Chapter
15 – Murka
Jangan membuat
marah orang yang biasanya baik.
Apalagi jikalau mereka
adalah naga.
Kala itu, aku
sama sekali tidak tahu
apa yang sudah
kusebabkan.
—Sang Leluhur Swordsaint,
Drag.
Apa? Tidak, mana mungkin.
Apa yang sudahku, tidak—
Banyak penyesalan dan pemikiran membingungkan
yang berputar-putar dalam benakku.
"Ken.
Beritahu aku apa yang terjadi."
Aku bertanya pada semua orang yang
melihatnya.
"Siapa
yang melakukannya?"
Akan kusesali saja nanti.
"Pria, sangat besar.... kuat, berambut merah."
"Jadi,
dia ya."
Itu pasti Darg.
Dia membuatku mabuk, dan memanfaatkan
kesempatan tersebut untuk menculik mereka.
Kalau memang begitu.
Kalau memang begitu, sejak awal memang
itulah niat dia mengundangku ke desanya.
Biarpun aku mabuk, aku masih ingat
semua yang terjadi. Aku belum pernah memberitahu dia cara untuk sampai ke desa
kami.
Yang berarti, dia menyuruh para pengikutnya
untuk mengikuti Guy dan yang lainnya, mendapatkan informasi soal desa dariku,
dan datang ke sini saat tengah malam atau pagi tadi.
Mestinya aku masih punya waktu.
Dengan terburu-buru, aku pun
terbang ke langit.
"Yang
melindungi seluruh tubuhku dan yang berkilau merah di bawah sinar mentari. Wahai
sisikku, jadilah telingaku dan izinkanlah kumendengar, jadilah mulutku dan
pancarkanlah suaraku!"
Aku mendadak menyusun mantera
selagi melesat di udara dengan segenap kekuatanku.
Itu adalah sihir yang akan bisa
membuatku menggunakan sisik yang kutinggalkan di rumahnya Darg untuk mengirimkan pesan padanya.
Hal-hal yang awalnya merupakan
bagian dari kesatuan, dan sudah dipisahkan menjadi sesuatu yang lain, masihlah
tetap terhubung—itu merupakan cara berpikir yang teramat magis.
Jadi, bukankah hal yang serupa juga
mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan sihir di dunia ini?
Aku gagal saat kali pertama
mencobanya. Aku sudah mengisi sihir dengan perasaan yang tak terlalu berharap
meski akan sangat bagus kalau saat itu berhasil, tapi kali ini aku benar-benar
berdoa supaya berhasil.
[Lepaskan aku, dasar biadab!]
Aku pun merasa lega sesaat
mendengar suruhan kasarnya Nina. Mendengar dia yang seperti itu, kurasa dia
belum mengalami sesuatu yang mengerikan.
[Dasar gadis yang berisik. Yang telinga
panjang ini membosankan. Seharusnya hanya bawa yang satu ini saja.....]
[Lepaskan Ai!]
[Whoops.]
Bersamaan dengan suara ayunan
pedang di udara, aku pun mendengar sesuatu yang terpotong.
[Sayang sekali, kau tidak akan bisa
berbuat apa-apa padaku dengan teknik yang kaku begitu.]
Nampaknya, apa yang terpotong itu
ialah tanaman yang dimanipulasi Nina.
Kupikir jantungku akan berhenti.
[Menyebalkan. Tadinya kupikir aku akan
menghadiahkanmu ke salah satu anak buahku, tapi aku akan membunuhmu kalau kau
terus mengoceh.]
[Coba saja!]
Jawabnya dengan gayung bersambut.
Aku tak boleh membiarkan itu
terjadi!
[Hentikan!]
Keriuhan pun terhenti sesaat aku
meninggikan suaraku.
[Di mana kau?!]
[Si kadal bajingan, eh?]
"Mentor!"
Setelahnya, ketiga suara pun saling
bertumpang tindih. Syukurlah, Ai juga kedengarannya baik-baik saja.
[Apa kau yakin? Coba saja kau lukai
salah satu dari mereka. Akan kubakar habis desamu.]
[Hah.]
Darg mencemooh ancamanku.
[Sombong sekali buat seseorang yang
selama ini takut padaku.]
Dia tahu akan rasa takutku padanya.
[Ya. Aku ini memang pengecut.]
Akan tetapi.
[Karena itulah aku sangat pengecut
kalau soal kehilangan. Jadi, akan kutakakan sekali lagi. Apa kau yakin? Aku bisa
dengan mudah menghujani semuanya dengan api selagi tetap menjauh dari jangkauan
kekuatanmu.]
Aku ini tak semuda itu hingga akan
bisa terintimidasi oleh seseorang yang usianya saja bahkan belum seperempat dari
usiaku!
Bahkan Darg sekali pun terdiam
mendengar ancaman hinaku.
Sementara itu, aku mengepakkan
sayapku dan bergegas menuju desanya Darg.
"Mentor!"
Begitu aku mendarat di desanya
Darg, ia pun menahan punggung Ai dan Nina saat mereka mencoba lari padaku.
Mereka berdua diikat dengan tali,
tapi kelihatannya tidak terluka. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengalami
sesuatu yang mengerikan hingga membuatku merasa lega untuk sesaat.
Kami berbicara dalam Bahasa Elf,
jadinya Ai mungkin tak bisa memahami situasinya dengan baik. Dia melihat ke
sekitar dengan gelisah. Sementara itu, tampang Nina terlihat seperti lebih
mengkhawatirkanku. Bisa dibilang bahwa ia seperti akan berbuat sesuatu, tapi
aku akan sangat senang kalau dia berhenti bertindak kelewatan meskipun sedang
diikat seperti itu.
[Kembalikan mereka.]
[Tentu.]
Ucap Darg selagi menggenggam pedang
yang terbuat dari bongkahan batu yang serupa dengan sebelumnya.
[Tapi kau mesti mengalahkanku
dulu.]
[Kenapa aku mesti menurutimu?]
[Aku akan menepati janjiku. Sekarang
giliranmu untuk melakukan apa yang kukatakan.]
Aku khawatir karena aku tak yakin
bisa mengalahkannya dalam pertarungan jarak dekat.
Pedang Darg saja bisa dengan
mudahnya mengoyak leher Behemoth itu. Aku cukup yakin kalau pedangnya juga bisa
menembus sisikku.
Aku juga tidak bisa terbang ke
langit. Dia bisa memanfaatkan waktu tersebut untuk melompat, dan dengan cepat
menangkapku.
Dengan kata lain, mau tidak mau aku
mesti melawannya.
[Kau sendirilah yang seenaknya
menculik mereka.]
[Terus?]
Bagaimana nih? Apa yang mesti kulakukan?
Pikirku dengan panik sembari
melakukan percakapan.
[Berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan keinginan orang lain adalah tindakan yang buruk. Ini adalah kesalahanmu,
jadi kau harus mengembalikan mereka.]
[Haah?]
Tampang Darg terlihat seperti
tengah menghadapi orang bodoh.
Sekalipun aku sendiri yang
mengatakannya, apa yang barusan kukatakan itu memang bodoh.
Di dunia dan era ini, kewajiban dan
etika tidak berguna dan tak mempunyai pengaruh.
[Bicara apa kau ini? Aku mengambil
mereka, jadi mereka adalah punyaku. Kenapa juga aku harus mengembalikannya.]
Kata-katanya memang benar.
[Yah, tak masalah. Aku akan
mengambalikan yang satu ini.]
Ucapnya selagi sedikit mendorong
Nina ke depan.
[Sebagai gantinya buat yang satu
ini. Bagaimana?]
.... Lalu Ai pun ditarik lebih
dekat.
Apa boleh buat. Tak ada yang bisa
kulakukan.
Kuyakinkan diriku sendiri.
[...... Aku paham.]
[Apa?! Bicara apa kau ini?!]
Nina mulai gaduh saat aku
menyetujuinya.
[Maaf, Nina.]
Aku menghela napas saat menatap
matanya, dan membungkukkan kepalaku dalam-dalam.
Nina pun dengan enggan menundukkan
kepalanya.
[Lepaskan ini.]
Darg pun memotong tali yang
mengikat Nina.
[Kalau begitu, gadis ini milikku,
ya?]
[Tentu saja....]
Ucapku.
[..... Tidak.]
[Hah. Kalau begitu, bertarung?]
Seperti biasa, Darg mengacungkan
pedangnya.
Karena dia tahu aku takut pada
pedangnya.
[Ya, kita akan melakukannya.]
[Apa?]
Melihatku mengangguk, Darg yang
curiga pun mengerutkan alisnya.
[Kita akan memulainya dengan
isyarat dariku, setuju?]
[Isyarat?]
Tak menjawab pertanyaanku, aku pun
tetap berdiri di sana dan mulai melantunkan mantera.
"Yang
lebih merah ketimbang sisikku, yang jauh lebih kuat ketimbang taringku, yang menyimpan
lebih banyak panas ketimbang darahku, dan yang bersinar lebih kuat ketimbang
mataku—"
[Oi, sudah kubilang, isyaratnya apa?]
Apa boleh buat. Tak ada yang bisa
kulakukan.
"Tombak
yang menghanguskan segalanya, pedang yang membinasakan segalanya, panah yang
menusuk segalanya, dan palu yang menghancurkan segalanya—"
[Sedang menggumamkan apa kau di
sana?]
Darg tidak memahaminya.
Bahasa Jepang juga mempunyai konsep
pelantunan mantera.
"Bundelah
dirimu, angin kencang dan melubangi ciptaan, ciptakanlah kilatan cahaya yang
menyilaukan—"
Sungguh. Setiap masing-masing dari
mereka.
Berkali-kali, mereka terus memperlakukan
Ai sebagai benda.
Tak peduli seberapa normal atau biasanya itu bagi dunia dan era ini, kerasionalanku ini juga ada
batasnya.
Karenanya, aku sudah tak tahan
lagi.... memang mesti begini.
Ya, apa yang meyakinkan soal diriku
sendiri.
Ai bukanlah objek.
Dia adalah murid—
"Nama
engkau ialah—"
Pertamaku yang berharga.
"NAPAS NAGA!"
Suatu kilatan cahaya meletus dari
dalam tenggorokanku.
"Haah———"
[Hah............]
Usai semuanya mereda, Darg dan aku pun
saling menatap satu sama lain.
"Ha
ha......"
[Ha, hah, hah.]
Kami berdua mulai tertawa.
"Hahahahaha!"
[Hahahahahahahahahaha!]
Kami tak bisa berbuat apa pun
selain tertawa.
"In-Ini
bukan sesuatu yang patut ditertawakan!"
Menduga aku akan menghembuskan api
dari gesturku, Nina menyambar Ai dan berlari ke samping untuk menghindarinya. Ini
adalah hasil dari dirinya yang berulang kali mematikan desahanku.
Kilatan itu.... napas berkekuatan
penuhku menghancurkan pedang Darg menjadi beberapa potongan, menghempaskan rumah
di belakangnya menjadi abu, yang berlanjut ke hutan di belakangnya dengan mengukir
suatu lubang silinder, lalu pada akhirnya menguakkan lubang ventilasi yang elok
jauh di balik sisi gunung itu.
Itu adalah sesuatu yang hanya bisa
kau tertawakan.
[Selanjutnya.... Itu, akan
kuarahkan padamu.]
Darg pun langsung jatuh berlutut
usai mendengar ancamanku.
Hajimari no Mahoutsukai - Volume 01 - Chapter 15 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia