai pertanyaan lain saat aku memakan beberapa buah yang Nina dapatkan untuk makanan penutup setelah kami selesai makan.

            "Maaf.... aku masih, tidak bisa menggunakannya."

            "Tidak apa-apa, tidak usah mencemaskannya."

MelihatAi yang putus asa, aku pun dengan cepat menghiburnya.

Bahkan aku sendiri pun tak bisa berbuat apa pun selain bernapas api dan sedikit mengapung.

Hidup ini sendiri berjalan dengan mulus, namun penelitianku mengenai sihir belum ada kemajuan sama sekali.

            "Bukannya bernapas api dan terbang di langit adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan olehmu?"

Apa yang Nina katakan membuatku kehilangan kata-kata.

Memang benar, aku tak memikirkan kemungkinan itu.

Aku sudah menguji berbagai hal, tapi tak ada yang membuahkan hasil.

            "Tidak apa-apa, aku akan berjuang."

Ucap Ai dengan berani.

Selain membuatku merasa bersykur, itu juga membuatku sedikit kecewa.

Tapi tetap saja, yang hanya bisa kulakukan untuk manusia di dunia adalah mengajarkan mereka mengenai sihir.

Aku yang hidup di era ilmiah mempunyai bagian sepesialis tingkat tinggi dalam standar ketenaga kerjaannya. Sangat sedikit orang yang benar-benar memahami bagaimana keseluruhan kerjanya suatu hal. Mungkin tak ada seorang pun yang bisa mereproduksi sesuatu tanpa harus mempunyai semua material dan infrastruktur yang diperlukan.

Sekalipun aku berhasil membuat rumah dari kayu, aku tak tahu bagaimana caranya menggunakan tungku untuk meleburkan logam, atau bagaimana caranya menjernihkan minyak, atau bagaimana caranya merancang sirkuit elektronik, atau juga bagaimana caranya membuat komputer kuantum.

Akan tetapi, saat memikirkan sihir......

Saat memikirkan sihir, siapa di dunia ini yang mengetahuinya lebih baik dari aku?

Kutipan Arthur C. Clarke, seorang penulis fiksi ilmiah abad ke 20 yang terkenal :

"Setiap teknologi yang cukup maju tidak bisa dibedakan dari sihir."

Andai itu benar, sihir pun seharusnya tidak bisa dibedakan dari teknologi yang cukup canggih juga.

Faktanya, sihir yang menyebabkan tubuh besar nan kuatku ini mengapung tidak bisa dibedakan dari teknik levitiasi kuantum yang belakangan ini dikembangkan di kehidupanku sebelumnya.

Sekalipun aku bisa menggunakan sihir untuk melakukannya, bahkan seseorang sepertiku harusnya bisa mengembangkan peradaban.

            "Tidak bisakah Ai melakukan apa yang bisa kulakukan? Bagaimana pun juga, dia kelihatan sama sepertiku."

Sehelai tumbuhan menjalar masuk lewat jendela dan melilit jari yang diangkat Nina.

            "Mungkin.... tapi kurasa menciptakan api seharusnya lebih mudah ketimbang memanipulasi tumbuhan."

Selain itu, permasalahannya adalah Nina yang nyaris tak bisa menjelaskan sama sekali perasaan yang dimilikinya saat menggunakan sihir.

            "Apa itu tumbuhan?"

Keduanya terjerumus dalam masalah lain saat mereka berdua memiringkan kepalanya ke samping.

            "Pepohonan, rerumputan, bebungaan. Yang semacam itu."

Tapi, mereka malah lebih memiringkan kepalanya lagi saat aku menjawabnya.

            "Hah? Kenapa kau menyebut hal yang berbeda dengan nama yang sama?"

Untuk sesaat, pertanyaan Nina mengejutkanku. Dia masih belum memahami konsep istilah umum.

            "Itu agar memudahkan. Kami menamai hal-hal yang mempunyai karakteristik atau penampilan yang serupa dengan istilah yang mencakup semuanya. Contohnya, hal-hal yang bisa bergerak dan berpikir seperti kita semua ini disebut makhluk hidup. Rusa dan ikan termasuk makhluk hidup juga. Benda seperti batu atau air bukan makhluk hidup, melainkan material."

            "Hmm......"

Nina memahamiku, tapi Ai kelihatannya masih berusaha memahami apa yang kumaksud dengan ekspresi serius di wajahnya.

            "Itu artinya apa yang kugerakkan bukanlah tumbuh-tumbuhan. Aku tak bisa menggerakkan [Pepohonan yang Menggugurkan Daun Musim Dingin Mereka] dan [Ranting yang Sudah Dipotong]."

Kedua hal yang disebutkan Nina adalah nama-nama jenis pepohonan dan kayu dalam bahasa Elf.

Ada banyak cara untuk mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan flora dalam bahasa Elf, dan masing-masingnya mempunyai perbedaan yang kecil.

Serupa dengan bagaimana bahasa Jepang mempunyai beberapa cara untuk mendefinisikan hujan.

            "Begitukah? Itu artinya kau hanya bisa menggerakkan pepohonan yang masih hidup?"

            "Hidup? Pepohonan, juga hidup?"

            "Tentu saja tidak."

Nina menjawab pertanyaan sederhana Ai, tapi aku menganggukkan kepalaku.

            "Pepohonan dan tumbuh-tumbuhan juga adalah jenis makhluk hidup yang berbeda. Bukan berarti pepohonan mati saat mereka menggugurkan daunnya untuk musim dingin.... rasanya lebih seperti mereka sedang tidur."

            "Hidup, semua.... tumbuh-tumbuhan....."

Ai mencari kata-kata yang kukatakan saat dia mengulangi perkataan itu sendiri.

            "Tapi kenapa kau tak bisa menggerakkan rerumputan yang tumbuh dari tanah?"

            "Itu karena mereka tak mempunyai benda itu—tulang."

Nina berkata layaknya itu adalah pengetahuan umum saat dia duduk di sana sembari memakan apel.

Tulang..... yah, rasanya aku sedikit memahami apa yang dikatakannya.

            "Meski kurasa pepohonan juga tak mempunyai tulang....?"

            "Lalu benda apa yang tersisa saat kau membakarnya?"

            "Arang."

            "Eng... Mentor?"

Itu terjadi saat kami saling tanya-jawab.

            "Apa ini...... benar?"

Pada tangkupan tangan Ai ada daun yang bergerak ke sana-kemari.


⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 06 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh