Chapter 29 – Ia yang Dihidupkan
Kembali dari Kematian ⑦
*** Sudut Pandang Katsuragi Daichi
***
"Bagaimana.... Bagaimana bisa?!
Bagaimana bisa kau hidup?!"
"..... Diam kau, mayat palsu
bangsat."
Kueratkan
cengkramanku pada kepalanya, dan terdengar suara kusam dari patahnya tulang.
"Aaaaah!!"
"Sudah kubilang, diam."
Semasih
memegangi wajahnya, kubantingkan dia ke lantai.
"Gahah.....?!"
Fantra
kesulitan bernapas saat dadanya menghatam tanah. Menyadari dia yang menempatkan
jari tengah pada ibu jarinya, kelihatannya dia masih berniat melawan.
Jadi
kuinjak saja jari-jarinya.
Fantra
pun tak bisa berteriak dengan sewajarnya.
"Kau tak membutuhkan
jari-jarimu lagi, ‘kan?"
Berkata
begitu, kupatahkan jari-jari di tangan kanannya satu per satu. Untuk tangan
kirinya, kutarik dengan cukup jauh mereka ke belakang buku jarinya, hingga
tulang-tulangnya bisa kelihatan menembus kulitnya.
"Uaaaaah?!"
Aku
bahkan tak bisa memahami apa yang ingin diucapkannya lagi. Kalau dia kira aku
akan mengakhirinya, maka dia salah besar.
Saat
kusadar, aku melihat betapa kacaunya Shuri, Tamaki yang roboh, dan Leadred yang
terkekang.
Aku
masih harus membalaskan bagian mereka juga.
Kuletakkan
tanganku pada pertunya Fantra selagi dia berguling-guling, dilanda oleh rasa
sakit.
"Wind Cut."
Pisau
angin mencabik tubuhnya dengan tanpa ampun.
"He-Hentikan...."
Aku
berhasil membuat dia mengemis akan nyawanya. Tentunya, aku tak berhenti.
Baru
akan kubunuh usai kusiksa sepuas-puasnya hingga dia lebih memilih mati.
"Earth Chains."
Rantai-rantai
yang muncul dari tanah merenggut tangan dan kakinya Fantra, dan menarik jauhnya
antar satu sama lain. Setelahnya, paku-paku pun muncul pada rantai tersebut.
Dan
tentu saja, paku-paku tersebut menusuk dagingnya saat itu dieratkan.
"—Aah?!"
"Kau ini kebanyakan teriak.
Jangan-jangan kau tidak membutuhkan mulutmu juga? Rasanya aku bisa melepaskan
hidungmu juga selagi aku melakukannya?"
"——?!"
"Wind Slice."
Pisau
angin kecil yang dipadatkan mengiris hidungnya, dan dengan tanpa suara memotong
itu dari wajahnya.
"——?!"
Dia
menjerit tanpa suara.
Saat
itu, Fantra nyaris tak bisa bernapas.
Mulutnya
mulai berbusa saat dia mulai meronta-ronta. Matanya mulai mengosong, nampak seperti
akan pingsan.
"Water Ball."
Kuguyur
tubuhnya dengan air, supaya dia takkan mendapatkan kenyamanan karena kehilangan
kesadaran. Air merembes ke dalam luka-lukanya, Fantra mencoba meronta-ronta
lagi.
Akan
tetapi, dia tak mampu bergerak. Dia juga tak bisa melepaskan diri dari rasa
sakit yang dirasakannya.
Yang
bisa dia lakukan hanyalah menahannya.
".... Aku masih belum selesai,
kau masih harus merasakan apa yang Shuri dan Leadred juga rasakan. Jadi selanjutnya
mari kita akhiri saja, aku tak punya waktu untuk bermain-main denganmu
lagi."
".........."
Fantra
tak mampu mengatakan apa pun lagi.
Bercak-bercak
darah menutupi kulitnya, pada wajahnya terpampang ekspresi seseorang yang
tengah memandang kematiannya.
Aku
yang yakin bahwa Fantra sudah tak mempunyai keinginan untuk hidup, memanggil
orang yang paling pantas mendapatkan kehormatan, orang yang kini tengah mencoba
berdiri dan menepuk debu-debu yang ada pada dirinya.
"Tamaki!"
"Ap-Apa? Oh, jadi
ujung-ujungnya itu hanya sekedar akting saja, ya? Aku berbakat dalam hal
itu!"
"Ya, kau pasti bisa jadi
seorang aktris."
Saat
kuikuti ucapan riangnya dan bergurau balik dengan rasa syukur atas apa yang diperbuatnya,
dia menatapku dengan ragu.
".... Apa kau ini beneran
Katsuragi? Katsuragi yang aku tahu kagak bakalan tersenyum seperti itu."
"Jangan buat aku menyakitimu,
Tameng."
"Yep, kau beneran
Katsuragi."
Tamaki
tertawa layaknya anak bandel yang behasil menjahili.
Hukuman
apa yang mesti aku.... tidak, sekarang bukan waktunya untuk melakukan itu.
Untuk saat ini, kita fokus saja pada orang ini.
Tapi
pertama-tama ada sesuatu yang harus kulakukan.
"Tamaki. Kau saja yang
melakukan serangan penghabisannya."
Tamaki
pun kelihatan bingung usai mendengarku yang berkata begitu.
"Eh, kenapa? Kenapa bukan kau?
Semua kristal-nya juga sudah digunakan, dia takkan bisa menghidupkan kembali
dirinya lagi....?"
Seperti
yang diucapkan Tamaki, kristal-kristal yang berkilauan di sekitar ruangan sudah
kehilangan cahayanya.
"Bodoh. Meski tanpa menggunakan
mana krisltal-nya, dia selalu bisa
menggunakan kekuatan miliknya sendiri. Bukan berarti aku mempercayainya saat
dia berkata itu semua juga dari kristal-kristalnya."
"Oh, benar juga."
Tamaki
yang tersadar pun menepukkan tangannya.
"Huh? Kalau ‘gitu, dia bakalan
hidup kembali kalau kita membunuhnya...."
"Kalau soal itu, tidak usah
khawatir. Aku sudah membicarakannya dengan seseorang."
"Membicarakannya? Sama
siapa?"
"Seseorang yang tercinta."
Bukan
orang yang kucintai, tapi orang ini.
Tamaki
yang bingung hanya memiringkan kepalanya, tapi aku hanya bisa berkata sebatas
itu, setidaknya selama Fantra masih bisa mendengar kami.
"Selain itu, kaulah pemeran
utama hari ini. Kau memang hebat, Tamaki. Kau harus membunuhnya."
"Ya sudahlah kalau kau ‘maksa,
rasanya aku takkan menahan diri. Aku hanya harus melakukannya."
Tamaki
mengangkat bahunya seolah-olah dia tak punya pilihan, tapi saat itu juga dia
menyeringai.
"Triple Guard."
Tamaki
membuat lembaran-lembaran es di atas Fantra yang tengah berada diambang
kematian.
"Crush!!"
Mengulurkan
tangannya hingga ke ujung jarinya, lalu mengayunkannya dalam sebuah lengkungan.
Tameng
seputih salju pun menghancurkan eksistensinya.
The Forsaken Hero - Volume 01 - Chapter 29 Bahasa Indonesia
4/
5
Oleh
Lumia
1 komentar:
mansap min...
Replybantai teruss...