Sunday, August 5, 2018

Chiyu Mahou no Machigatta Tsukaikata Volume 01 Chapter 11 Bahasa Indonesia


Chapter 11


Usai menyatakan untuk menundukkan ular itu ke Blue Grizzly, aku menghabiskan sepanjang waktuku dengan membuat tombak di atas pohon. Hari sudah malam; aku menggunakan pisau untuk meraut ujung dahan yang tebal.

Aku enggak tahu apa senjata buatan seadanya ini bakalan ampuh atau enggak.

Akan tetapi, aku enggak tahu cara membuat perangkap apa pun. Hanya pisau dan tinjuku inilah senjata lain yang kupunya. Makanya, setidaknya aku ingin satu senjata lagi.

            "Dengan ini, beres dah."

Aku cuman meruncingkan ujung dahannya saja, tapi itu lumayan tajam.

Aku bersandar pada batang pohon... ini cara biasaku tidur tanpa terjatuh.

Aku sudah biasa tidur di tempat yang keras begini, tapi tetap saja, aku masih ingin tempat yang empuk.

            "Aku ingin tahu Kazuki dan Inukami-senpai lagi ngapain, ya...."

            "Kyu?"

            "Haha, ujung-ujungnya kau mengikutiku terus."

Aku mengelus kepala si kelinci dengan pelan saat ia melihat ke arahku.

Sungguh kelinci yang aneh. Eksistensinya sebagai makhluk hidup adalah sebuah misteri.

Kalau dipikir-pikir, aku berhasil bertahan hidup juga berkat si kelinci ini.

            "Besok, kau mungkin akan terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, tapi.... mohon bantuannya."

Si kelinci pun mengangguk setuju.

Merasa puas dengan tanggapan yang ia berikan, aku menyandarkan punggungku ke pohon dan menutup kelopak mataku.

Itu semua enggak bakalan berhasil kalau aku enggak mengistirahatkan tubuhku dengan benar untuk pertempuran nanti.

***

Esoknya, aku menggunakan radar si kelinci untuk mencari ular itu.

Aku meninggalkan barang-barangku yang lainnya, dan hanya membawa pisau dan tombak saja.

Aku juga enggak lupa untuk membasuh tubuhku, sehingga enggak perlu lagi khawatir soal bauku.

Persiapanku sudah beres, sekarang tinggal menemukan ular itu saja.

            "Kyu?!"

            "Ada apa?!"

Tubuh si kelinci mulai gemetar.

Kuarahkan tombakku ke arah yang ditunjukkan selagi aku mulai keringetan. Sembari waspada, aku maju ke arah semak-semak.

            "Kedengarannya seperti sedang ada pertempuran?"

Terdengar sebuah suara.

Itu adalah suara yang amat keras dan sengit, serupa dengan suara robohnya pohon.

Pelan-pelan kusibakkan semak-semak, dan mengintip untuk melihat sisi lain. Sasaranku berada di sana, sosok yang serupa Tsuchinoko itu.

Aku tak bisa menahan napasku karena ada makhluk lainnya yang kukenali berada di dekat ular itu. Ia adalah anak Blue Grizzly yang kemarin.

            "Si anak beruang itu....!"

            "Kyu!"

Anak beruang itu dipenuhi dengan luka di sekujur tubuhnya, tapi belum mati. Mungkin hanya karena anak beruang, ia sudah kelihatan mencapai batas lelahnya karena ia masih tetap tak bergerak.

‘Gimana nih? Haruskah aku pergi ke sana begitu saja? Atau haruskah aku menunggu hingga ular itu menunjukkan celah?

Pilihan terakhir mungkinlah yang terbaik, tapi itu.....

            "Kayaknya kurang bagus, deh."

            "?"

            "Kau harus turun."

Kubiarkan si kelinci turun ke tanah, dan menggenggam tombak dengan kedua tanganku.

Aku sudah membulatkan tekadku, tapi tentu saja bukan karena aku menerima kematianku begitu saja.... ini adalah kebulatan tekad untuk menundukkan ular yang menindas yang lemah dengan tombakku.

            "Ayo pergi!!"

Dibandingkan dengan Rose, intimidasi sebesar ini mah kagak ada apa-apanya.

Aku sudah mengenali rasa takut dari si wanita iblis dan berdarah dingin itu.....

            "Aku enggak takut sama yang kayak gini mah!"

            "Gu?!"

            "......?!"

Pasangan itu pun terkejut mendengar suara kerasku.

Meninggalkan si anak beruang, kelihatannya ular itu ragu apa harus mengincarku atau si anak beruang itu duluan. Akan tetapi, sisik-sisiknya yang berfungsi seperti zirah itu pasti enggak bakalan bisa ditembus dengan tombakku.

Kalau memang begitu, selanjutnya apa yang harus kulakukan? Itu sudah jelas, aku hanya harus mengincar bagian rentannya saja.

            "Raa!!"

Maju dengan segenap tenanga, ular itu pun menghampiriku. Dilihat dari dekat, ternyata mulutnya jauh lebih besar dari yang kukira. Kalau kena gigit sekali saja, pasti bakal langsung mati.

Nn? Di hadapanku mulai semakin gelap....

            "Shaaaaaaa!"

            "Uwaa?!"

Di hadapanku, terdengar suara hantaman saat aku melihat si ular yang menutup mulut besarnya.

Kalau aku tak melangkah mundur, aku bakalan mati sekarang, oi....!

Akan tetapi, aku sudah menunggu momen ini. Aku pun menggenggam tombak di tangan kananku dengan genggaman terbalik dan menusukkannya sembari berteriak.

            "Makan nih ular bahlul!!"

Mengatakan kata-kata yang enggak seperti diriku, aku menusukkan tombak ke dalam mata kanan ular itu.

Aku akan terus menusukkannya seperti ini hingga aku benar-benar menembusnya! Saat aku berpikir begitu, tanganku terdorong mundur—

            "Kishaaaaaaaaaaa!"

            "Nna?! Gah."

Seketika itu juga, tubuhku menerima benturan yang amat hebat dan aku pun terhempaskan.

Saat kesadaranku hampir hilang, secara spontan aku menggunakan sihir penyembuhan. Lukanya mulai sembuh, dan aku bisa tetap sadar.

Aku terhempaskan ke pohon dan tubuhku merosot ke tanah. Lalu, aku memastikan sosok ular itu. Tombak itu tertancap pada mata kanannya, dan ekornya bergoyang.

            "Gu..... jadi itu ekornya, ya...."

            "Fushururururururu....."

Aku ini memang bodoh. Jelas-jelas ular ini bakal kepikiran buat menggunakan ekornya.

Tapi aku bisa pulih berkat sihir penyembuhan.

Setengah dari penglihatan ular itu mestinya sudah hilang sekarang. Sebagai gantinya, aku juga menerima serangan darinya, tapi luka segini mah cuma masalah sepele buatku.

Aku kembali berdiri saat lukaku benar-benar sembuh, dan langsung menghunuskan pisau dari pinggangku.

            "Apa cuma itu saja kemampuanmu? Itu enggak mempan sama sekali!"

Aku akan mengincar sisi kanannya, yang merupakan titik butanya.

Saat kuberlari ke sebelah kanannya, ular itu juga merayap ke arahku.

Kalau lawan hanya mengandalkan kekuatan saja, akan mudah untuk menghindarinya. Sesuai perkiraanku, ia mendekatiku dari sisi sebelah kirinya.

Akan tetapi, ia mendadak berhenti, lalu berbalik ke arah kepalaku.

            "—?!"

Untuk sesaat, bisa dibilang bahwa ia mengejekku dengan memiringkan mulutnya.

Melihat senyuman itu, aku sadar sudah benar-benar jatuh ke dalam perangkapnya. Ia menggunakan lukanya untuk memancingku.

Ia memang cerdas.

Kupikir ia hanya sekedar ular yang mengandalkan instingnya, dan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan berbagai hal. Akan tetapi, ular ini jelas beda.

Ia mampu memikirkan tindakannya dengan cermat, pemikirannya juga amat kejam dan mengerikan. Ia hanya memikirkan pembantaian.

Ular ini.... ia merasa senang dengan menyiksa yang lain.

Membuka mulut besarnya, kali ini ia mencaplok bahu kiriku.

            "Gwu, guaaaaaaaaaa?!"

Aku berteriak saat ia menekannya.

Pada saat ini, aku mendorongkan sesuatu dengan tangan kiriku. Namun anehnya, ular itu tak mencoba menggigit tanganku. Mata bundar ular itu terlihat tenang, dan seperti tahu apa yang terjadi.

            "~~~~!"

            "Hee."

Tentu saja, apa yang kudorongkan dengan tangan kiriku adalah pisau. Itu ditusukkan ke bagian rahang atasnya, yang tak terlindungi oleh sisiknya.

            "Haa.... Haa.... Haa... Ku...."

Bahuku terasa sakit.... Tapi aku sudah terbiasa dengan rasa sakit.

Dengan paksa kutempatkan kekuatan pada tangan kananku dan menahan bahu kiriku.

            "Gi, mana mungkin aku akan kalah seperti ini....!"

            "Shu, shururururu."

Satu-satunya perbedaan kami hanyalah jumlah kekuatan yang kami miliki.

Bahkan aku saja, sedatangnya ke dunia ini, sudah berlatih di neraka. Setidaknya, aku percaya dengan kekuatanku sendiri.

..... Aaaaaaaah, bagaimanapun juga itu tidak mungkin! Punya dua tangan lebih baik ketimbang hanya memiliki tangan kanan saja. Kalau ini terus belanjut, tangan kiriku benar-benar akan terpisah dariku selamanya.

Aku sudah mulai tak bisa merasakan lengan kiriku. Aku terus-terusan menggunakan sihir penyembuhan, tapi tak ada yang bisa kuperbuat dengan darah yang terus mengalir keluar.

            "Nn?.... ta... ngan kiri? Aku mengerti sekarang.....!"

Pisau yang kutusukkan ke dalam mulut ular itu masih tertusuk di sana, dan aku memutarnya.

Pasti rasa sakit itu membuat si ular melonggarkan cengkramannya pada bahu kiriku.

            "Sekarang!"

Pada momen tersebut, aku membuka paksa mulutnya dan menarik tangan kiriku.

Saat tanganku ternodai dengan darah dan air liur ular itu, aku melangkah mundur. Ular itu kesakitan karena benda yang berada di mulutnya.

Ini kesempatan yang bagus unutk menyerangnya, tapi sayangnya pisauku masih nyangkut di dalam mulutnya. Dengan begini, aku kehilangan senjataku.

Tapi masih ada harapan.

            ".... Aku harus mengincar sisi kanannya, ‘kan?"

Sasaranku adalah bagian tinggi dari ular itu.

Aku enggak boleh memberikannya waktu untuk memulihkan diri.

Berpikir begitu, aku pun mencoba lari dengan cepat, tapi—

Saat kumelangkah maju, kakiku enggak ada tenaganya lagi.

            "Ku, pandanganku....."

Pandanganku amat bergoyang dan yang parahnya lagi, anggota tubuhku dengan cepat kehilangan tenaganya.

Aku langsung menggunakan sihir penyembuhan. Aku tak bisa mengangkat tangan kiriku, seharusnya tak membutuhkan waktu yang lama hingga benar-benar pulih.

Kalau itu masalahnya, hanya ada satu kemungkinan lain.

            "Racun, ya."

Punya tubuh besar dan racun, benar-benar curang.

Tapi, ini mungkin kesempatan terakhirku. Aku enggak boleh nyerah hanya karena racun.

Untuk menghilangkan racun, aku mengerahkan semua daya sihirku dan menyelimuti seluruh tubuhku layaknya suatu lapisan.

Kalau racun itu melukai tubuhku dari dalam, aku hanya tinggal terus menyembuhkan lukanya saja. Sembari merasakan sakit di sekujur tubuhku, aku menendang tanah dengan kakiku dan berlari menuju ular itu.

            "Guuoooooooooooooooooooooooooooooooo!!"

Sembari berteriak dengan keras, ular itu menyadari keberadaanku dan mengayunkan ekornya ke arahku.

Aku tak bisa menghindarinya, tapi enggak masalah. Kalau aku terpukul, aku hanya perlu menyembuhkan diriku lagi.

Pada saat aku akan terkena serangan langsung, segumpalan biru menerobos ke hadapanku.

            "Guruu—!!"

            "Kau...."

Sembari menangkap ekor dan berteriak kesakitan, sepintas Blue Grizzly menatapku.

Apa kau datang untuk menyelamatkanku?

Selagi aku menatap langsung ke matanya Blue Grizzly, ia berpaling tanpa suara untuk menghadapi ular itu.

Kepala ular berada di posisi yang enggak bisa kujangkau. Karena aku enggak bisa menjangkaunya dari tanah, aku hanya bisa menaiki tubuhnya.

Saat aku menaikinya, ular itu mencoba melepaskanku dengan kasar, tapi aku tetap berpegangan, apa pun yang terjadi aku enggak boleh sampai melepaskannya.

Akhirnya aku pun menjangkau kepalanya, kucengkramkan tangan kananku pada tombak yang masih menusuk jauh ke dalam mata kanannya.

            "Dengan ini, berakhir sudah!"

Mengerahkan kekuatan ke tangan kananku, aku mendorong tombaknya.

Dengan berbuat begitu, ular itu pun semakin menggoyangkan kepalanya lagi untuk melepaskanku. Sekali lagi, aku memusatkan lebih banyak kekuatan ke tangan kananku untuk menusuknya, dan tiba-tiba pergerakkannya terhenti. Dengan suara buk, ia jatuh ke tanah.

Terlempar ke tanah bersamaan dengan ular itu, aku sepintas melirik ke arah ular sembari berbaring.

            "Ha, hahaha..... aku berhasil....."

            "Guruu....."

Anak beruang Blue Grizzly yang dipenuhi luka mendekat ke sebelahku.

Kupikir ia datang untuk memakanku, tapi sepertinya bukan karena ia enggak bertindak memusuhi.

Ia duduk di sebelahku, dan menatap wajahku. Lalu dia berteriak dengan keras, mirip dengan gonggongan.

            "Kau..... senang musuhmu sudah disingkirkan, ya?"

            "....... Gwu."

Apa yang akan terjadi pada anak beruang ini mulai sekarang, apa ia bakalan bisa tetap tinggal di hutan ini?

Tidak, itu sama sekali bukan hal yang mesti dicemaskan. Ia mampu menghadapi ular ini secara langsung, kalau punya keberanian sebanyak ini, ia pantas untuk menjadi bos hutan ini.

            "Kishaa..... shaaa....."

Akan tetapi, kelegaanku pun sirna oleh satu teriakan yang pastinya enggak ingin kudengar.

            "!...... Ini bohong, ‘kan?"

Ular itu perlahan bangun.

Sungguh menyedihkan untuk dilihat, tapi aku bisa melihat kebencian yang teramat kuat di dalam matanya saat mengarahkannya ke arahku.

            "......Gu..... Gururu....."

            "Hentikan, lari dan kaburlah."

Anak beruang itu menggigit pakaianku dan mencoba menyeretku

Padahal abaikan saja aku dan kabur saja sendiri.....!

Selagi merasa enggak berguna karena enggak bisa menggerakkan tubuhku sendiri, aku pun meneteskan air mata. Apa bakalan berakhir seperti ini.....!

Kazuki, Inukami-senpai, Baginda Raja, Seria-sama, Tong, dan juga... Rose.

Itu benar, ini semua salahnya Rose. Kau akan memaafkanku kalau aku menyampaikan kebencianku di saat-saat terakhirku ini, ‘kan?

            "Sialan, dasar kau iblis—! Wanita paruh baya—! Wanita kasar—! Ogreee—!!"

            "Sha..... aaaa!!"

            "Saat aku mati, aku pasti akan menghantuimu—!!"

Ular itu menghampiri kami dengan mulut besarnya yang terbuka.

Aku sudah puas, hatiku juga sudah terasa tenteram. Aku sudah bebas, aku akan terus mengutuk Rose di neraka.

Akan tetapi, aku enggak mau anak beruang ini juga terlibat.

Akan bagus kalau hanya aku saja yang mati.

            "Tak apa, sudah tinggalkan saja aku—"

Saat kukatakan pada anak beruang itu untuk menjauh dariku, ‘sesuatu’ jatuh dari langit dan menindih ular itu saat hendak menggigit.

            "Eh?"

            "Dasar. Kau ini memang tak berguna.... menerima kematianmu seperti ini......"

Menggesek-gesekkan kepala ular dengan kakinya, adalah seorang wanita berambut hijau. Di bahunya, ada kelinci hitam yang tak asing lagi.

Melihat ini, si anak beruang dan aku pun tercengang.

Tapi setelah beberapa detik kemudian, aku memahami situasinya dan seluruh tubuhku mulai gemetar.

Bukan karena aku sangat senang karena diselamatkan, melainkan takut akan wanita di hadapanku.

            "Yoo, Usato. Kau melakukannya dengan baik."

            "Ro, Rose-sama.....!"




Bahkan tanpa memikirkannya sekali pun, aku menambahkan ‘sama’ pada Maharani di hadapanku.


Aku tak bisa mencegahnya.

Sementara aku gemetar ketakutan karena Rose, si kelinci hitam yang dielus dengan pelan tersenyum.

            "Tidak, tidak, kalau bukan karena si kecil ini, aku takkan datang dan akan berakhir buruk."

            "Kelinci itu....."

            "An, kelinci? Bicara apa kau ini? Ini bukan kelinci, ini hewan peliharaanku, Kukuru. Dia ini monster dan selalu mengawasimu terus."

            "Eeh......"

Seketikah itulah hewan yang membantuku digantikan sebagai monster.

Rose menendang ular itu dengan kakinya seolah-olah dia membencinya dan berkata.

            "Tidak, itu hanya untuk jaga-jaga apabila kau keluar dari hutan. Meski, aku juga tak menyangka monster dari invasi terakhir yang seharusnya sudah dibunuh oleh Sigris kabur ke hutan ini. Yah, aku sudah mengamati dan melihat ia bisa menarik keluar kemampuan maksimalmu."

            "Invasi? Pasukan Raja Iblis?"

Ini orang, dia mengawasiku saat aku dikejar ular itu, ya.... aku sudah tak punya apa pun lagi untuk dikatakan.

Aku sudah terbiasa dengan si iblis ini.

            "Itu benar, tapi aku tak menyangka Grand Grizzly akan terbunuh. Ular itu benar-benar memakan sesuatu yang enak. Bagaimanapun juga, Grand Grizzly adalah bos hutan ini."

            "Ha?! Kalau begitu, dari awal kau merencanakan pertarungan monster-monster di hutan ini?!"

Sungguh iblis! Tak menghargai nyawa orang lain!

            "Tidak, itu salah. Akan ada penerus untuk mewarisinya."

            "Penerus?!"

            "Biasanya bos takkan terbunuh, dan kau juga harus menantang yang lain untuk terus menaikkan tingkatanmu sebelum kau bisa melawan Grand Grizzly. Aku berencana membuatmu melakukannya pada hari ketujuh, tapi...."

            "Kau merencanakan itu, tapi.....?"

            "Mengejutkannya, apa yang kau lakukan itu menarik. Makanya, kubiarkan saja terus seperti itu."

Eeh.... jadi tindakanku untuk bertahan hidup sendirilah yang sebenarnya sudah hampir membuatku mati?

Rose mendekatiku saat aku merasa sedih. Sudah enggak ada apa pun lagi yang penting.

            "Gururu!"

Anak berung Blue Grizzly menyela di antara Rose dan aku.

            "Nn? Si kecil ini, anak beruang Blue Grizzly? Kau sudah jadi dekat dengan si kecil ini?"

            "Eh, begitukah?"

Paling tidak, rasanya aku sudah membentuk ikatan dengan anak beruang ini.

            "Biar begitu, kau benar-benar mirip denganku. Oi, kau."

Anak beruang itu gemetar saar Rose memanggilnya.

Memang hebat, bahkan binatang sekali pun akan ketakutan pada orang kuat seperti Rose.

            "Bawa penerus ini bersamamu."

            "Ha? Bicara apa kau ini?! Apa tidak apa-apa membiarkan monster berada di dalam kerajaan?!"

            "Aku akan mengizinkannya, aku akan mengizinkanmu. Selain itu, kupikir sudah saatnya Kukuru kembali ke sisiku. Ditambah lagi, dari awal seharusnya tak ada masalah."

Sungguh tak masuk akal, memangnya anak beruang ini mau mengikutiku..... Nn? Mengapa kau mengangkat tubuhku, anak beruang?

            "Gu."

            "Eh~~ kelihatannya kau tertarik? Apa enggak apa meninggalkan hutan tempat di mana orangtuamu melahirkanmu?"

Mungkin bisa memahami arti di balik kata-kataku, anak beruang itu memberi tanggapan dengan mengayunkan tubuhnya. Rasanya seolah-olah ia melakukannya untuk balas budi.

Aku tak sengaja menghela napas. Ada satu hal lagi yang menggangguku, dan aku menanyakannya pada Rose.

            "Kelinci itu..... kenapa sebelumnya ia terluka?"

            "Aah? Itu untuk menurunkan kewaspadaanmu, itu adalah tindakan yang ia lakukan padamu untuk tujuan tersebut."

            "Kyu."

Si kelinci yang penuh percaya diri membusungkan dadanya dengan bangga.

Hatiku terasa seperti diirisi melihat si kelinci yang penuh percaya diri. Selain itu, aku juga sekarang tahu alasan ia mampu memahami kata-kataku. Semuanya berada di telapak tangan Rose selama ini.... aku ingin nangis.

            "Nah, kalau begitu."

Tiba-tiba, Rose mengangkat anak beruang itu bersamaan denganku selagi aku masih di atasnya. Aku sudah tak mau berurusan dengan ini lagi, orang ini menakutkan. Saat aku menangis, Rose menatapku dengan tersenyum, tapi aku juga bisa melihat pembuluh darah yang muncul di dahinya—

            "Oh iya, kau membicarakan sesuatu soal aku, ‘kan? Apa ya itu? Iblis? Wanita paruh baya? Wanita kasar? Ogre? Umurku ini masih 25 tahun, lo? Sekembalinya nanti, aku harap kau mempersiapkan dirimu, oke?"

Tepat saat aku mulai memahaminya, ancaman dan musuh terbesarku bukanlah ular itu.....

            "Ka-Kalau dibulatkan, bukankah umurmu jadi 30 tahun?"

            "..... Kurasa kau takkan tidur malam ini."

....... Inilah sisi menakutkan dari pemimpin yang terpercaya.



⟵Back         Main          Next⟶

Related Posts

Chiyu Mahou no Machigatta Tsukaikata Volume 01 Chapter 11 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh

1 komentar:

August 12, 2018 at 12:52 PM delete

Sip mantap min makasih buat ngeTL

Reply
avatar