Saturday, April 6, 2019

Chiyu Mahou no Machigatta Tsukaikata Volume 01 Chapter 16 Bahasa Indonesia



Chapter 16


            Beberapa hari telah berlalu sebertemunya dengan Kak Inukami.

            Aku pun sudah terbiasa lari sambil gendong Bluerin, dan penggunaan daya sihirku juga telah menurun.

            Aku heran, apakah perkembanganku ini terbilang pesat. Namun, Rose bilang, "Jalanmu masih panjang."

            Perkataan tersebut membuatku bertanya-tanya, Rose itu bisa muji enggak.

            Yah, bukan berarti aku ingin dipuji juga, sih.

            Seperti biasa, hari ini pun aku menjalani menu latihanku. Namun, kali ini sedikit berbeda karena Rose ada urusan pribadi di kastel, sehingga latihan hari ini hanya diikuti seorang manusia dan seekor binatang saja.

            Menu latihannya sendiri masih sama; joging berkeliling sambil menggendong Bluerin. Karena aku sudah terbiasa menggendong Bluerin, aku jadi enggak sampai terlalu membenci latihannya tapi… yang membuatku kesal, bukannya beruang pemalas ini kerjanya hanya tidur di punggungku macam batang kayu saja? Aku benar-benar cemas tapi….

            Itulah yang kupikirkan dan kembali ke penginapan karena latihan pagi sudah beres.

            Perutku keroncongan, sehingga kupikir sudah saatnya untuk makan siang.

            Aku memindahkan dulu Bluerin ke kandang dan masuk ke ruang makan penginapan—

            "… Eng? Oh, Usato, ya?"

            "Lagi cari makan siang, ya?"

            "Oh, ternyata Mill dan Gomul."

            Di ruang makan penginapan ada dua seniorku, yakni Mill dan Gomul.

            Meski kubilang seniorku, sama seperti Tong, enggak perlu manggil mereka dengan sopan.

            Mereka juga begitu; sopan-santun enggak cocok buat orang-orang macam mereka.

            "Oi, oi, ini bocah masih belagu aja, ya, Gomul?"

            "Bener, dah."

            Orang yang pendek nan montok adalah Mill, sedangkan orang yang tubuhnya kekar dan agak tinggian dariku adalah Gomul. Keduanya punya tampang menakutkan, macam si Tong.

            Apalagi kalau dilihat berdampingan, mereka tambah kelihatan seram dan seperti orang-orang jahat.

            Selain penampilannya, kepribadian mereka berdua sebenarnya enggak jelek-jelek amat.

            "Aku ke sini juga mau makan tapi… asal tau saja, enggak ada apa-apa."

            Dari apa yang dikatakannya, kelihatannya enggak ada makanan.

            Yah, aku sendiri enggak keberatan, sih. Aku bisa makan buah-buahan saja.

            Bagaimanapun juga, aku sudah pernah hidup 10 hari di hutan tanpa jatah apa pun. Mungkin karena pengalaman tersebut, kini aku lebih peduli pada makanan yang mudah didapat dan bergizi… rasa mah nomor dua.

Kelihatannya selera makananku menjadi serasa mirip orang gunung sekali pun aku ini masih siswa SMA.

            "Oi, tunggu dulu, Usato. Kebetulan nih, makan saja masakanku. Kau pasti suka."

            "Masakanmu?"

            Iya juga sih, ada bau enak yang tercium tapi… memangnya Mill bisa masak?

            Selagi aku masih ragu, entah kenapa, Gomul angkat bicara dengan penuh keyakinan.

            "Enggak disangka banget, masakan orang ini enak, lo."

            "Hei, apa yang kau maksud enggak disangka banget? Begini-begini juga, masakan ini hasil jerih payahku usai mencoba berulang kali. Yang lain juga sudah memakannya."

            "Yah, kalau kau sampai bilang segitunya… aku coba, deh."

            Padahal sampai sekarang Alek lah yang ditugaskan memasak….

            Begitu, ya. Jadi, Mill juga bisa masak. Mungkin karena aku belum pernah ke dapur jadinya aku enggak tahu.

            Gomul sendiri sudah menjamin rasanya sehingga aku bisa tenang… tapi beneran enggak apa-apa, nih?

            "Tunggu sebentar, akan kubuatkan bagianmu, Usato."

            "Baiklah."

            Mill pun pergi ke dapur, meninggalkan Gomul dan aku di ruang makan.

            Aku enggak terlalu akrab dengan Gomul. Berbeda sewaktu sendirian di kamar yang sama dengan Tong, aku enggak terlalu banyak bicara selain saat makan.

            Cepat atau lambat, nantinya kita akan menjadi rekan seperjuangan saat memasuki medan perang… tersenyum sebisa mungkin, aku mulai bicara pada Gomul.

            "Di mana yang lainnya?"

            "Mereka punya menu latihan yang berbeda dari kita. Yah, pada dasarnya mah, menu latihan kami ini punya banyak waktu luangnya dari punyamu. Biasanya, kami dibagi jadi dua pasangan sebagai satu tim."

            "Hooh, begitu, ya… Gomul, kau sudah sering makan masakannya si Mill?"

            "Ya. Sebelum tadi kamu ke sini, aku mendapati dia yang sedang masak sembunyi-sembunyi. Saat itulah pertama kali aku memakannya."

            Begitu, ya. Jadi dia memakannya baru-baru ini.

            Merahasiakan keahlian memasaknya… hmm, aku heran kenapa dia menyembunyikannya. Apa ada alasan khusus? Atau karena masih kurang berpengalaman?

            "Kenapa Mill sampai merahasiakannya?"

            "Hmm? Aku juga enggak terlalu tahu, tapi dulu, dia sendiri punya minat dalam memasak. Namun, masakannya takbisa dimakan orang, sehingga dia menyembunyikannya."

            "Yah, Gomul bilang rasanya enak, jadi harusnya dia lebih percaya diri…."

            Enggak disangka, apa dia memang keras pada dirinya sendiri?

            Yah, orangnya sendiri gembrot, tapi dia menunjukkan pencapaiannya selama kita berlatih bersama yang enggak sebanding dengan fisiknya.

            Ups, aku enggak boleh mengejeknya karena tepat di hadapanku ada Gomul yang enggak jauh beda dengannya.

            "Sudah jadi, nih!"

            "Oh, akhirnya jadi juga. Aku sudah menunggunya!"

            "… Sup?"

            Mill membawakan wadah kayu yang berisikan sesuatu yang mirip sup kari.

            Memang tercium bau sedap dari supnya, meski agak berbeda dari yang biasanya Alek buat… baunya mirip dengan minyak wijen. Karena sebelumnya mendengar pujiannya Gomul, aku enggak bisa menahan diri untuk meneguk ludahku sendiri. Kesan pertamanya bagus, sekarang tinggal rasanya.

            "Aku menemukan garam bagus di dapur. Jadi, kali ini aku menggunakannya banyak-banyak."

            Apa memang perlu menggunakan garam yang banyak?

            Aku agak cemas karena perkataan Mill. Apa orang ini tahu SaShiSuSeSo dan syarat-syarat wajib untuk menangani rasa? Enggak, menganggap fakta akan dunia ini punya sistem semacam itu dari awal….

*Gula, garam, cuka, shoyu (kecap jepang), miso.

            Selagi kududuk terdiam dan menggenggam sendokku, Gomul menghampiri wadah itu dengan penuh semangat. Dia siuk sesendok dan hendak memakannya….

            "…."

            "Kalau begitu, kucoba, deh!"

            Pertama-tama, aku harus membiarkan orang ini menguji racunnya terlebih dahulu.

            Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan perlahan mencicipinya sebelum benar-benar menelannya—

            "En—aak!"

            —Tiba-tiba dia mulai berseru begitu.

            Melihat isi dari wadahnya lenyap dalam mulutnya, perhatianku padanya terhenti.

            "Makanannya benar-benar enak! Suka banget aku sama rasanya. Kalau ditambah sake pasti makin enak!"

            "Be-Beneran enak…?"

            "Bicara apa kau ini?! Cepetan makan, atau kuhabisin!"

            Semangatnya ini, sepertinya dia bilang begitu bukan hanya karena sekedar omongan manis saja.

            Tukar tempat dengan Gomul, aku membulatkan tekad dan menyiuknya dengan sendok. Supnya itu mirip rebusan dengan tekstur yang lengket. Mempersiapkan diri, kumasukkan ke mulutku.

            "… Gu."

            Harusnya di sini kakiku enggak kedinginan. Percuma membandingkannya dengan standar masakan di duniaku sebelumnya. Bahkan masakan lezat ini… kalau kumakan, pasti akan lezat!... mungkin!!

            Menempatkan sendok ke dalam mulutku, kutelan supnya.

            Sewaktu kusadari, Mill dan Gomul menatapku dengan penuh harapan.

            Rasa yang menyebar ke seluruh mulutku ini—

                        "Enak, bukan?"

            Awalnya, rasanya seasin sewaktu aku enggak sengaja merasakan air laut. Ini enggak wajar, mulutku serasa dijejali garam.

            Ancur dah ini mah.

            Inilah kritikanku yang menomorduakan rasa usai sekembalinya dari hutan. Sekalipun dia bilang menggunakan banyak garam, ini mah jelas kebanyakan.

            Dan terlebih lagi, tekstur supnya terasa sangat kasar. Aku merasa enek karena air dan tepung kentang yang dipadatkan membuatnya nampak seperti zat asing.

            Akan tetapi, aku menahannya dengan kekalutan karena berada di hadapan rekan satu timku dan pas aku mau menelannya—sup kental enggak guna itu menunjukkan daya lekatnya dan menempel di tenggorokanku.

            Apa-apaan makanan beracun ini?! Kau ingin membunuhku apa?!

            Tak lama kemudian, sup tersebut akhirnya melewati tenggorokanku, meninggalkan rasa yang enggak mengenakkan. Jantungku juga serasa terus-terusan terbakar. Menjatuhkan sendokku, aku pun jatuh telungkup.

            "Kenapa, Usato?"

            "Heh, apa saking enaknya kau sampai enggak sanggup berdiri karena terkejut?"

            "… Ini—"

            Berisik, tolol! Apa indra prasamu sudah enggak guna apa?! Enggak peduli cara macam apa yang kaugunakan, kau harusnya bisa membuat sesuatu yang bahkan babi sekali pun bisa memakannya, Oi!! Dari rasanya doang, bukannya ini sudah enggak ada harapan?!?! Kasih tahu aku apa yang kaumakan sehingga bisa menganggap makanan ini lezat!! Kalau memang hanya aku saja yang enggak bisa memahami rasa ini, kumohon, ajari aku supaya bisa paham!! Tapi asal tahu saja, enggak mungkin kaubisa meyakinkanku kalau makanan ini lezat!!

            —Itulah yang ingin kukatakan. Akan tetapi, sekarang ini aku hanya ingin melempar Benda A berbahaya ini ke wajah dua orang bodoh yang menyeringai ini. Namun, saat ini aku enggak bisa bicara karena tenggorokanku sakit. Apaan ini? Aku enggak bisa memulihkan kerongkonganku dengan sihir penyembuhanku? Selagi kumasih terdiam, Benda A itu terus menerus menghancurkan bagian dalamku….

            Gawat, mungkin aku bakalan mati, nih.

            "Dari tadi kaudiam saja? Kau gemetaran juga, tuh?"

            "Ya, sudahlah. Boleh aku nambah?"

            "Tentu!"

            Gomul, dasar bangsat sia, bagaimana bisa kaumasih baik-baik saja usai memakan zat beracun yang bisa menghancurkan tubuh manusia ini?

            … Kalau dipikir-pikir lagi, kedua orang ini selalu bilang pada Alek kalau masakannya kurang berasa.

            Apa karena itu? Apa mereka berdua ini orang-orang yang suka rasa yang kuat… lalu memakan masakannya Mill, yang menggunakan banyak bumbu dan sangat memujinya. Mill pun enggak sadar kalau bumbu pada masakannya terlalu kuat. Karena enggak ada yang memperingatkannya, dia pun terus melanjutkannya dan kemudian disajikan padaku….

            Enggak bisa dimaafkan. Si bangke ini enggak bakalan gua maafin.

            "Ou, aku pulang—"

            ?!

            Rose sudah pulang dari kastel.

            Aku ingin segera menghentikan masakan kedua orang ini, tapi sayangnya, suaraku enggak keluar.

            Rose masuk ke ruang makan; dia kelihatan lelah. Apa karena pertemuannya dengan Raja?

            "… Ada apa Usato, apa ini semacam pertunjukkan baru?"

            Sungguh hebat kata-kata itu bisa keluar hanya dari melihatku saja, Rose.

            Tanpa tahu apa-apa, Rose duduk di sampingku dan Gomul angkat bicara.

            "Mbak, sudah makan siang?"

            "Belum."

            "Kalau begitu, cobain masakannya Mill. Benar-benar enak, lo?"

            Aku ingin menghentikan mereka. Akan tetapi, ada sebagian diriku juga yang ingin melihat Rose pingsan karena kesakitan.

            Sial, haruskah aku diam saja… enggak, aku harus memberitahunya kalau itu berbahaya, demi bawahannya sendiri.

            Pada saat inilah aku diuji untuk membuat pilihan yang belum pernah terjadi sebelumnya setibanya di dunia ini.

            Keputusanku adalah—





            "Ini, silahkan dimakan mumpung masih panas."

            "Apaan nih, dari rupanya saja sudah kelihatan aneh, bukan?"

            Jeli sekali, aku enggak bisa menang melawan dendam pribadiku.

            Di sini aku enggak salah, tapi Mill dan Gomul lah yang salah.

            Karena di sini aku juga korban, jadi ENGGAK masalah.

            Makanya, enggak peduli peristiwa tragis macam apa yang terjadi, enggak ada pengaruhnya buatku yang termasuk korban. Serupa dengan para korban yang tewas di awal cerita detektif.

            Selagi aku masih merasakan sakit, aku menggunakan sihir penyembuhan pada diriku dan berbaring di atas meja. Dari sini, aku bisa memberitahukan kalau aku kesakitan… kumenoleh ke arah Rose.

            Kukuku, ekspresimu berkata kau sama sekali tidak ragu.

            Aku penasaran, berapa lama kau bisa mempertahankan ekspresimu itu.

            Kau mungkin enggak menyangka bahwa apa yang akan kaumakan sebenarnya adalah racun yang akan melukai perutmu.

            "… Ya sudah, kumakan, deh."

Rose dengan masa bodonya menjejalkan zat berbahaya itu ke dalam mulutnya.

            Selang beberapa detik, rasanya seperti ada fenomena aneh yang terjadi di mulutnya selagi sekujur tubuhnya menegang. Usai beberapa detik, sesuatu menyambar muka Gomul dan Mill yang dipenuhi emosi dan harapan.

            Untuk sementara ini, kusebut itu jurus Cakar Besi. Akan tetapi, aku sendiri juga enggak tahu seperti apa Cakar Besi itu. Lagian, jurus yang kutahu bukanlah jurus yang bisa mengangkat pria dewasa dengan satu tangan.

            "… Eh?... M… bak…?"

            "Ini beneran… sakit—aw, aw, aw, aw."

            "Kalian, beraninya kalian membuatku memakan sesuatu seperti ini?"

            ""Eh?""

            "Punya nyali juga kalian, ya… kali ini, mengapa kalian tidak coba masakanku juga? Bahan-bahannya kalian, ya?"

            ""Heeeeeeeeee?""

            Aku enggak mau tahu apa yang terjadi setelahnya.

            Alasannya adalah karena aku enggak bisa membuat diriku menyaksikan pertunjukkan rekan-rekanku yang dihukum.

            Walau begitu, aku sungguh harus memuji Rose, sesaat pun ekspresinya enggak berubah.

            … Cih.

            Biar begitu, sungguh disayangkan waktu latihan soreku sia-sia demi sesuap zat berbahaya ini.

            … Huh? Kenapa aku menyesal, ya. Normalnya, harusnya aku senang, ‘kan?




            "Apa yang terjadi dengan Mill dan Gomul? Sayang banget nih makan malamnya."

            Saat waktunya makan malam, Alek memiringkan kepalanya sewaktu dia sadar Mill dan Gomul enggak ada.

            Sebagai gantinya, Rose datang duluan dan duduk di meja panjang dengan tampang kesal.

            "Mereka berdua, enggak bakal ikut makan malam. Begitulah pokoknya. Benarkan, Usato?"

            Rose bilang begitu sembari melototiku.

            Aku enggak menunjukkan ketakutanku terhadap pelototannya dan tersenyum canggung, dan menjawab.

            "Benar, hahaha. Tapi menyia-nyiakan makanan enggak baik, ‘kan?"

            Mill, Gomul, aku enggak akan melupakan kalian.

⟵Back         Main          Next⟶




Related Posts

Chiyu Mahou no Machigatta Tsukaikata Volume 01 Chapter 16 Bahasa Indonesia
4/ 5
Oleh